Jumat, 27 Agustus 2010

Teman Saya Tidak Puasa

Integritas adalah berbuat hal yang benar
walaupun tak ada orang yang melihatnya.
—Anonymous


Bagi kebanyakan orang, tidur siang pada bulan puasa pasti merupakan hal biasa. Bahkan, bagi yang tidak bekerja, atau bekerja di rumah, tidur siang di bulan puasa jadi semacam kewajiban. Rasanya hari cepat menjadi sore ketika diisi dengan tidur. Begitu bangun tidur pada sore hari, waktu pun terasa cepat berjalan, hingga tiba-tiba datang saat berbuka karena maghrib sudah menjelang.

Bagi saya, tidur siang tidak hanya saya lakukan pada waktu bulan puasa saja. Di hari-hari biasa pun, saya lebih banyak tidur siang daripada tidur malam hari. Saya lebih suka bekerja di malam hari—hingga subuh atau pagi—dan kemudian tidur pada siang harinya. Karena kebiasaan ini sudah diketahui teman-teman saya, mereka pun biasanya dolan ke rumah pada malam hari, atau selepas dhuhur, karena tidak ingin mengganggu istirahat saya.

Nah, pada bulan puasa kemarin, suatu hari—tepatnya jam sepuluh pagi—ponsel di dekat saya berdering membangunkan saya dari tidur. Seorang teman menelepon. Kita sebut saja si X. Waktu telepon itu saya terima, X berkata dengan canggung, “Sori, aku pasti membangunkanmu, ya. Hmm, aku lagi di rumah tetanggamu sekarang. Aku boleh mampir ke rumahmu?”

Saya tahu si X ini orang sibuk, dan tinggal di tempat yang tergolong jauh dari komplek saya tinggal, jadi tidak bisa setiap saat dia dolan ke rumah saya. Karenanya, saya pun memaklumi ketika dia kemudian ingin mampir karena kebetulan dari rumah tetangga saya. Jadi, saya pun menyambut dengan senang hati, “Datanglah, aku tunggu.”

Saya bangkit dari tempat tidur, lalu mencuci muka. Beberapa menit kemudian si X benar-benar datang.

“Sori, aku pasti menyita waktu tidurmu,” ujarnya dengan muka bersalah, saat saya membukakan pintu untuknya. Lalu kami pun duduk di ruang tamu, dan dia bercerita mengenai keperluannya datang ke tempat tetangga saya.

Jadi, si X ditugaskan oleh tempatnya bekerja untuk menemui tetangga saya, berkaitan dengan urusan pekerjaan. Nah, tetangga saya ini rupanya sedang pergi, tapi dia sudah menjanjikan lewat telepon untuk segera pulang, untuk menemui X. Karena X merasa tetangga saya masih cukup lama pulangnya, maka dia memutuskan untuk mampir ke tempat saya, sambil menunggu kedatangan orang itu.

“Nggak enak terlalu lama di rumahnya,” ujar X menjelaskan. “Di rumah hanya ada istrinya. Rasanya nggak sopan kalau aku berlama-lama di sana.”

Saya memang mengenal X sebagai cowok yang salih. Dalam arti dia memang selalu berusaha menjalani hidup dengan bersih dan lurus—bahkan untuk hal-hal yang bagi orang lain mungkin masih dapat dianggap “wajar”. X adalah sosok manusia yang benar-benar memiliki integritas, dan siapa pun yang mengenalnya pasti akan sepakat dengan hal itu.

Jika ada orang yang bisa diberi suatu amanat dan dia benar-benar menjaganya dengan sepenuh kejujuran, maka X adalah salah satunya. Jika ada orang yang bisa diberi tugas dan kemudian mengerjakannya dengan penuh tanggung jawab, maka X akan menjadi salah satu kandidat. Orang selalu suka kepada X, karena dia manusia yang benar-benar bermoral—orang Indonesia yang benar-benar mengamalkan Pancasila.

Saya pun suka kepada X, bukan hanya sebagai kawan, tetapi juga sebagai sesama manusia. Jika suatu rahasia dipercayakan kepada X, maka para malaikat akan menyaksikan rahasia itu tetap menjadi rahasia. Siapa pun akan senang berkawan dan bersahabat dengan orang semacam X. Dia tidak pernah melanggar janji, tidak pernah mengkhianati kepercayaan, dan selalu berupaya menjalani hidup dengan lurus dan penuh kejujuran. Orang yang bersih, itulah dia.

Sambil kami bercakap-cakap waktu itu, X bertanya, “Sori, di dapurmu ada minuman sekarang?”

“Uh…” saya menjawab dengan bingung. “Kamu tahu, ini…”

“Ya, ya,” dia menyela dengan senyum yang empatik, “aku tahu mungkin kamu belum bikin teh sekarang, karena kamu mungkin puasa. Tapi, jujur, aku nggak puasa, dan aku perlu minum karena haus sekali. Ada air putih?”

“Ada,” jawab saya akhirnya. “Di dapur juga ada air panas dalam termos—kalau kamu ingin bikin kopi.”

Teman-teman saya biasa membuat minuman sendiri di dapur rumah saya, khususnya kalau kebetulan saya lagi malas melayani tamu. Karenanya, X pun dengan santai pergi ke dapur, dan tak lama kemudian tercium aroma kopi capuccino saat dia kembali ke ruang depan, dengan membawa gelas yang mengepulkan asap halus.

Menyaksikan orang menikmati kopi capuccino selagi kau masih berpuasa, pastilah merupakan godaan yang besar—dan itulah yang saya rasakan waktu itu. X sepertinya tahu perasaan saya, dan dia pun berkata, “Aku pasti tampak seperti iblis, ya?”

Saya tidak bisa menahan tawa.

Setelah menikmati kopinya, X kembali berujar, “Yeah, aku memang nggak puasa—jarang. Biasanya, kalau lagi bulan puasa kayak gini, aku hanya puasa beberapa hari. Biasanya pas awal bulan dan akhir bulan.”

Dia kembali menghirup kopinya, lalu melanjutkan, “Mungkin ini terdengar seperti apologi. Tapi, secara lahir aku memang nggak puasa, meski secara batin aku tetap berpuasa.”

“Apa maksudnya, pal?” tanya saya dengan idiot. “Kalau kamu makan dan minum selagi orang lain berpuasa, tetap saja kamu nggak puasa, kan?”

“Ya, secara lahir.” X menjawab. “Tubuhku memang tetap mengonsumsi segala sesuatu yang diharamkan selama puasa—aku tetap makan dan minum. Tapi secara batin, aku benar-benar menjaga hati dan pikiranku dari hal-hal yang diharamkan—baik selama puasa ataupun di luar bulan puasa. Setiap kali ada pikiran yang jelek, aku selalu berusaha menghilangkannya. Setiap kali muncul prasangka yang nggak baik, aku berupaya mengenyahkannya. Setiap kali muncul kesempatan untuk berbuat sesuatu yang buruk, aku selalu menjaga agar nggak melakukannya. Dan, kamu tahu, sejujurnya itu lebih berat bagiku dibanding hanya sekadar menahan keinginan makan dan minum.”

Saya berkata dengan bingung, “Kamu aneh…”

“Sama sekali nggak aneh, menurutku,” jawab X. “Ini sama wajarnya dengan orang-orang lain yang tubuhnya berpuasa—tetapi hati dan pikirannya tetap makan dan minum.”

Kalau saja orang yang mengatakan kalimat itu adalah orang yang biasa nge-drug atau biasa berbuat maksiat, saya pasti akan menertawakannya. Kalau saja yang mengucapkan kata-kata itu adalah orang yang saya tahu brengsek, saya pasti akan menjawab dengan penuh ketidakpercayaan. Tetapi, kali ini, yang menyatakan kata-kata “bijak” itu si X, orang yang jelas-jelas saya tahu menjalani hidupnya dengan lurus, dengan baik, dengan sepenuh kejujuran dan integritas. Apa yang dia katakan adalah memang apa yang dia lakukan. Dia adalah salah satu orang “paling bersih” yang saya kenal.

Karenanya, ketika dia dengan tanpa dosa menghirup kopi di depan saya, dan kemudian mengeluarkan “fatwa” semacam itu, saya tak berani membantahnya. Bahkan, tiba-tiba, saya seperti dipaksa untuk menengok diri sendiri, dan saya mendapati sepertinya saya tidak lebih baik dari X, meski waktu itu saya berpuasa sementara dia tidak.

Sebagai muslim, saya berpuasa, karena memang bulan puasa—dan puasa memang merupakan kewajiban. Tetapi, jika saya mau jujur kepada diri sendiri, hanya tubuh saya yang berpuasa—tetapi hati dan pikiran saya kadang-kadang tidak. Saya masih mudah berprasangka jelek kepada orang lain, mudah marah oleh hal-hal kecil, mudah meledak dan mencaci-maki karena kesal oleh sesuatu, tidak sabaran, juga masih saja menyimpan hal-hal buruk—baik dalam hati maupun dalam pikiran—meski di siang hari saya tetap kelaparan dan kehausan.

Dan, tiba-tiba saya juga menyadari, bahwa X memang benar—bahwa menahan lapar psikis itu jauh lebih berat dibanding menahan lapar fisik. Menahan haus dahaga pikiran itu jauh lebih sulit dibanding menahan haus dahaga karena kepanasan.

Siang itu, saat duduk di hadapannya, saya merasa mendapat pelajaran baru tentang arti puasa sesungguhnya. Dan saat menyaksikannya menghirup kopi di depan saya yang sedang berpuasa, entah mengapa, saya merasa tidak lebih baik dibanding dirinya.

Izinkan Saya Merokok

Saya perokok dan saya tahu merokok itu ada risikonya, tapi risiko itu ada pada semua barang—bukan hanya rokok. Karena itu saya heran mengapa hanya rokok yang dipersoalkan. Saya yakin ada agenda global di balik kampanye antirokok itu.
—Gabriel Mahal SH, Advokat

Kampanye antirokok itu perlu konsensus, bukan hanya dibilang haram atau merusak kesehatan, karena kampanye antirokok tanpa konsensus akan mudah ditunggangi kepentingan ekonomi global yang ‘mematikan’ petani kita sendiri.
—Joko Susanto MSc., Pengamat politik Universitas Airlangga, Surabaya

Kita jangan gampang mengeluarkan fatwa haram, apalagi hanya dilakukan sekelompok orang seperti MUI yang bukan perokok. Ada empat hal yang tidak boleh dibisniskan—yakni agama, pendidikan, kesehatan, dan budaya.
Emha Ainun Nadjib, Budayawan


Tanggal 31 Mei dirayakan sebagai Hari Tanpa Tembakau sedunia, dan di hari tersebut biasanya banyak orang yang sibuk membawa atau memasang poster berisi anjuran untuk tidak merokok. Catatan ini memang bermaksud mengulas tentang rokok, tetapi sengaja saya tulis setelah hari tersebut berlalu, agar tidak dianggap sebagai “perlawanan terang-terangan” terhadap kampanye antirokok. Lebih dari itu, saya seorang perokok, karenanya selalu ada kemungkinan saya akan dianggap subjektif jika menulis persoalan ini.

Well, sebenarnya, ribut-ribut antirokok bukan barang baru—bahkan sekarang ada pihak-pihak tertentu yang telah mengharamkannya. Dr. Said Aqil Siradj, Ketua PBNU sekarang, tertawa ketika mendengar fatwa haram atas rokok. “Atas dasar apa pengharaman rokok?” tanyanya. Jika yang menjadi dasar pengharaman rokok adalah karena klaim bahwa rokok dapat menyebabkan kecanduan, maka akan ada setumpuk hal dan seabrek barang yang juga harus diharamkan dengan dasar yang sama—dari kecanduan ber-SMS, sampai kecanduan makan nasi.

Tetapi saya tidak bermaksud membahas soal haram-tidaknya merokok—karena saya bukan ustadz, dan catatan ini pun tidak dimaksudkan sebagai forum bahtsul masa’il. Biarlah hal itu menjadi wilayah mereka yang memang memiliki kompetensi dalam hal itu. Yang ingin saya bahas di sini adalah dasar dari semua ribut-ribut mengenai antirokok yang sepertinya makin hari makin menguat, sehingga rokok seolah berubah menjadi monster yang amat mengerikan—jauh dari kenyataan sesungguhnya.

Pemaparan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengajak kalian agar merokok atau mengkampanyekan “Rokok itu Sehat”—saya menulis catatan ini dengan tujuan untuk mengajak kita semua agar melihat suatu isu dengan kacamata yang lebih jernih, dengan pikiran yang lebih objektif.

Selama ini, rokok selalu dituduh sebagai biang keladi kematian, karena rokok didakwa sebagai penyebab kanker paru-paru. Semenjak era 80-an, kampanye tentang hal ini sudah digembar-gemborkan dengan menyatakan bahwa setiap 11 detik ada 1 orang yang mati karena rokok—dan sekarang malah meningkat menjadi setiap 1 detik ada 1 orang yang mati karena rokok.

Tetapi bagaimana statistik itu bisa diyakini? Apakah memang setiap kematian tersebut benar-benar disebabkan oleh rokok yang kemudian dinyatakan dalam sertifikat kematian mereka? Bagaimana membuktikan bahwa penelitian atas kematian-kematian tersebut memang disebabkan oleh rokok? Pertanyaan ini tak pernah terjawab sampai sekarang. Jika kita harus menggunakan perspektif statistik, maka “penelitian” yang diklaim di atas hanyalah penelitian yang disajikan atas dasar data epidemiologi.

