Selasa, 26 Februari 2013

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (8)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sejujurnya, saya sering merasa terganggu ketika bertemu dengan anggota MLM, yang kemudian berupaya keras memprospek saya. Tak peduli saya kenal orang itu atau tidak, upayanya membuat saya merasa tidak nyaman. Saya tahu tujuan mereka baik. Tetapi, kita tahu, tujuan baik saja tidak cukup. Agar tujuan baik itu terlaksana dan terwujud dengan baik, kita juga perlu cara yang baik dalam melakukannya. Salah satunya tidak terlalu agresif memprospek, sehingga yang diprospek tetap merasa nyaman dan tidak terganggu.

Selain memprospek, hal lain yang juga dianggap “menghalalkan segala cara” adalah ketika mereka menjual produk. Seperti pengalaman pribadi yang saya ceritakan di atas. Orang yang saya anggap kawan memanipulasi saya yang sedang sakit, demi bisa menjual produknya. Saya katakan “memanipulasi”, karena upayanya dalam menjual tidak dilakukan secara terang-terangan, alias terselubung, sehingga saya tidak sadar kalau sedang membeli suatu produk.

Seandainya Hilman yang saya ceritakan di atas terang-terangan menyatakan ingin menjual produknya, saya tentu akan menyadari bahwa dia sedang berusaha menjual. Terlepas hasilnya apakah saya membeli produknya atau tidak, pilihan saya dilandasi kesadaran. Yang dilakukan Hilman—dalam kisah saya di atas—bukan menjual. Dia memanipulasi. Itulah yang kemudian menjadikannya terkesan “menghalalkan segala cara”.

Sejak peristiwa itu, saya tetap berteman dengan Hilman. Tapi saya mulai “hati-hati”. Setelah melihat perbuatannya, saya seperti diberitahu bahwa Hilman tidak akan segan memanipulasi temannya sendiri demi keuntungan yang ditujunya. Apakah para mentor MLM tidak pernah menyadari kenyataan semacam itu? Saya percaya, mereka tentunya mengajarkan etika dalam berbisnis kepada para anggota MLM. Tetapi, sayangnya, praktiknya di lapangan kadang berbeda. Demi tujuan mengumpulkan point dan keuntungan, mereka akan melakukan apa saja.

Kembali kepada Rifki. Seperti yang saya ceritakan tadi, makin hari hubungan saya dengan Rifki semakin renggang, hingga akhirnya kami tak pernah bertemu sama sekali. Saya sibuk dengan semua pekerjaan saya, sementara Rifki juga mungkin semakin sibuk dengan aktivitas MLM yang ditekuninya. Saya merasa kehilangan seorang teman. MLM telah memisahkan dua orang yang tadinya bersahabat dengan erat seperti saudara.

Sampai kemudian, baru-baru ini, saya mendengar berita yang sangat mencengangkan. Seorang kawan bercerita, bahwa Rifki telah berhenti dari MLM ABC, gara-gara “keributan” yang terjadi antara dirinya dengan Fandi.

Seperti yang saya ceritakan di atas, Fandi adalah upline Rifki. Fandi yang memprospek Rifki hingga mengenal MLM ABC, dan Fandi pula yang kemudian meminta Rifki agar meninggalkan pekerjaan tetapnya demi bisa serius menekuni bisnis MLM secara penuh waktu. Nah, rupanya, belum lama Fandi terlibat suatu masalah entah apa menyangkut MLM ABC, hingga kemudian memutuskan untuk berhenti dari keanggotaan MLM tersebut.

Berhentinya Fandi dari MLM ABC membuat Rifki marah, karena merasa dikhianati. Selama ini dia telah mempercayai Fandi sepenuhnya, menganggapnya sebagai mentor, guru, bahkan teladan dalam MLM ABC. Bahkan Rifki pun sampai meninggalkan pekerjaan tetapnya demi memenuhi permintaan Fandi. Tapi sekarang, karena suatu masalah pribadi antara Fandi dengan MLM tersebut, Fandi keluar dari MLM ABC, dan meninggalkan semua downline-nya, termasuk Rifki.

Keluarnya Fandi dari MLM ABC menjadikan Rifki kehilangan, dan merasa dikhianati. Saya tidak tahu bagaimana cerita persisnya, namun yang jelas hubungan keduanya menjadi rusak. Bahkan, ketika mereka bertemu di suatu acara resepsi perkawinan seorang teman kami, Rifki tidak mau bersalaman dengan Fandi, sebagai bentuk kebenciannya yang nyata pada mantan mentornya itu.

Setelah Fandi keluar dari MLM ABC, Rifki pun kehilangan semangat, dan memutuskan untuk juga keluar dari MLM tersebut. Semua impian indah yang dulu mungkin dikejarnya mati-matian sekarang punah, semua janji muluk yang dulu diimpikannya setengah mati sekarang musnah. Rifki harus kembali pada kenyataan. Setelah meninggalkan MLM ABC, dia kemudian bekerja di suatu tempat di kota lain. Saya tidak tahu lagi bagaimana kabarnya.

Saat menulis catatan ini, saya membayangkan semua peristiwa yang terjadi dengan perasaan getir. Saya tidak ingin menyalahkan MLM, tetapi saya pun harus mengakui bahwa rusaknya beberapa hubungan pertemanan kami mulai muncul akibat MLM. Mungkin kenyataan pahit semacam ini terjadi semata-mata karena kesalahan orang per orang atau para pelakunya. Tapi mungkin pula kesalahan itu timbul karena para mentor MLM “terlalu bersemangat” dalam memotivasi para anggota MLM.

Siapa pun tahu, para mentor MLM selalu berkobar-kobar ketika memotivasi para anggotanya. Dalam acara pertemuan-pertemuan yang biasa diselenggarakan MLM, kita pasti biasa melihat hal semacam itu. Motivasi itu tentu saja baik untuk membakar semangat. Namun, para mentor MLM mungkin tidak pernah membayangkan bahwa motivasi yang mereka berikan dengan berkobar-kobar itu kadang tidak hanya “membakar” semangat anggotanya, namun juga menimbulkan “kebakaran” di antara anggotanya.

Motivasi, dalam perspektif saya, tak jauh beda dengan alkohol. Impian yang indah, harapan yang tinggi, adalah bagian dari upaya memotivasi orang. Namun, sebagaimana alkohol, masing-masing orang membutuhkan suntikan motivasi dalam kadar yang berbeda. Orang yang belum pernah meminum alkohol, bisa langsung mabuk meski baru meminum sedikit. Sementara yang biasa menikmati alkohol bisa tetap santai meski telah menenggak bergelas-gelas alkohol. Kebijaksanaan dalam memberikan motivasi seharusnya menjadi pelajaran pertama bagi para mentor MLM, sebelum mereka mengobarkan motivasi para anggotanya.

Jika menyaksikan orang-orang yang saya kenal, yang terlibat dalam bisnis MLM, mereka adalah orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mengenal motivasi. Mereka tidak pernah membaca buku motivasi atau inspirasional, apalagi mendengarkan kaset dan video motivasi.

Karenanya, begitu mendapatkan dorongan motivasi yang sangat besar dari para mentor mereka di MLM, orang-orang itu pun langsung “mabuk berat”. Dan, seperti orang mabuk, mereka tak lagi mampu membedakan mana kenyataan dan mana khayalan. Salah satu akibat negatifnya kemudian adalah seperti yang telah saya ceritakan panjang lebar di atas.

Motivasi itu penting, dalam banyak hal, dalam hidup kita secara keseluruhan. Karena motivasi itulah yang menyalakan harapan, dan harapan yang memungkinkan kita terus menjalani kehidupan dengan baik. Tak peduli dalam MLM atau dalam kehidupan luas, setiap orang membutuhkan motivasi agar terus aktif bergerak dan membangun hidup yang lebih baik. Tetapi, sekali lagi, motivasi itu tak jauh beda dengan alkohol. Jika diberikan berlebihan, ia bisa menjadikan mabuk. Ketika mabuk, orang justru tidak bisa menjalankan hidupnya dengan baik.

Sebagai penutup catatan yang cukup panjang ini, saya ingin menyampaikan selamat kepada siapa pun yang telah sukses dan berhasil mencapai impiannya dalam bisnis MLM. Kalian, seperti yang biasa diteriakkan oleh mentor MLM, “benar-benar luar biasa!”

Semoga kesuksesan yang telah kalian capai bisa menginspirasi dan memotivasi orang lain yang belum berhasil dan belum sesukses kalian. Dan bagi yang belum sukses, marilah kita belajar bahwa kesuksesan hanya dapat dicapai dalam keadaan sadar, dan bukan dalam keadaan mabuk. Karenanya, nikmatilah motivasi, tapi jangan mabuk olehnya.

Kejarlah semua impian, tapi tetaplah kejar dengan sepenuh kesadaran. Gunakan cara yang baik dalam mencari keuntungan dan memprospek orang lain, karena MLM adalah bisnis yang mengajarkan kebaikan. Jangan memanipulasi kawan sendiri, jangan memaksakan keinginan pada orang lain, dan berikan kesempatan bagi orang lain untuk memilih dengan kesadaran. Intinya, jangan membuat orang lain tidak nyaman. Jika mereka memang tertarik untuk bergabung dengan MLM yang kalian tawarkan, biarkan mereka tertarik tanpa paksaan atau perasaan terpaksa.

