Minggu, 29 Juli 2012

Tarian Takdir (1)

Takdir itu seperti Joker.
Ia terselip dan tersembunyi dalam tumpukan kartu,
kemudian muncul tak terduga sambil menari-nari.
@noffret


Pada tahun 1957, seorang mahasiswa pascasarjana fisika bernama Hugh Everett III menunjukkan secara matematis apa yang selama tiga puluh tahun membuat pusing para fisikawan kuantum. Pada waktu itu, para fisikawan kuantum dibingungkan oleh fakta dunia makro yang sangat berbeda dengan dunia mikro (atom). Dunia mikro memiliki semua potensi, dan semua kemungkinan itu bisa terjadi. Tetapi, ketika mewujud, hanya satu dari sekian banyak kemungkinan tersebut yang terlahir ke dalam realitas.

Einstein menyatakan, “Tuhan kadang-kadang bermain dadu.” Tetapi, kemudian ia meralat ucapannya sendiri, dan menyimpulkan, “Tuhan tidak bermain dadu.” Secara fisika, kenyataan yang terjadi dalam dunia mikro disebut keruntuhan fungsi gelombang—sebuah himpunan segala kemungkinan keadaan atom yang dengan sempurna diwakili sebentuk fungsi gelombang, harus pecah, runtuh, hingga tinggal satu manifestasi.

Seratus tahun setelah Albert Einstein mengeluarkan tesisnya tentang Tuhan yang bermain dadu, Stephen Hawking menyatakan, “Tuhan tidak hanya bermain dadu. Ia bahkan kadang melemparkannya ke tempat-tempat yang tidak kita tahu.”

Dadu Tuhan, dalam bayangan saya, adalah takdir yang menari. Kadang-kadang, kau tidak tahu apa yang akan kaudapatkan dari apa yang kaulakukan, dan takdir yang tidak kaukenal menelikung jalanmu, mengejekmu... atau mendukung dan menggandeng tanganmu.

....
....

Sekitar dua tahun setelah drop out dari kampus, saya dihubungi seorang dosen, dan kami janjian untuk bertemu di ruang kantornya. Waktu itu saya sedang menulis sesuatu yang rencananya akan diterbitkan sebuah lembaga nasional. Kampus saya juga memiliki lembaga penerbitan yang menerbitkan buku-buku kuliah, dan mereka menginginkan agar naskah yang sedang saya tulis diterbitkan lembaga mereka. Karena itulah kemudian saya dihubungi untuk membicarakan hal tersebut.

Jadi, jam sepuluh pagi itu saya datang ke kampus. Waktu itu belum banyak perubahan terjadi di sana, dan saya pun merasa familier dengan lingkungan kampus tempat saya dulu pernah kuliah di dalamnya. Waktu itu juga masih banyak mahasiswa yang mengenal saya—kawan-kawan seangkatan yang belum lulus, juga adik-adik angkatan yang sempat mengenal muka saya. Rasanya seperti bernostalgia.

Seperti rencana dari rumah, saya langsung menuju ke ruang kantor tempat dosen yang kemarin menelepon. Tapi orang bersangkutan tidak ada di ruangannya. “Orangnya masih mengajar, Mas,” kata seorang dosen lain yang saya temui di ruangan itu. “Mungkin satu jam lagi dia bebas (selesai mengajar).”

Tidak masalah, pikir saya. Maka, sambil menunggu si dosen selesai mengajar, saya pun menuju kantin untuk sarapan. Kantin kampus biasa menyediakan soto dan bakwan panas yang enak, dan dulu saya sering menikmatinya sambil merokok, sambil ngobrol dengan teman-teman, atau sambil mojok dengan pacar. Sekali lagi, rasanya seperti bernostalgia.

Kantin tampak cukup ramai, seperti biasa, seperti dua tahun lalu. Dan begitu saya masuk ke sana, perasaan nostalgia yang sejak tadi saya rasakan semakin menguat. Di sana ada segerombolan bocah yang dulu pernah sekelas atau seangkatan dengan saya. Bocah-bocah itu tampak sedang asyik ngobrol, dan seketika kaget melihat saya masuk kantin.

Kami pun saling menyapa dan berhaha-hihi dengan akrab seperti dulu, seperti ketika masih kuliah bersama. Saya duduk bersama mereka, menikmati kebersamaan yang dulu pernah saya rasakan, hingga pelayan kantin datang menanyakan pesanan saya. Karena belum sarapan, saya pun meminta soto dan teh hangat. Si pelayan kantin membawakan pesanan itu, plus senampan bakwan seperti yang saya bayangkan.

“Untuk soto dan bakwan inilah aku datang ke kampus,” ujar saya pada teman-teman yang sejak tadi bertanya-tanya tujuan saya ke kampus. Dan, tentu saja, mereka tidak percaya. “Lanjutin obrolan kalian, aku dengerin sambil makan.”

Lalu saya pun menikmati sarapan, sementara bocah-bocah itu kembali melanjutkan obrolan yang tadi terpotong karena kedatangan saya. Mereka kembali mengobrol seru, dan saya ikut menyimak obrolan mereka sambil terus makan. Di luar dugaan, mereka ternyata sedang mengobrolkan buku!

Lanjut ke sini.

 
;