Selasa, 14 Maret 2017

Kegalauan Seorang Lajang

Aku lebih suka mendapat pertanyaan sulit yang tak bisa kujawab,
daripada pertanyaan tolol yang tak perlu dijawab.
@noffret


Bagi dunia—setidaknya di lingkungan masyarakat—saya dianggap telah melakukan kesalahan besar, dan kesalahan saya adalah belum menikah. Itu ironis, kalau dipikir-pikir. Betapa orang bisa dianggap bersalah hanya karena dinilai berbeda dengan orang kebanyakan. Dalam hal ini menikah. Kenyataan itulah yang sering kali membuat saya marah. Meski dalam diam.

Mari saya ceritakan kehidupan saya sehari-hari.

Sebagian besar waktu hidup saya dihabiskan di dalam rumah. Karena saya tidak bekerja di kantor atau perusahaan mana pun. Saya bekerja di rumah, dan kantor atau tempat kerja saya berada di rumah saya sendiri. Jadi, pagi hari, ketika orang-orang lain umumnya pergi ke kantor atau tempat kerja, saya tetap di rumah. Begitu pula, saat orang-orang pulang kerja sore hari, saya juga tetap di rumah.

Karena bekerja di rumah sendiri, saya pun bebas menentukan jam kerja secara fleksibel. Saya tidak terikat jam kerja, karena saya bebas kerja kapan pun, dan selama apa pun. Biasanya, setelah bangun tidur, saya membaca buku sambil menikmati kopi dan merokok. Setelah itu, baru mulai bekerja. Teruuuuuus bekerja, sampai saya bosan atau lelah. Untungnya, atau sialnya, saya seorang workaholic (gila kerja), jadi saya selalu bekerja dengan asyik.

Seharian penuh, saya hanya ada di dalam rumah. Dan asyik bekerja. Kadang-kadang terpaksa keluar rumah karena ada keperluan, semisal membeli kebutuhan sehari-hari. Jika tidak ada keperluan apa pun, saya tetap di rumah, dan malas keluar. Kenyataannya, saya memang tidak suka keluyuran atau kelayapan ke mana pun.

Seusai magrib, atau seusai isya, saya kadang keluar rumah untuk mencari makan. Setelah makan, saya kadang membaca buku, atau menonton DVD, atau melanjutkan kerja sampai larut malam. Setelah mengantuk, biasanya dini hari, saya baru tidur.

Besoknya, saya mengulangi hal sama, dan terus begitu setiap hari.

Bagi orang lain, mungkin rutinitas semacam itu terkesan monoton dan membosankan. Tapi tidak bagi saya. Setiap hari, meski melakukan hal sama terus menerus, saya tidak pernah bosan. Alasannya sederhana, karena saya mencintai yang saya lakukan!

Bisa dibilang, rutinitas terbesar yang saya lakukan setiap hari adalah membaca buku (atau belajar) dan bekerja. Itu dua hal yang sangat saya cintai dalam hidup. Hanya melakukan itu saja, saya mampu tidak keluar rumah hingga bertahun-tahun—kalau saja tidak perlu mencari makan, atau ada keperluan yang mengharuskan saya keluar rumah.

Saat sedang bekerja, saya tidak merasa sedang bekerja. Karena saya mencintai yang saya lakukan. Karenanya pula, saya merasa asyik dan sering lupa waktu. Bukannya bosan dan capek, saya justru ingin terus bekerja. Begitu pula saat membaca buku, saat belajar, atau saat berpikir dan merenung sendirian. Itu hal-hal yang sangat... sangat saya cintai. Meski melakukannya terus menerus setiap hari, saya tidak pernah bosan, dan terus menikmati.

Kita lihat...? Rutinitas saya bisa dibilang tidak terkait orang lain, bahkan sebagian besar waktu saya setiap hari dihabiskan dalam kesendirian. Artinya, saya tidak mengganggu atau melakukan kesalahan apa pun pada orang lain. Wong saya cuma sibuk membaca buku, belajar, dan bekerja, bagaimana bisa mengganggu orang lain?

Tetapi, meski begitu, saya dianggap salah!

Dan kesalahan saya cuma satu, yaitu belum menikah!

