Salah satu pilihan penting sekaligus berat yang pernah terjadi dalam hidup saya adalah ketika akan memutuskan drop out dari kampus. Waktu itu saya kuliah S1, dan hampir lulus. Semua teori mata kuliah sudah saya selesaikan, tinggal KKN dan menggarap skripsi. Jika saya meneruskan kuliah yang tinggal seuprit itu, maka selangkah lagi saya akan wisuda, dan mendapatkan gelar. Dan, bisa jadi, saya akan meneruskan S2 dan seterusnya.
Dan di situlah saya harus menjatuhkan pilihan yang amat sulit.
Di satu sisi, saya tahu orang tua sangat menginginkan saya lulus kuliah. Betapa pun juga mereka tentu ingin bangga menyaksikan anaknya diwisuda. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang mengusik-usik hati dan pikiran saya, yang terus-menerus menarik diri saya untuk segera melepaskan bayangan itu.
Kuliah atau tidak kuliah adalah hak setiap orang, begitu pun lulus kuliah atau tidak. Kebetulan, saya kuliah dengan biaya sendiri, sehingga—meski tetap merasa terbebani oleh harapan orangtua yang menginginkan saya wisuda—namun akhirnya saya tetap menempuh jalan yang saya pilih; drop out.
Rencana drop out itu pertama kali saya utarakan pada dosen wali, dan kebetulan kami cukup akrab. Dia terkejut ketika mendengar rencana itu, dan sangat menyayangkan, dan mencoba menahan serta meminta agar saya membatalkan rencana gila itu. Dia bahkan sempat menyatakan bahwa masa depan saya akan terjamin jika mau meneruskan kuliah hingga lulus. Oh, well, kampus saya akan dengan senang hati menerima saya sebagai dosen jika saya mau melamar ke sana setelah lulus kuliah.
Tapi suara hati saya terus memanggil-manggil, dan saya memilih untuk mengikutinya. Dan, suara hati itu meminta saya agar drop out.
“Mengapa?” tanya dosen wali. “Coba jelaskan dengan akal sehat, mengapa kamu memilih drop out, dan mencampakkan masa depanmu sendiri?”
Saya pun bercerita kepadanya tentang kisah Thariq bin Ziyad. Pada 12 Juli 711, Thariq bin Ziyad bersama sejumlah pasukannya memasuki wilayah Andalusia (Spanyol)—itu merupakan awal keberhasilan penaklukannya atas wilayah-wilayah di Eropa.
Thariq bin Ziyad memasuki Spanyol dengan melewati selat di antara Maroko dan Spanyol, yang kelak diberi nama sesuai namanya, yaitu Jabal Thariq. Selat itu menghubungkan Samudera Atlantik dengan Laut Mediterania. Thariq bin Ziyad bersama pasukannya harus melalui lautan untuk sampai di daratan itu.
Setelah berminggu-minggu berada di lautan dan kemudian sampai di daratan, Thariq bin Ziyad harus menghadapi kenyataan yang amat menakutkan—jumlah pasukan musuh yang harus dihadapinya jauh lebih banyak dibanding jumlah pasukannya.
Dia ataupun pasukannya tahu, pertempuran itu hanya sarana bunuh diri, karena jumlah mereka yang jauh lebih kecil. Karenanya, dalam keadaan kritis itu, Thariq bin Ziyad memutar otaknya untuk menghadapi pertempuran yang amat sangat tak seimbang. Dan cara yang kemudian ditempuhnya benar-benar tak masuk akal—dia memerintahkan pasukannya untuk membakar kapal-kapal mereka.
Kelak, sejarah mencatat, strategi yang digunakan Thariq bin Ziyad itu ditiru oleh para pemimpin besar lain, baik di Barat maupun di Timur. Selama kapal-kapal itu masih tersedia untuk digunakan, maka konsentrasi pasukan akan terpecah—antara terus bertempur atau melarikan diri. Karenanya, agar konsentrasi pasukannya benar-benar fokus pada pertempuran, semua sarana untuk melarikan diri harus dibakar dan dihancurkan.
Jadi itulah yang terjadi. Setelah semua kapal dibakar, Thariq bin Ziyad dan pasukannya tidak punya pilihan lain, selain bertempur sampai titik darah penghabisan—untuk menang, atau untuk mati sebagai pahlawan. Dan jika manusia memiliki tujuan yang jelas, kata para filsuf, maka alam semesta akan berkonspirasi untuk membantu tujuannya.
Lalu perang itu pun pecah. Itu perang yang sangat tidak seimbang, karena satu tentara Thariq bin Ziyad harus melawan puluhan tentara musuh. Tetapi keajaiban terjadi. Thariq bin Ziyad beserta pasukannya berhasil memenangkan pertempuran, bahkan secara gemilang. Dan “keajaiban” itu terjadi karena besarnya semangat serta fokus pada tujuan.
“Jadi itulah mengapa saya drop out,” kata saya pada dosen wali.