Untuk Rifki, yang sekarang entah ada di mana, saya ingin dia tahu bahwa saya tetap ingin berteman dan bersahabat dengannya. Dia salah satu teman terbaik yang pernah saya miliki, dan demi Tuhan, saya tidak ingin kehilangan dirinya. Apa pun yang telah terjadi, saya tetap menganggap dia sahabat saya.

Dan, omong-omong, sampai saat ini saya masih tercatat sebagai anggota MLM yang dulu pernah ditawarkannya, dan saya pun masih aktif membeli produk setiap bulan. Point-mu pasti sudah banyak, sobat!

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (7)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Maka, selama sakit itu, saya pun tinggal di rumah. Ada cukup banyak teman yang datang berkunjung, dan saya senang. Suatu hari, ada teman kuliah saya, yang juga mendengar saya sakit, dan dia pun datang berkunjung. Kita sebut saja namanya Hilman. Kami dekat selama di kampus, dan tetap akrab selepas kuliah.

Sewaktu mengunjungi saya, Hilman membawakan beberapa obat-obatan yang dikatakannya sangat bagus untuk mengatasi gejala tipus. Tanpa saya minta, dia membuka obat-obat itu. Obat yang cair diminumkannya untuk saya, sedang obat yang berbentuk seperti balsam dioleskannya ke bagian tubuh saya yang sakit.

Waktu itu saya sempat menyadari bahwa obat-obatan yang dibawa Hilman adalah produk-produk yang dikeluarkan MLM ABC. Saya mengenali kemasannya, karena obat-obatan itu terdapat dalam buku produk yang diterbitkan MLM ABC. Jadi, saya pun bertanya pada Hilman, apakah dia juga ikut MLM ABC, dan ternyata dia memang anggota MLM ABC. Baik sekali teman saya ini, pikir saya. Dia menggunakan produk-produk MLM-nya untuk membantu temannya yang sakit.

Tapi persepsi itu seketika berubah. Ketika akan pulang, Hilman memberitahu saya harga obat-obatan yang telah digunakannya tadi, dan dia—secara halus—meminta saya membayarnya. Dia pun meninggalkan obat-obatan itu di kamar saya, setelah saya membayar semua harganya.

Demi Tuhan, saya tidak mempermasalahkan berapa yang harus saya bayar untuk obat-obatan itu. Yang membuat saya tercenung, sampai seperti itukah perbuatan para pelaku bisnis MLM? Mereka, sepertinya, tidak lagi memiliki nurani kemanusiaan dan ketulusan dalam berkawan. Selama bisa mengambil keuntungan, mereka akan mengambilnya, bahkan jika itu harus memanipulasi temannya sendiri yang sedang sakit parah.

Perbuatan Hilman itu pun kemudian mengingatkan saya pada ucapan Rifki beberapa waktu sebelumnya. Rifki pernah menyatakan, bahwa menjual produk MLM ABC—yang sebagian besar berupa obat-obatan dan suplemen kesehatan—sangat menjanjikan, karena produk-produk itu selalu dibutuhkan banyak orang.

“Bayangkan,” katanya waktu itu, “kalau kita datang ke tempat orang yang sedang sakit parah, dan membawakan obat-obatan ini serta menjanjikan kepadanya bahwa dia bisa sembuh jika mengonsumsinya, orang itu pasti akan mau membelinya, tak peduli semahal apa pun harganya. Karena itulah bisnis MLM ini sangat menjanjikan, karena selalu dibutuhkan banyak orang.”

Ucapan Rifki itu terbukti dengan datangnya Hilman ketika mengunjungi saya yang sedang sakit parah, dan membawa obat-obatan produksi MLM yang dijualnya dengan cara halus namun memaksa. Dia memanipulasi saya yang sedang sakit parah. Ketulusan yang saya bayangkan, ternyata keuntungan yang ditujunya. Dan, tanpa bermaksud sok idealis, saya tidak mau mencari nafkah dengan cara seperti itu.

Sebagai sebuah bisnis, MLM tentu legal, buktinya keberadaannya direstui pemerintah di banyak negara. Bahkan banyak pakar yang berkompeten menyatakan bahwa MLM adalah salah satu sistem bisnis yang baik. Sebagai upaya mendapatkan nafkah, MLM juga tentu halal, nyatanya sampai saat ini belum ada lembaga yang jelas-jelas mengharamkannya. Namun, sesuatu yang legal dan halal itu kemudian menjadi “meresahkan” banyak orang (khususnya orang di luar anggota MLM), akibat beberapa pelaku MLM yang terkesan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Saya tidak bermaksud menggeneralisir. Saya menyandarkan catatan ini pada pengalaman pribadi saya, juga pengalaman teman-teman lain, yang kebetulan pernah berhubungan atau berurusan dengan beberapa orang yang kami kenal, yang menjadi anggota suatu MLM.

Di mata kami, para anggota MLM yang kami kenal itu terkesan “menghalalkan segala cara” untuk meraih tujuannya. Untuk memprospek orang, mereka tak peduli waktu dan tempat. Selama ada yang bisa diprospek, mereka akan melakukannya. Tentu saja itu hak mereka, toh mereka sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya. Yang mulai jadi masalah, ketika mereka memprospek kita.

Lanjut ke sini.

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (6)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Rifki terdiam. Dan saya pun menyatakan, “Rif, kalau kamu merasa cocok dengan MLM ABC, dan kamu merasa mendapat keuntungan atau penghasilan dari MLM itu, silakan lanjutkan. Aku berdoa semoga kamu sukses dan bisa sekaya seperti yang dijanjikan para upline atau mentormu. Tapi aku punya pekerjaan dan kesibukan sendiri, dan aku mencintai pekerjaanku. Selama bertahun-tahun, pekerjaan yang kutekuni telah memberikan banyak hal bagi hidupku. Mungkin aku tidak sesukses atau sekaya para upline-mu, tapi demi Tuhan aku mencintai pekerjaanku. Tak peduli ditukar dengan apa pun, aku tidak akan pernah meninggalkannya.”

Sejak itu, Rifki mulai jarang ke rumah saya. Mungkin karena dia berpikir saya sudah “tak bisa ditolong”, sehingga dia memutuskan untuk tidak lagi memprospek saya. Kadang-kadang saya berkunjung ke rumahnya, namun jarang pula saya bisa menemuinya. Sering kali, saat saya datang, dia sedang pergi untuk memenuhi kesibukan seputar MLM ABC. Jadi, seiring berlalunya hari, kami pun makin jarang bertemu. Sesekalinya bertemu, lagi-lagi yang dia bicarakan hanya MLM ABC, dan janji-janji hebat yang kelak akan diperolehnya dari MLM itu.

Saya sedih. Pertama, saya sedih karena merasa kehilangan teman baik. Kedua, saya sedih karena teman baik saya sepertinya telah punya “agama” baru yang tidak saya pahami. Tidak ada lagi percakapan asyik seperti dulu, hal-hal ringan yang kami obrolkan sampai larut malam. Tidak ada lagi keakraban dan kedekatan seperti dulu layaknya sepasang teman. Tidak ada lagi curhat, tukar pikiran, canda dan tawa yang dulu biasa saya nikmati bersamanya.

Sekarang, yang ada hanya MLM ABC. Kalau kami ketemu dan ngobrol, topik pembicaraan kami hanya MLM ABC, dan hal-hal muluk yang akan didapatkannya. Sepertinya, bagi Rifki, MLM ABC adalah agamanya yang baru. Upline dan mentornya adalah nabi. Kitab sucinya adalah starter kit dan buku-buku serta VCD panduan MLM. Ibadahnya adalah mencari dan memprospek orang. Pahalanya adalah janji-janji surga—dari kendaraan dan rumah, sampai penghasilan yang konon milyaran. Sementara point yang diperoleh menjelma tuhan sesembahan.

Saya patah hati.

Dan rupanya, yang patah hati semacam itu bukan cuma saya. Ketika bertemu kawan-kawan yang lain, dan pembicaraan kami menyerempet tentang Rifki, biasanya kami akan mengeluhkan hal yang sama. Rifki telah berubah, bergitu biasanya yang kami katakan. Urusan hidupnya sekarang hanya berkutat seputar MLM ABC. Ternyata yang merasa kehilangan teman bukan cuma saya.

Akhirnya, kami tahu, Rifki hanya menjalin pertemanan dengan sesama aktivis MLM ABC, dan meninggalkan teman-teman lamanya yang tidak ikut atau tidak aktif MLM itu. Jika dulu kami bisa berteman dan bersahabat dengan tulus tanpa pamrih, sekarang pertemanan harus memiliki tendensi. Salah satunya tendensi keaktifan dalam MLM. Sejak itu pula, saya pun tidak pernah lagi bertemu dengan Rifki. Dia makin sibuk dengan bisnis MLM-nya.

Ternyata, yang mengalami hal semacam itu bukan cuma Rifki. Berdasarkan kisah dari teman-teman yang lain, ada cukup banyak orang yang hidupnya jadi berubah seperti Rifki, setelah mereka ikut dan aktif dalam sebuah MLM. Beberapa di antaranya juga saya kenal, meski tidak akrab. “Sekarang,” kata teman-teman kami, “orang-orang yang sibuk ngurusin MLM itu tidak tahu lagi arti persahabatan dan ketulusan. Semuanya harus dibangun dengan motivasi bisnis.”

