Rabu, 22 Oktober 2014

Rahasia Gelap Perkawinan

Setiap orang yang telah menikah seharusnya memiliki
kewajiban moral untuk menjelaskan apa itu perkawinan,
dan bukan malah menutupinya.
@noffret


—Untuk Firman, yang memintaku menulis topik ini.

Di suatu majalah, saya membaca kisah dilematis yang ditulis di kolom konsultasi psikologi. Di kolom itu, seorang lelaki menceritakan masalah yang sedang dihadapinya, menyangkut istri dan nasib perkawinannya. Sebagaimana yang tertulis di majalah tersebut, nama si lelaki disamarkan menjadi X.

Kisahnya, X menikah dengan seorang wanita yang ia cintai. Acara perkawinan mereka diadakan dengan meriah, dan menghabiskan biaya sangat besar.

Di awal-awal perkawinan, kehidupan mereka baik-baik saja. Tetapi beberapa bulan sejak perkawinan, istri X mulai berubah, dan makin berubah. Jika semula ia bersikap lembut dan menyenangkan suaminya, sekarang kasar dan sering menjengkelkan. Hanya karena hal sepele, istri X marah-marah dan kemudian mereka bertengkar. Yang menjadi masalah, pertengkaran gara-gara masalah remeh semacam itu nyaris terjadi setiap hari. Akibatnya, perkawinan yang diharapkan menjadi surga terasa seperti neraka.

Sebenarnya, menurut X, dia telah memenuhi semua kebutuhan istrinya. Ketika menikah, dia telah memiliki rumah sendiri, hingga mereka tidak perlu repot mencari rumah seperti umumnya pasangan baru. X juga dapat menafkahi istrinya secara layak—pendeknya mereka hidup berkecukupan, tanpa kekurangan apa pun. Karena itulah, X benar-benar tidak tahu apa masalah rumahtangga mereka, hingga istrinya berubah seperti itu.

Kadang, menurut pengakuannya, dia ingin menceraikan istrinya, karena sudah tidak kuat menghadapi perilakunya yang sangat menjengkelkan. Tapi dia merasa dilema, karena perkawinan mereka baru setahun, sementara resepsi perkawinan mereka telah menghabiskan biaya sangat besar. Lebih dari itu, dia penganut agama yang salih, yang sangat menjauhi perceraian. Keluarganya juga sangat salih, dan sama-sama tidak menginginkan perceraian.

Karena dilema itulah kemudian dia melayangkan surat ke rubrik konsultasi di majalah yang saya baca, dengan harapan psikolog yang mengasuh rubrik itu bisa memberikan solusi untuknya.

Bagi saya, kisah X dalam majalah itu sangat klise. Meski belum pernah menikah, saya tahu ada banyak kasus semacam itu terjadi di mana-mana, menimpa banyak orang dengan berbagai latar belakang. Di rubrik konsultasi psikologi yang rutin saya baca, misalnya, nyaris setiap minggu ada kasus serupa. Ada suami-suami yang stres menghadapi istrinya, sama banyaknya dengan istri yang frustrasi menghadapi suaminya. Jika hubungan suami-istri tidak mengalami masalah, mereka menghadapi aneka macam masalah lain—dari masalah ekonomi, hubungan antarkeluarga, sampai masalah seks.

Yang ironis, kenyataan-kenyataan pahit semacam itu anehnya sangat jarang diungkap. Setiap kali membicarakan perkawinan, sering kali orang hanya membicarakan permukaannya, yang manis-manisnya, yang indah-indahnya, dan terkesan menutupi atau tidak mau membicarakan kedalaman atau pahit-pahitnya. Padahal perkawinan bukan cuma urusan seks, tidak sebatas berkasih-kasihan, tidak sekadar peluk dan cium. Perkawinan jauh lebih kompleks dari semua itu.

Pertanyaannya, mengapa orang-orang yang suka berkhotbah tentang perkawinan tidak pernah mengatakan bahwa perkawinan juga menyimpan masalah dan kedukaan? Mengapa orang-orang yang suka menyuruh orang lain agar cepat-cepat kawin hanya mengiming-imingi kesenangannya saja? Itu tidak adil, sekaligus berbahaya.

Karena para remaja dan anak-anak muda hanya diiming-imingi manisnya perkawinan, mereka pun cenderung asal kawin atau asal nikah, tanpa menyiapkan mental dan tanggung jawab yang cukup jika sewaktu-waktu masalah muncul. Tentu saja tidak masalah jika mereka menikah dengan penuh kesadaran, dan telah menyiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam perkawinan. Tapi bagaimana jika tidak?

Yang lebih “mengerikan” lagi, ada banyak orang menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat menikah karena katanya mereka tidak akan mengalami kekurangan apa pun jika mau menikah, karena Tuhan pasti akan mencukupi rezeki mereka, pendeknya mereka akan kaya juga bahagia bila menikah. Untuk menguatkan nasihatnya, orang-orang itu biasanya menyitir ayat-ayat suci dan hadist, untuk membenarkan argumentasinya.

(Untuk topik satu ini, kelak akan kita bahas tersendiri di catatan lain, karena sangat berkaitan dengan agama. Karenanya, nanti kita akan bongkar dan pelajari ayat-ayat yang disalahgunakan itu, untuk menunjukkan betapa keliru dan bahayanya nasihat mereka).

Firman, sohib saya, adalah lelaki berusia 30 tahun, memiliki pekerjaan dengan penghasilan lumayan, telah tinggal di rumah sendiri, lengkap dengan kendaraan dan berbagai fasilitas hidup yang serba berkecukupan. Sampai sekarang, dia masih lajang, dan tidak menjalin hubungan dengan perempuan mana pun. Seperti umumnya orang lain, Firman sering diledek lingkungannya—termasuk teman-temannya—yang biasa nyinyir, “Kapan kawin?”

Firman termasuk orang yang suka “to the point”. Ketika menghadapi orang-orang nyinyir yang bertanya “kapan kawin?”, Firman menjawab tanpa basa-basi, “Tunjukkan satu saja orang yang menikah dan hidupnya bahagia, maka aku akan menikah!”

Ajaibnya, sampai hari ini belum ada satu orang pun yang mampu menjawab tantangan Firman. Apakah itu aneh? Bagi saya, itu tidak aneh—tapi menyedihkan sekaligus mengerikan.

Di lain waktu, ketika ditanya “kapan kawin?”, Firman bahkan menjawab dengan kalimat yang lebih kejam, “Perkawinanmu menyedihkan, dan sekarang kau bertanya kapan aku kawin? Yang benar saja!”

Saya pernah membahas hal itu dengan Firman, dan dia menjelaskan, “Yang membuat aku sampai menyatakan jawaban kejam semacam itu, karena kenyinyiran mereka sudah sangat mengganggu. Orang-orang itu menjalani kehidupan perkawinan yang penuh masalah dan menyedihkan, tapi kemana-mana bertingkah sok dengan bertanya-tanya kapan kawin, seolah mereka pasangan paling bahagia di dunia. Kenapa mereka tidak tutup mulut saja dan membenahi hidupnya?”

Firman masih punya seorang ibu—ayahnya sudah meninggal. Sebagaimana umumnya orangtua lain, ibu Firman juga kadang menanyakan kapan anaknya akan menikah. Suatu hari, karena kesal menghadapi pertanyaan ibunya, Firman menyampaikan jawaban serupa, “Tolong tunjukkan satu saja orang yang menikah dan hidupnya bahagia, maka aku akan menikah.”

Hebatnya, atau ironisnya, ibu Firman juga tidak bisa menjawab—tidak bisa menunjukkan satu orang pun yang dikenalnya, yang hidup bahagia setelah menikah.

Firman menjalani kehidupan yang tak jauh beda dengan saya—masa kecil yang suram, masa kanak-kanak yang berat, hidup dalam kemiskinan, berjuang mandiri bertahun-tahun, hingga kemudian berhasil membangun kehidupan lebih baik dan lebih layak. Karenanya, dia sudah “kebal” dengan segala iming-iming perkawinan yang katanya melancarkan rezeki dan segala macam, karena baginya semua itu cuma rayuan kosong.

Suatu malam, kami pernah berbincang sampai larut malam mengenai perkawinan, dan Firman menyatakan, “Sistem sosial kita dibangun di atas landasan paradigma yang kacau. Masyarakat kita menganggap bahwa orang baru disebut normal jika telah menikah, punya pasangan, dan anak-anak. Akibatnya, mereka terus nyinyir pada orang-orang agar cepat kawin. Ketika orang telah kawin, mereka kembali nyinyir kapan punya anak. Setelah orang punya satu anak, mereka kembali nyinyir kapan nambah anak. Pernahkah masyarakat bertanya-tanya kenapa ada orang yang memilih melajang? Pernahkah mereka bertanya-tanya bahwa ada orang yang ketakutan punya anak?”

Firman menyulut rokoknya, dan melanjutkan, “Sejujurnya, aku tidak ingin punya anak. Bukan karena tidak suka anak-anak, tetapi justru karena aku sangat mencintai anak-anak. Jika aku menikah, maka aku akan dituntut untuk punya anak. Itulah yang paling kutakutkan. Aku takut jika anak-anakku kelak menjalani kehidupan sangat pahit seperti ketika aku kecil dulu. Aku takut anak-anakku kelak mengutuk kehidupannya seperti dulu aku mengutuk kehidupanku. Aku pernah menjalani masa kecil yang amat pahit, aku pernah mengalami kehidupan yang sangat sengsara... karenanya aku selalu ketakutan membayangkan anak-anakku juga mengalami hidup semacam itu. Trauma akibat kemiskinan begitu merusak mentalku hingga luka-luka yang ditimbulkannya masih membekas dalam hidupku, meski kini aku telah hidup berkecukupan. Oh, hell, pernahkah masyarakat kita merenungkan hal itu?”

Karena sama-sama tumbuh dalam kemiskinan, saya memahami maksud Firman sepenuhnya. Semua yang diucapkan Firman malam itu seperti refleksi cermin jiwa saya—ketakutan akibat luka yang diguratkan masa kecil yang pahit, sebentuk trauma yang tidak dipahami orang-orang yang tidak pernah mengalami kemelaratan.

Sama seperti Firman, saya juga takut punya anak—bukan karena tidak mencintai anak-anak, tetapi justru karena sangat mencintai anak-anak. Meski hidup saya sekarang mungkin tidak bisa dibilang miskin, tetapi trauma akibat kemiskinan menjadikan saya sering khawatir membayangkan jika anak-anak saya kelak menjalani kehidupan pahit seperti yang dulu pernah saya alami.

Sialnya, masyarakat kita tidak pernah berpikir sejauh itu. Bukannya mencoba memahami atau memaklumi orang-orang yang sengaja menjauh dari perkawinan, mereka justru memprovokasi agar orang-orang cepat kawin, seolah perkawinan akan menyelesaikan segala masalah. Faktanya, perkawinan sering kali justru menjadi sumber masalah.

Jika seseorang baru menikah beberapa bulan atau setahun menyatakan bahwa menikah itu indah, terus terang saya tidak akan terpengaruh. Semua pengantin baru juga begitu—karena masih dalam suasana bulan madu. Tunggu sampai beberapa tahun—setidaknya tiga atau lima tahun—agar penilaian benar-benar objektif, untuk melihat secara jujur apakah perkawinan memang benar-benar indah, atau sebaliknya. Dari situlah kemudian kita akan tahu apakah seseorang bahagia dalam perkawinannya atau tidak. Sangat mudah mengetahui hal itu.

Jika orang bahagia dalam perkawinannya, mereka akan tenteram, karena merasa damai dengan diri sendiri bersama pasangannya. Orang-orang semacam itu tidak punya keinginan untuk mengusik orang lain. Bisa dibilang, mereka sudah asyik dengan kehidupannya sendiri. Perkara orang lain mau menikah atau tidak, mereka tidak terlalu peduli.

Sebaliknya, orang yang tidak bahagia dalam perkawinannya juga sangat mudah dilihat. Orang semacam itu biasanya berusaha tampak lebih baik dibanding orang lain, khususnya yang belum menikah. Karena tidak bahagia, mereka pun tidak merasa damai dengan diri sendiri. Akibatnya, mereka berkecenderungan mengusik orang lain, dan cara umum yang biasa mereka tunjukkan adalah sok bertanya, “Kapan kawin?”

Kalian paham rahasia yang tersembunyi di balik pertanyaan terkutuk itu? Mereka yang suka nyinyir bertanya “kapan kawin?” sebenarnya orang-orang yang tidak bahagia dalam kehidupannya. Melalui pertanyaan “kapan kawin?”, mereka merasa dirinya lebih baik dan lebih tinggi dibanding orang lain, khususnya yang belum menikah. Perasaan semacam itu dibutuhkan, karena mereka tidak bahagia dalam perkawinannya. Fakta bahwa di sekeliling kita ada banyak orang sok hebat yang bertanya “kapan kawin?”, dengan jelas menunjukkan betapa banyaknya orang yang tidak bahagia dalam perkawinan mereka.

