Rabu, 01 Maret 2017

Membuka Kembali Catatan Kasus Saut Situmorang

Ada enam orang jujur mengajarkan kebenaran kepadaku.
Mereka adalah ‘Apa’, ‘Siapa’, ‘Kapan’, ‘Di Mana’,
‘Mengapa’, dan ‘Bagaimana’.
Rudyard Kipling

Pada setiap orang yang tidak jujur
terdapat dua penjaga, yaitu air dan lumpur.
Umar bin Khattab


Catatan ini terkait dengan catatan saya sebelumnya (Kasus Bajingan Saut Situmorang), yang sudah terbit di blog ini, dua tahun yang lalu. Catatan ini merupakan jawaban serta klarifikasi atas beberapa hal yang saya nyatakan dalam catatan terdahulu, terkait kasus tersebut. Mungkin catatan ini bisa dibilang terlambat. Tapi terlambat menjelaskan, saya pikir, lebih baik daripada membiarkan banyak orang salah paham.

Well, kemarin saya membuka-buka tumpukan e-mail di inbox, dan tanpa sengaja mendapati beberapa e-mail yang mempertanyakan catatan saya mengenai kasus Saut Situmorang. E-mail-e-mail itu sudah dikirim lama sekali, tapi tertumpuk di bawah e-mail-e-mail lain. Seperti yang dulu pernah saya katakan di sini, di inbox saya ada ribuan e-mail yang masuk, dan saya kewalahan menanganinya. Jadi, e-mail yang dikirim dua tahun lalu, baru saya buka dan baca hari ini.

Seperti yang disebut tadi, beberapa e-mail yang tanpa sengaja saya buka itu terkait catatan mengenai kasus Saut Situmorang, yang pernah saya tulis di blog ini. Dalam catatan itu, saya menyatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam penyusunan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh—juga tetek bengek terkait buku itu—semuanya dibayar. Dari Ahmadun Yosi Herfanda sampai Maman S. Mahayana, semuanya dibayar.

Nah, rupanya ada orang-orang yang mempertanyakan, kira-kira seperti ini, “Memangnya kenapa kalau mereka dibayar? Mereka melakukan suatu pekerjaan, dan orang-orang itu dibayar untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Jadi, di mana salahnya?”

Sekarang, saya menulis catatan ini untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud dalam catatan terdahulu. Sekali lagi, penjelasan ini mungkin terlambat—karena kasusnya sudah berlalu—tapi terlambat masih lebih baik, daripada membiarkan banyak orang salah paham.

Di catatan terdahulu, saya menulis secara runtut dan sistematis mengenai proses terbitnya buku 33 Tokoh Sastra, dan segala tetek bengek terkait buku itu, hingga munculnya kasus yang menyeret Saut ke pengadilan. Ketika menulis catatan itu, saya mengasumsikan—oke, saya mempersepsikan—bahwa orang-orang yang membaca catatan tersebut bukan anak-anak SD, tapi orang-orang dewasa. Lebih khusus, orang dewasa yang berpendidikan.

Karena orang-orang yang membaca catatan itu adalah orang-orang dewasa yang berpendidikan—buktinya punya interest terhadap dunia sastra—maka saya juga mempersepsikan bahwa para pembaca dapat memahami teks dan konteks. Khususnya teks dan konteks dalam catatan saya.

Terkait teks, saya menyatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam penyusunan buku 33 Tokoh Sastra, semuanya dibayar. Akui saja kenyataan itu, karena faktanya memang begitu. Tapi jangan berhenti di situ. Perhatikan konteksnya! Dalam catatan itu, saya membahas buku 33 Tokoh Sastra dan tetek bengeknya. Itulah konteksnya!

Sudah memahami yang saya maksud?

Jika belum, mari kita gunakan analogi yang lebih mudah dan sederhana.

Umpamakan ada sekelompok penulis dan sastrawan yang sama-sama punya niat dan rencana untuk menerbitkan buku khusus, berisi tokoh-tokoh sastra Indonesia yang dianggap paling berpengaruh. Niat dan rencana itu murni lahir dan berasal dari orang-orang tersebut, lalu mereka memulai riset dan penelitian untuk menemukan dan menyusun nama-nama yang mereka anggap bisa dimasukkan dalam daftar yang mereka rencanakan.