Pernyataan semacam itu mungkin terdengar sarkastis. Tetapi, saya pernah menemui bukti konkrit yang bisa saya saksikan. Suatu hari, saya jatuh sakit. Menurut dokter yang memeriksa, saya terkena gejala tipus, dan disarankan untuk dirawat di rumah sakit. Oh, well, rumah sakit adalah tempat terakhir yang saya inginkan di muka bumi ini. Jadi, selama masih bisa dirawat di rumah, saya bersikukuh untuk tetap di rumah.

Lanjut ke sini.

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (5)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena telah menjadi anggota MLM ABC, saya pun mulai mengonsumsi produknya, dan terus membelinya setiap bulan. Konon, pembelian produk yang saya lakukan itu memberikan point reward untuk Rifki sebagai upline, namun saya tidak mengurusi hal-hal semacam itu. Kalau Rifki senang dengan aktivitas pembelian yang saya lakukan, itu sudah cukup. Saya ikut senang.

Beberapa bulan berjalan. Semula, Rifki memenuhi janjinya untuk tidak lagi “mengganggu” saya dengan aktivitas di MLM-nya. Saya sudah ikut MLM ABC, saya sudah menjadi downline-nya, saya pun sudah rutin membeli dan mengonsumsi produknya. Bagi saya sudah cukup. Tapi bagi Rifki rupanya itu saja belum cukup. Kali ini, dia menginginkan saya ikut aktif dalam bisnis MLM tersebut—mengikuti acara-acaranya, juga meminta agar saya juga mencari downline.

Dia memang tidak meminta hal itu secara terang-terangan, karena mungkin tidak enak. Tetapi, yang jelas, sejak itu topik pembicaraan kami hanya seputar MLM ABC. Setiap kali bertemu, kami tidak punya waktu mengobrolkan banyak hal seperti dulu, tetapi hanya seputar MLM ABC. Rifki sepertinya telah terobsesi dengan MLM tersebut, dan kapan atau di mana pun yang ia bahas hanya MLM ABC. Di mata saya, MLM ABC jadi menyerupai semacam agama bagi Rifki.

Semula, saya berusaha “improvisasi”. Bagaimana pun, dia teman baik saya. Jika dia menyukai sesuatu, apalagi jika sesuatu itu positif, saya tidak berhak melarang apalagi menyalahkannya. Jadi, setiap kali dia membahas MLM ABC, saya mengikuti pembicaraannya, meski setengah hati. Dan Rifki mungkin salah paham. Dikiranya saya juga tertarik dengan MLM ABC. Lalu “rayuannya” semakin menjadi-jadi.

Jika semula dia hanya meminta secara halus agar saya ikut aktif dalam MLM ABC, lama-lama dia mulai meminta secara terang-terangan. Saya menjawab, sejak semula saya sudah memberitahu bahwa tujuan saya bergabung dengan MLM ABC hanya untuk mengonsumsi produknya. Saya tidak punya waktu untuk mencari downline atau memprospek orang, karena saya punya kesibukan sendiri dan waktu saya sudah habis untuk mengurusi pekerjaan saya.

Tapi Rifki tidak patah semangat. Mengulangi janji surga yang mungkin dikatakan upline dan mentornya, Rifki mencoba mengiming-imingi saya dengan macam-macam hal yang ditawarkan MLM ABC—dari kendaraan dan rumah, sampai wisata ke luar negeri. Mula-mula saya berusaha merespon semua itu dengan sopan. Tapi lama-lama—karena bosan campur muak—saya pun jadi kesal. Kesabaran saya seperti terkuras. Dan setiap kali Rifki membicarakan MLM ABC, dia terus menguras kesabaran saya.

Sampai suatu hari, karena tidak tahan lagi mendengarkan dia berbusa-busa membicarakan MLM ABC dan menjanjikan kepada saya setumpuk impian muluk, saya pun berkata kepadanya, “Selama aktif dalam MLM ABC bertahun-tahun ini,” saya bertanya, “apa yang sudah kamu dapatkan, Rif?”

Semula, Rifki mencoba berkelit dengan tidak secara langsung menjawab pertanyaan itu. Dia menyatakan tentang mobil dan rumah dan wisata dan penghasilan besar yang akan didapatkannya beberapa tahun mendatang, juga tentang macam-macam hal yang dijanjikan MLM ABC. Saya tegaskan pertanyaannya, “Yang kumaksud, apa yang sudah kamu dapatkan, bukan apa yang akan kamu dapatkan?”

Akhirnya, Rifki pun jujur. Satu-satunya hal jelas yang telah didapatkannya adalah sebuah sepeda motor yang diperolehnya dari fasilitas kredit. Itulah yang diperolehnya setelah bertahun-tahun aktif dalam MLM ABC, hingga dia rela meninggalkan pekerjaan tetapnya. Saya miris mendengarnya.

Saya pun berkata kepadanya, “Sekarang, coba kita lihat. Selama dua atau tiga tahun kamu aktif dalam MLM ABC, sibuk memprospek dan mencari orang kesana kemari, dan hasilnya adalah sepeda motor kredit. Sekarang kamu berusaha memintaku agar ikut aktif dalam MLM sepertimu. Tanpa bermaksud sombong, aku bisa membeli motor seperti punyamu sekarang juga, tanpa harus kredit. Jadi kenapa aku harus mengikutimu, kalau hasilnya cuma seperti itu?”

“Tapi,” sahut Rifki dengan gigih, “kalau kamu mau aktif dalam MLM ABC, bertahun-tahun mendatang kamu akan bisa memiliki rumah, wisata dan umroh, penghasilan yang lebih besar…”

“Bertahun-tahun mendatang,” sela saya. “Kenapa kamu menjanjikan sesuatu yang bahkan telah kumiliki dan bisa kuperoleh sekarang? Sekali lagi, tanpa bermaksud sombong, aku telah memiliki semua yang kamu janjikan. Jadi kenapa aku harus menunggu bertahun-tahun mendatang…?”

Lanjut ke sini.

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (4)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Selama waktu-waktu itu, saya tetap berkawan karib dengan Rifki seperti biasa, seperti sebelumnya. Bedanya, kali ini, dia terus aktif berusaha memprospek saya, meski saya tetap bergeming. Namun, yang jelas, hubungan kami masih baik-baik saja, dan saya bersyukur. Saya tidak ingin kehilangan sahabat sebaik dirinya.

Sampai suatu hari, Rifki curhat, dan minta pendapat saya. Fandi—upline Rifki yang telah memprospeknya agar bergabung dengan MLM ABC—meminta Rifki agar meninggalkan pekerjaannya di biro ekspedisi, agar lebih fokus menjalankan bisnis MLM ABC. Rifki bingung menghadapi permintaan upline-nya tersebut. Di satu sisi, dia telah bekerja di biro ekspedisi itu cukup lama, hingga sampai dipercaya atasannya. Di sisi lain, Rifki tergiur dengan janji-janji indah yang ditawarkan MLM ABC.

Karena dia meminta pendapat saya, maka saya pun memberikan pandangan yang saya harap cukup bijak. Saya katakan kepadanya, agar dia tidak meninggalkan pekerjaan tetapnya. Pertama, dia telah bekerja di sana bertahun-tahun, dan perusahaan itu sepertinya juga memiliki masa depan yang lebih mantap. Kedua, Rifki telah memiliki anak dan istri, yang tentu membutuhkan nafkah pasti dari pekerjaan yang sama pastinya.

Ketiga, bisnis MLM dapat dilakukan sewaktu-waktu karena tidak memiliki jam kerja yang pasti, sehingga dia masih bisa menjalankan bisnis MLM-nya tanpa harus meninggalkan pekerjaan utamanya. Keempat, kalau memang bisnis MLM yang ditekuninya telah memberinya penghasilan yang jauh lebih besar setiap bulan dibanding pekerjaan tetapnya, silakan saja kalau ingin keluar dari pekerjaan tetap agar lebih menekuni bisnis MLM.

Kenyataannya, bisnis MLM yang ditekuni Rifki belum memberikan penghasilan yang dapat dibilang bagus. Kita tahu, penghasilan para aktivis MLM tidak bisa hanya disandarkan pada keuntungan menjual produk. Untuk bisa mendatangkan penghasilan yang besar, para aktivis MLM harus merekrut downline. Semakin banyak downline yang dimiliki, biasanya penghasilan akan meningkat naik—dengan catatan si downline juga aktif mencari downline lain, dan aktif belanja produk.

Rifki mungkin tergiur dengan janji-janji yang pernah ia dengar dari para mentor dan upline-nya. Karenanya, meski penghasilan yang ia dapat dari bisnis MLM itu belum seberapa, akhirnya dia nekat meninggalkan pekerjaan tetapnya, demi untuk bisa menekuni bisnis MLM secara penuh waktu. Tujuannya tentu agar dia bisa mencapai semua janji indah seperti yang selama ini didengarnya—rumah mewah, mobil bagus, wisata ke luar negeri, dan penghasilan jutaan atau bahkan milyaran per bulan.