Pernah, saya mendapati Firman dinasihati seseorang yang “bijak”, yang menyatakan bahwa orang tidak perlu khawatir menikah, karena rezeki pasti lancar, karena perkawinan akan mendatangkan kebahagiaan, pendeknya orang bisa kaya dan bahagia jika menikah.

Menjawab nasihat itu, Firman menyatakan, “Jika memang seperti itu kenyataannya, kenapa orangtuaku miskin dan sangat melarat, hingga aku harus menjalani hidup yang sangat susah? Mereka menikah dan menjalani hidup dengan baik—orangtuaku bahkan sangat salih—tapi kenapa mereka miskin dan sangat kekurangan, hingga aku menjalani masa kecil yang sangat pahit, sengsara, dan menyakitkan?”

Mendapat “serangan frontal” semacam itu, si “orang bijak” mencoba berdalih seperti umumnya orang lain, “Yang dimaksud ‘rezeki’ dalam perkawinan tidak harus berupa uang dan kekayaan...”

Firman, yang dasarnya mudah naik darah, langsung menyahut, “Tolong jangan mengalihkan topik! Tadi dengan jelas kau menyatakan bahwa menikah bisa membuat orang bahagia, kaya, dan berkecukupan. Jawab saja pertanyaanku, sebagaimana dasar dalilmu, mengapa orangtuaku sangat miskin dan berkekurangan, hingga aku menjalani masa kecil sangat suram? Jika yang menimpa orangtuaku dinilai kasuistis, lalu bagaimana dengan jutaan orang lain yang juga menikah tapi hidupnya sangat melarat dan kekurangan? Jika memang menikah bisa menjadikan orang berkecukupan, bahkan kaya dan bahagia, mengapa ada jutaan anak telantar di jalan-jalan, mengapa ada jutaan orang kelaparan, mengapa ada jutaan pasangan yang sangat miskin dan terbelit utang?”

Si “orang bijak” bungkam, tak bisa menjawab—tak pernah bisa menjawab.

....
....

Saya menulis catatan ini tidak bermaksud untuk “menakut-nakuti” kalian atau meminta kalian agar tidak menikah. Tidak—bukan itu yang saya maksudkan. Tujuan saya menulis catatan ini adalah untuk mengimbangi banyaknya orang yang nyaris tak pernah berhenti menyuruh-nyuruh kalian agar cepat menikah, dengan segala iming-iming yang terdengar seperti angin surga.

Sebenarnya, tidak masalah jika orang menasihati atau mengimbau agar orang-orang cepat menikah. Itu nasihat yang baik. Tapi sampaikan nasihat atau imbauan itu secara adil. Maksudnya, jangan hanya mengatakan yang indah-indahnya saja, tapi jelaskan pula risiko, tanggung jawab, dan konsekuensinya. Jangan hanya mengatakan bahwa menikah akan membuatmu kaya, bahagia, dan bla-bla-bla. Jelaskan pula bahwa menikah memiliki berbagai tantangan, beragam masalah, dan setumpuk konsekuensi serta tanggung jawab yang harus disiapkan secara matang.

Menyuruh orang-orang lain agar melakukan sesuatu tanpa menjelaskan risiko yang bisa timbul, sama halnya dengan penipuan massal. Kau menyuruh orang masuk ke lubang gelap, tanpa menjelaskan bahwa di lubang itu bisa jadi ada ular berbisa yang siap menggigitmu. Itu sangat riskan dan berbahaya—sesat sekaligus menyesatkan. Yang akan menjadi korban adalah orang-orang yang tidak tahu. Karena tergiur iming-iming, mereka melakukan nasihat itu tanpa menyadari risiko yang bisa timbul.

Sekali lagi, saya tidak bermaksud menentang perkawinan atau melarang orang menikah. Perkawinan adalah hak setiap orang, menikah adalah soal pilihan. Kalau kalian memang telah memiliki pasangan, dan telah menyiapkan modal kesiapan—lahir dan batin—serta siap menanggung risiko dan memikul tanggung jawab bersama, dan kalian telah memutuskan untuk menikah, menghadapi semuanya dengan penuh tekad bersama, maka menikahlah. Itu pilihan kalian, dan kalian tentu berhak melakukannya.

Tetapi, jangan menikah hanya karena tergiur iming-iming orang bermulut nyinyir. Jangan menikah hanya karena tergiur janji-janji yang terdengar indah. Jangan menikah karena desakan atau rayuan orang lain. Bagaimana pun, kalianlah yang akan menjalani—bukan orang-orang itu. Jika perkawinan kalian memburuk dan penuh kesedihan, kalianlah yang akan merasakan, bukan orang-orang itu. Karenanya, menikahlah dengan sepenuh kesadaran, yakni kesadaran diri sendiri—kesadaran yang dilandasi kedewasaan dan tanggung jawab.

Karena perkawinan bukan cuma urusan selangkangan. Karena perkawinan bukan sekadar peluk cium di kala malam. Karena perkawinan menyimpan rahasia gelap yang tak pernah dikatakan.

Ikrar Suci

Jika ada lelaki yang telah menikah tiga tahun datang kepadaku, dan dia berani bersumpah atas nama Tuhannya, dan atas nama keyakinannya, bahwa dirinya menjadi pribadi yang lebih baik, serta hidupnya lebih kaya dan bahagia setelah menikah... dan bahwa dia masih memegang teguh visi serta idealisme yang dimilikinya saat masih lajang...

...maka aku akan bersumpah kepadanya demi jiwa-jiwa suci yang kuhormati, bahwa aku akan menikah seperti dirinya.

Hidup, Perkawinan, dan Pilihan

“Bijaksana” versi kebanyakan manusia adalah “sesuatu yang enak didengar telinganya”. Jika tidak, mereka tidak mau mengakuinya.
—Twitter, 20 September 2014

Hidup kadang indah, kadang sedih. Kadang naik, kadang turun. Menyatakan hidup pasti indah, itu bohong. Begitu pun dalam hal lainnya.
—Twitter, 20 September 2014

Dalam perkawinan ada senang, ada susah, ada tawa, ada tangis. Menyatakan orang pasti bahagia dalam perkawinan, itu bohong... sangat bohong.
—Twitter, 20 September 2014

Tip: Kalau kau ditanya “kapan kawin?”, dan kau kebingungan memberikan jawaban, tanyakan saja padanya, “Apakah perkawinanmu bahagia?”
—Twitter, 20 September 2014

Orang yang bahagia dan tenteram cenderung nyaman dengan diri sendiri. Karena merasa tenteram, dia tidak punya keinginan mengusik orang lain.
—Twitter, 20 September 2014

Orang yang perkawinannya bahagia dan memuaskan, cenderung tidak punya keinginan untuk bertanya-tanya “kapan kawin?” pada orang lainnya.
—Twitter, 20 September 2014

Jika perkawinanmu bahagia, nikmatilah. Namun jika tidak, sebaiknya diamlah. Itu jauh lebih baik, daripada nyinyir bertanya-tanya “kapan kawin?”
—Twitter, 20 September 2014

Seorang teman curhat, menyatakan perkawinannya adalah “ladang kesedihan dan keputusasaan”. Antara ingin menangis dan tertawa mendengarnya.
—Twitter, 20 September 2014

Orang akan tahu siapa orang yang telah menikah dengannya, hanya setelah ia menikah dengannya. Kupikir, itu nasihat cinta paling bijaksana.
—Twitter, 20 September 2014

Semuanya berpasangan. Pasangan senang adalah sedih. Pasangan pria adalah wanita. Apa pasangan honeymoon? Benar, kau tidak pernah diberitahu.
—Twitter, 20 September 2014

“Sepertinya sulit sekali mengatakan hidup adalah pilihan, jika kita sama sekali tidak punya pilihan.” | Ya, kau benar.. sangat, sangat benar!
—Twitter, 20 September 2014

Tikus yang terjebak dalam kotak perangkap tidak akan bisa mengatakan, “Hidup adalah soal pilihan.” Karena dia memang tidak punya pilihan.
—Twitter, 20 September 2014

Buku-buku tentang perkawinan sering kali tidak adil dan tidak imbang; hanya menjelaskan indah-indahnya saja, dan menyembunyikan sengsaranya.
—Twitter, 20 September 2014

Kebenaran tidak selamanya semanis madu, karena kadang (bahkan sering) sepahit jamu. Tinggal kita mau mengakui dan menerimanya atau tidak.
—Twitter, 20 September 2014

Ujian terberat dalam perkawinan bukan apa pun... tetapi pasanganmu sendiri.
—Twitter, 20 September 2014

Ketika sendirian, yang diinginkan manusia hanya menikah. Setelah menikah, mereka pun kemudian tahu apa sebenarnya yang paling diinginkannya.
—Twitter, 20 September 2014

“Bagaimana pun juga, menikahlah,” kata Socrates. Dan, well, kau tahu kelanjutannya.
—Twitter, 20 September 2014

Pelajaran terbaik tentang pernikahan adalah segala hal tentang menikah yang tidak pernah dikatakan kepadamu oleh orang yang telah menikah.
—Twitter, 20 September 2014

Setiap orang yang telah menikah seharusnya memiliki kewajiban moral untuk menjelaskan apa itu perkawinan, dan bukan malah menutupinya.
—Twitter, 20 September 2014

Kebanyakan orangtua merahasiakan kesalahan mereka, sampai kita mengulangi kesalahan mereka. Lalu kita melakukan hal sama pada anak kita.
—Twitter, 1 September 2014

Aku tidak menentang perkawinan. Tapi aku menentang orang yang menyalahkan pilihan orang lain, sambil merasa pilihannya pasti benar sendiri.
—Twitter, 20 September 2014

Hidup adalah hak untuk memilih. Ada yang memilih menikah, ada yang memilih melajang. Kewajiban kita adalah menghormati pilihan orang lain.
—Twitter, 20 September 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 
Sabtu, 18 Oktober 2014

Teman Saya Sudah Haji, tapi Tidak Mau Dipanggil Haji

Mungkin, dunia akan jauh lebih baik
dan hidup lebih mudah dijalani,
kalau saja semua hal bisa kita anggap biasa.
@noffret


Empat puluh hari rasanya cepat sekali. Dalam bayangan, baru kemarin kami melepas Iskandar pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, dan sekarang dia sudah pulang. Seperti umumnya orang lain yang telah sah menunaikan ibadah haji, Iskandar pun dipanggil Haji. Tapi dia menolak. Dan, karena itulah, saya menulis catatan ini.

Iskandar adalah teman kami—cowok lajang yang biasa nyangkruk bareng kami kalau pas tidak ada kesibukan. Dibanding teman-teman yang lain, Iskandar termasuk paling salih. Jadi, kami tidak terlalu terkejut ketika beberapa tahun lalu dia menyatakan keinginannya untuk menunaikan ibadah haji. Waktu itu, dia sempat menawari, siapa tahu ada di antara kami yang tertarik menemaninya ke Mekkah. Tetapi, tampaknya, kami tergolong orang-orang yang belum mendapat hidayah.

Tahun ini, kami melepas kepergian Iskandar ke Mekkah, mendoakan keselamatannya, dan menitip doa agar kami bisa sesalih dia. Lalu empat puluh hari berlalu, dan tahu-tahu kami mendapat kabar Iskandar telah pulang.

Maka kami pun berkunjung ke rumahnya, untuk ikut bersukacita atas kepulangannya dari ibadah haji. Waktu kami datang, rumahnya cukup ramai—banyak orang lain yang juga datang berkunjung, kemungkinan sanak kerabatnya. Kami pun beramah-tamah di ruang tamunya yang digelari karpet, dan menikmati hidangan air zam-zam, kismis Mekkah, plus kurma Madinah. Iskandar masih sama seperti dulu. Tapi kami semua tahu, sekarang dia telah menjadi haji. Mungkin namanya akan menjadi Haji Iskandar.

Karena kesadaran tentang hal itu, beberapa tamu di sana pun memanggilnya “Haji”—saya sempat mendengar seseorang memanggilnya “Mas Kaji” yang artinya “Mas Haji”. Di luar dugaan semua orang, Iskandar keberatan dipanggil begitu. Dia tidak mau dipanggil “Haji”, “Pak Haji”, atau semacamnya. “Aku ingin kalian memanggilku seperti biasa,” ujar Iskandar pada kami semua. “Tidak perlu ditambahi sebutan ‘Haji’ segala macam.”