Benar-benar asu, kalau dipikir-pikir. Dan karena itulah, saya sering marah. Wong saya menjalani kehidupan dengan baik, tidak pernah mengganggu apalagi merusak rumah tangga orang lain, bahkan tidak memacari anak orang, tapi masih juga dianggap salah. Apa yang lebih bangsat dari yang saya alami?

Sebagai lajang, terus terang, saya menghadapi tekanan yang sangat berat. Tekanan itu datang dari mana saja—tetangga, famili, dan orang-orang kurang kerjaan—yang sama-sama punya “kelainan” serupa, yaitu suka menyuruh-nyuruh saya menikah. Susahnya, dalam hal ini, saya kesulitan menjelaskan kepada mereka mengenai kenapa saya tidak atau belum menikah.

Mungkin, kalau saya pengangguran yang menjalani kehidupan suram, saya bisa menggunakan kenyataan itu sebagai alasan kenapa saya belum menikah. Yang jadi “masalah”, orang-orang melihat saya menjalani kehidupan berkecukupan. Karenanya, di mata mereka, saya aneh—bahkan salah—karena belum juga menikah.

Dulu, waktu didorong-dorong untuk segera menikah, saya mencoba bertahan dengan menjawab, “Mau menikah bagaimana, wong aku belum punya calon pasangan?”

Tapi jawaban itu justru menjadi bumerang. Ketika saya menjawab seperti itu, orang-orang yang meminta saya menikah segera menjawab, “Kalau begitu, biar kukenalkan dengan putrinya si Anu, atau keponakan si Anu, atau adik si Anu.”

Saya masih mencoba bertahan, “Ah, apa mungkin mereka mau sama aku?”

Dan mereka langsung menyatakan, “PASTI MAU! TAK JAMIN!”

Kalau sudah begitu, saya bisa apa...?

Sering kali saya berpikir, bahwa berbicara dengan seorang profesor jauh lebih mudah daripada berbicara dengan orang tolol (apalagi orang tolol yang sok pintar). Jika seorang profesor bertanya mengapa saya belum menikah, saya bisa menjelaskan panjang lebar tentang pilihan hidup, tentang visi, dan tentang hal-hal lain, hingga sang profesor paham. Tetapi, saat orang kebanyakan—dalam hal ini orang-orang tolol—yang bertanya, apa iya saya mau menjelaskan tentang visi dan pilihan hidup?

Oh, saya memang pernah mencoba menjelaskan kepada mereka, bahwa hidup adalah soal pilihan, termasuk menikah atau melajang. Saya pernah mencoba menjelaskan kepada mereka tentang visi saya sebagai manusia, dan segala macam. Tetapi, kau tahu, orang-orang tolol sering kali merasa dirinya pintar. Jika orang yang benar-benar pintar senang mendengarkan, orang-orang tolol lebih senang berbicara. Jadi, ketika saya mencoba berbicara dan menjelaskan, mereka tidak mendengarkan. Alih-alih mendengarkan, mereka justru menceramahi saya.

Oh, well, mereka berceramah. Tentang pentingnya menikah. Bahwa orang tidak perlu khawatir menikah. Bahwa orang akan damai dan tenteram setelah menikah. Bahwa rezeki akan lancar setelah menikah. Dan lain-lain. Dan sebagainya. Dan bla-bla-bla.

Sering kali saya tergoda untuk membalas ocehan semacam itu dengan jawaban frontal, yang akan langsung membungkam mulut mereka. Tetapi, bagaimana pun, saya berusaha menjaga etika, khususnya jika yang ngoceh lebih tua dari saya. Sedongkol apa pun, saya berusaha menjaga sikap sopan di depan mereka. Jadi, meski jengkel luar biasa, saya pun biasanya hanya mengangguk, dan diam.

Susahnya, terkait orang-orang semacam itu, mereka merasa diri benar, sehingga sulit untuk menerima jawaban atau penjelasan lain yang tidak sesuai keyakinan mereka.

Orang-orang itu meyakini menikah adalah kewajiban, sehingga sulit diberitahu bahwa menikah adalah soal pilihan. Mereka percaya orang menikah pasti bahagia, hingga tidak mau melihat banyaknya kasus perceraian di KUA. Mereka yakin orang menikah pasti lancar rezeki, hingga mereka buta dan tidak melihat jutaan anak di jalanan yang menyabung nyawa demi bisa makan, sementara orangtuanya menggadaikan harga diri demi bisa berutang.