Setelah keluar dari pekerjaan tetapnya, Rifki pun semakin aktif mencari prospek, dan dia semakin agresif memprospek saya. Sejujurnya saya menyayangkan dia memilih keluar dari pekerjaan tetapnya, tapi itu pilihannya sendiri, dan saya tidak berhak menyalahkannya. Jadi, ketika menyaksikan dia kesana kemari mencari prospek demi bisa menafkahi anak istrinya, saya hanya bisa mendoakannya.

Hingga kemudian, karena terus-menerus diprospek tanpa henti, akhirnya saya menyerah. Saya memutuskan untuk bergabung dengan MLM ABC yang ditawarkan Rifki. Waktu itu, saya berpikir, MLM ABC juga memiliki produk yang memiliki fungsi untuk detoks, sama seperti produk yang selama ini saya konsumsi. Apa salahnya kalau sekarang saya pindah ke produk yang ini?

Maka saya pun membayar sejumlah uang keanggotaan, dan mendapatkan starter kit, berserta contoh produk MLM ABC. Rifki sangat senang, saya telah menjadi downline-nya. Namun, sebelum saya menandatangani kesepakatan untuk bergabung dengan MLM ABC, saya menyatakan kepada Rifki, bahwa saya hanya akan mengonsumsi produknya semata, dan tidak akan memprospek orang lain untuk mencari downline. Pendeknya, saya hanya akan berbelanja produk, tanpa aktif di dalam MLM-nya.

Saya merasa perlu menyatakan hal itu secara tegas, agar dia tidak terlalu berharap. Juga agar dia nantinya tidak lagi merayu saya untuk hal-hal lain yang berhubungan dengan MLM ABC. Rifki menyatakan oke waktu itu, dan sejak itu pula saya resmi menjadi anggota MLM ABC.

Lanjut ke sini.

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Untuk menghormatinya, saya pun memenuhi undangan itu. Saya datang ke tempat acara dengan membawa undangan yang telah diberikan. Seperti umumnya acara MLM, acara itu pun penuh ingar-bingar motivasi yang dibawakan para pembicara yang berapi-api.

Selama tiga jam duduk menikmati acara tersebut, sejujurnya saya tidak terkesan sama sekali. Itu bukan hal baru bagi saya. Semua ceramah yang disampaikan para pembicara pun sudah saya hafal di luar kepala—bahkan sebelum mereka mengatakannya. Saya tahu, semua ceramah itu berasal dari buku-buku yang semuanya pernah saya baca.

“Bagaimana?” tanya Rifki ketika kami keluar dari gedung acara itu, menanyakan bagaimana kesan saya terhadap acara tersebut.

“Biasa aja,” jawab saya jujur. “Acara pertemuan MLM memang kayak gitu, kan?”

Bagi Rifki, mungkin acara pertemuan MLM semacam itu adalah hal baru yang menggelorakan semangatnya, yang membakar api hidupnya, bahkan yang membuka pikiran dan hatinya. Tapi saya tahu, bahwa semua “hal baru” yang didengar Rifki—dan orang-orang lain—dalam acara itu pernah saya baca dalam ratusan buku yang ditulis David J. Schwartz, Norman Vincent Peale, Dale Carnegie, Robert Kiyosaki, Stephen R. Covey, Og Mandino, dan puluhan penulis inspirasional lainnya.

Yang disampaikan para pembicara dalam pertemuan itu hanyalah mengulang bahkan mengutip semua yang telah ditulis dalam buku-buku inspirasional. Mungkin terdengar hebat bagi orang yang tak pernah membaca buku, tapi terdengar klise bagi yang telah melahap ratusan buku semacam itu. Jadi, ketika Rifki berharap saya terkesan dengan acara itu, dia pun kecewa. Saya sama sekali tidak terkesan!

Tapi Rifki tidak patah semangat. Dia terus gigih berusaha memprospek saya. Setelah tahu saya tidak bisa “dirayu” melalui acara pertemuan MLM yang penuh gelora, dia mengubah taktik. Kali ini dia menonjolkan produknya. Salah satu produk MLM ABC juga ditujukan untuk detoksifikasi. Rifki tahu saya mengonsumsi produk semacam itu, jadi dia pun mencoba merayu saya agar mengganti produk yang biasa saya konsumsi dengan produknya.

Suatu hari, dia datang ke rumah saya dengan membawa produk tersebut, dan meminta saya mencobanya. Produk itu berbentuk cair yang dikemas dalam botol. Untuk mengonsumsinya, kita hanya perlu menuangkan satu sloki produk itu ke dalam gelas, kemudian menambahkan air putih. Lalu meminumnya. Jika dikonsumsi secara rutin, katanya, produk itu dapat membersihkan racun-racun dalam tubuh kita.

Rifki memberikan sampel gratis untuk saya dengan memberikan satu sloki, dan saya diminta meminumnya. “Coba bandingkan dengan produk yang selama ini kamu konsumsi,” katanya dengan yakin.

Bukan cuma itu. Rifki juga menjanjikan setumpuk “rayuan maut” yang sangat menggiurkan. Bahwa hanya dengan satu sloki saja, saya akan langsung merasakan khasiatnya yang hebat. Jika selama ini saya sering merasa capek, maka produk itu akan menghilangkan capek saya. Jika selama ini saya sering lesu, maka produk itu akan melenyapkan kelesuan saya. Jika selama ini saya sering bangun tidur dengan kepala yang terasa berat karena semalaman berpikir dan begadang, maka produk itu akan memberikan kesegaran bagi saya. Pokoknya hebat. Dan tokcer!

Saya pun meminum produk yang terdengar berasal dari surga tersebut. Besok paginya, ketika terbangun dari tidur, saya sudah berharap bisa mendapatkan janji seperti yang dikatakan Rifki. Tapi kenyataannya tak terbukti. Ketika terbangun dari tidur, saya masih merasakan kepala yang berat dan badan yang lesu seperti biasa—tak ada sedikit pun yang berubah! Hebatnya, atau konyolnya, Rifki menelepon saya waktu itu, dan bertanya, “Bagaimana? Udah terasa khasiatnya, kan?”

Saya menjawab dengan persuasif, “Kayaknya racun dalam tubuhku terlalu banyak, atau aku terlalu lelah bekerja. Jadi produkmu sama sekali nggak memberi perbedaan apa pun. Aku tetap merasa capek dan lesu, dan kepalaku tetap terasa berat.”

Lanjut ke sini.

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Ceritanya, Rifki bergabung dengan sebuah bisnis Multi Level Marketing, gara-gara diprospek Fandi (juga bukan nama sebenarnya). Saya juga mengenal Fandi, karena kami sama-sama bersekolah di SMA yang sama. Seperti dengan saya, Rifki dan Fandi telah menjalin persahabatan sejak SMA. Pada waktu itu, Fandi telah memiliki usaha batik, sementara Rifki bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan ekspedisi.

Setelah bergabung dengan MLM yang ditawarkan Fandi, Rifki lalu berusaha memprospek saya agar ikut bergabung dengan bisnis MLM tersebut. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja bisnis MLM itu dengan nama MLM ABC. Ketika ditawari/diprospek Rifki untuk bergabung dengan MLM ABC, saya menolak. Alasannya sederhana, karena waktu itu saya telah bergabung dengan MLM lain.

Kita flashback ke belakang dulu, agar cerita ini benar-benar utuh. Empat tahun sebelum Rifki memprospek saya agar ikut bisnis MLM ABC, saya telah bergabung dengan bisnis MLM lain (kita sebut saja MLM XYZ), karena ditawari seseorang. Waktu itu, saya mau bergabung dengan MLM XYZ karena tertarik pada salah satu produknya yang kebetulan saya butuhkan.

Produk yang saya maksud ditujukan untuk detoksifikasi. Sebagai perokok yang cukup berat, saya membutuhkan upaya pembersihan untuk mengeluarkan racun-racun dalam tubuh saya, agar kesehatan saya lebih terjaga. Nah, produk MLM XYZ mampu melakukan hal itu, dan telah saya buktikan sendiri kualitasnya yang memang hebat. Meski harganya tergolong mahal, produk itu memberikan hasil seperti yang saya inginkan.

Waktu itu, saya pikir, dengan bergabung dan menjadi anggota MLM XYZ, maka saya akan dapat membeli produk itu terus-menerus dengan harga yang lebih murah. Itulah alasan saya bergabung dengan MLM XYZ. Karenanya, ketika memutuskan untuk bergabung dengan MLM tersebut, saya katakan terus terang pada orang yang memprospek saya, bahwa tujuan saya bergabung dengan MLM XYZ hanya untuk mengonsumsi produknya, dan bukan untuk aktif sebagai membernya.

Jadi, sejak itu, saya pun tercatat sebagai member MLM XYZ. Setiap bulan, saya rutin membeli produk-produk yang memang saya butuhkan, namun tidak pernah sekali pun memprospek orang lain untuk ikut MLM itu. Alasannya sederhana. Saya memiliki pekerjaan dan kesibukan sendiri, dan saya tidak punya waktu untuk memprospek orang. Selain itu, saya juga tidak ahli dalam hal tersebut.

Kalau kebetulan ada teman yang melihat saya sedang mengonsumsi produk MLM itu, dan menanyakannya, saya akan menjawab secukupnya, dan sama sekali tidak berusaha mengajak atau memprospeknya agar ikut bergabung dengan MLM yang menjual produknya.