Lontaran itu pun kemudian disambut beragam komentar. Beberapa orang menyatakan bahwa umumnya orang yang telah menunaikan ibadah haji akan dipanggil “Haji” sebagai penghormatan. Itu bahkan telah menjadi hal lazim—kita mengenal “Pak Haji” atau “Bu Haji”, dan orang Jawa juga telah akrab dengan panggilan “Mas Kaji” atau “Mbak Kaji” untuk menyebut lajang (atau orang muda) yang telah menunaikan ibadah haji. Tetapi Iskandar tidak mau dipanggil begitu. Jadi, kami pun heran.

“Kalau aku menjelaskan hal ini,” ujar Iskandar dengan santun, “kalian mau mendengarkan?”

Seperti yang saya sebut tadi, Iskandar adalah lelaki salih. Dia tidak hanya hebat secara intelektual, tetapi juga sangat spiritual. Dia akrab dengan Al-Qur’an, Sahih Bukhari Muslim, Tafsir Jalalain, Ihya’ Ulumuddin, Mukhtasor Hidayatul Hiyari, Al-Qaul al-Mukhtar fi Hukmil Isti’anah bil Kuffar, Fatkhul Mu’in, Ghayatul Bayan, Mukhtasor Al Muzanni, Tafsir Ibnu Katsir, Al Usul al-Ilmiyah lida’wati as-Salafiyah—sebut lainnya. Jadi, ketika dia menyatakan ingin berbicara, kami pun mendengarkannya.

“Ibadah haji adalah ajaran agama,” kata Iskandar perlahan-lahan, “tetapi sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya bukan ajaran agama. Lebih tepat, mungkin, sebutan semacam itu hanyalah produk budaya. Agama memang mengajarkan kita menunaikan ibadah haji, kalau mampu. Tetapi, sejauh yang kita tahu, agama tidak mengajarkan untuk memanggil ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’ pada orang yang telah beribadah haji.”

Setelah menyeruput air zam-zam di gelasnya, Iskandar melanjutkan, “Abu Bakar As-Shiddiq telah menunaikan ibadah haji berkali-kali, bahkan bersama Rasulullah, tapi tarih Islam tidak menyebutnya Haji Abu Bakar. Begitu pula Umar bin Khattab, Usman bin Affan, atau Ali bin Abi Thalib. Tarih Islam menyebut mereka dengan namanya, dan kita pun tidak pernah menyebut mereka Haji Umar, Haji Usman, atau Haji Ali. Artinya, sebutan ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’ yang kita kenal selama ini hanyalah bentuk penghormatan yang lahir dari budaya kita. Karena itu, sepertinya tidak berdosa jika ada yang menolak dipanggil ‘Pak Haji’ atau semacamnya.”

“Sampeyan benar, Mas Kaji, eh, Mas Is,” sahut seorang lelaki berwajah teduh. “Sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya memang lebih merupakan produk budaya. Namun itu budaya yang positif, karena itulah kita melanggengkannya. Kita menyebut ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’ pada orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji, karena kita menyadari bahwa ibadah haji adalah ibadah berat, atau bahkan paling berat, di antara rukun Islam. Berbeda dengan ibadah lainnya, ibadah haji memerlukan banyak modal—dari modal biaya, waktu, fisik, dan lainnya—sehingga kita pun merasa perlu menghormati orang-orang yang telah beribadah haji dengan sebutan ‘Haji’ pada namanya.”

Iskandar mengangguk sopan, kemudian berkata dengan sikap yang sama sopan, “Sepertinya itu tidak adil. Berat atau ringan adalah hal relatif. Aku tidak menganggap ibadah haji adalah hal berat. Aku biasa ke Singapura, Paris, Amsterdam, Tokyo, Mesir, bahkan Jerman atau Prancis. Kalau sekarang ke Mekkah, kupikir biasa saja, sama sekali tidak berat. Kalau mau membuat perbandingan, aku malah menganggap ibadah puasa paling berat. Ketika puasa, aku harus menghadapi aneka makanan dan minuman di rumah, yang setiap saat menggoda mata. Itu jauh lebih berat daripada pergi haji ke Mekkah. Dan kalau aku yang tinggal di rumah adem menganggap puasa ibadah berat, cobalah pikirkan bagaimana beratnya ibadah puasa yang dijalani para buruh di pabrik yang pengap, atau tukang-tukang becak di jalanan yang panas menyengat. Dibandingkan ibadah puasa mereka, ibadah hajiku tidak ada apa-apanya.”

“Masing-masing ibadah memiliki takaran beratnya sendiri,” lanjut Iskandar. “Orang-orang kaya mungkin menganggap puasa adalah hal berat, sementara orang-orang miskin yang biasa kelaparan mungkin menganggap puasa adalah hal biasa. Orang-orang miskin mungkin menganggap ibadah haji adalah hal berat, sementara orang-orang kaya yang biasa keluyuran ke luar negeri menganggap ibadah haji adalah hal biasa. Begitu pula shalat, zakat, dan lainnya—bisa dianggap berat bagi sebagian orang, dan dianggap biasa atau ringan bagi sebagian lainnya. Karenanya, sungguh tidak adil jika hanya haji yang dianggap ibadah berat, hingga begitu diistimewakan, sementara ibadah yang lain dianggap hal biasa. Omong-omong, itu kurmanya sambil dimakan, dong.”

Orang-orang mengunyah kurma. Saya mengambil segenggam kismis.

“Yang kukhawatirkan,” ujar Iskandar sambil menjumput kismis, “sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya pada akhirnya hanya menjadi status sosial atau bahkan simbol kemakmuran—pengagungan terhadap orang-orang berharta. Sistem sosial kita menganggap hanya orang-orang kaya yang bisa menunaikan ibadah haji—karena butuh biaya besar—dan kemudian sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya menjadi semacam legitimasi agama terhadap perbedaan atau bahkan pengultusan kasta. Akibatnya, bisa jadi orang-orang mengalami pergeseran motivasi dalam menunaikan haji—tidak semata bertujuan ibadah, tapi juga berharap namanya ditambahi sebutan ‘Haji’. Akhirnya, pergeseran motivasi mencetuskan pergeseran nilai. Haji tidak lagi menjadi tujuan ibadah, tapi juga menjadi pengejaran terhadap status, simbol, pengagungan diri.”

Sementara Iskandar mengunyah kismis, kami terdiam. Mungkin, beberapa orang di sana mulai mengingat-ingat beberapa kenalan atau tetangganya yang marah jika tidak dipanggil ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’ padahal mereka telah pergi haji ke Mekkah. Saya pun teringat pada orang-orang semacam itu. Ada lelaki yang kehilangan keramahannya hanya karena tidak dipanggil ‘Pak Haji’, juga ada wanita yang kehilangan senyumnya hanya karena tidak dipanggil ‘Bu Haji’. Bagi orang-orang semacam itu, sebutan ‘Haji’ tidak lagi merupakan penghormatan orang lain, melainkan simbol dan status untuk dimiliki. Sebuah pergeseran nilai, meminjam ucapan Iskandar.

“Tentu saja kita berhak memanggil atau menyebut orang lain dengan sebutan ‘Pak Haji’, ‘Bu Haji’, atau semacamnya—kalau orang yang kita panggil dengan sebutan itu memang tidak keberatan. Seperti yang disebut tadi, itu bentuk penghormatan terhadap orang lain. Itu hak masing-masing orang—yang menyebut atau pun yang disebut. Tetapi, jika ada orang yang keberatan dipanggil dengan sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya, selayaknya kita juga menghormati permintaannya. Dalam hal ini, aku keberatan dipanggil dengan sebutan semacam itu, meski telah menunaikan ibadah haji. Karenanya, aku ingin dipanggil dengan cara biasa seperti kalian memanggilku selama ini, tanpa embel-embel ‘Haji’ atau semacamnya.”

Percakapan terus berlanjut, diselingi mengunyah kismis dan kurma, diiringi tawa dan canda. Sebenarnya, masih banyak petuah “Haji Iskandar” yang layak saya tulis—kebanyakan berhubungan dengan fiqih sosial—tapi sepertinya tidak terlalu berkaitan dengan konteks utama catatan ini, yaitu haji.

Satu per satu tamu di sana berpamitan untuk pulang, hingga tiba giliran saya dan teman-teman yang tadi datang bersama. Saat kami akan pulang, Mbak Fauzia—kakak perempuan Iskandar—keluar dari ruang dalam sambil membawakan “oleh-oleh haji” yang kemudian dibagikan kepada kami. Sekadar catatan, Mbak Fauzia adalah salah satu mbakyu favorit saya di dunia. Dia sangat ramah dan murah senyum. Setiap kali melihatnya, hati saya tenteram, dan dunia terasa baik-baik saja. Saya percaya, surga ada di bawah telapak kakinya.

Saat menerima bungkusan oleh-oleh haji dari Mbak Fauzia, kami bercakap-cakap sesaat. Sebenarnya saya ingin bercakap-cakap dengannya selamanya, tapi tentu tidak mungkin. Lalu saya pamitan pada Iskandar, mengucapkan terima kasih untuk oleh-oleh dan doanya, kemudian berkata, “Aku mendapat pencerahan dari penjelasanmu tadi, mengenai ibadah haji dalam konteks sosial dan budaya kita. Kamu tidak keberatan kalau aku menulisnya di blog, untuk dibaca dan direnungkan orang lain?”

Iskandar mengangguk. “Tentu saja aku senang kalau kamu mau menuliskannya.”

Maka saya pun menulis catatan ini.

Noffret’s Note: Pluralisme

Sungguh lucu menyaksikan orang berdebat soal
pluralisme. Lucu, karena pluralisme kok diperdebatkan.
—Twitter, 4 Juli 2014

Pluralisme adalah pandangan bahwa dunia
yang berbeda-beda dan majemuk adalah suatu keniscayaan,
yang tidak perlu diributkan.
—Twitter, 4 Juli 2014

Ada lelaki ada perempuan, ada hitam ada putih,
ada tua ada muda, itu plural. Mengakui keberadaannya
adalah pluralisme. Wong ngono wae ribut.
—Twitter, 4 Juli 2014

Pluralisme bukan membenarkan yang salah
atau menyalahkan yang benar. Pluralisme adalah
kesadaran untuk mengakui adanya perbedaan.
—Twitter, 4 Juli 2014

Bhineka Tunggal Ika adalah contoh mudah
bagaimana negeri ini menyikapi pluralisme secara benar,
sekaligus bijak. Pengakuan pada perbedaan.
—Twitter, 4 Juli 2014

Orang paling konyol di dunia adalah orang yang meributkan
perbedaan, padahal dirinya jelas-jelas beda dengan orang lain.
—Twitter, 4 Juli 2014

Bahkan diperdebatkan sampai kiamat pun,
perbedaan tetap perbedaan. Karena itulah dibutuhkan
kesadaran dan kebesaran hati untuk menerimanya.
—Twitter, 4 Juli 2014

Tuhan menciptakan perbedaan dan keanekaragaman
bukan untuk diributkan apalagi diperdebatkan hamba-Nya.
Well, memangnya kita ini siapa...?
—Twitter, 4 Juli 2014

Sebelum meributkan sesuatu sampai berkoar-koar,
mungkin lebih baik kita telaah dan pelajari dulu
apa yang akan kita ributkan.
—Twitter, 4 Juli 2014

Orang bodoh bukan dia yang tidak tahu.
Orang bodoh adalah dia yang sok tahu.
Apalagi sok tahu campur ngotot.
—Twitter, 4 Juli 2014

Ada 3 macam kebodohan: (1) Bodoh tapi sadar;
(2) Bodoh tapi tidak sadar; (3) Bodoh tapi merasa pintar
dan menganggap orang-orang lain bodoh.
—Twitter, 4 Juli 2014

Seluruh persoalan manusia di muka bumi
akan mudah selesai, kalau setiap orang yang terlibat
tidak merasa suci atau paling benar sendiri.
—Twitter, 4 Juli 2014

Menyuarakan kebencian terhadap orang lain
tidak membuatmu tampak kuat apalagi mulia. Yang ada,
kau justru tampak tolol dan kekanak-kanakan.
—Twitter, 4 Juli 2014

Menyatakan permusuhan terhadap pihak lain
hanya karena berbeda tidak menjadikanmu pahlawan.
Yang ada, kau justru tampak kurang kerjaan.
—Twitter, 4 Juli 2014

Perbedaan dan keanekaragaman adalah hal
yang jelas-jelas ada, dan niscaya. Kupikir, cara terbaik
menghadapinya adalah dengan menerimanya.
—Twitter, 4 Juli 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Pergi ke Japaki

“Pergilah ke Japaki,” dia berkata.

“Dan di manakah Japaki?” saya bertanya.

“Aku tidak tahu. Tapi marilah kita pura-pura tahu di mana Japaki.”
 