Masalah terbesar hidup di lingkungan yang buta adalah... kau harus sama-sama buta seperti mereka. Dan kalau kau menunjukkan punya mata, mereka akan mencongkel matamu, hingga sama-sama buta.

Ada orang-orang yang—entah kenapa—setiap kali ketemu saya, yang dibahas dan ditanyakan soal kawiiiiiin melulu. Hari ini bertanya soal kawin, besok ketemu dan kembali bertanya soal kawin, lalu lusa begitu lagi. Orang-orang itu sudah menikah, punya anak-anak, dan saya tahu mereka menjalani kehidupan yang tak bisa dibilang bahagia. Kalau saya mau kejam-kejaman, ingin sekali saya menjawab, “Kamu ingin aku cepat kawin, agar sama-sama susah dan menderita sepertimu?”

Tetapi, seperti yang disebut tadi, saya berusaha menjaga etika. Meski dalam hati dongkol luar biasa, saya tetap berusaha mengendalikan diri, dan tetap berusaha bersikap sopan. Saya berusaha menyadarkan diri sendiri, bahwa mereka melakukan perbuatan tolol semacam itu semata-mata karena tidak tahu. “Maka maklumilah,” kata saya pada diri sendiri.

Itu pula kenapa, saya lebih suka menyendiri, dan berusaha agar tidak sering bersentuhan dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang yang tidak tahu tapi merasa tahu, orang-orang tolol yang merasa pintar, orang-orang buta yang merasa paling benar. Karena sia-sia. Oh, well, sungguh sia-sia berhubungan dengan mereka. Tidak ada manfaat atau kebaikan yang didapat, tapi malah mudarat—khususnya mudarat dalam pikiran.

Padahal, seperti yang disebut di atas, saya tidak pernah mengusik apalagi merugikan orang lain, dan lebih banyak menghabiskan hidup dalam kesendirian, di rumah yang sunyi. Saya tidak berbuat hal-hal jahat, atau membuat keonaran, atau mengganggu masyarakat. Pendeknya, saya tidak melakukan kesalahan kepada sesama manusia, apalagi pada orang-orang di sekitar saya.

Jika sekarang malaikat turun dari langit, dan datang ke tempat saya tinggal, lalu bertanya pada orang-orang, “Apakah Hoeda pernah mengganggu kalian? Apakah dia pernah mengusik kalian? Apakah dia pernah merugikan kalian? Apakah dia pernah sengaja melakukan sesuatu yang membuat kalian tidak senang? Apakah dia pernah sengaja membuat kalian marah?”

Maka saya berani bersumpah demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, mereka akan menjawab “tidak pernah” untuk semua pertanyaan itu. Karena saya menjalani hidup sebagai bocah. Dan, sebagai bocah, saya selalu berusaha menghormati orang-orang lain, sekaligus berusaha untuk tidak mengusik siapa pun. Karenanya, bisa dibilang, saya tidak punya masalah apa pun, dengan siapa pun, khususnya dengan orang-orang di lingkungan tempat saya tinggal.

Jadi, apa salah saya?

Hanya satu. Yaitu belum menikah!

Di dunia nyata maupun di dunia maya, orang-orang sepertinya tidak ingin melihat orang lain menjalani hidup dengan cara mereka sendiri. Orang-orang itu memaksakan pilihan hidupnya agar juga dijalani orang lain, meski untuk itu mereka harus melakukan berbagai daya upaya, berdusta, dan menista.

Di dunia maya, ada keparat sok pintar yang pernah mengatakan bahwa orang yang belum menikah adalah masalah sosial. Itulah kenapa, menurutnya, masyarakat selalu meributkan lajang yang belum menikah, dan menyuruh-nyuruh cepat menikah.

Saya benar-benar tidak paham dengan cara berpikir semacam itu. Masalah sosial bagaimana? Kalau saya memperkosa anakmu, atau berselingkuh dengan istrimu, atau merusak rumah tanggamu, mungkin saya—sebagai lajang—bisa dianggap masalah sosial. Wong saya tidak melakukan apa pun, dan tidak mengganggu siapa pun. Masalah sosial bagaimana...?