Jika kemudian ada beberapa orang yang memutuskan bergabung dengan MLM XYZ melalui saya, itu semata-mata karena mereka memang tertarik dan berinisiatif sendiri untuk bergabung, tanpa saya paksa sedikit pun. Kenyataannya, teman-teman saya yang kemudian ikut menjadi anggota MLM XYZ juga semata-mata ingin mengonsumsi produknya, tanpa bermaksud aktif dalam MLM dengan memprospek orang lain untuk menjadi downline mereka.

Nah, lalu Rifki bergabung dengan MLM ABC, dan berusaha memprospek saya agar bergabung dengan MLM-nya. Saya katakan terus terang kepadanya, bahwa saya tidak bisa ikut MLM ABC, karena saya telah bergabung dengan MLM lain. (Salah satu peraturan dalam MLM XYZ adalah tidak boleh bergabung dengan MLM lain selama masih menjadi anggotanya). Meski saya bukan anggota aktif, tapi saya berusaha tidak menyalahi aturan itu.

Tapi Rifki—sahabat baik saya—tidak patah semangat. Dia terus memprospek dan merayu saya dengan berbagai macam cara. Mula-mula, dia memberikan undangan agar saya datang ke acara yang diselenggarakan MLM ABC. “Kamu akan tahu kehebatan MLM ABC kalau sudah melihat sendiri seperti apa ramainya acaranya,” katanya menggebu-gebu.

Lanjut ke sini.

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (1)

“Kalau kamu aktif dalam MLM ini,
sepuluh tahun mendatang kamu akan bisa punya rumah,
kendaraan, dan penghasilan yang lumayan.”
—Teman

“Kenapa aku harus menunggu sepuluh tahun mendatang?
Sekarang pun aku sudah punya semuanya itu.”
—Saya


Sudah cukup sering saya mendengar orang mengeluh kehilangan teman gara-gara MLM (Multi Level Marketing). Kasus “kehilangan teman” itu biasanya diawali karena si teman terlalu sering atau terlalu agresif mengajak (memprospek) agar ikut dalam bisnis MLM yang digelutinya.

Para pebisnis MLM biasanya butuh downline, dan untuk itu mereka sangat aktif serta rajin memprospek orang lain—termasuk teman-temannya—dan biasanya dari situ perasaan “tidak enak” mulai muncul. Beberapa orang ada yang mau diprospek dan ikut dalam bisnis MLM yang ditawarkan temannya, sementara beberapa yang lain ada yang merasa tidak nyaman karena terus-menerus diprospek, hingga kemudian memilih untuk menjauhi si teman yang terus memprospeknya.

Kenyataan semacam itu juga terjadi pada saya, dan sejujurnya saya sangat sedih. Gara-gara MLM, saya kehilangan seorang teman yang amat saya sayangi, yang telah menjadi sahabat saya selama bertahun-tahun. Saya memberanikan diri menulis catatan ini karena “kasus” menyangkut MLM yang menimpa saya dan teman saya ini rupanya berbuntut panjang, hingga sampai pada tahap yang tak pernah saya bayangkan.

Catatan ini sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan bisnis MLM. Catatan ini juga tidak akan membahas bagaimana cara menjalankan MLM sebagai bisnis, karena mungkin itu di luar kompetensi saya. Yang ingin saya bahas dalam catatan ini adalah pengaruh yang ditimbulkan MLM dalam hubungan antar manusia, khususnya hubungan antar kawan. Semoga catatan yang mungkin pahit ini bisa menjadi masukan positif bagi para aktivis dan praktisi bisnis MLM, agar mereka mulai memahami hal-hal yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan dari upline atau mentor mereka selama menjalani bisnis tersebut.

Meski menyangkut suatu barang yang diperjualbelikan, namun MLM sebenarnya bisnis manusia. Artinya, yang paling terlibat dalam MLM tidak hanya barang dagangannya semata-mata, tetapi lebih pada manusia pelakunya. Tolong jangan salahpahami kalimat itu. Dalam bisnis apa pun, barang atau komoditas memang penting. Tetapi para pelaku bisnis jauh lebih penting. Ada banyak sampah yang laris terjual karena ditawarkan dengan cara baik, begitu pun banyak barang hebat yang tak laku karena cara penawarannya buruk.

Benar bahwa rata-rata barang yang dijual lewat sistem MLM memiliki mutu atau kualitas yang baik. Tetapi jika barang yang berkualitas baik itu tidak dijajakan dengan baik pula, orang-orang yang ditawari barang itu justru menjadi ilfil. Kenyataan semacam itulah yang selama ini berjalan dalam bisnis MLM, dan entah mengapa para mentor, guru, dan praktisi MLM sepertinya menutup mata dari kenyataan ini.

Sekarang, seperti yang saya nyatakan tadi, saya akan menceritakan kasus kehilangan teman yang saya alami, gara-gara MLM. Kasus seperti yang saya alami ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, karena bukan cuma saya yang mengalaminya. Sebelum saya mengalaminya sendiri, sudah berkali-kali saya mendengar kisah duka yang sama.

….
….

Semenjak SMA, saya berkawan karib dengan Rifki (bukan nama sebenarnya). Kami sangat cocok bersahabat karena mungkin merasa memiliki banyak kesamaan. Sejak dulu, saya kerap dolan ke rumahnya, dan dia pun sering berkunjung ke rumah saya. Kadang-kadang, pas hari libur, kami jalan-jalan berdua ke suatu tempat yang diinginkan. Persahabatan yang dimulai sejak SMA itu terus berlanjut sampai kami kuliah, lulus, bahkan sampai dia menikah.

Selama bertahun-tahun itu, nyaris tidak ada masalah apa pun di antara kami. Pendeknya, kami benar-benar sepasang sahabat sejati. Kalau saya butuh curhat dan berkeluh kesah, saya akan datang kepadanya. Kalau dia perlu tukar pikiran, dia pun datang kepada saya. Tuhan tahu betapa saya merasa beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya, dan saya pun berharap Rifki merasakan hal yang sama. Bahkan, karena sebegitu akrabnya, kami pun merasa seperti saudara. Saya mengenal orang tua Rifki dengan baik, begitu pula Rifki mengenal orang tua saya.

Sampai kemudian, sekitar empat tahun yang lalu, hubungan persahabatan yang telah terjalin dengan baik selama bertahun-tahun itu mulai retak. Gara-garanya sepele, bahkan sangat sepele. Yaitu MLM.

Lanjut ke sini.

Kamis, 21 Februari 2013

Gaul itu Mahal, Jenderal!

“You know how I define ‘idealism’? Youth’s final luxury.”
@klaravirencia


Seminggu kemarin saya dolan ke rumah Jonah, sohib saya, karena cukup lama tidak bertemu dengannya. Kebetulan pas malam Minggu. Saya dan Jonah ngobrol-ngobrol di teras rumah. Sekitar jam sembilan malam, adik Jonah datang bersama teman-temannya, menaiki beberapa sepeda motor yang tampak gaul.

Si Rendi, adik Jonah, baru kuliah semester awal, jadi masih tergolong remaja. Sewaktu datang, ia mengendarai Suzuki Satria FU 150 CC, yang tampak masih baru. Seperti umumnya remaja gaul yang lain, motor Rendi yang aslinya sudah bagus itu “dimodifikasi” biar tampak gaul. Ban-bannya diganti yang berukuran kecil, joknya dipapras hingga rata, dan setangnya dibengkokkan ke arah dalam.

Sewaktu motor gaul itu diparkir di halaman, saya memperhatikannya. Saya juga punya Suzuki Satria FU di rumah, namun masih orisinal, dalam arti tidak saya ubah sedikit pun tampilannya. Saya sudah suka wujudnya yang asli, dan sama sekali tidak ingin “menodai” keindahannya. Motor itu sudah hebat tanpa harus “diacak-acak” lagi, bahkan bisa dipacu hingga kecepatan 150 kilometer per jam dengan mulus di jalanan yang ramai—khususnya kalau kau cukup sinting untuk melakukannya.

Melihat saya asyik memperhatikan motor adiknya, Jonah bertanya, “Kamu pengin motormu digituin, Da’?”

“Nggak!” jawab saya spontan. “Cuma lagi mikir, apa motor yang udah diacak-acak gitu masih enak dinaiki?”

Jonah tertawa. “Kenapa nggak dicoba aja? Siapa tahu kamu jadi pengin ngacak-acak motormu biar gaul gitu.”

Saya pun jadi tertarik. Lalu bilang pada adik Jonah, “Ren, boleh pinjam motormu, dong.”

Rendi memberikan kunci kontak. Saya menaiki motor itu, menghidupkan mesinnya, lalu membawanya ke jalan raya. Dasar motor hebat, motor itu bisa melaju dengan kencang dan mulus seperti yang saya kenali selama ini. Namun, karena bodinya telah “diacak-acak”, rasanya tidak senyaman motor yang masih orisinal.

Karena joknya yang empuk telah dipapras hingga rata, saya tidak bisa duduk dengan nyaman. Setiap kali melakukan pengereman mendadak, posisi duduk saya akan bergeser, karena jok tidak lagi “menggigit”. Rasanya seperti sedang duduk di atas papan keras. Jauh beda dengan jok asli yang masih empuk dan nyaman.