Faktanya, hubungan penyakit dan angka kematian tidak bisa dijadikan sebagai cermin data riset hidup yang sebenarnya, karena tidak ada hubungan kuantitatif dan kualitatif yang nyata. Orang Jepang, misalnya, dianggap sebagai perokok berat—setiap orang di Jepang rata-rata mengisap 3.023 batang rokok setiap tahunnya. Tetapi angka kematian karena kanker paru di sana merupakan yang paling rendah di dunia.

Kemudian, rokok juga dituduh sebagai “pengganggu kesehatan” orang lain, karena orang yang tidak merokok akan terpapar racun dari asap rokok. Kenyataan ini biasanya disebut sebagai “perokok pasif”. Well, memang ada orang-orang tertentu yang sensitif dengan asap rokok, sehingga merasa tidak nyaman jika berdekatan atau menghirup asap rokok. Untuk hal ini, si perokok memang perlu menghormati orang tersebut dengan tidak merokok di dekatnya—atau meminta si orang sensitif itu untuk menjauh jika memungkinkan.

Tetapi jika rokok dituduh mengganggu kesehatan si “perokok pasif”—dengan alasan karena si perokok pasif ikut menghirup asap rokok tersebut—maka itu tuduhan yang belum tentu benar, bahkan konyol. Kalau kita berdekatan dengan orang lain yang merokok, terlepas apakah kita merokok atau tidak, maka sangat kecil kemungkinannya kita akan terpapar asap rokok orang itu! Mengapa? Jawabannya sangat gamblang, yakni karena asap cenderung naik ke atas berdasarkan temperaturnya yang tinggi.

Jika fakta ini masih terdengar meragukan, sekarang lihat penelitian ilmiahnya. Berdasarkan penelitian terhadap kafe-kafe yang memiliki jendela terbuka di atas kepala, didapatkan hasil berikut ini:

Apabila seorang pengunjung non-perokok berada di dalam kafe (bersama orang-orang yang merokok di dalamnya), maka pengunjung tersebut baru akan mendapatkan paparan ekuivalen merokok 1 batang apabila dia tinggal di kafe tersebut selama 105 jam. Perhatikan tingkat perbandingannya—paparan asap 1 batang rokok berbanding waktu 105 jam. Artinya, kalau kita hanya berdekatan dengan perokok selama beberapa menit, bisa dibilang itu tidak ada artinya sama sekali!

Coba kita lihat fakta lain berikut ini. Apabila 70 juta batang rokok dibakar di Jakarta per hari, total asapnya akan menghasilkan total particulate mater (TPM) sebanyak 5 ton. Pada saat ini, ada 200 ribu kiloliter BBM yang dibakar per hari di Jakarta, dan hasilnya menebarkan 100 ton TPM. Ditambah asap dari industri, pesawat terbang, dan debu, maka akan ada total 205 ton TPM per hari di Jakarta. Berdasarkan fakta ini, maka kontribusi TPM rokok hanya 2,4%.

Kemudian, perang yang terus-menerus dilancarkan terhadap rokok sering kali mengangkat isu karena rokok mengandung nikotin yang dianggap menciptakan kecanduan atau ketergantungan (adiksi). Saya katakan itu “isu”, sebab belum tentu berdasarkan pada kenyataan. Sekarang kita lihat faktanya.

Nikotin berasal dari tanaman Nicotiana Tabacum, yaitu suatu amine tertier yang terdiri dari pyridine dan pyrolidine (C10H14N2). Yang menjadi masalah, dalam kaitannya dengan rokok, nikotin sering disamakan dengan sifat adiksi heroin, opium, atau kokain, yang selalu menuntut tambah dan tambah dosis dalam konsumsinya. Padahal tuduhan ini sangat berlebihan (over-used), bahkan British Medical Association menyarankan pada anggota dokternya agar tidak menggunakan kata “adiksi” terhadap nikotin, sebab “kata tersebut menciptakan kesan seolah seorang perokok tidak bisa berhenti, padahal kenyataannya memungkinkan (berhenti).”

Karenanya, kata adiksi atau ketergantungan, sesungguhnya salah aplikasi dalam konteks nikotin dan tembakau. Untuk lebih jelasnya, lihat posisi nikotin terhadap bahan-bahan yang tergolong NAPZA, baik ditinjau dari tingkat ketergantungannya maupun tingkat akseptabilitasnya. Lebih jauh, nikotin dalam Media Model tidak tergolong physical dependence tetapi psychological dependence—tidak ada bukti euphoria, tidak ada drug abuse, tidak ada fly, juga tidak ada ‘climb a mounting’ seperti ketika orang mengkonsumsi opium. Perokok masih dapat mengendalikan dirinya (under control) secara individual.

Sampai di sini, mungkin akan muncul komentar, “Yeah, tulisan ini dibuat oleh seorang perokok—jadi wajar saja kalau isinya seperti ini!”

Sejak awal saya sudah mengaku bahwa saya memang perokok—dan saya pun sudah menyatakan tujuan saya menulis catatan ini sama sekali bukan untuk membela para perokok, melainkan untuk mengajak kita semua agar dapat memahami isu/kampanye/berita/ajakan atau apa pun secara lebih jernih, lebih objektif, dan tidak hanya ikut-ikutan. Dalam konteks catatan ini, soal rokok hanyalah soal kasus—kita bisa membongkar isu-isu lain yang sama besar atau lebih besar, semisal isu kiamat, isu pemanasan global, ataupun isu-isu yang lain.

Sebenarnya, masih banyak hal lain yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa rokok sesungguhnya “tidaklah seberbahaya sebagaimana yang diisukan atau digembar-gemborkan” itu. Bahkan kalau menginginkan perbandingan, ada cukup banyak makanan/minuman yang sama berbahaya atau bahkan lebih berbahaya dari rokok—dari mie instan yang mengandung MSG dan lapisan lilin, tahu dan tempe yang dibuat dari kedelai transgenik, sampai ikan laut yang mengandung kadar merkuri karena air laut yang tercemar. Tetapi bukan untuk itu tujuan saya menulis catatan ini.

Jadi, marilah sekarang kita bertanya—mengapa kampanye antirokok sepertinya makin gencar, isunya makin dibesar-besarkan, sementara untuk hal-hal lain (yang sama berbahayanya) tidak ada yang berkomentar atau berteriak?

Saya pikir sebaiknya saya tidak menjawab pertanyaan itu, karena nantinya catatan ini terkesan sebagai “pembelaan diri” seorang perokok dan terkesan makin subjektif. Tugasmulah sekarang untuk menjawab pertanyaan di atas—jika kau memang ingin mencari jawabannya. Dan, saya pikir, catatan ini sudah terlalu panjang, jadi sebaiknya saya akhiri sampai di sini—dan izinkanlah saya merokok sekarang.

My Heart

Kaulah cinta teragung. Kaulah kasih terluhur ketika aku mencari-carimu dalam setiap kebingungan dan kebimbangan dan kerisauan dan keraguan... dan kau datang.

Merengkuh kebingunganku.
Melenyapkan kebimbanganku.
Meredakan risau dan keraguanku.

Jumat, 20 Agustus 2010

Membuka Diary Habil dan Qabil



Untuk M.

Membuka tabir yang menutupi kegelapan yang kaukira jalan penerang, semua keyakinan yang membutakan akal sehat dan logika kewarasanmu. Inilah kisah luka yang harus terdengar kesadaranmu. Inilah awal kegelapan dari apa yang kaunamakan cinta, inilah diary Habil dan Qabil yang kutulis untukmu.

Kubukakan kepadamu catatan ini, karena aku tahu kau tengah terluka, dan aku tahu penyebabnya... dan obatnya. Kukisahkan rahasia diary ini karena aku tahu kemana kau akan pergi, bersama siapa kauingin ditemani... serta apa yang kausimpan di dalam hati.

Maka dengarkanlah. Bukan dengan pendengaranmu, tapi kesadaranmu. Maka hayatilah. Bukan dengan keegoanmu, tapi kemurnianmu.

Pernahkah kau berpikir, kalau saja Qabil tak membunuh saudaranya untuk memuaskan hasratnya yang membuta, maka kehidupan akan lebih cerah karena banyaknya warna? Pernahkah terbetik dalam hatimu, kalau saja Habil tak terbunuh karena keegoisan saudaranya, maka keberadaannya akan mampu memberikan sesuatu yang barangkali juga dibutuhkan oleh saudaranya?

Tetapi itulah cinta yang telah menjadikan hasrat buta, dan keegoisan menjadi sesuatu yang dipertuhankan. Ketika sang ayah datang dan menyatakan kepada mereka tentang pernikahan yang telah disuratkan, Qabil berontak dan tak terima dengan perjodohan itu, meski ia tahu dengan sebenar-benarnya bahwa itu perjodohan dari langit.

Qabil mengetahui bahwa perintah pertautan dua manusia antara dirinya dengan jodohnya adalah kehendak Tuhan, dan bukan semata kehendak ayahnya, namun Qabil terbutakan oleh keegoisannya, ia memberhalakan hasrat dalam dirinya. Kalau cinta boleh memilih, mengapa ia tak boleh memilih? Qabil tak pernah memahami bahwa ketika kekasih datang kepada ayahnya, ayahnya pun tak pernah memilih.

Dan apa sesungguhnya yang ada dalam diri Qabil waktu itu? Cinta sejati? Yang ada dalam dirinya waktu itu tidak lain hanyalah berhala perasaan yang menuhankan keegoannya, hingga kemudian menganggap bahwa dirinya, dan hanya dirinya, yang boleh menentukan apapun kehendaknya.

Karena tidak adanya sejarah yang harus dibacanya, Qabil tak memahami bahwa ada kalanya manusia hanya bisa berencana sementara Tuhanlah yang menjadi penentunya. Qabil hanya berencana memperturutkan kehendaknya tanpa memperhitungkan kehendak yang lebih besar, lebih agung, yang memang ditakdirkan untuknya. Qabil tidak terima dengan apa yang seharusnya menjadi haknya, dan... rencana paling pertama yang ada dalam otak manusia pun kemudian diciptakan dalam dirinya.

Siapakah orang pertama yang matanya terbutakan oleh cinta, atau oleh sesuatu yang ia yakini benar sebagai cinta? Jiwa siapakah yang pertama kali mati karena menganggap telah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada cinta, padahal hanya kepada berhala yang ia sembah dan ia anggap sebagai cinta?

Qabil-lah yang menjadikannya ada. Dialah orang pertama dalam sejarah manusia yang lebih memilih untuk tidak memiliki sama sekali, daripada menyaksikan orang lain memiliki apa yang ingin ia miliki. Qabil adalah buah masam yang rela membusuk, selama buah lain juga merana dalam kebusukannya.

Dan itulah yang kemudian ia lakukan. Saat malam mencapai puncak kegelapannya, ketika rencana besar yang telah ia susun dengan sempurna itu makin tak tertahankan, maka tangan-tangan kegelapan pun membantunya untuk melenyapkan saudaranya sendiri demi cinta yang ia ingini. Qabil meyakini bahwa itu adalah bentuk kehendak murninya, tetapi yang terjadi sesungguhnya ia budak dari berhala kehendaknya. Ketika Habil terbunuh olehnya, Habil bukan terbunuh oleh kesucian cinta, tapi oleh butanya hasrat dan keinginan tersesat yang menyala-nyala.

...
...

Ketika sesuatu yang kausebut sebagai keinginan hadir dalam benakmu, maka itu sesungguhnya belum tentu murni tercipta olehmu. Ketika sesuatu yang kauanggap sebagai kehendak datang merayumu, pernahkah kau menyadari bahwa itu belum tentu murni kehendakmu?

Singkirkan keegoanmu dan musnahkan segala hasratmu, dan kau akan mengenalinya secara pasti. Hidupkan kemurnianmu dan berikan nyawa bagi jiwamu, dan kau tak akan tersesat lagi.

Qabil tak pernah menyadari itu, atau setidaknya tak mau menyadarinya. Ia hanya meyakini bahwa kemana pun keinginannya berjalan maka ke sanalah ia harus mengikuti. Ia hanya memahami bahwa apapun yang menjadi kehendaknya maka itulah yang harus ia jalani.

Pembunuhan terhadap saudaranya ia yakini benar sebagai keinginan dan kehendaknya, tanpa sedetik pun terpikirkan olehnya bahwa itu hanyalah sesuatu yang ditiupkan kepadanya untuk ia yakini sebagai keinginan dan kehendaknya. Pembunuhan yang ia pahami atas nama cinta itu tak pernah menyadarkannya bahwa sesungguhnya itu hanyalah pembunuhan atas nama keangkuhan dan keegoan dirinya.

Ketika Habil, saudaranya, telah kehilangan nyawanya, apa yang dirasakan oleh Qabil? Ia kebingungan, bahkan ketakutan. Ia kebingungan karena sebelumnya tak pernah kenal dengan apa yang kini ia lakukan. Ia ketakutan karena sama sekali tak menyadari betapa besarnya apa yang telah ia lakukan.

Qabil membawa mayat saudaranya menjauh dari tempatnya, kemudian ia menggali tanah, memasukkan tubuh Habil ke dalamnya. Bersamaan dengan terkuburnya diri Habil, Qabil juga merasakan sesuatu dari dirinya telah ikut terkubur—yakni kesadarannya.

Cinta siapakah yang rela melakukan kehinaan demi pemenuhannya? Kesejatian macam apakah yang lebih menuhankan besarnya hasrat daripada memahami kehendak yang lebih mulia?

Ketika cinta meninggalkanmu, jangan pernah sedetik pun berpikir bahwa kau tak berharga. Ketika yang kauinginkan tak tercapai sesuai keinginan hatimu, jangan sedikit pun berpikir kau teraniaya. Akan tiba di hadapanmu sebuah cinta yang benar-benar diturunkan untuk menumbuhkan jutaan bunga, yang akan membuka matamu bahwa kehilangan yang kaurasakan sesungguhnya sarana untuk mempertemukanmu dengan sesuatu yang lebih besar.