Kalau mau ngomong masalah sosial, sebenarnya justru yang kawin dan beranak pinak itulah yang menjadi sumber masalah! Yang suka bertengkar dengan pasangan, siapa? Yang ribut dengan mertua, siapa? Yang anak-anaknya nakal, siapa? Yang sering bertengkar dengan tetangga, siapa? Yang keluarganya kacau dan berantakan, siapa? Yang anak-anaknya tawuran atau ugal-ugalan di jalan, siapa? Yang anak-anaknya tumbuh liar akibat broken home, siapa? Yang suka mengganggu dan mengusik kehidupan orang lain dengan pertanyaan “kapan kawin”, siapa?

Pertanyaan itu bisa terus dilanjutkan sampai kalian bosan. Dan sepanjang apa pun pertanyaan yang diajukan, jawabannya tetap berkutat pada mereka—orang-orang yang telah menikah. Jadi, persetan, siapakah sebenarnya yang menjadi masalah sosial?

Sebagai lajang, saya hidup sendirian. Saya tidak pernah bertengkar dengan pasangan, karena memang tak punya pasangan. Saya tidak pernah ribut dengan mertua, karena memang tak punya mertua. Saya tidak punya anak-anak nakal, karena memang tak punya anak. Saya tidak pernah bertengkar dengan tetangga, karena tidak ada pasangan yang mengompori. Saya juga tidak bercerai dengan siapa pun, karena memang tidak menikah. Saya tidak melahirkan anak-anak korban broken home, karena memang tidak berkeluarga.

Jadi, sekali lagi, siapakah sebenarnya yang menjadi masalah sosial? Saya sebagai lajang, atau mereka yang telah menikah dan beranak pinak?

Karena itulah saya galau. Dan sering sakit hati. Galau, karena saya tidak mengganggu atau melakukan kesalahan apa pun, tapi dianggap bersalah. Juga sakit hati, karena seolah-olah menjadi lajang atau menunda menikah adalah kejahatan, sehingga orang-orang merasa bebas melemparkan cacian dan tuduhan apa pun, seolah menikah menjadikan mereka pasti benar. Itu benar-benar asu seasu-asunya!

....
....

Dalam kisah perjalanan Sang Buddha, kita tahu, Siddharta Gautama semula hidup di lingkungan istana. Karena dikungkungi dinding-dinding istana yang terbatas, pengetahuan dan kesadaran Siddharta pun terbatas. Yang ia lihat dan ia tahu hanya sebatas lingkungannya. Ia tidak tahu dunia luar. Ia bahkan tidak tahu bahwa orang bisa menua, bisa sakit, juga bahwa manusia bisa mati. Jika Siddharta Gautama tidak pernah keluar dari lingkup istananya, kemungkinan besar ia akan tetap seperti itu.

Tetapi, kita tahu, Siddharta Gautama akhirnya keluar dari kungkungan tembok istana, dan melihat dunia luas. Seketika matanya terbuka, kesadarannya bangkit, ia melihat dunia yang seutuhnya, dan memperoleh Pencerahan. Sejak itu, Siddharta Gautama menyadari hakikat manusia.

“Dinding istana” adalah paradigma yang sempit, keyakinan yang picik, tempat orang hanya melihat apa yang memang dilihatnya, atau yang sengaja dihadapkan untuknya, atau yang terus menerus didoktrinkan kepadanya. Kita semua menghadapi “dinding” yang sama, dalam apa pun bentuknya, dalam apa pun namanya. Selama kita tidak menerobos dan keluar dari kungkungan dinding itu, selama itu pula kita tetap ada di dalamnya, dan buta.

Karenanya, masing-masing orang selalu punya dua pilihan; tetap berada dalam kungkungan “dinding istana” yang tampak indah tapi menipu, atau keluar dari “dinding istana” dan menghadapi realitas untuk menjemput Pencerahan.

....
....

Hidup adalah soal pilihan. Tetapi, hanya sedikit orang yang mau menyadari kenyataan itu, hingga mereka tidak memilih. Dan ketika kau mencoba memilih, orang-orang di sekelilingmu akan berusaha merenggut pilihanmu... agar kau pun sama tidak memilih seperti mereka.

Kalau kau hidup di tengah masyarakat buta, kau harus sama-sama buta. Kalau kau mencoba memiliki mata, mereka akan mencongkel matamu, hingga sama-sama buta. Dan itu, oh well, asu seasu-asunya!

 
;