Senin, 13 Oktober 2014

Agar Menulis Lebih Nyaman

Writing, at its best, is a lonely life.
Hemingway


Di catatan-catatan sebelumnya, kita telah belajar mengenai resep produktif menulis, yaitu dengan cara mencintai menulis, memilih topik atau tema yang diminati, dan mendisiplinkan diri untuk terus menulis. Sekarang, kita akan membahas tentang cara agar aktivitas menulis lebih nyaman, agar kita terus betah menulis hingga berjam-jam tanpa bosan.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Sebagian penulis bisa menulis dengan nyaman di waktu kapan pun, sebagian lain hanya bisa menulis dengan nyaman di waktu-waktu tertentu. Sebagian penulis bisa menulis dengan nyaman di tempat mana pun, sebagian lain hanya bisa menulis dengan nyaman di tempat-tempat tertentu. Bahkan, sebagian penulis ada yang bisa nyaman menulis bersama orang lain, sementara sebagian lain hanya bisa nyaman menulis jika sendirian.

Masing-masing penulis membutuhkan kondisi berbeda untuk bisa nyaman menulis. Karenanya, agar aktivitas menulis lebih nyaman, dan agar kita bisa terus asyik menulis, kita perlu mengenali kondisi ideal yang kita butuhkan selama menulis, kemudian menggunakan kondisi ideal itu untuk benar-benar menulis. Dengan mengenali kondisi ideal yang kita butuhkan untuk menulis, kita akan belajar memanfaatkan waktu dan tempat sebaik-baiknya untuk menulis.

Misalnya, ada orang yang sangat nyaman menulis di siang hari, ketika rumahnya sepi. Keluarganya pergi meninggalkan rumah untuk bekerja, atau sekolah, dan dia sendirian di rumah hingga bisa asyik menulis tanpa terganggu siapa pun. Orang semacam itu tentu tidak akan menyia-nyiakan waktu siang di rumah untuk menonton televisi, misalnya, karena waktu siang yang sepi menjadi waktu berharga untuknya menulis. Karenanya, saat rumah mulai sepi, dia langsung menggunakannya untuk menulis.

Mengenali kondisi ideal untuk menulis—yang bisa berbeda untuk masing-masing orang—dapat membuat kita belajar mendisiplinkan diri memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, yang hasil akhirnya adalah produktivitas menulis.

Sebagai penulis, saya juga memiliki kondisi ideal tertentu yang membuat saya nyaman menulis, hingga bisa terus menulis sampai berjam-jam. Misalnya, saya lebih nyaman menulis di komputer desktop daripada di laptop. Karenanya, bisa dibilang sangat jarang saya menulis lama di laptop—paling hanya beberapa menit—karena merasa kurang nyaman. Sebaliknya, ketika menulis di desktop, saya bisa menulis semalam suntuk.

Kemudian, saya akan merasa nyaman jika menulis di rumah saya sendiri, dan tidak ada orang lain. Sebenarnya, saya bisa menulis di waktu kapan pun—pagi, siang, sore, atau malam—selama suasananya hening, di rumah saya sendiri, dan tidak ada orang lain. Artinya, untuk dapat menulis dengan nyaman, saya harus benar-benar sendirian dan tidak diganggu suara apa pun atau siapa pun. Dan agar lebih nikmat sekaligus nyaman selama menulis, saya membutuhkan teh hangat manis serta rokok.

Ketika berada dalam kondisi semacam itu—hening, di rumah sendiri, berhadapan dengan komputer desktop, dan tidak ada orang lain, serta ditemani teh dan rokok—maka saya bisa menulis nyaris tanpa henti, tanpa lelah, tanpa bosan. Menulis di rumah sendiri juga memungkinkan saya berdekatan dengan perpustakaan pribadi yang memang saya siapkan untuk menunjang kelancaran menulis. Setiap kali membutuhkan suatu referensi, saya tinggal melangkah ke tempat buku atau dokumen yang tepat, dan langsung mendapatkannya. Itu kondisi yang sulit saya dapatkan di tempat lain.

Karena latar belakang itu pula, saya malas membawa laptop kemana-mana, sebab bisa dibilang tidak ada manfaatnya. Kadang-kadang, saya pergi ke suatu tempat hingga beberapa hari, dan selama hari-hari itu tidak menulis sama sekali. Karena suasananya tidak kondusif sebagaimana suasana yang saya nikmati di rumah sendiri. Di kamar hotel mungkin hening, tapi di sana tidak ada komputer desktop, dan tidak ada perpustakaan!

Melalui ilustrasi itu, kita mulai melihat bahwa masing-masing orang (penulis) kadang membutuhkan suasana tertentu, waktu tertentu, atau kondisi tertentu, untuk menunjang kelancaran dan produktivitas dalam menulis. Karenanya, mengenali kondisi ideal yang paling kita sukai dalam menulis adalah hal penting untuk produktif menulis. Tanpa kondisi sebagaimana yang kita sukai, kita tidak akan nyaman dalam menulis, apalagi sampai produktif.

Keheningan adalah hal mutlak bagi saya untuk menulis—tanpa orang lain, tanpa suara apa pun, tanpa terganggu siapa pun. Tetapi bukan berarti semua orang harus seperti itu. Ada penulis lain yang bisa khusyuk menulis meski dalam suasana ramai, diselingi suara musik atau televisi, atau bisa tetap asyik menulis meski bersama orang lain. Karenanya, sekali lagi, masing-masing orang memiliki kondisi idealnya sendiri untuk menulis.

Bahkan, kadang-kadang ada penulis yang “aneh” atau memiliki kebiasaan yang tidak lazim dalam menulis, atau sebelum menulis. Honoré de Balzac, penulis Prancis, suka jalan-jalan di taman sebelum mulai menulis. Dia merasa pikirannya lebih segar dan lebih siap setelah berjalan-jalan di taman. Sementara salah satu penulis hebat Indonesia—tidak perlu saya sebutkan namanya—biasa “mabuk” dulu sebelum mulai menulis. Jadi, sebelum menulis, dia akan menyiapkan bergelas-gelas bir, meminumnya sampai “kepalanya ringan”, lalu mulai menulis seperti kesetanan.

Prie GS, penulis dan kolomnis di koran Suara Merdeka, terbiasa menulis catatannya dalam bentuk tulisan tangan di atas kertas, kemudian baru dipindah ke komputer setelah dianggapnya jadi. Sekilas, kebiasaan itu mungkin terkesan buang-buang waktu, tapi itu memang cara Prie GS melancarkan tulisannya. Jika langsung menulis di komputer, dia mengaku tidak bisa selancar ketika menulis dalam bentuk tulisan tangan di kertas.

Tak jauh beda dengan prie GS, Remy Silado juga punya kebiasaan yang unik. Dia terbiasa mengetik tulisannya di mesin tik—bukan di komputer. Kita yang hidup di zaman komputer mungkin menganggap mengetik di mesin tik terasa melelahkan sekaligus repot, tapi Remy Silado justru menikmatinya, bahkan dengan cara itulah dia melahirkan tulisan dalam jumlah luar biasa banyaknya.

Harmoko adalah wartawan yang kemudian diangkat menjadi Menteri Penerangan di zaman Soeharto. Selama bertahun-tahun sibuk menjadi menteri, Harmoko tidak punya waktu menulis—dia malah sibuk membredel koran dan majalah yang dianggap “subversif”.

Setelah Soeharto lengser, Harmoko kembali ke habitatnya, menjadi penulis. Setelah menjadi “orang biasa”—tidak lagi menjadi pejabat yang sibuk—Harmoko melahirkan cukup banyak buku, dalam beragam tema, dengan tingkat produktivitas yang layak diacungi jempol untuk orang seusianya. Dan bagaimana Harmoko produktif menulis? Dia menulis di mesin tik!

“Setiap kali mendapat ide,” ujar Harmoko menceritakan, “saya akan langsung menuju mesin tik, dan menulisnya.” Dengan cara itulah dia bisa asyik menulis, hingga sangat produktif. Sebaliknya, jika dengan komputer, dia merasa jari-jari dan otaknya tidak selancar ketika mengetik di mesin tik.

Marcel Proust, novelis Prancis, merasa sangat asyik menulis jika diiringi menikmati espresso. Karenanya, untuk menunjang keasyikannya menulis, Marcel Proust menyiapkan puluhan cangkir espresso, yang biasa ditata berjajar di sekeliling tempat menulisnya. Sementara Franz Kafka, penulis Ceko, merasa dapat asyik menulis jika telah menikmati segelas susu—resep yang terdengar sederhana untuk seorang Kafka.

Setiap penulis memiliki suasana dan cara idealnya masing-masing untuk asyik menulis, dan suasana serta cara yang mereka gunakan bisa berbeda. Begitu pun kita. Untuk menunjang keasyikan menulis, yang tujuan akhirnya produktivitas dalam menulis, kita juga perlu menemukan situasi, kondisi, atau cara yang kita anggap paling tepat, dan kemudian menggunakannya demi menunjang keasyikan dan produktivitas dalam menulis.

Dalam suatu perjalanan di kereta api, saya pernah mendapati orang di depan saya asyik menulis di laptop di pangkuannya. Sejak saya mulai duduk sampai saya turun dari kereta api, orang itu masih terus asyik menulis—sesekali jeda hanya untuk menyeruput jus jambu yang terletak di depannya, atau untuk mencolokkan kabel ke saklar di dekatnya saat baterai laptopnya akan habis.

Dia seperti tak terganggu suasana sekelilingnya yang cukup ramai, suara anak-anak yang bermain, atau oleh suara kereta api—dia menulis seolah-olah tidak ada orang lain. Saya tidak tahu apakah dia penulis atau bukan. Tetapi, saya membayangkan betapa beruntungnya saya kalau bisa menulis seperti itu—asyik menulis di mana pun, dan bersikap seolah-olah sedang sendirian hingga tak terganggu oleh apa pun.

Tapi saya tidak memiliki kemampuan seperti itu. Karenanya, selama dalam perjalanan di kereta api waktu itu, sementara dia khusyuk menulis di laptop, saya malah membuka ponsel dan asyik membaca timeline Twitter. Waktu itu, saya ingin sekali bertanya kepadanya, bagaimana agar bisa khusyuk dalam keramaian seperti dirinya, tetapi saya takut akan mengganggu konsentrasinya.

Setiap orang memang memiliki caranya sendiri dalam menulis, yang kadang berbeda dengan orang lainnya. Jadi, bagaimana caramu agar asyik menulis?

Cara Paling Pasti Pintar Menulis

Menulislah.

Sekarang.

Dan jangan berhenti.

Apa pun alasannya.

Noffret’s Note: Jomblo

Dua topik tweet yang sudah AMAT SANGAT
KLISE SEKALI di Twitter: Mantan dan Jomblo.
Itu ironis, karena sepertinya hidup cuma dari itu ke itu.
—Twitter, 3 Juli 2013

Sesuatu yang dilakukan jutaan orang bukanlah hal istimewa.
Punya pacar atau menjomblo juga dilakukan jutaan orang.
Oh, well, itu hal biasa!
—Twitter, 8 September 2013

Apa perbedaan “Lajang” dan “Jomblo”? Lajang itu prinsip.
Jomblo itu nasib. Tapi keduanya bukan aib.
—Twitter, 21 Juni 2012

Selalu bingung setiap kali membaca tweet tentang
pacar, yang ditulis orang yang jelas-jelas jomblo.
—Twitter, 25 Desember 2012

Menurut riset, katanya, banyak wanita di FB
yang menulis status “menikah” atau “berpacaran”
hanya untuk jaga gengsi karena masih jomblo.
—Twitter, 8 Januari 2013

Kayaknya, upaya menutupi status asli jomblo
dengan cara itu justru hanya akan menjauhkan
si pelaku dari kemungkinan mendapatkan pasangan.
—Twitter, 8 Januari 2013

Di Twitter, beberapa orang juga kayaknya
menggunakan hal semacam itu untuk menutupi
status aslinya yang jomblo dengan cara beragam.
—Twitter, 8 Januari 2013

Padahal, kalau seseorang di FB/Twitter
tampak tidak jomblo (meski sebenarnya jomblo),
orang lain akan mikir-mikir kalau ingin pedekate.
—Twitter, 8 Januari 2013

Omong-omong, apa salahnya sih berstatus jomblo?
Terus terang menunjukkan kalau kita jomblo
justru membuka peluang terjadinya hubungan, kan?
—Twitter, 8 Januari 2013

Beberapa jomblo memang tidak/belum ingin
punya pacar. Jomblo yang lain ingin punya pacar.
Apa pun, mengakui diri jomblo adalah jalan terbaik.
—Twitter, 8 Januari 2013

Akhirnya, meminjam Shakespeare, “Apalah arti
sebuah status?” Seseorang bisa menulis “berpacaran”
tapi tetap aja jomblo kalau memang jomblo.
—Twitter, 8 Januari 2013

Jomblo bukan aib, punya pacar bukan prestasi.
Selamat malam Minggu.
—Twitter, 3 Agustus 2013


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Diamnya Wanita

Kadang-kadang, saat berinteraksi dengan lawan jenis, wanita menggunakan diam sebagai jawaban atau penunjukan sikap. Konon, diamnya wanita bisa berarti ganda—bisa ya (setuju), bisa pula tidak (menolak).