Kemudian, karena ukuran ban-bannya diperkecil, kelenturan motor itu pun berkurang ketika melaju di jalanan tidak rata. Jika ban yang asli berukuran besar dapat menahan benturan lubang di jalanan dengan halus, ban-ban kecil ini terpaksa harus menahan benturan dengan kasar.

Di atas semuanya itu, yang paling parah adalah setangnya. Setang motor gaul ini ditekuk ke dalam. Akibatnya, jika tidak terbiasa, kita jadi kikuk saat akan membelok, khususnya di tikungan tajam. Berbeda dengan setang yang masih orisinal, setang model gaul ini benar-benar tidak fleksibel. Kita harus terbiasa dulu menggunakannya jika tidak ingin menabrak sesuatu gara-gara kikuk mengendalikan setang.

Kesimpulannya, motor gaul ini benar-benar tidak nyaman dinaiki, bahkan relatif tidak aman. Rasanya jauh lebih nyaman mengendarai motor yang masih orisinal.

Sewaktu saya kembali, Rendi menyambut saya sambil senyum-senyum. “Gimana, Bang?” tanyanya. Mungkin dia berharap saya akan memuji motor gaulnya.

“Uh... kurang nyaman dinaiki, Ren,” jawab saya jujur. “Mungkin karena kurang biasa naik motor gaul kayak gini.”

“Ya emang enak motor yang asli, sih,” sahut Rendi sambil masih senyum-senyum.

Saya kaget. “Lhah, kamu tahu gitu, kenapa motormu diacak-acak gini?”

“Kan, biar gaul, Bang.”

Biar gaul. Itu jawaban jujur, kalau tak mau dibilang lugu. Jadi, Rendi menyadari bahwa motor yang masih orisinal lebih enak dan nyaman dipakai daripada motornya yang diacak-acak itu. Tetapi dia sengaja “merusak” motornya sendiri demi identitas gaul. Waktu saya bilang kepadanya kesimpulan ini, Rendi menjawab dengan jujur, “Ya kira-kira gitu deh, Bang.”

Ya, kira-kira begitu pula ketika saya remaja dulu. Tak jauh beda dengan Rendi, saya pun dulu butuh identitas gaul, agar tak dibilang kampungan, agar tak dibilang ketinggalan zaman. Sama seperti Rendi, dulu pun saya mengacak-acak motor saya sendiri, berpenampilan seperti umumnya remaja gaul, demi tidak berbeda dengan kebanyakan teman sebaya.

Jadi, ketika teman-teman menonton konser musik anu, saya pun akan ikut menonton konser itu. Bukan karena saya suka konsernya atau menggilai group yang tampil, tapi semata-mata karena “tuntutan gaul”. Ketika teman-teman menonton film anu, saya pun ikut-ikutan menonton film anu. Tak peduli saya muak melihat filmnya, yang penting saya nyambung ketika diajak ngobrol. Oh, well, gaul itu penting.

Sekarang, ketika saya telah dewasa dan mengingat yang telah lalu, saya menyadari alangkah sia-sianya semua itu. Sekarang, jika saya bertanya pada diri sendiri tentang manfaat ikut-ikutan semacam itu, saya pun dengan jujur mengakui bahwa kebiasaan ikut-ikutan yang dulu saya lakukan tak memiliki manfaat sama sekali. Nothing! Yang jelas, saya tidak menjadi hebat karena ikut-ikutan.

“Elang terbang sendirian,” kata Soekarno, “tapi bebek berjalan berbondong-bondong.”

Sayangnya, ketika masih remaja dulu, saya tidak tahu kalau presiden pertama Indonesia memiliki kata-kata sehebat itu. Akibatnya, alih-alih menjadi elang yang berani menunjukkan jati diri, saya ikut-ikutan membebek seperti yang lain-lain. Ketika yang lain-lain memakai sepatu boot model Docmart, saya ikut-ikutan. Ketika yang lain-lain menyobek celana jins agar tampak belel, saya ikut-ikutan. Ketika yang lain mengacak-acak motornya, saya ikut-ikutan. Demi dibilang gaul.

Dan sekarang, “tuntutan gaul” yang dihadapi remaja masa kini sepertinya lebih berat dibanding yang dihadapi remaja zaman saya. Segaul-gaulnya remaja zaman saya, tingkatannya cuma “gitu-gitu aja”. Tapi kini, remaja zaman sekarang menghadapi banyak tuntutan yang luar biasa, dari seberapa mahal ponselmu, sampai berapa banyak follower-mu di Twitter.

Itu baru sebagian kecil dari “tuntutan gaul” abad ini. Di luar urusan ponsel dan Twitter, remaja zaman sekarang juga dituntut hal lain demi identitas gaul. Dari kepemilikan pacar agar tidak dibilang jomblo, sampai aneka macam hiburan yang harus diikuti demi tidak dibilang kampungan atau ketinggalan zaman. Yang mengerikan, ada pula remaja yang menjadikan narkoba sebagai identitas gaul. Bagi mereka, seseorang belum bisa dibilang gaul kalau belum pernah ngerasain sakaw.

Maka remaja zaman sekarang pun sibuk, bahkan luar biasa sibuk, memenuhi semua tuntutan itu. Dari buku apa yang harus kaubaca, musik apa yang harus kaudengar, film apa yang harus kautonton, acara teve apa yang harus kausembah, sampai nama-nama siapa saja yang harus kauhafalkan. Kau menguasai semuanya, kau layak dianggap gaul. Jika tidak, oh well, pergi saja ke laut.

Ketika remaja, hasrat untuk sama dengan orang lain memang sangat besar, hingga untuk itu kadang-kadang kita mengorbankan kenyamanan diri sendiri. Misalnya saya yang bela-belain nonton film tertentu padahal tidak menyukainya, hanya karena teman-teman saya bilang film itu layak tonton. Atau Rendi yang terpaksa mengacak-acak motornya meski tidak nyaman menaikinya, demi bisa sama seperti teman-temannya.

Saya dan Rendi sama saja. Bedanya, saya telah melewati masa-masa itu, sementara Rendi baru menjalaninya. Dan kelak, setelah dewasa, mungkin Rendi pun akan berpikir seperti saya, bahwa semua upaya untuk sama dengan orang lain adalah pelajaran hidup yang sangat mahal. Bahwa perbedaan bebek dan elang adalah keberanian untuk terbang sendirian. Karena pada akhirnya setiap orang akan sampai pada kesadaran, bahwa hidup adalah soal pilihan.

?

Orang yang mengatakan dirinya tidak sombong
sebenarnya orang sombong.
@noffret 


“Hei, Hoeda, kamu sombong, ya?”

“Iya.”

Jumat, 15 Februari 2013

Sombong!

Orang sombong itu tak jauh beda dengan anak kecil
yang memakai baju kebesaran, sehingga tampak konyol.
@noffret


Seharusnya saya pakai kacamata, karena sudah minus. Saya tidak tahu minus berapa, karena tidak pernah memeriksakannya, tapi yang jelas mata saya sudah minus. Untuk membaca buku atau koran memang tidak masalah, mata saya baik-baik saja. Namun kadang saya agak kesulitan kalau membaca tulisan di layar monitor (blog/internet), khususnya yang terlalu kecil.

Ketika menonton film luar negeri yang menggunakan teks, saya juga sering kesulitan membacanya, khususnya jika jaraknya cukup jauh. Untuk dapat membaca teks film di layar teve atau monitor, saya harus mendekat, atau terpaksa tidak membaca teks tersebut dan hanya mengandalkan pemahaman saya atas percakapan dalam film. Untunglah saya jarang nonton film India, karena—jujur saja—saya tidak bisa bahasa India.

Berkaitan dengan mata minus, yang paling menyusahkan ketika berhadapan dengan orang lain, dalam jarak cukup jauh. Jika seseorang berdiri di depan saya lebih dari dua puluh meter, saya kesulitan untuk dapat mengenalinya. Biasanya, saya harus benar-benar memperhatikannya dulu, baru kemudian saya tahu dia siapa. Atau dengan mendengarkan suaranya, dan kemudian saya akan mengenali itu suara siapa.

Lebih parah lagi kalau malam hari. Di malam hari, jarak pandang saya semakin terbatas. Dalam jarak sepuluh meter saja, saya sudah kesulitan mengenali seseorang. Sebenarnya saya sudah harus memakai kacamata. Tapi entah mengapa sampai sekarang hati saya belum terketuk untuk melakukannya. Beberapa kawan ada yang menyarankan untuk operasi lasik, tapi saya sudah keburu ngeri mendengar istilah “operasi”.

Jadi begitulah. Saya menjalani hari-hari dengan mata minus, yang dikombinasikan keras kepala, karena tak mau juga memakai kacamata. Padahal, dulu, saya pernah meminjam kacamata seseorang, dan merasakan daya penglihatan yang lebih baik. Selain itu, teman-teman bilang saya tampak lebih ganteng waktu memakai kacamata. Tapi, well, saya tahu mereka bohong. Jadi saya tetap tidak memakai kacamata. ☺

Nah, menyangkut mata minus, kadang-kadang saya menghadapi masalah. Sering kali orang menyangka saya sombong, karena disapa diam saja, atau disenyumi tidak membalas. Faktanya, waktu mereka menyapa atau tersenyum itu, saya benar-benar tidak melihatnya. Atau, pada malam hari, ketika berpapasan dengan orang yang saya kenal, saya diam saja—tidak menyapa—dan orang itu mengira saya sombong. Padahal, demi Tuhan, saya benar-benar tidak mengenali siapa orang itu karena gelap.