Setelah melakukan riset berbulan-bulan, mereka menyusun dan mengumpulkan tokoh-tokoh sastra yang mereka anggap memiliki pengaruh di dunia sastra Indonesia. Dalam proses itu, tidak menutup kemungkinan mereka mencari funding yang bersedia membiayai. Tetapi, karena mereka yang meriset, maka keputusannya pun ada di tangan mereka sepenuhnya, dan pihak funding—atau pihak mana pun di luar mereka—tidak punya hak untuk “ngerusuhi” keputusan mereka.

Sekarang umpamakan saja, hasil diskusi dan riset orang-orang tersebut memutuskan Agus Mulyadi—iya, Agus Mulyadi yang itu—masuk dalam daftar 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Mereka, para peneliti tersebut, bersepakat bulat memasukkan nama Agus Mulyadi di dalam buku, bersama tokoh-tokoh lain yang sudah terkenal sebagai sastrawan. Dari HB Jassin sampai Pramoedya Ananta Toer.

Ketika buku itu terbit, orang-orang kaget, karena mendapati nama Agus Mulyadi ada dalam buku, dan dianggap tokoh sastra paling berpengaruh. Agus Mulyadi juga ikut kaget, karena tidak menyangka tulisan-tulisannya selama ini dianggap sastra, bahkan dinilai berpengaruh.

Sampai di sini, apakah ada yang salah?

Tidak ada! Tidak ada yang salah sama sekali!

Pertama, orang-orang yang menyusun daftar itu murni berniat menerbitkan buku yang mereka inginkan, dan tidak ada pengaruh apalagi intervensi dari pihak mana pun. Memang benar mereka mendapat bayaran—dari funding yang membiayai riset, sampai dari hasil royalti penjualan buku. Tetapi, sekali lagi, tidak ada pengaruh dan intervensi siapa pun, dan buku itu murni pemikiran mereka.

Termasuk nama Agus Mulyadi yang ikut masuk dalam buku, dan dianggap sebagai tokoh sastra paling berpengaruh—itu murni pilihan dan pendapat mereka, tanpa pengaruh dan intervensi dari Agus Mulyadi atau siapa pun. Karenanya, meski mungkin hasilnya aneh atau janggal—akibat masuknya nama Agus Mulyadi—orang-orang tidak bisa marah. Wong itu hasil karya mereka, kok. Jika tidak terima dengan keputusan itu, silakan bikin buku sendiri!

Bahkan, kalau memang seperti itu kenyataannya—bahwa buku itu murni hasil pemikiran jujur para peneliti dan penulisnya—saya yakin Saut Situmorang tidak akan marah, apalagi sampai memaki bajingan pada Agus Mulyadi. Tentu saja Saut (dan orang-orang lain) juga akan bingung, atau bahkan tidak terima, dengan masuknya Agus Mulyadi di dalam daftar. Tapi mereka pasti akan memahami, bahwa masuknya Agus Mulyadi dalam daftar bukan kehendak Agus Mulyadi. Wong nyatanya Agus Mulyadi juga kaget dan bingung mendapati namanya masuk buku itu.

Sampai di sini, sudah memahami yang saya maksud?

Kasus buku 33 Tokoh Sastra itu mirip ilustrasi di atas, tapi “Agus Mulyadi” menempati posisi terbalik. Dia masuk ke dalam daftar bukan karena kehendak para peneliti dan penulis buku, melainkan karena kehendak dan intervensi Agus Mulyadi, agar namanya masuk ke dalam buku!

Dalam kasus yang kemudian menyeret Saut ke pengadilan itu, “Agus Mulyadi”—diyakini banyak orang—telah melakukan intervensi, agar namanya masuk ke dalam buku tersebut. Bahkan, banyak orang meyakini bahwa dialah yang sebenarnya punya ide penerbitan buku tersebut, lalu mengumpulkan orang-orang untuk menulisnya, dan membayari orang-orang itu untuk menjalankan keinginannya (menulis buku tentang tokoh-tokoh sastra, yang di dalamnya ada namanya).