Sebagai pribadi sensitif (dan tidak sok pede), saya lebih cederung mengartikan diamnya wanita sebagai “tidak”. Karena, jika ternyata saya keliru pun, saya pikir itu lebih sedikit mudarat-nya. Setidaknya, saya tidak akan dinilai kepedean atau terkesan memaksa.

Jadi, hei para wanita, hati-hatilah dengan sikap diammu, karena tidak setiap lelaki bisa membaca pikiranmu. Faktanya, semua lelaki memang tidak bisa membaca pikiranmu!

Jumat, 10 Oktober 2014

Kepada Perempuan

Lelaki suka mempermudah hal-hal sulit. Perempuan
suka mempersulit hal-hal mudah. Karena itulah
kisah cinta tak pernah selesai ditulis.
@noffret


Kepada perempuan di mana pun yang kebetulan membaca catatan ini, perlu kalian tahu bahwa catatan ini ditulis oleh seorang lelaki bodoh. Dan, sekadar informasi, banyak lelaki di dunia ini yang sama bodohnya dengan penulis catatan ini, khususnya dalam hal menghadapi kalian. Karena itu, hei perempuan, catatan ini mungkin akan berguna bagi kalian, khususnya ketika harus menghadapi lelaki-lelaki bodoh seperti kami.

Di mata lelaki bodoh seperti kami, kalian adalah makhluk yang indah... sekaligus membingungkan. Dan tidak jarang membuat stres, jantung berdebar, juga pusing kepala. Khususnya ketika kami sedang jatuh cinta pada kalian.

Ketika jatuh cinta pada kalian, sejujurnya kami kebingungan. Memang ada yang tidak bingung—tapi percayalah, lebih banyak yang bingung. Kami bingung bagaimana menghadapi perasaan yang sedang kami rasakan, kami juga bingung bagaimana menyatakannya pada kalian. Oh, kami mungkin tahu bagaimana menarik perhatian kalian, mencoba dan berusaha menunjukkan perasaan kami pada kalian... tapi kami mulai kebingungan ketika kalian tidak juga paham.

Kami percaya kalian cukup sensitif untuk memahami ketika kami sedang berusaha mendekati atau menunjukkan perasaan pada kalian. Dan respons kalian akan sangat berpengaruh pada keputusan kami selanjutnya. Jika kalian sama sekali tidak merespons, atau memberikan respons negatif, maka kami akan menyimpulkan bahwa kalian tidak bisa menerima kami.

Sekadar catatan, di masa remaja mungkin kami mengenal ego defense mechanism—suatu upaya membohongi diri sendiri ketika mendapati respons negatif perempuan yang membuat kami jatuh cinta. Tapi di masa dewasa, kami cukup bijak untuk memahami ada kalanya seorang perempuan tidak bisa menerima perasaan seorang lelaki, dan kami akan menghadapinya secara realistis. No problem.

Sebaliknya, ketika kalian memberikan respons positif, kami juga akan mengartikannya sebagai penerimaan kalian terhadap perasaan yang kami rasakan. Tentu saja kami sangat senang. Tetapi, kami ingin kalian tahu, bahwa sering kali di situlah sumber kebingungan terbesar kami dimulai. Ketika kalian menunjukkan respons positif, lalu apa...?

Secara teori, tentu saja jawabannya sangat mudah—lanjutkan pendekatan. Tetapi, dalam realitas, ada banyak lelaki yang sangat kebingungan dalam mengartikan hal itu, apalagi melakukannya.

Mungkin kalian biasa mendengar ungkapan sinis yang menyatakan bahwa hanya ada dua macam lelaki di dunia ini—jika tidak bajingan, berarti homo. Sekarang, kami ingin kalian tahu bahwa ada jenis ketiga, yakni lelaki baik-baik—yang bukan bajingan dan bukan homo—tetapi cukup bodoh dalam menghadapi kalian.

Jika kalian menginginkan contoh nyata, kami bisa menyebutkan beberapa nama—Isaac Newton, Abraham Lincoln, Mark Twain, Albert Einstein, Stephen Hawking, John Nash, Bill Gates... daftarnya masih panjang. Mereka lelaki baik-baik, tapi mungkin terlalu lama bergaul dengan buku dan keasyikannya sendiri, sehingga agak kesulitan dan kebingungan ketika harus berurusan dengan perempuan—khususnya perempuan yang membuat jatuh cinta. Kami termasuk di antaranya.

So, sekarang kalian punya pilihan lebih banyak. Jika sebelumnya kalian hanya punya dua pilihan, sekarang tiga. Kalian bisa memilih lelaki bajingan yang tahu betul bagaimana menghadapi bahkan mempermainkan perempuan, atau memilih lelaki homo yang tidak doyan perempuan, atau... memilih kami—lelaki baik-baik tetapi bodoh dalam menghadapi perempuan. Jika kalian memutuskan untuk memilih kami, maka inilah yang ingin kami sampaikan.

Pertama, tunjukkanlah respons yang nyata, sehingga kami tidak ragu atau salah menafsirkan. Kalau kalian ingin memberikan respons positif atas perasaan kami, buatlah kami yakin bahwa respons positif itu memang ditujukan untuk kami. Jangan menggunakan sinyal-sinyal yang tidak jelas.

Karena, bisa jadi, ternyata kami hanya kepedean atau ge-er menyangka kalian memberikan respons positif, tapi ternyata itu ditujukan untuk lelaki lain. Di Twitter, misalnya, hal semacam itu biasa terjadi, kan? Seorang perempuan menulis tweet nomention dan seorang lelaki menyangka tweet itu ditujukan untuknya, tapi ternyata ditujukan pada lelaki lain. Kami tidak ingin salah sangka. Kami ingin yakin. Karenanya, buatlah kami yakin.

Kedua, jika kita telah mulai berkomunikasi, bicaralah menggunakan bahasa manusia, dan bukan bahasa bidadari. Kami percaya kalian bidadari. Tapi tolong ketahuilah bahwa kami manusia biasa—lelaki bodoh yang belum begitu mengenal kalian. Artinya, nyatakanlah sesuatu secara jelas, tidak menggunakan sindiran atau kata-kata kiasan yang puitis atau semacamnya, karena kami belum tentu paham.

Jika kalian ingin kita bertemu, nyatakan saja secara jelas dengan cara yang baik. Atau—menggunakan istilah kalian—secara halus. Percayalah, kami akan merespons dengan baik pula, dan penilaian kami tidak akan berubah hanya karena itu. Bahkan, kami akan sangat menghargai, karena kalian telah menghilangkan sebagian kebingungan kami. Permintaan secara halus namun jelas, jauh lebih baik daripada menyindir-nyindir atau menggunakan kata-kata kiasan yang sulit dipahami.

Jadi, lain kali, kalau ada lelaki yang tampak mendekati kalian, tetapi sikap lelaki itu tidak jelas, jangan buru-buru berburuk sangka atau menyangkanya PHP. Bisa jadi dia lelaki baik-baik yang sungguh-sungguh mencintai kalian, tapi kebingungan bagaimana melakukannya. Jika kalian membutuhkan saran bagaimana menghadapi situasi semacam itu, maka saran terbaik adalah, “Tunjukkanlah jalan pada lelaki itu, agar ia tahu apa yang harus dilakukannya.” Dalam hal ini, sekali lagi, gunakan bahasa manusia yang mudah dipahami dan tidak bermakna ganda.

Meski ada tiga macam lelaki, sebagaimana yang disebutkan tadi, tapi semua jenis lelaki menyukai tipe perempuan sama, yakni yang komunikatif. Tak peduli sebajingan apa pun, lelaki tetap kebingungan jika harus menghadapi perempuan yang pasif dan tidak komunikatif. Apalagi bagi lelaki baik-baik yang bodoh seperti kami.

Karenanya, jika kebetulan kalian menghadapi lelaki bodoh seperti kami, tidak perlu jaim tinggi-tinggi. Tunjukkan saja sikap biasa, sebagaimana kalian bersikap pada teman kalian yang lain. Dalam hal perasaan, kami percaya bahwa perempuan jauh lebih dewasa daripada lelaki. Karena itu, bersikaplah dewasa ketika menghadapi sikap kami yang mungkin kekanak-kanakan. Kami bukan lelaki buruk. Kami hanya lelaki bodoh.

Ketiga, jika kita telah memutuskan untuk bertemu, tolong perlakukanlah kami seperti teman—sebagaimana kalian biasa memperlakukan teman kalian. Artinya, tidak usah sok jaim atau gengsi-gengsian, agar kami merasa nyaman. Percayalah, kami sangat-sangat berdebar ketika bertemu kalian. Jadi tolong redakan debaran jantung kami dengan sikap yang membuat nyaman, agar kencan kita tidak berakhir di bangsal IGD gara-gara kami pingsan.

Selama kita bertemu, dan bercakap-cakap, mungkin kami akan tampak kaku, atau kekanak-kanakan. Dalam hal itu, jangan percaya pada slogan iklan yang menyatakan bahwa kesan pertama begitu menggoda. Menyangkut lelaki bodoh seperti kami, bisa jadi kesan pertama malah tampak berantakan. Ingat, kami bukan lelaki bajingan yang biasa menghadapi atau bahkan mempermainkan perempuan. Kami lelaki baik-baik tapi bodoh, yang masih kebingungan menghadapi kalian.

Selain itu, karena kami bukan lelaki bajingan yang biasa berurusan dengan perempuan, ada kalanya kami sama sekali tidak paham apa yang harus dilakukan ketika bertemu dan bersama kalian. Karenanya, jika kalian memiliki inisiatif tertentu, tolong nyatakan saja tanpa perlu gengsi atau malu-malu. Percayalah, kami akan sangat menghargai. Beritahu apa yang kalian inginkan, dan kami akan mewujudkannya untuk kalian. Jika kalian hanya diam dan berpikir kami akan paham sendiri, percayalah bahwa kami belum tentu paham sendiri.

Oh ya, jika kita jalan-jalan, atau kalian ingin ditemani ke suatu tempat yang kalian inginkan, dan kami lupa menggandeng tangan kalian, tolong ingatkan kami. Kalian bisa mengingatkan dengan cara halus, atau dengan cara manja, yang penting ingatkan kami dengan bahasa manusia yang bisa dipahami lelaki bodoh seperti kami. Karena, sejujurnya, kami memang kadang terlalu bodoh untuk memahami kenyataan “sepele” seperti menggandeng tangan kalian ketika jalan-jalan.

Akhirnya, kami ingin kalian tahu bahwa kami bukan mutan semacam Profesor X dalam film X-Men yang bisa membaca pikiran orang lain, lebih khusus pikiran kalian. Karena itu, jangan pernah sedikit pun berpikir bahwa kami akan tahu apa yang kalian inginkan jika kalian tidak mengatakannya. Ingat selalu, kami hanya lelaki biasa—lelaki baik-baik tapi bodoh, yang jatuh cinta pada kalian.

Jika kalian menginginkan sesuatu, atau kalian ingin kami melakukan sesuatu, tolong katakan dengan bahasa manusia yang dapat kami pahami. Jangan gunakan bahasa isyarat, karena kita punya sarana komunikasi yang lebih baik dan lebih jelas, yakni mulut untuk bicara. Juga jangan gunakan bahasa kiasan, karena kita tidak sedang ikut lomba puisi. Lebih penting lagi, jangan gunakan bahasa diam, karena kami pasti tidak akan paham. Bicaralah secara jelas, agar kami tahu maksud kalian, dan tidak keliru mengartikan.

Jika yang kalian maksud adalah “ya”, maka katakanlah “ya”. Sebaliknya, kalau yang kalian maksud adalah “tidak”, maka katakanlah “tidak”. Jika kalian memaksudkan “ya” tapi mengatakan “tidak”, kami benar-benar tidak akan tahu. Karena kami tidak tahu, bisa jadi langkah kami akan keliru, dan kalian akan membenci kami. Karenanya, sekali lagi, gunakan bahasa yang benar-benar dapat dipahami lelaki bodoh seperti kami.

....
....

Kepada perempuan di mana pun yang kebetulan membaca catatan ini, mungkin beberapa permintaan kami di atas terlalu banyak. Jika memang begitu, kami minta maaf. Kami hanya ingin menyampaikan kejujuran atas sesuatu yang selama ini kami sembunyikan, karena terlalu malu untuk menyatakannya terus terang.

Sejujurnya pula, kami tidak bermaksud menyulitkan kalian. Kami hanya ingin membahagiakan kalian dengan cinta kami, namun kadang kami kebingungan dan tidak tahu bagaimana melakukannya.