Mengapa harus menangisi hilangnya sebutir kerikil kalau kau akan menemukan segenggam mutiara? Mengapa harus kehilangan kendali jika yang meninggalkanmu hanyalah kunang-kunang yang tampak bercahaya saat ada dalam kegelapan? Kalau kau melepaskannya, kau akan menemukan cahaya yang lebih besar, cahaya yang sebenar-benarnya, cahaya yang akan menuntunmu kepada jalan yang benar.

Penuhi jiwamu dengan kesadaran bahwa kau akan menemukan yang lebih besar ketika cintamu tak terbalas, dan yakinilah bahwa saat itu akan datang menjemputmu, cepat ataupun lambat. Sadarilah bahwa kehidupanmu tidak akan berakhir hanya karena itu. Kuasa dan kekuatan yang ada dalam dirimu akan mewujud ketika kau menghadapi kepahitan, dan bukan ketika kau menghadapi kegembiraan. Bagaimana mungkin kau akan menyebutnya kehancuran kalau saat-saat itu justru sesuatu yang lebih besar muncul dan terlahir dari dirimu?

Cukup. Yang berlalu biarlah berlalu.

Apa yang kauyakini sebagai cinta sesungguhnya bukanlah cinta ketika hasratmu lebih besar untuk memiliki daripada untuk mencintai. Cinta hanyalah proses bagimu untuk menjadi dirimu sendiri yang sejati, dan bukannya sarana untuk menunjukkan betapa besarnya artimu bagi siapapun.

Cinta adalah sinar penerang dalam ketersesatan, cahaya dalam kegelapan, tongkat penuntun saat kau ingin melangkah kemana pun di jalan panjang kehidupan. Bedakan cintamu dengan hasratmu, dengan keinginanmu, dengan keegoanmu. Penuhi dirimu dengan cinta, maka kau akan mabuk oleh anggur kesadaran.

Ketika Tuhan menurunkan sebuah cinta dalam kehidupanmu yang terwujud dalam bentuk seseorang atau sesuatu, kehadirannya bukan untuk mengotori akal pikiranmu atau menumbuhkan keegoan serta keangkuhanmu, melainkan untuk memurnikan kesadaranmu, menerangi kegelapan jalan kehidupanmu.

Hari ini, tutuplah diary keangkuhanmu.


Facebook, BlackBerry, dan “Barang Haram” Lainnya (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sampai di sini, saya tidak merasa kesulitan untuk menyebutkan barang-barang lain lagi yang sekiranya dapat dilarang dan diharamkan. Jumlahnya banyak sekali—dari pakaian sampai iPod, dari bungkus kacang sampai satelit. Semuanya bisa dicari faktor keburukannya, semua bisa digali sisi negatifnya—atau sisi negatif penggunaannya.

Tetapi buat apa melakukan hal itu? Buat apa mencari-cari sisi negatif dari benda-benda atau barang-barang yang tidak diciptakan untuk tujuan negatif? Seperti Facebook, misalnya. Atau BlackBerry. Jika memang kedua benda itu dinilai membuat orang jadi “kesurupan” dan tidak ingat waktu, maka seharusnya orang atau penggunanya itulah yang dibereskan atau disadarkan, dan bukannya melarang atau mengharamkan benda yang digunakannya.
Sedikit-sedikit, dilarang. Sedikit-sedikit, diharamkan. Ini aneh, pikir saya. Dan konyol. Juga lucu.

Jika benda dinilai lebih penting dibanding pengguna, dan dianggap lebih bertanggung jawab dibanding pemakainya, maka seharusnya yang dituntut hukuman dalam pengadilan pembunuhan adalah pisau atau golok, dan bukan pembunuhnya. Pembunuh itu tentunya tidak salah, benda yang digunakannya itulah yang salah. Jika analogi ini terdengar aneh dan konyol, begitu pula pelarangan dan pengharaman atas benda-benda tertentu yang nyata-nyata tidak ditujukan untuk hal-hal negatif, tetapi kemudian digunakan secara negatif oleh pemakainya.

Kemajuan zaman dan modernisasi peradaban, serta kebudayaan manusia, tak pernah bisa dilepaskan dari kemajuan dan modernisasi teknologi. Ini hukum alam yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Lawanlah hukum alam ini, jika ingin kembali hidup di gua-gua dan berburu binatang buas di hutan-hutan—dan kembalilah ke masa purbakala.

Penciptaan teknologi yang menyentuh peradaban manusia ditujukan untuk memudahkan kehidupan manusia. Jika kemudian teknologi itu disalahgunakan, manusia penggunanya yang perlu disadarkan. Aturan mainnya sudah jelas dan sederhana; gunakanlah kemajuan teknologi dengan baik dan penuh tanggung jawab, ATAU haramkanlah dan kembalilah hidup di gua-gua seperti kakek dan nenek moyang kita.

Omong-omong, saya sangat miris ketika melihat iklan operator yang memberikan bonus 1.000 SMS gratis setiap hari kepada para konsumennya. Saya miris, karena membayangkan, orang macam apa yang berkirim SMS sampai seribu kali dalam sehari?

Miris hati saya belum reda atas iklan 1.000 SMS gratis itu, tiba-tiba muncul lagi iklan dari operator lain yang menawarkan bonus 10.000 SMS gratis setiap hari. Makhluk macam apa yang mengirimkan SMS sampai sepuluh ribu kali setiap hari? Jika ada manusia yang sampai berkirim SMS sebanyak itu, dia perlu dibawa ke laboratorium untuk diteliti apakah dia benar-benar manusia, ataukah makhluk dari planet lain yang menyerupai manusia.

Saya tidak menyalahkan operator yang memberikan tawaran menggiurkan semacam itu. Namanya juga persaingan bisnis, mereka tentunya berlomba-lomba meraih konsumen sebanyak-banyaknya, dan karenanya berupaya semaksimal mungkin memanjakan konsumen atau calon konsumennya. Tetapi, yang membuat saya tidak habis pikir adalah orang-orang yang menggunakan fasilitas itu dengan “lugu”.

Mentang-mentang diberi 1.000 atau 10.000 SMS gratis, mereka menghabiskan umur dan hidupnya hanya untuk mengetik SMS di ponselnya—dan merasa menyesal jika sampai tidak menghabiskan jatah yang telah diberikan. Ini aneh, pikir saya. Dan konyol. Juga lucu.

Marilah kita berpikir secara jernih, dengan menggunakan akal pikiran manusia waras, bahwa hidup tidak sekadar untuk kirim-kiriman SMS. Juga tidak sekadar untuk update status di Facebook. Juga tidak sekadar untuk hal-hal tidak penting melalui BlackBerry. Dan… yang lebih penting lagi, hidup tidak sekadar untuk membaca catatan ini.

Marilah belajar menjadi manusia waras. Biarkan saja Facebook berjaya menjadi situs jejaring sosial paling spektakuler di dunia. Biarkan saja BlackBerry memudahkan banyak urusan kita. Biarkan saja operator memanjakan kita dengan seribu, atau sepuluh ribu, atau bahkan sejuta SMS gratis yang diberikannya. Tapi tidak usah terlena. Jaga saja akal waras kita, karena hidup ini tidak sekadar ditentukan oleh semuanya itu. Meminjam istilah bijak almarhum Gus Dur, “Gitu aja kok repot!”

Facebook, BlackBerry, dan “Barang Haram” Lainnya (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sekolah. Oh ya, saya tidak salah ketik. Sekolah juga perlu dilarang, karena sepertinya sekolah juga mendatangkan hal-hal yang negatif. Sudah berkali-kali terjadi tawuran antarpelajar sekolah. Karenanya, sekolah harus dilarang. Jika sekolah sudah tidak ada lagi, maka tawuran antarpelajar sekolah juga pasti tidak ada lagi. Tolong, selamatkan generasi muda kita!

Perguruan tinggi. Kalau sekolah saja perlu dilarang, apalagi perguruan tinggi! Bubarkan saja semua kampus dan perguruan tinggi yang ada, karena institusi ini sepertinya menciptakan banyak masalah. Biaya pendaftaran dan ongkos kuliah yang mencekik leher, kualitas pendidikan yang tidak beres, banyaknya lulusan yang frustrasi, sampai aktivitas-aktivitas tak terpuji yang dilakukan para insan kampus. Jika kampus dan perguruan tinggi dilarang, maka tidak akan ada lagi sejumlah masalah yang biasa dialami oleh mahasiswa dan orang-orang di kampus lainnya.

Mobil. Ya, ya, mobil juga harus dilarang, karena benda ini sudah berkali-kali mencabut nyawa orang yang tertabrak olehnya, baik disengaja ataupun tidak. Sudah tak terhitung banyaknya orang yang mati karena mobil. Sungguh, sudah selayaknya mobil dilarang atau bahkan diharamkan, karena nyata-nyata telah menyebabkan banyak kematian orang.

Sepeda motor. Benda ini memang lebih kecil dari mobil. Tapi sepeda motor juga tidak kalah ganas dibanding mobil. Coba tanyakan ke kantor kepolisian mana pun di negeri ini, pasti mereka akan memberikan setumpuk bukti tentang banyaknya kecelakaan lalu-lintas yang melibatkan sepeda motor, yang berakibat kematian orang, cacat fisik, ataupun menyebabkan korbannya menginap di rumah sakit. Sepeda motor itu barang berbahaya—karenanya harus dilarang.

Tinta printer. Jangan dikira barang yang satu ini tidak berbahaya. Tinta printer juga dapat menyebabkan hal-hal yang mengerikan. Minggu lalu, saya baca di koran, ada orang yang mencoba bunuh diri dengan cara meminum tinta printer. Soal apakah rencana bunuh dirinya berhasil atau tidak, saya tidak tahu. Tetapi itu sudah menunjukkan indikasi kalau tinta printer mendorong orang untuk merencanakan tindak bunuh diri—karenanya harus dilarang, atau diharamkan.

Telur asin yang ada stempelnya. Empat hari yang lalu, anak tetangga saya menimpuk kawannya dengan sebutir telur asin yang ada stempelnya. Gara-gara itu, masing-masing orangtua si anak jadi bertengkar karena saling membela anaknya masing-masing. Soal siapakah yang benar atau siapa yang salah, saya tidak tahu. Yang jelas, insiden itu dipicu dari timpukan yang melibatkan telur asin yang ada stempelnya. Karenanya, telur asin yang ada stempelnya harus dilarang. Lalu bagaimana dengan telur asin yang tidak ada stempelnya? Untuk hal itu, saya serahkan pada kebijakan pejabat yang berwenang.

Korek api dan korek gas. Dua benda inilah yang menjadi biang keladi munculnya rokok. Jika tidak ada korek api dan korek gas, maka rokok tidak akan ada, karena bagaimana bisa merokok kalau tidak ada api untuk menyulutnya. Karenanya, untuk mengharamkan rokok dengan efektif, haramkan dulu korek api dan korek gas, agar orang tak bisa merokok lagi. Kalau korek api dan korek gas sudah tidak ada, otomatis rokok juga akan hilang sendiri, karena para perokok tak akan bisa merokok lagi. Kalau kemudian mereka mencoba membuat api dengan menggunakan batu, maka batu juga perlu diharamkan.

Lanjut ke sini.

Facebook, BlackBerry, dan “Barang Haram” Lainnya (1)

Peradaban adalah suatu gerakan dan bukan keadaan,
suatu perjalanan dan bukan pelabuhan.
—Arnold J. Toynbee


Ketika muncul berita tentang rencana pengharaman Facebook di Indonesia beberapa waktu yang lalu, saya benar-benar tertarik. Jadi saya pun sempat mengikuti beritanya. Yang saya tahu dan yang saya baca dari berita-berita itu, konon, rencana pengharaman itu bermula karena orang sering lupa hal-hal lain kalau sudah asyik ber-Facebook-ria.

Saya sendiri tidak paham di mana letak keasyikan aktivitas “ber-Facebook-ria”, karena saya tidak terlalu aktif di Facebook. Tetapi, kalau sampai ada pihak-pihak yang ingin mengharamkannya, saya bisa membayangkan sekuat apa sihir Facebook dalam melenakan penggunanya. Nah, apakah sekarang Facebook sudah benar-benar dinyatakan haram, ataukah makruh, atau mubah, atau bahkan sunah, saya tidak tahu—karena saya tidak lagi mengikuti beritanya.

Sekarang, saya teringat soal pengharaman Facebook tersebut, gara-gara membaca berita mengenai pelarangan penggunaan BlackBerry di Arab Saudi. Komisi Teknologi Informasi dan Komunikasi Arab Saudi memerintahkan tiga layanan telepon genggam di kerajaan itu untuk menutup jasa layanan BlackBerry. Alasannya tak jauh beda dengan alasan pengharaman Facebook di Indonesia, yakni karena “telepon pintar tersebut memberikan dampak negatif pada generasi muda”—begitu yang diungkapkan oleh para pendukung pelarangan itu.

Menurut mereka yang mendukung pelarangan BlackBerry di sana, BlackBerry dinyatakan sebagai “biang masalah” bagi anak-anak muda. Anak-anak muda yang dimaksudkan adalah para pelajar dan mahasiswa, yang sepertinya tidak bisa lepas dari piranti canggih itu, sehingga sering terlena dan lupa pada segala-galanya kalau sudah “ber-BlackBerry-ria”.

Ini aneh, pikir saya. Dan konyol. Juga lucu.

Kalau suatu benda diciptakan untuk maksud dan tujuan positif, dan kemudian ternyata digunakan untuk hal yang negatif, kira-kira siapakah yang seharusnya bertanggung jawab? Benda itu—ataukah penggunanya? Sepertinya tidak perlu seorang profesor untuk dapat menjawab pertanyaan itu.