Jika saya meneruskan kuliah dan mendapatkan gelar, maka separuh diri saya akan menggantungkan diri pada gelar itu, sehingga saya tidak akan fokus pada tujuan hidup sesungguhnya yang ingin saya capai. Sebaliknya, jika saya drop out dan “membakar” gelar yang mungkin akan saya miliki, maka saya akan benar-benar fokus pada tujuan yang ingin saya capai, karena sarana melarikan diri telah tak ada lagi.
Akhirnya, meski berat hati, dosen wali merelakan saya drop out dari kampus.
Saya menulis catatan ini tidak bermaksud untuk mengajak siapa pun agar drop out dari kampus. Kalau kau saat ini sedang kuliah, teruskanlah kuliahmu, karena tujuan hidupmu belum tentu sama dengan tujuan hidup saya. Setiap orang memiliki jalan dan tujuan hidupnya masing-masing, dan bisa jadi tujuan kita jauh berbeda. Yang baik bagi saya belum tentu baik bagi orang lain.
Ehmm... pada September 2000, Yale University, USA, mengadakan acara wisuda bagi para mahasiswa tingkat sarjana angkatan tahun itu, dan universitas tersebut mengundang Lawrence ‘Larry’ Ellison (CEO perusahaan Oracle) yang dinobatkan sebagai orang kaya nomor dua di dunia, untuk memberikan kata sambutan kepada para wisudawan.
Nah, di hadapan para wisudawan yang mengenakan jubah dan toga itu, di hadapan para dosen, rektor, dan juga para tamu undangan—para wali dan orangtua mahasiswa—Larry Ellison menyampaikan pidato sambutan yang benar-benar “gila”. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau kata-kata sambutan semacam itu disampaikan di kampus mana pun di negeri ini.
Berikut ini kata-kata sambutan yang disampaikan Larry Ellison dalam acara wisuda itu. Karena bahasanya cukup mudah dimengerti, berikut ini saya tulis transkripnya sesuai aslinya. Ingat, jangan tergoda untuk drop out—tetaplah teruskan kuliahmu!
....
....
“...Graduates of Yale University, I apologize if you have endured this type of prologue before, but I want you to do something for me. Please, take a good look around you. Look at the classmate on your left. Look at the classmate on the right. Now, consider this: Five years from now, ten years, even thirty years from now, odds are the person on your left is going to be a loser. The person on your right, meanwhile, will also be a loser. And you, in the middle? What can you expect? Loser. Loserhood. Loser Cum Laude.
“In fact, as I look out before me today, I don’t see a thousand hopes for a bright tomorrow. I don’t see a thousand future leaders in a thousand industries. I see a thousand losers.
“You’re upset. That’s understandable. After all, how can I, Lawrence ‘Larry’ Ellison, college drop out, have the audacity to spout such heresy to the graduating class of one of the nation’s most prestigious institutions?
“I’ll tell you why...
“Because I, Lawrence ‘Larry’ Ellison, second richest man on the planet, am a college drop out, and you are not.
“Because Bill Gates, richest man on the planet—for now, anyway—is a college drop out, and you are not.
“Because Paul Allen, the third richest man on the planet, dropped out of college, and you did not.
“And for good measure, because Michael Dell, No. 9 on the list and moving up fast, is a college drop out, and you, yet again, are not.
“Hmmm... you’re very upset. That’s understandable. So let me stroke your egos for a moment by pointing out, quite sincerely, that your diplomas were not attained in vain. Most of you, I imagine, have spent four to five years here, and in many ways what you have learned and endured will serve you well in the years ahead. You’ve established good work habits. You’ve established a network of people that will help you down the road. And you’ve established what will be lifelong relationships with the word ‘therapy’.
“All that of is good. For truth, you will need that network. You will need those strong work habits. You will need them because you didn’t drop out, and so you will never be among the richest people in the world.
“Oh sure, you many, perhaps, work your way up to No. 10 or No. 11, like Steve Ballmer. But then, I don’t have to tell you who he really works for, do I? And for the record, he dropped out of grad school. Bit of a late bloomer.
“Finally, I realize that many of you, and hopefully by now most of you, are wondering, ‘Is there anything I can do? Is there any hope for me at all?’
“Actually, no. It’s too late. You’ve absorbed too much, think you know too much. You’re not 19 anymore. You have a built-in cap, and I’m not referring to the mortar boards on your heads.
“Hmm... you’re really very upset. That’s understandable. So perhaps this would be a good time to bring up the silver lining. Not for you, Class of ’00. You are a write-off, so I’ll let you slink off to your pathetic $ 200,000-a-year jobs, where your check will be signed by former classmate who dropped out two years ago.
“Instead, I want to give hope to any underclassman here today. I say to you, and I can’t stress this enough: leave. Pack your things and your ideas and don’t comeback. Drop out. Start up. For I can tell you that a cap and gown will keep you down just as surely as these security guards dragging me off this stage are keeping me down...”