Noffret’s Note: Sok Jaim

Kalau dipikir-pikir, semua drama konyol dan
tidak penting yang terjadi di dunia ini timbul karena
perilaku terkutuk yang disebut “sok jaim”.
—Twitter, 12 April 2014

“Sok jaim” menjadikan yang mudah terasa sulit, yang jelas
menjadi rumit, yang seharusnya indah berubah rusak.
—Twitter, 12 April 2014

Sok jaim mengatakan “Tidak” ketika seharusnya
mengatakan “Ya”, atau mengatakan “Ya”
ketika seharusnya mengatakan “Tidak”.
—Twitter, 12 April 2014

Sori, ada telepon. Lanjut nanti kultwit sok jaim-nya.
*kayak ada yang nyimak aja*
—Twitter, 12 April 2014

Mungkin kita terlalu lama menonton sinetron konyol yang
terlalu banyak mengajarkan pelajaran tolol bernama “sok jaim”.
—Twitter, 12 April 2014

Orang-orang dalam sinetron memang suka sok jaim
untuk membuat cerita jadi panjang bertele-tele.
Tapi kita tidak hidup dalam sinetron!
—Twitter, 12 April 2014

Gara-gara sinetron tolol, sebagian kita menganggap
sok jaim adalah sikap berpendidikan.
Salah! Itu justru sikap tak berpendidikan!
—Twitter, 12 April 2014

Sok jaim mendekatkan kita pada kepura-puraan.
Kepura-puraan mendekatkan kita pada kebohongan.
Kebohongan mendekatkan kita pada kemunafikan.
—Twitter, 12 April 2014

Terbiasa sok jaim menjadikan kita terbiasa pula
untuk berperilaku munafik. Dan, demi Tuhan,
tidak ada orang yang menyukai pribadi munafik!
—Twitter, 12 April 2014

Dalam skala ekstrem, jujur tapi terlihat tolol
jauh lebih baik daripada berusaha sok jaim
demi terlihat elegan, tapi malah tampak munafik.
—Twitter, 12 April 2014

Bersikap jujur tidak membuat kita jadi konyol.
Tapi bersikap sok jaim... ya!
Oh, well, itu bahkan konyol di atas konyol di atas konyol!
—Twitter, 12 April 2014

Bersikap sok jaim artinya bersikap munafik.
Bersikap munafik adalah membohongi diri sendiri.
Apa yang lebih konyol dari itu?
—Twitter, 12 April 2014

Gara-gara sok jaim, orang yang seharusnya
mendapatkan karunia tertentu gagal meraihnya.
Karena sok jaim, orang pun kehilangan peluang.
—Twitter, 12 April 2014

Karena sok jaim, pasangan yang seharusnya
bergandeng tangan malah bertengkar, yang seharusnya
sudah asyik ndusel malah jadi bete dan kesel.
—Twitter, 12 April 2014

“Sok jaim” adalah lawan “bersikap jujur”.
Ketika kita sok jaim, artinya kita sedang tidak jujur.
Itu bukan hal baik untuk dibudayakan.
—Twitter, 12 April 2014

Selain bukan hal baik, sok jaim juga kadang
membuat komunikasi menjadi kacau.
Karena tidak setiap orang memahami bahasa sok jaim.
—Twitter, 12 April 2014

Sejujurnya, aku lebih mampu memahami makna
tersembunyi di balik kode-kode rumit, tapi sering
kebingungan memahami arti dari sikap sok jaim.
—Twitter, 12 April 2014

Kalau kau mengatakan “Tidak” kepadaku,
maka aku akan mengartikannya sebagai “Tidak”,
meski ternyata yang kau maksud adalah “Ya.”
—Twitter, 12 April 2014

Sebaliknya, kalau kau mengatakan “Ya,”
maka aku akan mengartikannya sebagai “Ya,”
meski mungkin kau bermaksud mengatakan sebaliknya.
—Twitter, 12 April 2014

Aku tidak tolol. Aku hanya berusaha untuk jujur. Kalau
kejujuran membuatku tampak konyol di matamu, persetan!
—Twitter, 12 April 2014

Jadi, ada tiga hal penting yang perlu diingat selalu
dalam hidup. Pertama, jangan sok jaim.
Kedua, jangan sok jaim. Ketiga, jangan sok jaim.
—Twitter, 12 April 2014

Orang kalau dasarnya elegan, foto cuma tampak leher pun
tetap elegan. Begitu pun, orang kalau dasarnya sopan,
tidak sok jaim pun tetap sopan.
—Twitter, 12 April 2014

Kalau-kalau ada yang belum paham,
tidak sok jaim bukan berarti kita kehilangan kesopanan.
Tidak sok jaim artinya tidak munafik.
—Twitter, 12 April 2014

Kehidupan yang kita jalani pasti akan lebih indah
dan mudah dipahami, kalau saja semua orang meninggalkan
sifat terkutuk bernama “sok jaim”.
—Twitter, 12 April 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Teman Saya Khawatir Kita Semua Sebenarnya Iguana

Teman saya berkata, “Aku sering khawatir, kita semua sebenarnya iguana.”

Dengan terkejut, saya menyahut, “Kenapa kamu berpikir begitu?”

“Ya, karena aku sering khawatir kita semua sebenarnya iguana.”

....
....

Sejak itu, saya sering khawatir kita semua sebenarnya iguana.

Susah kok Dicari

Iya.

....
....

*Nyulut rokok*

....
....

Orang-orang, katanya, menjauh dari kesengsaraan, dan berupaya mendekati kebahagiaan. Faktanya tidak. Mereka beramai-ramai mendekati kesengsaraan, dan menjauh dari kebahagiaan.

Susah kok dicari.

....
....

*Ngisap rokok*

*Senyum*

....
....

Yang paham mungkin wali.

Senin, 06 Oktober 2014

Debu Dalam Angin (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kenyataannya, Siemens C35 adalah ponsel berlayar monokrom 1,5 inci, dengan keypad karet lentur, hanya bisa digunakan untuk menelepon dan berkirim SMS, serta audio/suaranya belum polifonik. Oh, well, bahkan istilah polifonik pun sekarang sudah terdengar kuno, karena rata-rata ponsel zaman sekarang sudah stereo. Tetapi itulah ponsel yang “terbaru, tercanggih, dengan fitur paling lengkap, bahkan mahal.”

Jika Siemens C35 telah dianggap ponsel paling hebat di zaman itu, kalian tentu bisa membayangkan ponsel macam apa di zaman itu yang “keluaran lama, tidak canggih, yang fiturnya tidak lengkap, dan murah.” Tidak perlu saya jelaskan, karena penjelasannya sangat tidak menarik.

Singkat cerita, saya setuju membeli ponsel Siemens C35 yang ditawarkan Om Wijaya. Tapi ternyata urusannya belum selesai. Untuk bisa mengoperasikan ponsel itu, dibutuhkan nomor ponsel (SIM/kartu perdana), sebagaimana nomor telepon rumah. Waktu itu, hanya ada dua pilihan kartu perdana—keluaran Excelcomindo yang disebut ProXL, dan keluaran Indosat yang disebut Mentari.

Coba tebak berapa harga kartu perdana waktu itu—tahun 1999.

Kalian yang sekarang biasa membeli kartu perdana seharga 5 ribu perak, mungkin terkejut kalau mendengar kartu perdana di masa itu harganya mencapai sejuta. FYI, kartu perdana Mentari waktu itu dijual seharga Rp. 1.100.000 (di atas satu juta), sementara kartu perdana ProXL dijual seharga Rp. 800.000. Tambahan informasi, pulsa isi ulang waktu itu rata-rata juga masih “mahal”, antara Rp. 200-250 ribu, dengan masa aktif relatif singkat.

Nah, setelah saya setuju membeli ponsel serta nomor perdana yang akan saya gunakan, Om Wijaya memanggil putrinya, dan memintanya untuk mengambilkan minuman. Putri Om Wijaya datang menyuguhkan dua botol Coca Cola dingin, dan saya meminumnya sambil mendengarkan Om Wijaya menerangkan secara detail mengenai cara mengoperasikan ponsel yang “canggih dan hebat” itu.

Sekitar setengah jam saya duduk di sana, menanyakan yang ingin saya tanyakan, dan Om Wijaya dengan sabar menjelaskannya. Setelah saya merasa puas dan bermaksud pulang untuk membawa ponsel baru itu, Om Wijaya memberikan nomor ponsel pribadinya, sembari mengatakan, “Kalau sewaktu-waktu butuh tanya-tanya lagi seputar ponsel yang baru dibeli, silakan hubungi nomor saya.”

Kami bersalaman, lalu saya pamit.

Kini, saat menulis catatan ini, saya masih bisa membayangkan semua kejadian bertahun-tahun itu, sejelas saya membayangkan peristiwa yang baru terjadi kemarin. Sejujurnya, dalam ingatan saya, peristiwa itu seperti belum lama terjadi. Tetapi, jika merujuk pada kalender, kenyataannya telah terjadi lima belas tahun yang lalu. Begitu cepat waktu berjalan, dan begitu lambat kita menyadari.

Ponsel Siemens C35 yang saya beli waktu itu cukup lama di tangan saya, sampai kemudian muncul ponsel-ponsel yang jauh lebih canggih, dan saya menggantikannya dengan ponsel lain, berganti-ganti, sampai hari ini.

Ponsel zaman sekarang rata-rata disebut “smartphone” atau ponsel pintar—dengan layar sentuh yang sangat jernih berkualitas HD, dengan layar berukuran lebar, dilengkapi beragam fitur yang nyaris bisa melakukan apa pun. Tidak hanya untuk menelepon dan berkirim SMS, ponsel zaman sekarang bisa digunakan untuk mendengarkan musik dengan suara stereo, menonton film, mengakses internet, chatting, memotret dan membuat foto, merekam video, melihat peta dan lokasi, mentransfer data antarponsel—sebut lainnya.

Bandingkan itu dengan Siemens C35 yang dulu pernah saya miliki. Meski disebut ponsel “terbaru, tercanggih, dengan fitur paling lengkap”, tapi kenyataannya ponsel itu hanya bisa digunakan untuk menelepon dan berkirim SMS. Jangankan untuk menonton film atau lainnya, bahkan pengiriman SMS pun dibatasi 160 karakter, karena waktu itu belum dikenal penggunaan memori. Kalau ingin menulis SMS panjang lebar, kita harus mengirim SMS berkali-kali. Omong-omong, tarif telepon dan SMS waktu itu relatif mahal, dan tidak ada program diskon atau promosi gratisan!

Sekarang, “benturkan” pengalaman saya di masa lampau berkaitan dengan ponsel tersebut, dengan urusan ponsel di masa sekarang. Dulu, membeli ponsel nyaris bisa dikatakan seperti melamar anak orang. Duduk di ruang privasi, bercakap-cakap secara pribadi, bahkan sampai disuguhi minuman. Sekarang, membeli ponsel tak jauh beda dengan membeli sandal jepit. Cukup datang, lihat-lihat, coba sebentar, lalu bayar.

Peradaban berubah, kebudayaan berubah, tetapi yang paling cepat berubah adalah teknologi, yang merupakan bagian penting ilmu pengetahuan. Dan, percaya atau tidak, ilmu pengetahuan secara global mengalami peningkatan 200 persen per tahun. Bisa kita bayangkan implikasinya?

Di masa sekarang, yang disebut “hebat”, “canggih”, atau semacamnya, tidak lagi butuh waktu lama untuk menjadi “kuno” dan “ketinggalan zaman”. Jika di masa lalu yang hebat mungkin mampu bertahan lama dan tetap dianggap hebat, di masa sekarang yang hebat bisa menjadi kuno dalam hitungan tahun, bulan, atau bahkan hari. Apa pun atau siapa pun yang hebat hari ini bisa tampak konyol tahun depan, bulan depan, minggu depan, atau bahkan besok!

Di masa lalu, orang membutuhkan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu untuk tahu kejadian hari ini. Di masa sekarang, orang dapat mengetahui apa pun yang terjadi hari ini pada hari ini juga, bahkan dalam setiap detiknya. Apa yang terjadi detik ini dapat kita ketahui detik ini. Peristiwa yang terjadi di Antartika atau jauh di pelosok Karibia, bisa kita ketahui dari dalam kamar kita.

Ilmu pengetahuan berkembang 200 persen setiap tahun, dan kenyataan itu tidak hanya mengubah wajah dunia, tetapi juga mempengaruhi laju peradaban manusia. Bahkan meski kita telah belajar dengan sangat tekun sekali pun, langkah kita masih tertatih di hadapan laju ilmu pengetahuan yang terus berlari cepat, sangat cepat, dan semakin cepat. Saya ulangi; Bahkan meski kita telah belajar dengan sangat tekun sekali pun, langkah kita masih tertatih di hadapan ilmu pengetahuan yang terus berlari cepat, sangat cepat, dan semakin cepat.