Kalau saya membuat pisau dengan tujuan untuk mengupas bawang, tapi kemudian pisau itu digunakan orang lain untuk menggorok leher orang, siapakah yang harus bertanggung jawab? Tentu saja pelaku penyalahgunaan pisau itulah yang bertanggung jawab, kan? Dia telah memperlakukan sesuatu dengan tidak semestinya—menggunakan pisau pengupas bawang untuk menggorok leher orang. Pisau ataupun pembuatnya sama sekali tak bersalah, karena dia tak memaksudkan pisau buatannya untuk tujuan negatif semacam itu.

Jadi, kalau Facebook diharamkan dan BlackBerry dilarang dengan alasan karena kedua benda itu disalahgunakan oleh orang-orang yang memakainya, saya pikir itu aneh. Dan konyol. Juga lucu.

Dan kalau Facebook atau BlackBerry dilarang serta diharamkan karena dasar alasan seperti di atas, maka kita bisa menyusun setumpuk daftar benda dan hal lain yang rasanya juga perlu dilarang dan diharamkan. Contohnya seperti berikut:

Buku. Buku perlu dilarang, karena saya sering lupa pada segala-galanya kalau sudah berdekatan dengan buku, apalagi kalau sudah asyik membacanya. Jika buku tidak dilarang, masa depan generasi muda akan terancam—khususnya masa depan saya.

Komputer dan laptop. Benda ini juga perlu dilarang, karena orang sering lupa berdiri kalau sudah duduk di depan komputer atau laptop. Selain itu, banyak orang yang menyimpan film bokep dalam harddisk komputernya. Jika komputer dan laptop tidak dilarang, masa depan generasi muda akan terancam—khususnya genarasi muda yang suka menyimpan film bokep di komputernya.

Internet. Haduh, barang yang satu ini harus segera dilarang dan diharamkan, karena internet adalah sumber maksiat! Orang bisa berjudi lewat internet, bisa selingkuh lewat internet, dan segala macam kejahatan bisa terjadi di sini—dari pembobolan rekening orang sampai negosiasi prostitusi. Internet juga menjadi sarana paling ampuh dalam hal penyebaran pornografi. Intinya, internet dan segala isinya adalah sumber maksiat nomor satu di dunia, karenanya harus segera diharamkan.

Lanjut ke sini.

Lima Puluh



Sepertinya bukan jumlah, tapi takaran
Tak bisa kulupakan—sampai sekarang

Aku risau…
…semoga saja aku keliru


Rabu, 18 Agustus 2010

Printerku Sayang, Catridku Sialan

Hidup berasal dari pola yang tidak masuk akal.
—Margot Fonteyn


Siapa pun yang biasa bekerja dengan komputer dan printer pastilah kenal dengan catrid. Catrid bukan nama orang, dia adalah sebuah tabung kecil—biasanya terbuat dari kemasan plastik—yang berfungsi sebagai tempat tinta, dan terletak di salah satu bagian printer. Jika ditulis dengan benar, maka catrid adalah catridge.

Nah, catrid atau catridge ini adalah alat vital bagi sebuah printer, karena jika catrid tidak ada, maka printer tidak berguna. Artinya, sehebat apa pun sebuah printer, dia tidak bisa mencetak tanpa adanya catrid, karena—seperti yang tadi saya bilang—catrid berfungsi sebagai tangki tempat tinta printer berada. Jika catrid bermasalah, maka printer akan ikut bermasalah, dia tak bisa mencetak lagi.

Karena pekerjaan saya sehari-hari berhubungan dengan aktivitas cetak-mencetak, maka wajarlah kalau saya benar-benar membutuhkan mesin printer. Untuk menunjang kelancaran pekerjaan, saya bahkan menggunakan printer yang lumayan canggih, dan si printer ini dapat dipakai untuk mencetak, scanner, juga bisa dipakai sebagai alat fotokopi. Kata penjualnya dulu, printer ini termasuk 3 in 1.

Tetapi, sekali lagi, secanggih apa pun sebuah printer, tetap saja dia tak bisa lepas dari peran catrid. Sehebat apa pun sebuah printer, dia tetap tak dapat berfungsi baik tanpa catrid di dalamnya.

Nah, yang jadi masalah, catrid yang dari tadi saya sebut-sebut ini harganya mahal sekali. Saking mahalnya, sampai-sampai saya sering berpikir kalau harga catrid sungguh tak masuk akal. Coba bayangkan, sebuah tabung kecil segitu saja, harganya mencapai lima ratus ribu rupiah, atau setengah juta. Saya ulangi, setengah juta!

Okelah, barangkali setengah juta bukan jumlah besar. Tetapi jika uang sejumlah itu hanya untuk beli catrid, rasanya kok tetap saja terasa kemahalan. Saya tidak tahu printer apa yang kaugunakan, dan saya pun tidak tahu berapa harga catrid untuk printermu. Tetapi, sejumlah itulah yang menjadi harga catrid printer saya, dan saya merasa perlu untuk menuliskan catatan ini untuk melampiaskan kedongkolan saya.

Ya, ya, saya lagi dongkol—karena catrid printer saya sedang eror. Jadi, printer yang saya pakai menggunakan dua tabung catrid. Satu untuk tinta hitam, dan satu lagi untuk tinta warna. Dua tabung catrid ini letaknya saling berdampingan di dalam printer. Yang jadi masalah, jika salah satu tabung ini ada yang tidak berfungsi (baca: harus diganti), maka pinter itu akan benar-benar ngadat dan tidak bisa dipakai. Artinya, printer baru akan mau bekerja lagi apabila satu catrid yang tidak beres tadi sudah diganti.

Saya pikir ini tidak adil.

Kemarin, catrid untuk tinta warna di printer saya menunjukkan indikator sudah perlu diganti. Saya tahu hal ini, karena ketika saya akan mencetak, printer mengirimkan pesan ke layar monitor dalam bentuk kotak dialog yang menyatakan bahwa printer tak bisa beroperasi, karena catrid untuk tinta warna perlu diganti.

Lhah, padahal waktu itu saya mau mencetak naskah, dan tentunya hanya menggunakan tinta hitam, tanpa sedikit pun melibatkan tinta warna ataupun catridnya. Tapi printer tidak mau bekerja, tak peduli apakah saya perlu tinta warna atau tidak, yang penting saya harus mengganti dulu catrid tinta warna jika menginginkannya bekerja. Sekali lagi, ini benar-benar tidak adil!

Kalau saja printer itu bisa bicara, saya akan berkata kepadanya, “Hei, pal, aku kan hanya perlu mencetak tulisan yang pakai tinta hitam. Kenapa aku harus mengganti catrid untuk tinta warna?!”

Kalau printer itu bisa bicara, saya pun membayangkan dia akan menjawab, “Jadi begini, sobat, aku memang tahu kau cuma ingin mencetak naskah yang hanya memerlukan tinta hitam. Tapi, bagaimana pun, kau harus mengganti catrid yang tinta warna dulu, agar aku bisa bekerja kembali.”

Dan saya akan berteriak, “Tapi apa hubungannya, coba?! Aku tidak membutuhkan tinta warna sekarang—aku hanya perlu mencetak dengan tinta hitam! Kenapa aku harus mengganti catrid yang tinta warna? It’s okay, aku akan mengganti catrid yang tinta warna—tapi tidak sekarang! Sekarang aku perlu mencetak naskah ini secepatnya, dan tolong bekerjalah, printer sialan!”

Printer itu masih tenang, dan berkata dengan ketenangan yang sama, “Maafkan aku, sobat. Bukannya aku tidak mau memenuhi keinginanmu. Sungguh, suatu kehormatan bagiku membantumu mencetak naskah-naskahmu yang kelak akan dibaca banyak orang ketika telah menjadi buku. Percayalah, aku senang membantumu. Tetapi, ini peraturan dari pabrik yang telah menciptakanku. Bagaimana pun, dua catrid dalam diriku harus dalam keadaan sama-sama beres, jika kau ingin menggunakanku.”

“Tapi, printer…” saya memotong tak sabar.

“Listen, dengarkan aku,” sahut printer dengan suara yang tenang dan mekanis, tapi terdengar tak bisa dibantah. “Aku tahu apa yang akan kaukakatan. Kau hanya memerlukan catrid tinta hitam, dan sama sekali tidak memerlukan catrid tinta warna, untuk saat ini. Look, aku memahami apa yang kaurasakan. Tapi cobalah pahami posisiku. Aku tidak bisa bekerja, jika kedua atau salah satu catrid dalam keadaan tidak beres—tak peduli catrid mana yang tidak beres. Yang jelas, aku baru bisa bekerja kembali jika kedua catrid dalam diriku beres semua. Jadi, kalau kau menginginkanku bekerja sekarang, tolonglah ganti catrid yang tidak beres terlebih dulu—tak peduli apakah catrid itu kauperlukan atau tidak.”

Jadi saya pun terdiam—itu ucapan yang tidak bisa dibantah. Dan seperti yang tadi saya bilang, ini benar-benar tidak adil! Bagaimana bisa dibilang adil, coba? Saya harus membeli sesuatu untuk hal yang jelas-jelas tidak saya butuhkan! Saya harus membeli catrid tinta warna, hanya untuk tujuan agar printer dapat bekerja, padahal yang saya perlukan cuma mencetak naskah yang seratus persen HANYA menggunakan catrid tinta hitam!

Ketika seseorang berada dalam posisi seperti ini, rasanya kok wajar kalau dia merasa telah diperlakukan tidak adil. Kalau kau dipaksa untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kaulakukan, tentunya wajar kalau kau merasa telah diperlakukan tidak adil. Jadi, saya telah diperlakukan tidak adil oleh printer saya. Atau, lebih tepat lagi, oleh pabrik pembuat printer saya!

Oke, oke, saya menyadari bahwa ketika membeli printer itu, saya pun telah memahami cara kerjanya. Saya telah membaca buku manualnya, dan di buku manual tersebut sudah dijelaskan bahwa kedua catrid harus dalam keadaan beres jika menginginkan printer dapat bekerja—tak peduli catrid mana yang diperlukan dalam bekerja. Si penjual pun sudah meyakinkan saya, bahwa printer itu tergolong printer high end, jadi saya tidak perlu meragukan kehebatannya.

Oh ya, printer yang saya pakai itu memang tidak perlu diragukan kehebatannya. Dia dapat bekerja dengan cepat sekaligus sempurna—kualifikasi yang benar-benar memenuhi standar kerja saya. Tetapi catridnya…! Catridnya itu yang benar-benar mencekik leher! Setiap kali perlu ganti satu catrid, saya harus mengeluarkan uang setengah juta! Jika kebetulan dua catrid sekaligus yang eror dan perlu diganti, saya harus menyiapkan uang satu juta!

Satu juta hanya untuk membeli catrid? Omigod, sepertinya ini tidak masuk akal!

Dan kenyataan yang tidak masuk akal semacam itulah yang kemarin saya alami. Jadi, kemarin malam, saya perlu mencetak naskah yang baru saya selesaikan. Maka saya pun menghidupkan printer, menyiapkan kertas, dan membayangkan sesaat lagi printer hebat itu akan segera memuntahkan tumpukan kertas yang telah tercetak tulisan saya di atasnya.

Tapi ternyata saya salah duga. Beberapa detik setelah hidup, printer itu mengirimkan “tanda bahaya” ke monitor, dan mengabarkan bahwa catrid tinta warna perlu diganti—dan dia tidak bisa bekerja sekarang.

Saya harus mengakui, bahwa ini bukan pertama kalinya saya harus mengganti catrid printer. Jika dihitung-hitung, ini sudah kelima kalinya sejak saya menggunakan printer yang “hebat” itu. Dan setiap kali saya “dipaksa” untuk mengganti catrid—tak peduli yang hitam ataupun yang warna—selalu saja saya merasa ini tidak adil. Harganya itu, lho! Masak sih harga catrid saja kok sampai setengah juta…???

Saya bisa memaklumi jika ponsel atau gadget semacamnya berharga mahal, karena ponsel atau gadget melibatkan proses pembuatan yang rumit dan bahan-bahan yang juga mahal. Tapi catrid…? Jika dilihat secara kasatmata, catrid itu kan hanya dibuat dari plastik, plus sedikit magnet dan semacamnya di bagian pinggir, plus sedikit tinta di dalamnya. Di mana letak mahalnya? Apa yang menjadikannya mahal, coba?

Bahkan, menurut teman saya, plastik yang dipakai untuk membuat catrid itu bisa saja terbuat dari bekas ember rusak, atau plastik bekas botol minuman yang didaur ulang. Toh hanya untuk tabung tinta ini. Yeah, teman saya mungkin saja keliru. Tapi semahal-mahalnya plastik untuk membuat catrid, masak sih harganya sampai setengah juta? Ponsel saja ada yang harganya cuma dua ratusan ribu, kan?

Tapi, semahal apa pun, setidak masuk akal apa pun, bagaimana pun juga sekarang saya harus membeli catrid baru—karena saya perlu mencetak naskah saya! Maka, besoknya, siang-siang, saya pun berangkat ke toko komputer langganan buat beli catrid. Padahal, kalau mau menuruti kehendak hati, saya tidak ingin keluar rumah sedikit pun. Siang hari itu panas sekali.

Jadi begitulah. Dengan perasaan teraniaya, saya pergi ke toko komputer yang jaraknya cukup jauh dari rumah, dan saya harus kembali merasa teraniaya. Toko komputer itu tutup!