Tidak jarang saya menerima SMS dari teman yang isinya cuma seperti ini: “Sombong!”

Lalu saya balas: “Sombong gimana?”

Kemudian si teman pun akan menjelaskan bahwa dia tadi berpapasan dengan saya, lalu tersenyum manis, tapi saya diam saja. Omigod, kalau mendengar penjelasan seperti itu, rasanya saya ingin membenci diri sendiri. Tentu saya diam saja—tidak membalas senyumnya—karena memang tidak melihatnya!

Ini mungkin terdengar perkara remeh, dan tidak penting. Tapi sejujurnya saya anggap hal penting, karena ini menyangkut hubungan kita dengan seseorang, khususnya lagi dengan seorang teman. Dan teman, kalau kita setuju, adalah harta yang berharga dalam hidup. Saya pasti akan sangat sedih jika tahu seorang teman marah atau bahkan sakit hati karena saya tidak membalas sapaan atau senyumnya.

Ya, ya, seharusnya saya memakai kacamata. Tapi saya memang keras kepala. Mata minus dan kepala yang keras rupanya bukan kombinasi yang baik, karena melahirkan prasangka kesombongan. Dan, kau tahu, rasanya gimanaaaaa gitu kalau sampai ada orang yang mengira kita sombong. Ada rasa tidak enak atau tidak nyaman. Saya pun begitu. Lebih baik saya mendengar orang mengatakan saya tolol daripada mendengar orang mengatakan saya sombong.

Saya takut pada kesombongan, bukan semata-mata karena itu tidak baik dalam hubungan antarmanusia, tetapi juga karena kesombongan selalu menjadi senjata makan tuan. Setepat bumerang yang dilemparkan akan kembali pada pengirimnya, kesombongan akan menampar muka kita dengan ketepatan yang sama.

Tetapi kesombongan memang godaan manusia yang terbesar. Bahkan Imam Al-Ghazali sampai frustasi dengan sifat satu ini. “Sungguh sulit melenyapkan kesombongan,” kata Al-Ghazali dengan nada introspeksi, “karena bahkan tidak kita tunjukkan sekalipun, kita masih bisa menyimpan kesombongan dalam hati.”

Nah, kalau dipikir-pikir, apa sih keuntungan menjadi sombong? Saya belum pernah mendengar ada orang yang gajinya dinaikkan karena memiliki sifat sombong. Saya juga belum pernah mendengar ada orang yang disukai banyak orang karena sombong. Yang ada, saya malah berkali-kali mendengar orang dijauhi karena memiliki sifat itu. Orang sombong itu tak jauh beda dengan anak kecil yang memakai baju kebesaran, sehingga tampak konyol.

Jadi, kesimpulan saya, sombong itu konyol. Karena itu pula, saya lebih suka tertawa kalau menemukan orang yang sombong. Mungkin menertawakan orang sombong juga termasuk kesombongan, tapi persetan! Daripada sakit hati menyaksikan kesombongannya, saya merasa lebih baik menertawakannya!

Ehmm… salah satu teman saya yang juga penulis adalah Ika. Itu nama samaran, karena nama aslinya cukup terkenal. Pada saat ini, novel-novel karya Ika telah terjual puluhan ribu eksemplar, dan namanya tidak asing bagi para pembaca buku di Indonesia. Tetapi, bertahun-tahun lalu, Ika hanyalah seorang cewek yang baru menulis, dan masih bingung dengan dunia penerbitan.

Nah, suatu hari, bertahun-tahun lalu, Ika pernah berkirim e-mail ke seorang penulis cewek bernama Rea (ini juga nama samaran). Ika membaca beberapa novel Rea, dan mengaguminya, dan kemudian memberanikan diri mengirim e-mail kepada penulis idolanya. E-mail itu tidak pernah dibalas. Ika pun memaklumi, karena mungkin Rea mendapatkan e-mail dari banyak orang, sehingga tentu tak bisa membalas satu per satu.

Di Twitter, Ika juga mem-follow akun Rea, dan beberapa kali memberanikan diri mengirimkan mention ke Rea, tapi tidak satu kali pun direspon. Untuk kesekian kalinya, Ika mencoba memahami dan memaklumi.

Sampai suatu hari, masih beberapa tahun lalu, Ika berhasil menulis novel. Dan berhasil diterbitkan. Novel pertama itu langsung menjadi bestseller, dan nama Ika mulai terkenal. Kemudian, Ika menulis novel kedua. Kali ini, Ika ingin sekali mendapatkan endorsement dari Rea, penulis idolanya, untuk novel kedua tersebut. Maka Ika pun mengirimkan e-mail ke Rea, memohon agar Rea mau memberikan endorsement untuk novelnya.

Sama seperti dulu, Rea tidak membalas e-mail Ika. Di Twitter, Ika mencoba mengirimkan mention beberapa kali ke Rea, sehubungan dengan permintaan endorsement tersebut, namun lagi-lagi Rea tak pernah membalas. Ika mencoba menebalkan muka, dan mengirim e-mail beberapa kali lagi kepada Rea, tapi semuanya tidak pernah dibalas.

Akhirnya novel kedua itu pun terbit, meski Ika tak berhasil mendapatkan endorsement dari Rea. Seperti novel pertamanya, novel kedua itu pun bestseller. Lalu Ika menulis novel ketiga, keempat, dan seterusnya. Hari ini, nama Ika jauh lebih terkenal dibanding nama Rea. Dalam hal kualitas maupun produktivitas, Ika jauh mengungguli Rea.

Nah, seperti yang dinyatakan di atas, kesombongan itu mirip bumerang, dan sering kali menjadi senjata makan tuan. Setepat bumerang yang dilemparkan akan kembali pada pengirimnya, kesombongan akan menampar muka kita dengan ketepatan yang sama.

Suatu hari, Ika bercerita, dia mendapatkan e-mail dari Rea, yang memohon agar Ika memberikan endorsement untuk novel terbaru Rea. Meski Ika bukan cewek judes, tetapi dia manusia biasa. Dia masih ingat dulu ketika berkali-kali mengirim e-mail kepada Rea dan sama sekali dicueki. Dia masih ingat ketika dulu mengirimkan mention berkali-kali kepada Rea, tapi dianggap angin lalu. Maka saat pembalasan pun tiba, pikir Ika.

Ika tidak membalas e-mail itu. Dua kali Rea mengirim e-mail kepada Ika, dan sama sekali tak dibalas. Lalu Rea mem-follow akun Twitter Ika, dan mengirimkan mention berisi hal sama. Ika hanya menertawakannya. Sampai suatu hari, mungkin karena didorong rasa sebal, Ika menulis tweet di akun Twitter-nya, berbunyi, “Maaf, kamu terlalu sombong untuk menjadi temanku.”

Sebagai salah satu follower-nya, Rea pasti membaca tweet itu, dan mungkin dia akan merasa tweet itu ditujukan untuknya. Tapi Ika tak peduli. Berdasarkan penuturannya sendiri, Ika mengakui, “Jujur, aku ngerasa nggak enak udah cuekin dia. Tapi biar aja. Dia dulu juga cuekin aku. Mungkin dia pikir bakal di atas selamanya, jadi ngerasa bisa seenaknya sendiri.”

Saya tidak membenarkan atau menyalahkan Ika—ataupun Rea. Kita semua hanyalah manusia biasa, yang memang kadang-kadang ingin sombong, dan kadang-kadang juga ingin membalas kesombongan dengan cara yang sama. Ika dan Rea hanyalah cewek biasa, sebagaimana saya juga cowok biasa. Dan, mungkin, sudah saatnya saya memakai kacamata… agar lebih bisa mengenali mereka.

Karena Saya hanya Berteman dengan Orang Tidak Terkenal

Ooooh, ternyata Mas ini artis dan bintang iklan terkenal, ya? Pantesan, waktu ketemu tempo hari, saya sempat mikir kayaknya saya pernah lihat situ. Ternyata emang bener. Situ selebritis yang sering muncul di teve itu, kan? Ck, ck, ck, saya nggak nyangka. Kirain situ orang biasa, eh ternyata artis terkenal.

Uhm, maaf, Mas, saya nggak jadi kenalan. Soalnya saya hanya berteman dengan orang-orang yang nggak terkenal. Nanti, kapan-kapan, mungkin kita bisa berteman, kalau situ udah nggak terkenal. Maaf ya, Mas....