Bayangkan jika kita malas belajar.

Dulu, lompatan ponsel kuno menuju ponsel modern membutuhkan waktu puluhan tahun. Kini, lompatan ponsel modern ke ponsel pintar hanya butuh waktu beberapa tahun. Bayangkan lompatan berikutnya. Makin cepat, makin cepat, dan makin cepat, karena pertumbuhan ilmu pengetahuan meningkat 200 persen setiap tahun. Begitu pula yang terjadi pada banyak bidang lain. Kita mungkin tidak menyadari, tetapi itulah yang terjadi, sedang terjadi, dan terus terjadi.

Sekarang bayangkan jika hari ini saya masih membanggakan ponsel kuno yang saya beli pada 1999, dan menggembar-gemborkannya sebagai ponsel yang sangat canggih dan hebat. Bisa jadi, karena tidak meng-update pengetahuan, saya tidak menyadari bahwa teknologi ponsel telah sangat maju dan modern, dan saya masih berkutat dengan kebanggaan masa lalu. Apa yang terjadi? Jelas, dunia akan tertawa.

Begitu pula dengan segala yang kita pikir kita miliki—pengetahuan kita, wawasan, pengalaman, perspektif, bahkan keyakinan kita. Segalanya berubah. Pengetahuan kita bisa jadi sudah ketinggalan zaman, wawasan kita sudah perlu di-upgrade, pengalaman kita membutuhkan banyak update, perspektif kita mungkin sudah kuno, sementara keyakinan kita perlu banyak revisi.

Segalanya berubah, dan perubahan adalah roda zaman. Jika kita tidak mengikutinya, atau bahkan tidak mau mengakuinya, maka kita akan terlindas dan ditinggalkan.

Ironisnya, ada banyak orang yang telah tertinggal oleh laju zaman tapi masih merasa dan menganggap dirinya paling hebat, paling segalanya, tanpa menyadari kalau mereka sebenarnya sudah sangat kuno dan ketinggalan zaman. Itu tak jauh beda dengan Hercules yang masih merasa paling hebat hanya dengan cawat dan gada, padahal pertempuran di zaman sekarang menggunakan satelit dan otak.

Orang-orang “kuno” semacam itu biasanya memiliki sifat khas—tinggi hati, merasa paling hebat sendiri, jumawa tapi sok rendah hati, mudah merendahkan orang lain, dan merasa tidak ada yang menandingi. Kuno!

Yang hebat di masa lalu bisa jadi kuno hari ini—jadi tidak usah sok! Sebagaimana ponsel yang hebat dan canggih sekian tahun lalu telah menjadi kuno hari ini.

Peradaban berubah, wajah dunia berubah, pengetahuan berubah, dan perubahan itu makin hari makin cepat. Kenyataan itu bukan berarti kita harus berlari pontang-panting demi bisa terus mengejar laju perubahan, karena upaya semacam itu hanya akan membawa kita pada kedangkalan. Cepatnya laju perubahan yang terjadi adalah pengingat bahwa kita perlu banyak belajar untuk terus memperbaiki diri, dan tidak perlu terlalu membanggakan apalagi mengagungkan diri. Karena yang kita anggap hebat bisa jadi telah kuno, yang kita anggap benar ternyata telah terbukti keliru.

Bocah di kampung kita mungkin sangat jumawa karena bisa menghafal satu juz Al-Qur’an, karena dia tidak tahu di luar sana ada bocah lain yang telah menghafal 30 juz. Tetangga kita mungkin tinggi hati karena punya 3 gelar akademis, karena dia tidak tahu ada orang lain di luar sana yang sebaya dengannya, yang memiliki 12 gelar akademis. Teman kita mungkin sudah merasa paling pintar karena telah membaca seratus buku, karena dia tidak tahu ada orang lain yang telah membaca ribuan buku.

Ilustrasi mudah seperti itu bisa jadi juga menimpa kita, tanpa kita sadari. Hanya karena sedikit prestasi, kita sudah sok dan angkuh serta merasa paling hebat sendiri, padahal dunia tidak sebatas yang kita ketahui.

Di hadapan perubahan yang melaju sedemikian cepat, segala yang kita tahu dan kita banggakan sering kali hanya setitik debu dalam angin yang berkelebat. Dalam kesadaran semacam itu, ada nasihat lama yang masih relevan untuk diingat, “Tuntutlah ilmu, dari buaian hingga ke liang lahat.” 

Debu Dalam Angin (1)

Kita tertidur ketika bintang jatuh, kita terbangun
ketika langit runtuh, dan kita terkejut melihat bulan tak lagi utuh.
@noffret


Kisah ini mungkin lucu atau malah klasik jika didengarkan hari ini, tapi benar-benar saya alami. Kisah ini terjadi lima belas tahun yang lalu, pada 1999, ketika saya perlu membeli ponsel. Waktu itu, ponsel masih barang baru, dan kebanyakan yang beredar adalah ponsel AMPS (semacam CDMA, tapi hanya bisa digunakan untuk menelepon lokal/dalam kota). Ponsel GSM masih langka, bahkan masih menjadi barang mewah saat itu.

Karena saya membutuhkan ponsel yang bisa digunakan untuk menelepon interlokal, saya pun membutuhkan ponsel GSM. Jadi, suatu sore, saya pergi ke dealer ponsel—yang waktu itu juga masih langka—untuk mendapatkan yang saya inginkan. Di dealer, pelayan menawarkan beberapa ponsel AMPS yang koleksinya cukup banyak—rata-rata berukuran besar hingga sulit digenggam. Saya bilang kepadanya, “Saya mencari yang GSM.”

Sejenak, pelayan itu menatap saya, dan bertanya, “Second?”

“Yang baru.”

Perhatikan, kisah ini terjadi pada 1999, ketika ponsel—apalagi yang GSM—masih dianggap barang mewah, mahal, dan hanya dimiliki orang-orang tertentu. Ketika saya datang ke dealer ponsel waktu itu, saya masih bocah kinyis-kinyis. Jadi, ketika mendengar saya mencari ponsel GSM, pelayan di dealer mungkin agak bingung campur heran. Karenanya, meski saya sudah menjelaskan mencari ponsel GSM, dia masih bertanya lagi, dan lagi.

Setelah mendengar saya mencari ponsel GSM yang baru, pelayan itu masih bertanya, “Nyarinya yang seperti apa?”

Meski masih bocah, waktu itu saya sudah cukup sibuk. Jadi, untuk mempersingkat waktu, saya pun menegaskan, “Saya mencari ponsel GSM, yang terbaru, dan yang paling canggih.”

Pelayan itu kembali menatap sesaat, kemudian membawa saya masuk ke ruang dalam. Itu pengalaman pertama membeli ponsel, jadi saya menurut saja. Pelayan itu ternyata mempertemukan saya dengan pemilik dealer tersebut, yang kemudian saya panggil Om Wijaya—seorang lelaki Cina berwajah ramah, berusia 40-an tahun. Setelah saya duduk di ruang pribadi Om Wijaya, pelayan tadi memberitahu, “Mas ini mau nyari ponsel GSM yang baru.”

Om Wijaya mengangguk, dan pelayan tadi pergi. Setelah itu, dengan nada ramah, Om Wijaya memberitahu, “Yang di depan (maksudnya konter di depan) hanya melayani penjualan ponsel AMPS. Pembeli yang ingin membeli GSM bisa langsung saya layani di sini.”

Saya mengangguk. Jadi begini rupanya cara membeli ponsel, pikir saya waktu itu.

Kemudian, masih dengan nada ramah, Om Wijaya menanyakan ponsel seperti apa yang saya cari. Di ruangan itu—di belakang kursi Om Wijaya—terdapat etalase berisi aneka macam ponsel. Saya pun memperhatikan ponsel-ponsel yang terpajang di sana, kemudian berkata pelan-pelan, “Saya menginginkan ponsel yang terbaru, yang paling canggih, dengan fitur paling lengkap.”

Om Wijaya mengambil beberapa ponsel, meletakkannya di meja, tapi semuanya tidak menarik minat saya. Rata-rata ponsel itu berukuran besar. Jadi, saya pun kembali menegaskan, “Saya ingin ponsel yang ukurannya paling kecil.”

Seperti pelayan tadi, Om Wijaya menatap saya sesaat, kemudian berujar pelan-pelan, “Ada ponsel produksi Jerman yang persis seperti itu—terbaru, sangat canggih, dengan fitur paling lengkap, dan berukuran kecil—jauh lebih kecil dibanding ponsel lainnya. Saya bahkan baru mendapatkannya tadi siang. Tapi, harganya mahal.”

“Berapa?”

Mungkin, karena berharap saya bisa mendengarkannya dengan baik, Om Wijaya menyebutkan harganya dengan jelas, “Satu juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah.”

Di saku saya waktu itu ada uang tunai sekitar tiga juta. Jadi, saya pun berkata, “Bisa lihat ponselnya?”

Om Wijaya mengambil ponsel itu, meletakkannya di meja, dan membukakan kardusnya yang masih tersegel rapi. Saat ponsel dikeluarkan dari kardus, mata saya berbinar. Ponsel itu tepat seperti yang saya inginkan—warnanya hitam, berukuran kecil, dengan penampilan elegan. Inilah ponsel yang kata Om Wijaya, “keluaran terbaru, paling canggih, dengan fitur paling lengkap—dan mahal.”

Coba tebak ponsel apa yang saya lihat di sana.

Kalian mungkin akan terkejut.

Siemens C35.

Kalian yang mulai mengenal ponsel pada era 2000-an mungkin tidak tahu dan belum pernah mendengar ponsel Siemens C35, apalagi sekarang ponsel Siemens tidak lagi beredar. Tapi siapa pun yang tahu ponsel itu pasti akan senyum-senyum. Jika dilihat hari ini, Siemens C35 tampak kuno, sama sekali tidak canggih, dan ketinggalan zaman. Wujudnya juga termasuk besar untuk ukuran ponsel yang “bodoh” (bukan smartphone).

Lanjut ke sini.

Setelah Besar Nanti, Aku Ingin Punya Mbakyu

Di abad ke-19, bocah-bocah ditanya gurunya tentang cita-cita mereka setelah besar nanti. Di abad ke-21, bocah-bocah ditanya gurunya tentang tipe mbakyu seperti apa yang mereka kagumi, yang akan mereka rindukan setelah besar nanti.

“Aku ingin mbakyu yang pintar politik, seperti Mbak Dee Dee!” ujar bocah pertama dengan semangat, saat ditanya gurunya.

Ibu guru kembali bertanya, “Mbak Dee Dee siapa?”

“Itu, Mbak Kartika Djoemadi.”

Ibu guru mengangguk. Lalu berpaling pada bocah kedua. “Kalau kamu?”

“Aku ingin mbakyu yang pintar berakting, seperti Mbak Wulan!”

“Mbak Wulan siapa?”

“Itu, Mbak Wulan Guritno.”

“Oooh,” sahut ibu guru sambil mengangguk dan tersenyum. Lalu berpaling pada bocah ketiga, “Kalau kamu?”

“Aku ingin mbakyu yang ramah dan murah senyum!” ujar bocah ketiga. “Seperti Mbak Mia!”

Ibu guru mengerutkan kening, “Mbak Mia siapa?”

Bocah ketiga pura-pura mati.

Zaman yang Sangat Kuno

“Menurutmu, zaman apa yang sangat kuno?”

“Zaman prasejarah?”

“Bukan.”

Zaman Batu?”

“Bukan.”

Zaman Logam? Zaman Perunggu?”

“Juga bukan.”

“Jadi, zaman apa yang sangat kuno?”

“Zaman Panggit.”

Rabu, 01 Oktober 2014

Politik itu Sakit

Baca berita seputar politik tuh mula-mula asyik,
lama-lama terasa lucu, kemudian ironis,
akhirnya bosan karena muak.
@noffret


Sering saya ditanya teman—di dunia nyata maupun di dunia maya—kenapa tidak pernah menulis tentang politik. Selama bertahun-tahun ngeblog, memang bisa dibilang saya nyaris tidak pernah menulis soal politik. Bahkan ketika isu politik sedang ramai-ramainya—seperti pas pemilu kemarin—saya lebih suka menulis hal-hal lain yang tidak bersangkut paut dengan politik.

Sebenarnya, saya malas ngomongin politik bukan karena tidak adanya minat, melainkan lebih karena frustasi. Saya frustasi menyaksikan pemerintah dan pejabat-pejabat negeri ini yang... well, kalian tahu yang saya maksudkan. Perasaan saya mungkin bisa diibaratkan seperti orangtua yang “sudah tidak mau ngurusin anaknya lagi” karena si anak sangat nakal, seenaknya, dan tidak bisa diomongi. Jadi, daripada cuma makan hati, saya lebih suka tidak ngomongin sama sekali.