Hebat sekali, pikir saya. Sudah jauh-jauh dari rumah, sudah rela menarik uang cukup banyak dari ATM, sudah rela berpanas-panas, sudah rela memendam kedongkolan karena catrid, dan sekarang toko yang saya tuju ternyata tutup. Apa yang lebih hebat dari ini, coba…?

Saya mendekati tukang parkir yang mangkal di sana, dan dengan sedikit dongkol saya bertanya, “Bang, kenapa nih, kok tutup tokonya?”

Si tukang parkir memandang saya sambil tersenyum, kemudian mengucapkan kata-kata yang benar-benar tidak saya duga. “Situ pasti bukan orang Indonesia, ya?”

“Hah…?” Saya terkesima. “Emang, apa hubungannya?”

“Yah, ini kan tanggal merah,” ujar si tukang parkir. “Maksud saya, toko ini tutup, karena ini kan tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.”

Hebat, pikir saya. Hanya gara-gara catrid, saya sampai lupa kalau negeri saya sedang berulang tahun merayakan kemerdekaannya. Sepertinya, sepanjang berhubungan dengan catrid, saya bukan warga negara yang baik.

Selamat ulang tahun, negeriku. Meski perayaan 17-an di kampung-kampung kelihatannya semakin sepi dari tahun ke tahun, namun semoga Indonesia menjadi bangsa yang semakin baik. Dan, omong-omong, tolong turunkan harga catrid!

Flèur l’Epàc (Edit Version)

….
….

“Menurutmu, kenapa mereka tertawa-tawa gembira?”

“Karena menyaksikan orang baru yang ikut terjebak seperti mereka.”

“Ironi yang jahat.”

“Really? Kenapa dari dulu tidak ada yang mengingatkan? Kenapa dari dulu tidak ada yang cukup baik hati menyatakan, ‘Hei, jangan ikuti kami. Menjauhlah, yang kalian lihat tidak seperti tampaknya. Pergilah, ini jebakan!’ Tidak ada yang berkata seperti itu. Alih-alih mengingatkan, mereka justru merayu-rayu orang lain agar ikut masuk ke dalam jebakan.”

“Oh, kamu mengingatkanku pada kisah iblis yang mencari kawan sebanyak-banyaknya, agar punya banyak teman di neraka.”

“Hahahaha… Ironi yang jahat!”

“Oh, tolong, jangan meledek begitu.”

“Oke, jadi, kenapa mereka tertawa-tawa gembira?”

“Hahaha… Sebenarnya sih ini hanya soal ketidaktahuan…”

“Oh ya, ketidaktahuan yang bergabung dengan keingintahuan—kita sudah membahasnya jutaan kali. Tetapi kenapa kenyataan semacam ini tak pernah berubah? See, makin hari semakin banyak. Mereka melihat, menyaksikan, tapi tak pernah belajar.”

“Apa lagi yang harus kita perbuat? Kita tidak bisa teriak-teriak seperti yang kamu maksud. Kalau pun kita melakukannya, belum tentu ada yang percaya. Jangan lupa, kita belum pernah masuk ke sana. Jadi apa pun yang kita katakan, orang tidak akan terlalu menghiraukan, karena mereka pikir semua ini hanya opini subjektif.”

“Tak ada yang lebih mengerikan dibanding ini…”

“Agree. Mau es krim?”

“Ya.”

“Salad?”

“Uh, sejak kapan orang makan es krim dengan salad?”

“Hahaha… Jadi, ayo kita gembira. Yeah, pura-pura tak tahu saja.”

….
….

“Es krimnya enak.”

“Oh, jangan mulai.”

“Tidak—es krimnya benar-benar enak. Lembut. Aku bisa menghabiskan satu gelas lagi, meski nanti harus minum pil sakit kepala sesampai di rumah.”

“Sakit kepalamu belum sembuh?”

“Uh, sepertinya tidak akan sembuh.”

“Hei, kenapa kamu tidak pernah terpikir, hal itu dapat disembuhkan dengan obat yang tepat?”

“Dan obat yang tepat itu…?”

“Ikut masuk ke sana.”

“Ironi yang jahat.”

“Tidak—siapa tahu bisa jadi terapi yang bagus?”

“Terapi yang bagus—kedengarannya seperti hipotesis meyakinkan. Jadi, aku berusaha menyembuhkan sakit kepalaku dengan cara menyakiti kepala orang lain? Berharap mendapatkan setitik air dengan menggali sumur dan membendung lautan? Mempertaruhkan hidupku hanya untuk main tebak semangka? Tesis yang genius!”

“Hahaha… senang sekali bisa menyaksikanmu sinis begitu! Mau es krim lagi?”

“Ya, dan salad.”

“Sejak kapan orang makan es krim dengan salad?”

“Sejak sekarang.”

“Hahahaha…!!!”

….
….

Di bagian lain, orang-orang berbisik, “Kenapa dua orang itu tampak tertawa-tawa begitu?”

“Apa anehnya? Di tempat dan acara seperti ini, semua orang tertawa gembira.”

….
….

Dan detik terus berdetak—ada yang menunggunya. Pada batasnya. Mawar putih berjatuhan. Kesegaran dihempas badai angin dan hujan. Tanah-tanah taman diterjang prahara. Dan langit menangis…

Saat Terbaik untuk Mati



Aku tidak tahu tentang kematian,
karena aku belum pernah mati

Tapi,
kupikir,

Mati di saat belajar
adalah saat terbaik untuk mati


Dari Mahabharata sampai Kamasutra



Seperti yang sudah saya janjikan di post terdahulu, berikut ini adalah beberapa pertanyaan lain seputar buku yang sudah dikirimkan teman-teman ke email saya.

Untuk pertanyaan-pertanyaan yang belum muncul, silakan tunggu di post yang lainnya. Hatur nuhun.

***

Sejak dulu saya ingin sekali membaca kisah Mahabharata, juga Ramayana. Sepertinya kedua epos itu sangat terkenal dan banyak dikutip para penulis. Siapa sebenarnya penulis kedua epos besar itu? Apakah buku Mahabharata dan Ramayana juga masuk ke Indonesia dalam bentuk terjemahan?

Epos Mahabharata ataupun Ramayana ditulis oleh orang yang sama, yaitu C. Rajagopalachari. Edisi terjemahannya sudah diterbitkan di Indonesia.


Para kutubuku di dunia saat ini kan lagi hangat-hangatnya membicarakan buku ‘The Man Who Loved Books too Much’. Saya gabung di milis dan sempat ikut ngobrol soal buku ini, tapi masih bingung apa sebenarnya isinya. Nah, apakah edisi terjemahan buku ini sudah masuk ke Indonesia?

Selamat datang di dunia para kutu! ‘The Man Who Loved Books too Much’ memang sedang menjadi buah bibir para kutubuku sedunia. Saya tidak akan menceritakan apa isinya, karena sama saja akan merenggut keasyikanmu saat nanti membacanya. Yang jelas, edisi terjemahan buku itu sudah masuk ke Indonesia. Selamat berburu!


Di post tanya-jawab soal buku terdahulu, kamu sempat menjelaskan soal novel Umberto Eco (The Name of The Rose). Terus, aku dengar kalau novel itu memiliki buku kunci (key-book) yang menjelaskan maksud-maksud tersembunyi Umberto Eco di dalam novel itu. Apa benar begitu? Kalau memang ada buku kuncinya, apakah buku tersebut sudah masuk ke Indonesia (dalam bentuk terjemahan)?

Benar, novel ‘The Name of The Rose’ memang memiliki buku kunci, berjudul ‘The Key of The Name of The Rose’. Edisi terjemahannya sudah masuk ke Indonesia, berbarengan dengan terbitnya edisi terjemahan novel itu.


Saya sangat ingin membaca biografi Che Guevara (jangan diketawain!). Tolong dong kasih rekomendasi buku apa yang paling lengkap dan paling bagus yang mengulas kisah hidup Che Guevara—tentu yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Salah satu buku biografi Che Guevara yang bagus dan cukup lengkap adalah yang ditulis Jorge Castaneda. Edisi Indonesianya berjudul ‘Hidup, Cinta, dan Kematian Che Guevara’. Isi buku ini berimbang dan objektif, dalam arti tidak membesar-besarkan, juga tidak sinis.


Da’, di post tanya-jawab soal buku terdahulu, kamu kan memberi saran untuk mencari buku-buku di pasar Shopping Yogyakarta atau di los buku di pasar Johar Semarang, jika kesulitan mencari buku-buku yang sudah tidak ada di toko-toko buku konvensional. Nah, saya tinggal di Gresik. Bisakah kamu kasih saran, dimana saya dapat mencari buku-buku yang sudah tak tersedia di toko buku konvensional? Misalnya di Surabaya, atau di daerah lain yang dekat dengan Gresik? Karena saya juga sedang mencari beberapa buku yang saat ini sudah tak tersedia di toko-toko buku.

Waduh, untuk daerah sekitar Surabaya, mohon maaf—saya tidak bisa memberikan rekomendasi atau saran. Saya bahkan masih asing dengan Surabaya, jadi benar-benar tidak tahu di daerah mana yang menyediakan buku semacam di pasar Shopping Yogya. Untuk teman-teman di Surabaya atau di Jawa Timur, mungkin ada yang bisa membantu…?


Saya penasaran sekali dengan literatur Kamasutra. Apakah benar literatur Kamasutra ditulis oleh orang India? Apakah literatur Kamasutra sudah diterbitkan dalam bentuk buku? Siapa sebenarnya nama penulis literatur itu? Dan apakah ada edisi terjemahan (Indonesia) atas literatur Kamasutra?

Benar, Kamasutra memang ditulis oleh orang India, bernama Vatsyayana. Buku Kamasutra sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.


Igau



Apa… Apa… Apa…


Kamis, 12 Agustus 2010

Diponegoro, Jiwa nan Merdeka

Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa,
tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa merdeka.
Soekarno

Percayalah takdir akan melahirkan masa depan yang baik.
Percayalah kemerdekaan akan menciptakan hal-hal positif jangka panjang.
Ayn Rand


Jauh-jauh hari sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya dari tangan penjajah, Pangeran Diponegoro telah menjadi sesosok manusia yang merdeka. Di tengah hiruk-pikuk peperangan dan keadaan yang menyusahkan, Diponegoro hidup dengan sepenuh kemerdekaan—suatu rasa kemerdekaan yang hanya dapat dipahami, dan dimiliki, oleh orang yang mengetahui arti kemerdekaan sesungguhnya.

Suatu kemerdekaan yang sejati, dan hakiki.

Sebagai pejuang, Diponegoro adalah pejuang yang sulit ditangkap, apalagi ditundukkan dan dikalahkan. Segala macam cara telah dilakukan Belanda untuk dapat mengalahkannya, tetapi Diponegoro beserta pasukannya yang militan selalu lolos dari lubang jarum, seolah bumi selalu memberikan tempat perlindungan bagi mereka.

Hingga kemudian, Belanda menggunakan taktik licik yang menjadi ciri khasnya—menjebak Pangeran Diponegoro dengan cara yang sangat tidak ksatria. Belanda mengirimkan undangan pada Diponegoro, yang isinya permintaan berunding untuk menghentikan peperangan di antara mereka.

Ketika mendapatkan undangan itu, Diponegoro menanggapinya dengan hati bersih. Dengan itikad baik ia memenuhi undangan itu. Dengan itikad baik pula ia duduk di salah satu kursi di ruang kantor yang telah disediakan untuknya, tempat ia akan berunding dengan para pejabat Belanda. Tetapi Diponegoro dikhianati.

Ketika Diponegoro telah duduk dan bersiap untuk berunding, seorang pejabat Belanda mengambil pistol dan menempelkannya ke pelipis Diponegoro. Kemudian, dengan suara dingin, Belanda itu berkata, “Kau kira dengan keris dan tombakmu itu kau bisa mengalahkan senjata-senjata modern kami? Kau kira dengan bambu runcingmu yang kuno itu kau bisa mengalahkan tank-tank pasukan kami…?”

Tak perlu dikatakan bagaimana murkanya Diponegoro menghadapi pengkhianatan itu. Dengan mata yang merah membara, Diponegoro menjawab dengan suara yang sama dinginnya, “Kau tidak paham, kan?” kata Diponegoro dengan suara menahan amarah. “Aku ini pejuang! Sebagai pejuang, tugasku adalah berjuang. Soal kalah atau menang, itu bukan urusanku, karena tugasku adalah berjuang!”

“Aku adalah pejuang! Sebagai pejuang, tugasku adalah berjuang. Soal kalah atau menang, itu bukan urusanku, karena tugasku adalah berjuang!”

Kata-kata yang diucapkan Pangeran Diponegoro itu seharusnya dicetak di baliho-baliho, di poster-poster, di papan-papan besar, dan ditancapkan serta dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Kata-kata yang diucapkan Pangeran Diponegoro itu seharusnya ditempelkan di setiap kelas sekolah, di ruang-ruang kuliah, di kantor-kantor mana pun, bahkan seharusnya juga tertempel di setiap dinding kamar anak-anak muda di Indonesia.

Itu adalah kata-kata yang keluar dari bibir seorang pejuang sejati, manusia sejati, sosok seorang yang benar-benar memahami arti kemerdekaan yang hakiki. Tidak ada pretensi, tidak ada ekspektasi—yang ada hanyalah semangat dan ketulusan dalam menjalankan tugas hidup yang telah dipilihnya, tugas hidup yang telah dibebankan alam semesta ke pundaknya.

Benar bahwa perjuangan melawan penjajahan berarti mengharapkan kemenangan dan kemerdekaan. Benar bahwa para pejuang dan para pahlawan menginginkan kebebasan di atas tanah bumi yang merdeka. Tetapi tidak ada kebebasan sebuah bangsa sebelum setiap pejuang memerdekakan dirinya. Tidak ada kemerdekaan atas sebuah negara sebelum ada kebebasan dalam hati manusia yang tinggal di dalamnya.