Hasilnya, ketika buku itu terbit, terjadi “komplikasi”—karena pihak yang membayari disinyalir sebagai pemilik ide dan ikut mengintervensi isi buku, dengan tujuan namanya masuk dalam daftar. Di titik krusial itulah, banyak orang—khususnya para sastrawan dan pegiat sastra—menilai penerbitan buku itu memanipulasi sejarah sastra Indonesia, hingga Saut dan orang-orang lain memprotesnya.

Sekali lagi, sudah melihat konteks yang saya maksudkan?

Jadi, yang saya persoalkan sebenarnya bukan bayarannya. Soal bayar membayar itu hal biasa—saya pikir semua orang sudah paham.

Yang saya persoalkan—sebagaimana yang juga dipersoalkan banyak orang lain—praktik “bayar membayar” terkait buku itu melahirkan sesuatu yang berbahaya bagi dunia sastra Indonesia di masa depan. Karena seseorang bisa dianggap sastrawan berpengaruh, hanya karena ia “membayar”.

Untuk kesekian kali, demi Tuhan, sudah memahami yang saya maksudkan?

Itulah titik paling krusial menyangkut buku 33 Tokoh Sastra yang bikin geger dua tahun lalu, hingga banyak sastrawan marah, dan Saut Situmorang mengamuk. Kenapa sesuatu yang sangat jelas dan gamblang seperti ini masih sulit dipahami?

Terus terang saja, terkait bayar membayar, saya juga termasuk penulis yang dibayar, sebagaimana para penulis profesional. Saya menjadi kontributor beberapa situs internasional, dan mendapat bayaran (honor) dari mereka. Itu hal biasa. Dari situs List Verse (listverse.com), misalnya, saya mendapat honor 100 dolar (Rp1,3 juta) per artikel. Di situs lain, honor yang saya terima bahkan lima kali lipat dari itu, per artikel. Sekali lagi, itu hal biasa.

Bahkan, jujur saja, saya tidak sudi menulis di luar blog saya tanpa dibayar! Satu-satunya tempat saya mau menulis tanpa dibayar hanya di blog saya sendiri, atau di proyek amal (charity). Seperti tulisan yang kalian baca ini, saya menulis secara tulus tanpa dibayar. Saya mau melakukannya, karena di blog milik sendiri.

Jadi, sekali lagi, yang saya persoalkan dalam catatan terdahulu bukan bayar membayarnya. Karena penulis mendapat bayaran itu hal biasa—justru aneh kalau mereka tidak mendapat imbalan. Yang saya persoalkan adalah hal di baliknya. Itu pula yang dipersoalkan orang-orang lain, sampai mereka melakukan protes, demo, dan lain-lain, karena sama-sama menyadari bahaya yang kelak mungkin timbul terkait buku itu bagi dunia sastra Indonesia.

Sampai di sini, saya pikir kita semua sudah memahami yang saya maksudkan. Kalau Agus Mulyadi dianggap tokoh sastra paling berpengaruh, dan itu di luar keinginan apalagi intervensinya, kita tentu tidak bisa marah pada Agus Mulyadi. Wong itu bukan keinginannya.

Tetapi, jika Agus Mulyadi menginginkan dirinya dianggap tokoh sastra berpengaruh, dan untuk tujuan itu dia membayar serta melakukan berbagai “konspirasi” demi bisa dianggap tokoh sastra paling berpengaruh, tentu wajar kalau kita marah. Karena bisa dibilang Agus Mulyadi telah mencederai sejarah sastra Indonesia.

Akhirnya, meski kasus terkait buku itu mungkin telah dianggap usai, tetapi hakikatnya belum selesai. Bagaimana pun, generasi zaman kita punya utang penjelasan kepada generasi yang akan datang, terkait isi buku tersebut. Dalam hal itu, mungkin, generasi mendatang bisa mendapat penjelasan dari tulisan dan berita terkait kemarahan dan kemurkaan Saut Situmorang.

 
;