Di rumah saya ada dokumentasi yang cukup lengkap menyangkut perjalanan bangsa ini, sejak pra-reformasi, turunnya Soeharto, naiknya Habibie, kepemimpinan Gus Dur, lalu Megawati, sampai masa SBY. Melalui dokumentasi itu, saya bisa menelusuri perjalanan dan karir politik siapa pun—yang naik dan yang turun, yang bersinar dan yang tenggelam, yang dikenang dan yang dilupakan. Melalui dokumentasi itu pula, saya bisa melihat bahwa politik adalah salah satu hal yang paling brutal menghancurkan idealisme dan nilai-nilai baik seseorang.

Bertahun-tahun lalu, ada mahasiswa yang sangat hebat. Pada masa reformasi, dia adalah bintang yang bersinar. Profil, kiprah, dan wawancaranya dimuat banyak koran, tabloid, majalah, juga televisi. Sebagaimana banyak orang lain, saya ikut mengaguminya. Dia anak muda cerdas dan cemerlang, mahasiswa idealis, salah satu sosok yang menonjol dalam demonstrasi menurunkan Soeharto dan rezimnya.

Lalu Soeharto lengser, dan Indonesia memasuki zaman reformasi. Anak muda yang cemerlang itu pun aktif dalam politik, memperoleh jabatan, hingga menjadi bagian pemerintah. Ketika dia telah masuk dalam sistem politik, idealismenya hilang, kecemerlangannya runtuh, dan kabar terakhir yang saya baca menyebutkan dia didakwa korupsi, serta dijatuhi hukuman penjara beberapa tahun plus denda ratusan juta.

Yang mengalami ironi semacam itu tidak hanya satu dua—tapi lebih dari satu dua. Mereka berawal sebagai mahasiswa idealis, aktif di bidang sosial, lalu membangun karir di politik, masuk dalam sistem pemerintah, dan ending-nya... didakwa korupsi.

Selama menyaksikan ironi semacam itu, saya pun seperti melihat lingkaran setan. Orang-orang baik yang semula ada di luar politik kemudian berubah menjadi pejabat-pejabat korup ketika mulai masuk ke dalam politik. Orang-orang yang semula memperjuangkan nasib rakyat kemudian berubah menjadi monster-monster yang mengurusi perut dan kepentingannya sendiri ketika telah menjadi politisi.

Memang ada orang-orang baik yang masih menjadi orang baik ketika mereka masuk politik. Tapi jumlahnya sangat sedikit. Sebegitu sedikit, hingga kita—khususnya saya—merasa pesimis bahkan apatis. Karenanya, dalam rasa frustasi, saya pun sempat berpikir bahwa politik adalah iblis paling keji yang menghancurkan mentalitas manusia, hingga mereka kehilangan nilai-nilai terpuji. Politik itu sakit, pikir saya, dan siapa pun yang masuk politik harus bersiap tertular penyakitnya.

Kisah klise dalam politik berjudul “ingin mengubah sistem”. Ada orang-orang baik yang masuk politik dengan alasan ingin mengubah sistem. Masyarakat pun mendukungnya, berharap dia benar-benar dapat mengubah sistem yang telah bobrok. Tetapi, kemudian, ketika orang-orang baik itu telah masuk dalam sistem politik, yang terjadi bukannya mengubah sistem yang telah ada, tapi justru merekalah yang berubah. Jika semula bermaksud memperbaiki sistem yang korup, tapi yang terjadi justru mereka yang berubah korup.

Sekarang, setiap kali membaca berita mengenai pejabat yang didakwa korupsi, cobalah telusuri kisah dan perjalanan hidupnya, dan kemungkinan besar kalian akan terkejut. Orang-orang yang sekarang disebut koruptor itu dulunya kebanyakan mahasiswa-mahasiswa idealis, yang sangat lantang menentang korupsi. Mereka kemudian aktif dalam politik dengan misi mengubah sistem yang mereka anggap rusak. Tetapi sistem yang mereka hadapi terlalu kuat. Alih-alih dapat mengubah sistem, justru sistem itulah yang mengubah mereka.

Ehmm....

Kampus tempat saya kuliah dulu termasuk kampus yang maju dalam bidang kemahasiswaan. Perguruan tinggi kami menganut sistem student government—pemerintahan dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk mahasiswa. Karenanya, bisa dibilang, seluruh urusan kemahasiswaan sama sekali tidak direcoki oleh rektorat. Melalui sistem student government, mahasiswa belajar politik secara langsung, melalui praktik, karena ada unit-unit kemasyarakatan (UKM), badan eksekutif beserta menteri-menterinya (BEM), dan lembaga legislatif yang merancang undang-undang pemerintahan (DLM).

“Karir politik” saya di kampus dimulai dari UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Kemudian, saat naik semester, saya dimasukkan ke DLM (Dewan Legislatif Mahasiswa), dan bekerja dengan anggota DLM lain merancang undang-undang. Masing-masing UKM bertanggung jawab kepada BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), sementara BEM bertanggung jawab kepada DLM. Lalu DLM bertanggung jawab kepada siapa?

DLM tidak bertanggung jawab kepada siapa pun. Kenapa? Jawabannya sepele—karena DLM tidak mengurusi uang!

Pihak yang paling banyak mengurusi uang kemahasiswaan di kampus adalah BEM. Ketika DLM periode saya telah selesai menunaikan tugas, saya dimasukkan ke BEM, menjadi salah satu menteri. Pada saat itulah kemudian saya tahu banyaknya uang yang ada di tangan BEM. Pada zaman saya saja, uang yang ada di bawah kendali BEM lebih dari 100 juta. Itu jumlah yang luar biasa bagi bocah-bocah bernama mahasiswa.

Dan jika sekumpulan bocah diberi kekuasaan untuk mengendalikan uang dalam jumlah sangat besar, kira-kira apa yang terjadi? Benar, tepat seperti yang ada di kepala kalian.

Jadi, banyak bocah di negeri ini yang telah belajar tentang “politik” sejak di kampusnya. Sayangnya, juga banyak bocah di negeri ini yang telah belajar menjadi “politisi” sejak di kampusnya. Dan ketika menjadi salah satu “politisi” di kampus itulah, saya menyadari bahwa sistem politik yang dilembagakan terlalu kuat untuk diubah. Karenanya, meski tujuan awal beberapa orang yang masuk politik adalah untuk mengubah sistem, tapi yang terjadi justru sistem itulah yang mengubah mereka.

Tidak jauh beda dengan negeri ini, sistem pemilihan presiden di kampus saya menggunakan pemilu—setiap mahasiswa di kampus memilih satu dari beberapa calon presiden, dan calon yang paling banyak mendapatkan suara akan menduduki kursi kepresidenan. Kemudian, presiden yang terpilih akan merekrut sejumlah mahasiswa untuk duduk di kabinetnya. Dan tidak jauh beda dengan negeri ini, kampanye calon presiden di kampus saya juga melibatkan uang tidak sedikit, dan terkadang juga menggunakan intrik politik.

Pada akhir masa kuliah, saya sempat kepikiran untuk bersaing dengan beberapa mahasiswa lain memperebutkan kursi Presiden BEM. Dalam bayangan yang lugu, saya akan mampu mengubah sistem jika menduduki posisi puncak, sebagai presiden. Tetapi, kemudian saya menyadari, jika saya mengubah sistem yang telah ada hingga benar-benar bersih, lalu siapa yang mau menjadi menteri? Siapa yang mau membantu saya dalam pemerintahan? Siapa yang mau bekerja keras menjalankan undang-undang yang telah ditetapkan DLM?

Untungnya, rencana konyol menjadi presiden itu tak tercapai—saya keburu drop out dari kampus, karena mata kuliah saya sudah habis.

Kini, ketika menyaksikan berbagai drama politik negeri ini, saya terbayang pada aktivitas politik di kampus dulu. Saya bisa membayangkan apa yang terjadi di pemerintahan, seperti apa pola pikir para pejabat dan politisi, juga bagaimana mereka menjalankan amanat jabatannya. Memang benar masih ada orang-orang bersih di pemerintahan, masih ada pejabat-pejabat yang jujur, masih ada politisi-politisi yang memelihara sifat terpuji. Tetapi mereka semua menghadapi sistem yang sama. Dan selama sistem yang ada terlalu kuat, bisa dibilang mereka tidak akan terlalu berdaya.

Dalam pola pikir yang sederhana, orang yang telah memiliki gaji besar seharusnya tidak korupsi. Tapi banyak dari mereka yang korupsi. Kenapa? Pertama karena mental yang korup, dan kedua karena pengaruh sistem yang korup. Orang jujur yang masuk ke dalam sistem yang korup hanya punya dua kemungkinan—ikut korup, atau menjadi pahlawan tapi dipersona-non-gratakan. Sayangnya, jumlah pahlawan selalu sedikit. Sebegitu sedikit, hingga mereka kesulitan mengubah sistem.

Karena pemikiran semacam itulah, saya malas ngomongin politik, sama malasnya mikir politik. Cuma sia-sia, pikir saya saat frustasi.

Bagaimana pun, selama sistemnya masih bobrok, hasilnya akan sama bobrok. Untuk bisa mengubah sistem yang bobrok, dibutuhkan banyak orang baik yang ada dalam sistem, yang sama sekali tidak terpengaruh oleh sistem, kemudian berhasil menduduki pos-pos penting dalam sistem, sehingga mereka akhirnya bisa mengubah sistem. Yang jadi masalah, orang baik sering kali sulit untuk bisa masuk sistem, apalagi sampai menguasai sistem.

Terdengar memusingkan? Memang! Itulah kenapa saya lebih suka tidak ngomongin politik, daripada pusing dan jengkel sendiri. Politik itu sakit, dan sakitnya sangat menular. Kita yang jauh dari politik mungkin tidak atau belum tertular penyakitnya, sehingga masih bisa memandang dan menilai secara objektif. Tetapi begitu telah berdekatan, apalagi sampai masuk ke dalamnya, selalu ada kemungkinan kita akan tertular penyakitnya, hingga sama-sama sakit seperti yang lain.

Hari ini, sebagaimana di tahun-tahun lalu, ada banyak orang baik yang menyuarakan hal-hal baik demi politik dan pemerintahan yang lebih baik. Marilah kita dukung mereka, sambil berharap, dan berdoa, semoga orang-orang baik itu bisa masuk ke dalam sistem pemerintahan dan tetap menjadi orang-orang baik, agar bisa menjalankan praktik politik secara baik, memimpin dengan baik, menjalankan amanat rakyat dengan baik, demi membawa negeri ini menjadi bangsa yang lebih baik.

Dan ketika itu terjadi, semoga saya masih hidup, agar bisa menulis catatan berjudul “Politik itu Baik”.

Iblis yang Sibuk

Setelah kebusukannya terungkap, dia sangat sibuk. Sibuk berusaha ngutak-atik kebohongan, sibuk berusaha menutupi kepanikan karena kejahatannya terbongkar, juga sibuk menyembunyikan kebusukan-kebusukannya.

Noffret’s Note: Berpikir

Sering kali aku berpikir, salah satu kenikmatan
di dunia ini adalah berpikir.
—Twitter, 16 Juli 2014

Orang senang ketika kau bisa membuat mereka berpikir
bahwa mereka berpikir. Tetapi ketika kau benar-benar
membuat mereka berpikir, mereka marah.
—Twitter, 16 April 2014

Berpikir adalah pekerjaan sulit. Sebegitu sulit,
banyak orang lebih memilih mati daripada berpikir.
Meski begitu, mereka menyangka berpikir.
—Twitter, 16 April 2014

Dalam hal berpikir, hewan bisa jadi lebih baik dari manusia.
Hewan tidak berpikir, dan mereka tidak pernah
berpikir bahwa mereka berpikir.
—Twitter, 16 April 2014

Sebenarnya, banyak manusia yang hidup tanpa pernah berpikir.
Tapi mereka berpikir bahwa mereka berpikir,
hanya karena merasa punya pikiran.
—Twitter, 16 April 2014

Pikiran adalah satu hal, berpikir adalah hal lain. Memiliki
sesuatu dalam pikiran bukanlah bukti bahwa kita berpikir.
—Twitter, 16 April 2014

Ironi manusia tak pernah berubah sejak zaman dulu kala.
Tak pernah berpikir, tetapi berpikir bahwa mereka berpikir.
Lalu hidup dengan itu.
—Twitter, 16 April 2014

“Hanya dua hal yang abadi,” kata Albert Einstein,
“semesta, dan kebodohan manusia.
Namun, aku tak yakin dengan yang pertama.”
—Twitter, 16 April 2014

Sekarang aku tahu mengapa air mengalir.
Ia tak pernah diberi kesempatan berpikir.
—Twitter, 21 April 2014

Dan, demi timeline yang tak pernah berakhir,
Twitter tampaknya bukan tempat yang tepat untuk berpikir.
—Twitter, 16 April 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

 
;