Diponegoro telah memerdekakan dirinya sendiri sebelum dia berjuang memerdekakan bangsanya. Diponegoro telah membebaskan dirinya sendiri sebelum dia berperang membebaskan tanah pertiwi yang dicintainya. Ketika seorang manusia telah merdeka dan terbebas dari segala belenggu kemanusiaannya, maka ia pun menjadi ringan melangkah dalam membebaskan segala sesuatu di luar dirinya—termasuk bangsa dan tanah buminya.

“Aku adalah pejuang,” kata Diponegoro. “Sebagai pejuang, tugasku adalah berjuang. Soal kalah atau menang, itu bukan urusanku, karena tugasku adalah berjuang!”

Itu adalah kata-kata penuh visi yang menggemakan spirit kemerdekaan dan kebebasan yang jernih—puncak kesadaran atas kebebasan yang dapat diraih manusia.

Dan visi Diponegoro adalah spirit yang seharusnya menjadi napas bagi denyut hidup bangsa ini. Sebagai pejuang, visi Diponegoro adalah berjuang—dan bukannya menang semata-mata. Karena dia meletakkan visi yang tepat atas perjuangannya, maka perjuangannya pun mendatangkan keberhasilan. Ketika visi yang benar diletakkan di atas pekerjaan yang benar, maka langit dan bumi akan menyaksikan sebuah keberhasilan.

Pesan Diponegoro begitu sederhana. Letakkan visi yang benar—yang mulia—atas apa pun yang kita lakukan, maka pekerjaan yang kita lakukan pun akan mendatangkan keberhasilan serta kemuliaan yang sama. Di sinilah esensi kemerdekaan yang hakiki. Ketika siapa pun sampai pada pemahaman seperti ini, ia akan terbebas dari segala belenggu hidup.

Visi, visi, visi—visi yang benar. Dan segalanya akan mengikuti.

Lakukanlah tugas kita—perjuangan kita—dengan sebaik-baiknya, maka apa pun yang kita lakukan dan kita kerjakan akan mendatangkan hasil yang sama. Sederhana, begitu sederhana.

Jika masing-masing orang mau meletakkan visi yang tepat dan benar sebagaimana Diponegoro meletakkan visinya atas perjuangan yang dilakukannya, maka masing-masing kita pun akan sampai pada tahap kebebasan diri. Jika masing-masing dari kita telah mampu meraih kebebasan diri, maka negeri yang kita cintai ini pun akan sampai pada tahap kemerdekaan yang sejati.

Tidak ada kemerdekaan tanpa kebebasan. Tidak ada kebebasan tanpa visi yang benar.

Tuangkan saja



Ya, tuangkan saja
Ke dalam gelas,
atau yang lainnya

Karena memang itulah kenyataannya
atau seharusnya—meski terpaksa

Tuangkan saja
Karena kemarin sudah sirna
Besok tidak ada sejarah
Hari ini segalanya

Sebagian orang hidupnya sudah selesai
Sebagian lagi hidupnya baru dimulai
Ini bukan soal usia, ini soal pilihan

Yang memilih selesai akan selesai
Yang memilih memulai akan memulai
Aku memilih, hidupku baru dimulai

Tuangkan saja
Hidup sudah berhenti
Bagi yang memilih berhenti
Tetapi mereka tertuang

Ke dalam gelas
atau yang lainnya


Mengapa Titi Kamal Tidak Menikah dengan Saya

Kebahagiaan berakar dalam batin,
dan ia tumbuh di atas ketenteraman jiwa.
Kurt Kauffman


Apakah hidup ini adil? Menurut saya, hidup ini memang adil. Semakin memikirkan dan merenungkannya, saya semakin yakin hidup ini memang adil.

Lalu apa buktinya kalau hidup ini adil?

Barangkali saya subjektif, dan catatan ini pun mungkin akan terkesan sangat personal. Tetapi, keyakinan seseorang atas apakah hidup ini adil atau tidak, memang selalu dilandasi pada pemikirannya yang personal—bahwa penilaian seseorang atas adil atau tidaknya hidup ini pun tak pernah dapat disebut objektif.

Jadi, maafkan kalau alasan saya menyebut hidup ini adil juga terkesan subjektif dan personal. Namun, sesubjektif dan sepersonal apa pun, setiap orang punya hak untuk menilai dunia dan hidupnya sendiri sebagai adil atau tidak—dan berikut ini alasan mengapa saya menganggap hidup ini adil.

Saya punya beberapa alasan untuk meyakini hidup ini adil, dan salah satu alasannya adalah ini: Titi Kamal tidak menikah dengan saya!

Tidak, ini tidak bercanda. Ini benar-benar serius, dan Titi Kamal yang saya maksud di sini memang Titi Kamal yang artis terkenal itu.

Jadi, mengapa saya harus menganggap hidup ini adil karena Titi Kamal tidak menikah dengan saya? Berikut ini jawabannya. Namun, seperti yang telah saya katakan di atas, ini adalah jawaban personal.

Well, saya sangat mencintai belajar, dan sangat menikmati proses pembelajaran. Saya menganggap buku sebagai pasangan terbaik di dunia, dan belajar adalah aktivitas paling menyenangkan di muka bumi—setidaknya sampai saat ini. Di samping itu, saya juga jatuh cinta pada Titi Kamal. Benar, saya jatuh cinta pada Titi Kamal. Dan inilah awal mula persoalannya…

Karena sangat jatuh cinta kepadanya, saya sampai selalu membeli koran, tabloid, atau majalah apa pun yang kebetulan memuat Titi Kamal, entah sebagai sampulnya ataupun sekadar memberitakannya. Saya juga menonton hampir semua film yang diperankan Titi Kamal—bukan untuk menikmati filmnya, tetapi lebih pada menikmati pesonanya.

Lebih dari itu, setiap kali saya terhubung dengan internet, saya selalu saja tergoda untuk mencari informasi terbaru mengenai perempuan itu, dan aktivitas searching Titi Kamal di internet biasanya sampai menghabiskan waktu yang tak sedikit. Ini hanyalah sebagian kecil dari ‘kesibukan’ lain yang saya lakukan gara-gara kecintaan saya kepadanya. Pendeknya, saya tergila-gila kepadanya.

Sekarang kita lihat, betapa beratnya ‘beban’ yang harus saya tanggung gara-gara saya jatuh cinta kepada Titi Kamal. Padahal, Titi Kamal sama sekali tidak mengenal saya! Saya hanyalah satu di antara sekian juta laki-laki lain yang mungkin sama-sama tergila-gila kepadanya, yang juga sama-sama tidak dikenalinya. Tetapi, bahkan sebegitu pun, perasaan jatuh cinta kepadanya telah melahirkan beban yang cukup berat—khususnya bagi saya. Hingga ketika akhirnya Titi Kamal tidak menikah dengan saya, dan memilih Christian Sugiono untuk menjadi suaminya, maka saya pun sampai pada kesimpulan bahwa hidup ini memang adil.

Bagaimana hidup ini tidak adil? Coba bayangkan kalau umpama, entah bagaimana caranya, Titi Kamal menikah dengan saya! Bayangkan apa yang sekiranya akan terjadi kalau saya menjadi suami Titi Kamal, dan menghabiskan hidup bersamanya.

Saya membayangkan, saya pasti tidak akan sempat melakukan hal lain apa pun dalam hidup ini kalau kenyataan semacam itu benar-benar terjadi. Dari bangun tidur sampai tidur kembali, bahkan ketika tidur sekali pun, saya pasti akan sibuk sekali mengekspresikan cinta kepadanya, menyatakan ketakjuban atas pesona-pesonanya, dan saya pasti tak lagi memiliki waktu sedetik pun untuk melakukan hal lainnya. Jangankan sudah hidup bersama sebagai suami-istri, bahkan sekadar menjadi pengagumnya saja saya sudah repot terpusat kepadanya.

Saya tidak bisa lagi membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya menikah dengan Titi Kamal, atau Titi Kamal menikah dengan saya. Kalau kenyataan semacam itu benar-benar terjadi, saya pasti tak sempat lagi membaca buku, tak punya waktu lagi untuk belajar, tak punya waktu lagi untuk menulis, tak punya waktu lagi untuk merenung.

Jika saya menikah dengan Titi Kamal, maka seluruh hidup saya akan terpusat kepadanya, semua pikiran saya akan tercurah kepadanya, semua perasaan cinta saya akan mengalir kepadanya, seluruh diri dan hidup saya akan tergenggam di telapak tangannya, karena saya telah sangat jatuh cinta kepadanya.

Tidak, saya tidak ingin kenyataan semacam itu terjadi—dan saya benar-benar bersyukur karena kenyataan itu tidak terjadi. Secinta dan setergila-gila apa pun kepada Titi Kamal, saya tetap mensyukuri kenyataan bahwa saya tidak menikah dengannya. 

Jadi, ketika akhirnya Titi Kamal menikah dengan Christian Sugiono, saya pun sampai pada kesimpulan bahwa hidup ini memang adil, meskipun saya harus berterus-terang bahwa berita perkawinan mereka membuat saya patah hati karenanya.

Ya, ya, menganggap hidup telah berlaku adil tidak selamanya membuat kita secara otomatis berbahagia. Ada kalanya keadilan hidup ditunjukkan dengan perasaan patah hati, dan rasa terluka.

Siapa Suruh

Berubahlah sebelum engkau terpaksa berubah.
Jack Welch


Seseorang datang kepada filsuf, dan berkata, “Tuan Filsuf, saya bingung memikirkan hidup saya ini. Ada banyak sekali masalah yang saya hadapi—dari yang kecil, sampai yang besar. Apa nasihat Anda?”

“Tidak ada yang menyuruhmu begitu,” jawab si Filsuf.

“Tapi saya menjalani hidup saya sekarang ini karena ada yang menyuruh. Orang tua, lingkungan, kawan-kawan, tetangga—mereka semua, secara diam-diam atau terang-terangan—menyuruh saya agar menjalani hidup yang sekarang saya jalani, dan saya pun mengikuti apa mau mereka.”

“Tidak ada yang menyuruhmu begitu.”

Interludium



Karena hidup tak selamanya berisi senyuman, dan karena cinta tak selamanya berisi kebahagiaan, Sayangku. Karena hati tak selamanya harus merasa saling memiliki dan kasih terkadang juga membelenggu, maka bukalah hatimu untuk memahami bahwa perjalanan ini membutuhkan jeda, membutuhkan interlude, membutuhkan waktu sejenak untuk kosong...


Soal Tempat



+ Jadi, dimana tempatnya?

- Di sini.

+ Persoalan ini sebenarnya sederhana, benar? Hanya soal tempat. Tetapi saya tidak habis pikir kenapa soal yang sederhana seperti ini kok dibikin rumit bahkan sulit. Anda setuju kalau ini sebenarnya sederhana?

- Tentu saja—tak ada yang lebih sederhana dibanding ini.

+ Ya, ya, sederhana—hanya soal tempat. Kemarin saya ketemu orang yang juga sedang bingung mikirin tempat. Lha kemarinnya lagi ada yang sampai pusing tujuh puluh keliling, juga karena mikirin soal tempat. Saya pikir, ini bagaimana? Wong soal tempat saja kok sampai segitunya.

- Mungkin ini ada hubungannya dengan “lain ladang lain belalang”?

+ Yah, mungkin seperti itu—Anda bijaksana sekali. Tapi saya ini orang bodoh. Jadi, saya pikir, kalau memang sesuatu itu memang mudah, lha mbok tidak usah dibikin sulit gitulah. Yang wajar saja. Wong ada orang yang bisa santai-santai saja mikirin soal tempat ini, kenapa kita harus dibikin pusing, ya tho?

- Wah, teman saya sampai ada yang stres lho, mikirin soal itu…

+ Nah, apa saya bilang? Saya ini orang yang simpel saja—dan juga bodoh. Kalau saya perlu tempat, saya tidak mau dipusingkan dengan hal-hal lain yang tidak berhubungan. Kalau tempatnya memang cocok dengan yang saya inginkan, saya sudah tenang. Jadi saya tidak habis pikir dengan orang yang kadang sampai stres mikir soal tempat. Seperti saya bilang tadi, lha wong soal tempat saja kok sampai segitunya.

- Sampeyan pasti filsuf.

+ Waduh, jangan ngawur! Seperti yang saya bilang tadi, saya orang yang simpel, juga bodoh. Saya tidak mau membesar-besarkan soal yang kecil, juga tidak mau meremehkan persoalan yang besar. Yang proporsional, gitu lho. Soal tempat ini—kan ini soal yang kecil, sepele. Lha kenapa kok harus dibesar-besarkan gitu, seolah-olah hidup-matinya manusia ditentukan oleh tempat ini.

- Kalau boleh tahu, sebenarnya bagaimana sampeyan memandang tempat ini?

+ Proporsional—itulah hukum hidup saya. Proporsional, dalam arti, saya akan mengambilnya jika memang butuh, tak peduli orang lain mengambilnya atau tidak. Sebaliknya, saya tidak akan mengambilnya kalau memang tidak butuh, tak peduli orang-orang ramai mengambilnya. Soal tempat ini, misalnya, tadi saya tanya pada Anda, dimana letaknya. Itu sama sekali bukan indikasi bahwa saya pasti akan mengambilnya. Saya hanya perlu melihat untuk menakarnya pada diri sendiri, untuk menilai sejauh mana saya memerlukannya—atau tidak memerlukannya.

- *Manggut-manggut*

+ Roosevelt mengatakan, bahwa…

- Sebentar, maaf, Roosevelt yang mana yang sampeyan maksud? Theodore Roosevelt atau Franklin Delano Roosevelt?

+ Waduh, Roosevelt yang saya maksud ini nama sopir tetangga saya. Jadi, tetangga saya kan pegawai bank, dan dia punya sopir yang keturunan bule, bernama Roosevelt. Nah, saya sering ketemu sama Pak Roosevelt ini, kalau pas sedang jalan-jalan pagi, dan kami biasa ngobrol-ngobrol sejenak. Suatu hari, atau lebih tepatnya suatu pagi, Pak Roosevelt bilang pada saya—sesuatu yang tadi akan saya sampaikan pada Anda.

- Apa…apa yang dikatakan oleh Roosevelt tetangga sampeyan itu?

+ Bukan tetangga saya—dia sopir tetangga saya.

- Iya, iya, maksud saya begitu. Apa yang dikatakannya?

+ Roosevelt, sopir tetangga saya itu, bilang bahwa dunia ini menyediakan banyak tempat. Dia kan sopir, jadi sering melihat tempat dimana-mana—dan saya percaya kepadanya. Lalu dia bilang, tempat bukanlah tujuan yang harus dicapai. Sewaktu mendengar hal itu, saya sempat bingung. Dia kan sopir, jadi bagaimana mungkin tempat bukanlah tujuan yang harus dicapai? Sebagai sopir, tentunya kan dia selalu menuju ke suatu tempat? Jadi saya tanyakan kepadanya—apa maksudnya.

- Dan apa jawab Pak Roosevelt, sopir tetangga sampeyan itu?

+ Roosevelt, sopir tetangga saya itu, hanya tersenyum, dan mengulangi pertanyaan saya dalam versi pernyataan. Dia berkata, sebagai sopir, tentunya kan dia selalu menuju ke suatu tempat—jadi tempat bukanlah tujuan, karena ada banyak tempat. Sewaktu mendengar itu, saya jadi merasa sedang berhadapan dengan Franklin Delano Roosevelt. Dia sopir paling bijaksana yang pernah saya temukan.

- Jernih.

+ Sangat jernih, menurut saya. Jadi, ngomong-ngomong, dimana tempatnya?

- Di sini.


Jumat, 06 Agustus 2010

Seseorang Berkata, “Lupakan saja.”

Waktu: 21:27 WIB
Lokasi: Restoran “D”

Di sudut restoran yang hening, mereka duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja bundar dengan dua lilin redup di atasnya. Pelayan telah mengambil sisa-sisa makan, dan kini dua orang itu tengah saling menatap, mesra, dan si perempuan sedikit salah tingkah.

“Aku tahu,” kata si laki-laki perlahan, “aku tahu tak layak menyatakan hal itu kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu.”

Si perempuan mengangguk. Tampak binar mata yang sulit disembunyikan di lingkar wajahnya.

“Dia pria yang beruntung,” sambung si laki-laki.

“Begitu pun wanita yang kelak akan kautemukan,” sahut si perempuan.

Si laki-laki menggeleng perlahan, dan tersenyum. Ia menyesap sisa minuman di gelasnya, meletakkannya kembali di atas meja, kemudian menatap perempuan di hadapannya. Dia seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi kemudian seseorang berkata, “Lupakan saja.”


Waktu: 17:16 WIB
Lokasi: Tempat parkir swalayan “M”

Mereka berdiri di dekat mobil yang satu pintunya telah terbuka. Si laki-laki telah bersiap masuk ke dalam mobil, tetapi si perempuan tampak ingin pergi. Si laki-laki berkata dengan suara yang tertahan, “Listen, kita bisa membicarakan semua ini dengan kepala dingin—dengan baik-baik.”

“Tidak akan pernah baik jika denganmu!” jawab si perempuan dengan berteriak, membuat orang-orang di tempat parkir itu menoleh ke arah mereka.

“Kau telah bersikap tidak adil,” ujar si laki-laki, masih dengan suara yang tertahan.

“Aku…? Tidak adil…?” jerit si perempuan lagi. “Kau menuduhku tidak adil…?!”

“Ya,” jawab si laki-laki. “Kau telah bersikap tidak adil—pada dirimu sendiri.”

Perempuan itu terdiam, seperti merasa baru ditampar. Pipinya memerah, dan dia tiba-tiba teringat perlu mengganti bedaknya yang mungkin telah menguap. Angin senja menghembus anak-anak rambutnya, dan dia kini mendapati dirinya berdiri, terpaku, di hadapan laki-laki yang selama ini dicintainya—yang terlalu dicintainya.

Perempuan itu membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu yang sekarang harus dikatakannya. Tetapi mulutnya kembali terkatup saat seseorang berkata, “Lupakan saja.”


Waktu: 11.22 WIB
Lokasi: Auditorium Kampus “P”

Ruangan itu terasa hening, meski sembilan ratus orang berkumpul di sana, duduk di kursinya masing-masing. Di bagian depan, ada satu orang pembicara yang berdiri menghadapi sembilan ratus orang itu. Mereka sedang mendiskusikan salah satu pernyataan Nietsczhe yang paling tidak terkenal, tetapi paling menggelisahkan pikiran.

“Yang paling aneh di antara semuanya itu, Saudara-saudara,” ujar sang pembicara yang sejak tadi memukau ruangan konferensi, “adalah kenyataan bahwa orang-orang besar yang kita kenali hari ini adalah orang-orang yang menjalani hidup dengan pernyataan itu. Kita bisa melihatnya di berbagai spektrum—film, musik, sejarah, filsafat, literatur, apa pun. Selalu saja begitu. Ketika seseorang muncul dari sana, dan kemudian kita telusuri sejarahnya, entah mengapa, kita akan selalu terbentur pada fakta satu itu. Coba kita lihat Rumi, Gibran, Iqbal, atau Nietsczhe sendiri…”

Seseorang yang duduk di bangku hadirin nyeletuk, “Juga James Bond.”

Si pembicara, entah mengapa, tertawa terbahak-bahak. “Ya, ya,” katanya sambil masih tertawa. “Juga James Bond. Atau, kalau kalian ingin contoh yang lebih populer lagi, lihatlah tokoh-tokoh superhero yang tak pernah mati itu. Superman, Spiderman, Batman, bocah-bocah X-Men—semuanya sama. Apakah ini tidak ajaib…?”

Seseorang yang duduk di bangku hadirin mengacungkan jarinya. “Tapi, Sir, maafkan saya. Bukankah Gibran menjalin hubungan cinta dengan Mary Hasskel, juga dengan May Ziadah…?”

Si pembicara tersenyum dengan bijaksana. “Kau benar, Nak. Begitu pula Spiderman idolamu itu. Dia menjalin hubungan cinta dengan… siapa?”

“Mary, Sir—Mary Jane Watson.”

“Hebat sekali kau masih mengingat namanya, Nak. Nah, begitu pula dengan Spiderman, kan? Atau, seperti yang tadi sudah saya sebutkan, juga dengan Superman, Batman, dan lainnya. Mereka juga sama. Pertanyaannya, apakah kau sudah membaca latar sejarah mereka?”

Orang yang bertanya tadi tersenyum penuh gairah—ia seperti baru melihat sesuatu yang selama ini tak pernah dilihatnya. Ia sudah akan berkata dengan penuh semangat, tetapi kemudian seseorang berkata, “Lupakan saja.”


Waktu: 14:32 WIB
Lokasi: Tak bisa disebutkan

Perempuan itu menangis sesenggrukan, sementara kekasihnya berdiri di hadapannya dengan muka kebingungan. Ya Tuhan, pikir si laki-laki, kenapa perempuan harus selalu menangis seperti ini?

“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi!” jerit si perempuan. “Aku tidak bisa…!”

“Oke, oke,” sahut si laki-laki dengan serba salah. “Tolong hentikan tangismu. Orang-orang melihat ke arah kita semua, dan mereka bisa saja berpikir aku telah menjahatimu…”

“Kau memang telah menjahatiku…!!!” jerit si perempuan, kali ini dengan suara yang lebih keras—dan orang-orang di tempat itu pun seketika memalingkan muka ke arah mereka. “Kau telah menjahatiku…!”

“Hei, coba dengar,” kata si laki-laki dengan suara tertahan, menahan emosinya sendiri. “Kau yang memutuskanku—tapi sekarang kau yang menangis. Dan kau berkata aku menjahatimu, padahal kaulah yang memutuskanku…”

“Itulah masalahnya…!” sembur si perempuan dengan suara yang sangat keras. “Aku merasa tak sanggup memutuskan hubungan denganmu—itulah kejahatanmu! Aku terlalu cinta kepadamu, terlalu jatuh cinta kepadamu…!”

Si laki-laki menatap perempuan di hadapannya, ada sesuatu yang harus dikatakannya. Sekarang, atau tidak sama sekali. Dia sudah menguatkan tekadnya untuk menyatakan hal itu, tetapi kemudian seseorang berkata, “Lupakan saja.”


Waktu: 15:11 WIB
Lokasi: Komplek pemakaman

Jasad itu perlahan-lahan dimasukkan ke liang lahat, dan orang-orang berdiri terpaku di sekelilingnya. Seorang yang mereka kenali kini pergi, selamanya, dan mereka semua merasa kehilangan.

Ada bergurat-gurat kenangan yang kini menari-nari di sekeliling orang-orang itu. Dan kenangan demi kenangan itu terus menari-nari seiring tanah yang kini menutupi liang kubur—seiring nisan yang ditancapkan.

Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan makam, meninggalkan jasad seseorang yang kini tak lagi bersama mereka—atau bersama mereka selamanya. Kuntum-kuntum kamboja berguguran, sebagian jatuh di atas gundukan tanah makam. Kelopaknya tampak putih, bersama titik air sisa hujan semalam.

Seseorang yang berdiri di sana memungut salah satu kamboja yang jatuh, menatapnya, kemudian terpekur. Ia menengadah ke atas. Dan melihat langit seperti baru dibersihkan.

Empat belas kilometer dari tempat itu, seseorang yang lain berkata, “Lupakan saja.”


Waktu: 23:00 WIB
Lokasi: Di sebuah kamar

Dia berbaring sendirian di atas springbed di kamarnya yang telah redup, sementara satu sisi telinganya masih mendengarkan suara lembut dari seberang sana—suara seseorang yang amat dirindukannya.

“Sudah malam, Honey,” suara laki-laki itu terdengar, “sudah saatnya kau tidur sekarang.”

“Tapi aku masih kangen,” sahut si perempuan. “Jam berapa di sana?”

Laki-laki di seberang sana memperdengarkan suara tawa kecil, kemudian menjawab, “Coba tebak…?”

“Masih sore, ya? Atau jangan-jangan masih siang…?”

“Keliru.”

“Oh ya? Jadi di sana juga sudah malam…?”

“Keliru lagi.”

“Jadi, jam berapa di sana?”

“Tidak ada jam.”

“Sori…?”

“Ya, Honey, di sini tidak ada jam—tidak ada waktu. Karena setiap detik yang kurasakan di sini selalu terisi olehmu. Dan setiap kali aku mengingatmu, aku merasa waktu jadi abadi.”

Si perempuan tersenyum di dekat ponselnya. “Kau manis sekali. Aku sudah siap tidur sekarang. Kau mau menyatakan sesuatu sebelum aku tidur?”

“I love you.”

Sekarang perempuan itu telah mendapatkan bekal untuk mimpi indahnya malam ini. Dengan senyum yang masih tersungging di bibir, dia letakkan ponselnya di dekat tempatnya berbaring, kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ucapan cinta itu akan bertahan malam ini—juga untuk selama-lamanya.

Perempuan itu mulai memejamkan matanya untuk tidur, tapi kemudian ponsel di dekatnya berdering kembali. Mungkin dia masih ingin mengatakan sesuatu, pikirnya sambil tersenyum. Didekatkannya ponsel itu ke telinganya, dan ia menyapa dengan suara mesra, “Halo, Sayang…?”

Tetapi suara di seberang sana bukan lagi lelaki yang dikenalnya. Yang terdengar adalah suara asing. Dan seseorang yang asing itu berkata, “Lupakan saja.”

Coda

Jadilah indah di mataku
Jadilah merdu di telingaku

Jadilah lembut di hidupku
Jadilah hening di hatiku

Dua Jalan, Dua Pilihan



Kehidupan ini menawarkan dua macam jalan. Jalan yang pertama adalah jalan yang mudah, sementara jalan yang kedua adalah jalan yang sukar. Setiap orang berhak untuk memilih jalan mana yang akan dilaluinya dalam menjalani kehidupan ini. Tidak ada yang salah dengan dua macam jalan ini. Hanya saja, masing-masing jalan memberikan pengalaman yang berbeda, dan juga arah tujuan yang berbeda.

Jalan yang pertama, jalan yang mudah ditempuh, adalah jalan bagi orang-orang yang tidak punya impian apa-apa, atau yang tidak berani punya impian dalam hidupnya. Mereka melalui jalan yang mudah. Mereka begitu tenang menjalani hidup. Bangun pagi, sarapan, berangkat sekolah atau berangkat kerja, lalu pulang kembali ke rumah, menjalani aktivitas yang rutin seperti biasa, lalu menghabiskan malam dengan menonton televisi sampai mengantuk dan kemudian tidur.

Dalam tidur itu mereka mungkin bermimpi, tetapi impian mereka hanya sebatas bunga-bunga tidur yang akan segera dilupakan ketika mereka kembali membuka mata dan beranjak bangun dari tempat tidur. Hidup bagi mereka adalah sebuah jalan yang lurus, mudah, dan rutin. Sebuah hidup yang datar-datar saja. Tak ada impian apa-apa, juga tak ada pencapaian apa-apa.

Sementara jalan kedua, jalan yang sukar, adalah jalan yang dilalui oleh orang-orang yang memiliki cita-cita dalam hidupnya, yang berani bermimpi dan bertekad untuk mewujudkan impian itu menjadi kenyataan. Hidup bagi mereka adalah sebuah petualangan. Karena sebuah petualangan, maka kehidupan pun terkadang penuh dengan hal-hal yang mencekam, tetapi mereka menikmatinya.

Jalan sukar yang mereka tempuh adalah jalan yang penuh batu-batu tajam dan semak-semak berduri. Tetapi orang-orang yang berani punya impian tahu betul bahwa inilah jalan yang sengaja dipilihnya, inilah jalan yang akan mengantarkannya kepada impiannya.

Kehidupan orang-orang ini pun berbeda jauh dengan kehidupan orang-orang pertama yang memilih untuk menempuh jalan yang mudah. Kehidupan orang-orang yang menempuh jalan yang sukar ini terkadang berlangsung seperti akrobat, seperti rollercoaster, kadang di bawah, kadang di atas, jungkir-balik, penuh hambatan, penuh risiko, terhalang oleh berbagai macam tembok, dan mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengejar impiannya dibanding untuk mengerjakan hal-hal lain.

Mereka mungkin kekurangan waktu istirahat, mereka mungkin tidak punya waktu nonton televisi, mereka mungkin tampak kelelahan dan kurang tidur, namun pandangan mata mereka menunjukkan cahaya hidup yang menyala-nyala! Inilah orang-orang yang akan mengubah dunia, setidaknya dunia mereka sendiri. Inilah orang-orang yang akan membangun kehidupan, setidaknya kehidupan mereka sendiri. Mereka tidak kenal rutinitas, karena bagi mereka rutinitas adalah sesuatu yang membosankan. Petualangan dalam upaya mengejar impian adalah sesuatu yang lebih mengasyikkan, sekaligus menggairahkan!

Sekali lagi, tak ada yang salah dengan dua jalan dalam kehidupan itu. Juga tidak ada paksaan untuk memilih salah satu jalan yang tersedia itu. Hanya saja, masing-masing orang hanya akan memperoleh sesuai dengan apa yang diperjuangkannya, masing-masing orang hanya akan bernilai tergantung pada jalan mana yang ditempuhnya.


Jamu Beras Kencur



Pertanyaan:
Apa bedanya orang yang pernah meminum jamu beras kencur dengan orang yang belum pernah meminum jamu beras kencur?

Jawaban:
Orang yang pernah minum jamu beras kencur tahu bagaimana rasa jamu beras kencur, sedang orang yang belum pernah minum jamu beras kencur belum tahu rasa jamu beras kencur.

Kesimpulan:
Ternyata kebenaran itu (terkadang) sederhana.


Gapailah Mimpi-mimpimu

Yakin dengan ide-ide dan kecakapanmu sendiri,
serta mampu membuat keputusan sendiri, adalah langkah pertama
untuk meraih kesuksesan dalam hidup.
Wayne W. Dyer


Salah satu hal yang aneh di dalam kehidupan ini adalah ketika kita menyadari dan menyaksikan betapa banyaknya orang-orang di sekitar kita yang sangat menginginkan agar kita tak pernah bisa lebih unggul dari mereka.

Lihat dan perhatikan. Kalau ada seseorang yang mengatakan, “Aku ingin bisa mencapai itu...” atau, “Aku mengimpikan hal itu...” maka hampir dapat dipastikan ada lebih banyak orang yang akan menentangnya daripada mendukungnya. Orang-orang yang menentang itu biasanya akan mengatakan, “Ah, menurutku itu tidak mungkin.” Atau, “Kamu kok muluk-muluk sekali, sih?” Atau, “Hidup itu yang realistis saja.”

Jarang sekali ada orang yang mau mendukung impian orang lainnya—orang-orang yang dengan besar hati dan senyum tulus mengatakan, “Kau benar-benar menginginkan hal itu? Hebat! Aku mendukungmu!”

Selama bertahun-tahun saya menyaksikan keanehan tersebut, dan berusaha mencari tahu mengapa ada gejala ‘tidak sehat’ semacam itu. Mengapa ada banyak orang yang lebih senang memustahilkan dan mencemooh sekaligus merendahkan impian orang lain daripada yang mendukungnya. Dan jawabannya saya temukan dalam buku yang ditulis oleh Dr. David J. Schwartz, The Magic of Thinking Big.

David J. Schwartz mengatakan, bahwa di dalam kehidupan kita ini lebih banyak orang yang berpikir kecil dan berjiwa kerdil daripada orang yang berpikir besar dan berjiwa besar. Orang-orang yang biasa memustahilkan impian orang lain itu sesungguhnya adalah orang-orang kalah—para pecundang dalam hidupnya sendiri—yang tidak menginginkan orang-orang lain lebih unggul dari mereka. Karenanya, kemudian—tanpa disadari oleh diri mereka sendiri—mereka pun lebih suka mematahkan semangat orang lain daripada membantu menumbuhkannya.

Perhatikan ilustrasi berikut: Kalau kita berkata pada seorang pengangguran yang malas bahwa kita ingin menjadi seorang jutawan, apa kira-kira jawaban dari si pengangguran itu? Dia akan menertawakan dan menganggap impian kita mustahil! Dia mungkin akan mengatakan, “Sudahlah, hidup itu yang realistis saja...”

Mengapa dia berkata seperti itu? Karena orang yang kita ajak bicara itu seorang pecundang, seorang pengangguran yang malas tanpa masa depan!

Tetapi sekarang katakan kepada seseorang yang telah menjadi jutawan, bahwa kita mengimpikan untuk bisa menjadi seorang jutawan. Apa kira-kira jawaban orang itu? Dia akan tersenyum dan berkata, mungkin seperti ini, “Aku yakin kau akan mampu mewujudkan impianmu, kalau kau benar-benar bertekad mengejar impian itu hingga terwujud.”

Mengapa dia berkata seperti itu? Karena orang yang kita ajak bicara itu telah mencapai dan memiliki apa yang kita inginkan!

Sudahkah kita melihat letak perbedaan paling fundamental dalam hal ini? Orang dibedakan dari pikirannya! Orang besar berjiwa besar, sementara orang kecil berjiwa kerdil. Orang besar tak pernah menertawakan impian besar—sementara orang-orang kecil berjiwa kerdil paling hobi menertawakan impian besar, dan kemudian mereka merendahkan serta mencemoohkannya!

Mungkin apa yang saya paparkan ini terkesan sinis, namun selama bertahun-tahun saya menyaksikan bahwa memang seperti itulah kenyataannya. Lebih banyak orang yang menertawakan impian orang lainnya daripada yang dengan tulus mendukung, lebih banyak orang yang menunjukkan kesan “tidak rela” jika ada orang lain mengungguli dirinya, dan kemudian mencemooh cita-cita orang lainnya.

Selama bertahun-tahun saya mengejar impian-impian saya, ada lebih banyak orang yang menertawakannya, ada lebih banyak orang yang mencoba menghentikan langkah saya, ada lebih banyak orang yang mencemooh, merendahkan serta memustahilkan impian-impian saya. Dan hari ini, satu hal yang sangat saya syukuri dalam kehidupan pribadi adalah...

...saya tidak pernah menghiraukan mereka.

Tucard



Entahlah, apapun artinya.


Minggu, 01 Agustus 2010

Eminem yang Malang

Untuk anak-anak yang terluka, dimana pun kalian berada,
semoga Tuhan menggantikannya dengan cinta, kapan pun waktunya.

Langit menyaksikan setiap tetes air mata kalian,
dan tanah bumi ini tak akan kering sebelum tangis berubah menjadi senyuman.
Alam semesta mendengar jerit rintih kalian, dan suara-suara kecil bisu kalian
terdengar olehnya bagai lolong serigala pada rembulan.

Setiap helai rambut kalian memiliki hak untuk dibelai, setiap sudut hati kalian
memiliki hak untuk disentuh, setiap panca indera kalian memiliki hak
untuk melihat dan mendengar cinta. Dan selamanya pintu surga akan tertutup
sebelum setiap hak milik kalian diberikan.

Semoga setiap sakit yang kalian derita tergantikan oleh kasih,
luka hati yang menganga tertutup oleh senyum di akhirnya.

(Hoeda Manis, Lacrymossa)


Setiap kali mendengar nama Eminem, apa yang biasanya langsung muncul dalam kepala kita? Kebanyakan orang langsung membayangkan sesosok cowok freak yang hobi menyemburkan sumpah-serapah, bahkan kebencian, melalui lagu-lagunya. Bukan hanya itu, Eminem bahkan tidak segan untuk menyatakan kebenciannya terhadap seseorang dalam wawancara-wawancaranya. Dia sepertinya tak pernah peduli kalau ucapan atau lirik-lirik lagunya akan menyakiti orang lain.

Karena kebiasaannya yang buruk semacam itu, banyak media yang memandang minor terhadap Eminem. Mereka sering bertanya-tanya (melalui headline) baik di majalah ataupun koran, “Ada apa denganmu, Em?”

Ada apa dengan Eminem? Sebagian media yang “bijak” menilai Eminem hanya sebagai anak muda yang badung, nakal, yang kelakuan buruknya pasti akan “sembuh” sendiri seiring kedewasaannya. Tetapi media-media yang “kurang bijak” langsung menuduh Eminem dengan sederet caci-maki yang tidak kalah panasnya dari caci-maki yang biasa disemburkan Eminem.

Eminem, yang nama aslinya Marshal Bruce Mathers III, sesungguhnya adalah korban dari orangtua yang terlalu otoriter. Dia mengakui semenjak kecil telah terbiasa dengan kekangan dan sederet peraturan keras yang ditetapkan orangtuanya, khususnya oleh ayahnya. Sebegitu keras dan ketatnya peraturan yang ditetapkan orangtuanya, sampai-sampai Eminem menganggap rumahnya sebagai penjara—hingga dia merasa amat benci jika harus berada di rumah.

Kenyataan semacam itu telah dialami Eminem semenjak kecil. Lebih dari itu, yang membuat Eminem semakin membenci keluarganya, adalah karena orangtuanya kerap kali menjadikan Eminem sebagai “kambing hitam” keluarga. Jika ada masalah dalam keluarga, Eminemlah yang dituduh. Jika ada suatu kekeliruan, Eminem pula yang akan menjadi “badut korban”.

Eminem adalah tempat sampah, tempat orangtua dan keluarganya biasa melemparkan sindiran, caci-maki, sikap merendahkan, dan ucapan kasar menyakitkan—sebuah jiwa kecil yang harus menanggung kesakitan atas sesuatu yang tak dipahaminya.

Eminem merasa dirinya selalu jadi bahan olok-olok, cemoohan, bahkan timbunan kesalahan setiap kali terjadi apa-apa yang keliru dalam keluarganya. Jadi lengkaplah sudah kebenciannya terhadap keluarganya, khususnya kepada orangtuanya. Dia membenci perilaku orangtuanya yang terlalu keras, dan dia pun makin membenci jika harus berkumpul dengan anggota keluarganya.

Jika ada orang yang menjadi korban “masa kecil kurang bahagia”, maka Eminem salah satunya. Semenjak kecil, Eminem lebih sering merasa tertekan daripada keriangan dan kegembiraan. Satu-satunya kesempatan yang terasa menyenangkan bagi Eminem kecil adalah ketika di larut malam, saat keluarganya telah terlelap, dia akan membuka jendela kamarnya—dan keluar berjalan-jalan sendirian di tengah malam.

Setelah puas berjalan-jalan sendirian seperti itu, Eminem pun biasanya kembali ke rumahnya dan kembali masuk ke kamarnya melalui jendela. Kenyataan itu tak pernah diketahui orangtuanya, karena mereka menganggap Eminem hanyalah “si badut bodoh”. Tak perlu disebutkan lagi, Eminem tidak menyukai orangtuanya, dia bahkan sangat membenci ayahnya—karena perbuatan mereka atas dirinya.

Melihat kenyataan masa kecilnya seperti itu, sekarang kita dapat memaklumi—atau setidaknya dapat memahami—perilaku Eminem yang kemudian ditunjukkannya saat remaja dan beranjak dewasa. Suara-suara kebencian atau caci-maki yang biasa disemburkan Eminem, baik lewat lagu maupun dalam wawancara, sesungguhnya adalah desakan dari bawah sadarnya—suatu kondisi kepahitan yang ingin diteriakkannya kepada dunia.

Caci-maki yang disemburkan Eminem tidak lain sesungguhnya jerit permintaan tolong.

Eminem hanyalah korban—ia adalah korban dari kepahitan masa kanak-kanak, korban dari sikap orangtua otoriter yang selalu memaksakan kehendaknya, yang selalu menganggap peraturannya sebagai kebenaran mutlak yang wajib dipatuhi tanpa pertanyaan oleh anaknya. Eminem adalah korban—ia adalah korban dari sikap merendahkan, perilaku yang tak menyenangkan, ucapan menyakitkan, yang biasa ditunjukkan orang lain atas dirinya.

Karenanya, ketika media massa sedunia bertanya-tanya, “Ada apa denganmu, Em?” seharusnya mereka dapat menemukan jawabannya kalau saja tidak memandang sinis terlebih dulu terhadap Eminem. Hanya saja, kebanyakan kita sering kali terlalu buru-buru menjatuhkan vonis—termasuk pula pada Eminem.

Tidak, Eminem bukanlah sosok freak yang senang mengumbar kebencian melalui kata-kata—ia hanyalah korban kemalangan yang ingin menyatakan kepada dunia bahwa jiwanya terluka. Caci-maki yang disemburkannya tidak lain sesungguhnya jerit permintaan tolong yang merana.

 
;