Missing You

Every time I think of you I always catch my breath
And I’m still standing here and you’re miles away
And I’m wondering why you left
And there’s a storm that’s raging
Through my frozen heart tonight
I hear your name in certain circles
And it always makes me smile
I spend my time thinking about you
And it’s almost driving me wild
And there’s a heart that’s breaking
Down this long distance line tonight

I ain’t missing you at all
Since you’ve been gone away
I ain’t missing you
No matter what I might say

There’s a message in the wire
And I’m sending you this signal tonight
You don’t know how desperate I’ve become
And it looks like I’m losing this fight
In your world I have no meaning
Though I’m trying hard to understand
And it’s my heart that’s breaking
Down this long distance line tonight

I ain’t missing you at all
Since you’ve been gone away
I ain’t missing you
No matter what my friends say

And there’s a message that I’m sending out
like a telegram to your soul
And if I can’t bridge this distance,
Stop this heart break overload

I ain’t missing you at all
Since you’ve been gone away
I ain’t missing you
No matter what my friends say
I ain’t missing you at all
Since you've been gone away

And there’s a storm that’s raging
Through my frozen heart tonight

I ain’t missing you at all
Since you’ve been gone away
Ain’t missing you
No matter what my friends say
I ain’t missing you at all
Oh no...
Missing you, missing you
I’ve been lying to myself
Missing you, missing you


*) Post ini adalah lirik lagu Tommy Page – Missing You

Jumat, 08 Februari 2013

Kadang-kadang Saya Merasa Menjadi Magneto (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya kembali teringat wajah-wajah mereka—orang-orang yang tampak biasa, namun memiliki khayalan-khayalan fantastis, bahkan gila. Dan mereka tak jauh beda dengan saya, karena saya pun memiliki khayalan fantastis, yakni menjadi Magneto. Yang membedakan, sekali lagi, tingkat obsesi kita pada sosok khayalan.

Namun, terlepas dari semua itu, seperti apa pun khayalan dan tingkat obsesi kita, semuanya masih dapat dianggap “tidak masalah” selama khayalan itu tidak mengganggu apalagi sampai menyerang orang lain. Misalnya lelaki yang berkhayal dirinya dapat mengutuk siapa pun menjadi batu. Tidak masalah—bahkan tidak masalah jika ia yakin itu bukan khayalan—selama hal itu tidak mengganggu dan melukai orang lain. Kenyataannya toh itu khayalan, dan tidak ada orang lain yang dapat dikutuknya menjadi batu.

Begitu pula orang yang mengkhayalkan dirinya dapat terbang, bisa berjalan di atas air, atau lainnya—semuanya juga tidak masalah, sama tidak masalahnya dengan diri saya yang berkhayal menjadi Magneto, atau Arifin yang berkhayal menjadi Edward Cullen. Setiap kita punya sosok khayalan, apa pun bentuknya, bagaimana pun latar belakangnya.

Yang kadang menjadi masalah, ketika khayalan yang kita miliki mendorong kita untuk menyerang orang lain—dalam apa pun bentuknya. Misalnya, ada orang yang berkhayal dirinya nabi, atau semacamnya. Orang itu mengklaim menerima wahyu dari Tuhan, atau mendengar suara langit, atau apa pun sebutannya. Kemudian, karena merasa dirinya “sang pemilik kebenaran”, dia pun sibuk menyalah-nyalahkan orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya.

Apakah di zaman internet ini masih ada orang seperti itu? Oh, well, kita semua tahu kenyataannya. Sama seperti orang-orang waras lain yang biasa kita saksikan sehari-hari, orang yang merasa dirinya nabi juga tampak biasa—mereka menjalani hidupnya seperti orang-orang lain, beraktivitas dan bekerja seperti orang lain. Tetapi, mereka merasa dirinya nabi atau semacamnya—dan itulah masalah kita.

Masalah kita—karena dari orang-orang semacam itulah berbagai masalah dan persoalan antarmanusia terjadi. Orang-orang yang merasa dirinya nabi itu sangat suka menyalah-nyalahkan orang lain, hanya karena berbeda pikiran. Dan ketika ditanya apa yang dijadikannya dasar sehingga berani menyalahkan orang lain, mereka pun dengan jumawa menyatakan, “Karena itulah suara langit yang harus saya sampaikan pada kalian!”

Oh, well, terdengar gila, eh?

Mahasiswa psikologi punya joke rahasia, berbunyi, “Tidak ada orang yang waras, semua orang sebenarnya gila!”

Mungkin memang benar, bahwa sewaras-waras kita tetap tersimpan kegilaan di dalamnya, sehingga kita tidak bisa mengklaim waras seutuhnya. Tetapi, yang membedakan, adalah kadar kegilaannya. Ada yang kadar kegilaannya lebih kecil dibanding kewarasannya, ada pula yang kegilaannya lebih besar dibanding kewarasannya. Jenis terakhir itulah yang memiliki potensi berbahaya, karena dia tidak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan.

Kita semua pasti pernah membaca atau mendengar statemen yang menyatakan, “Kebohongan yang dinyatakan berulang-ulang akan dipercaya sebagai kebenaran.”

Statemen itu bermakna ganda. Dalam arti, kebohongan itu bisa dikatakan orang lain kepada kita, bisa pula kita katakan pada diri sendiri. Misalnya, mula-mula saya mengkhayalkan diri saya menjadi Magneto. Semula, saya tahu itu hanya khayalan. Tetapi, karena saya kecewa pada realitas kehidupan saya yang hanya menjadi cowok biasa, saya lalu terobsesi pada sosok Magneto, dan kemudian mengulang-ulang khayalan itu, mengubahnya menjadi sugesti, dan menegaskan aktualitasnya.

Seiring berlalunya waktu, persepsi saya mulai bergeser. Kalau semula saya menyadari bahwa sosok Magneto hanya khayalan, lama-lama—karena terus-menerus saya yakini kebenarannya—maka saya pun mulai meyakini bahwa saya memang Magneto. Kebohongan, tak peduli sejelas apa pun, akan berubah menjadi kebenaran yang kita percaya, jika kebohongan itu dinyatakan terus-menerus, atau berulang-ulang.

Begitu pula dengan orang-orang yang merasa dirinya nabi, atau mendengar suara langit, atau semacamnya. Semula, orang-orang itu menyadari bahwa itu hanya khayalannya sendiri. Tetapi, dengan berbagai alasan dan realitas yang dihadapinya, orang itu pun lalu mengulang-ulang khayalannya tersebut hingga menjadi sugesti, dan lama-lama meyakininya. Meyakini bahwa dirinya nabi, bahwa dirinya menerima wahyu, atau bahwa dirinya mendengar suara langit.

Memang kasihan orang-orang semacam itu. Mereka kecewa dan mungkin sakit hati pada realitas kehidupan yang dihadapi dan dijalaninya, kemudian menghibur diri dengan cara mengkhayalkan dirinya sebagai sosok lain yang istimewa. Tetapi rasa kasihan kita kadang berubah menjadi kejengkelan, karena orang-orang itu kemudian menyerang kita dengan dasar yang tak masuk akal. Kalau kita dianggap berbeda dengan dirinya, maka kita pun akan disalah-salahkan, bahkan dikafir-kafirkan.

Dan kalau kita bertanya mengapa dia menyalahkan kita, dia tidak menjawab dengan penjelasan yang waras, tapi dengan argumentasi yang sinting, yakni karena dia menerima wahyu, atau karena dia mendengar suara langit, atau bahwa dialah sang pemilik kebenaran tunggal. Kasihan… juga menjengkelkan!

….
….

Pada hari Jum’at, 20 Juli 2012, tepat pukul 00:30, bioskop Century 16 di Denver, Colorado, mengadakan pemutaran perdana film Batman: The Dark Knight Rises. Pada waktu itulah seorang lelaki berusia 24 tahun, bernama James Eagan Holmes masuk ke gedung bioskop dengan membawa senjata jenis riffle, shotgun, dan dua pistol, yang disembunyikannya di balik pakaian.

Pemuda itu datang dengan penampilan yang unik, dengan rambut dicat oranye. Tetapi, orang-orang lain tak curiga dengan kehadirannya. Seperempat jam setelah film diputar, tiba-tiba pemuda itu melemparkan gas air mata ke tengah-tengah penonton bioskop, dan menembakkan senjatanya dengan membabi buta. Penonton dalam gedung bioskop pun kacau tak karuan. Dalam kekacauan itu, sebanyak 12 orang tewas tertembak, dan 58 lainnya luka-luka.

Yang paling sinting dalam insiden itu adalah pengakuan si pelaku. Beberapa saat setelah melakukan kejahatan terang-terangan itu, polisi menangkap James Holmes. Ketika ia ditanya mengapa menembaki orang-orang di bioskop, James Holmes dengan yakin berkata, “I’m the Joker!”

Tidak hanya itu. James Holmes bahkan telah menyiapkan ranjau dan berbagai senjata lain di apartemennya untuk menjebak siapa pun yang mencoba mendatangi tempat tinggalnya—persis seperti Joker dalam film Batman.

Apa yang terjadi pada James Holmes? Pihak berwenang yang menangani kasus itu menyatakan bahwa James Holmes mungkin terobsesi pada Joker dalam film Batman, sebegitu terobsesinya sampai-sampai dia meyakini bahwa dirinya adalah Joker. Sekarang pemuda yang meyakini dirinya Joker itu telah ditangkap, dan tentunya sekarang telah meringkuk dalam penjara... atau rumah sakit jiwa.

Yang membedakan saya dengan James Holmes adalah, saya membayangkan diri saya Magneto, tapi tetap menyadari bahwa saya bukan Magneto. James Holmes membayangkan dirinya Joker, dan dia terobsesi pada Joker, hingga meyakini dirinya benar-benar Joker. Setelah dia yakin dirinya benar-benar Joker, dia pun mengumpulkan berbagai senjata dan menyerang orang-orang lain.

Karena penyerangan yang dilakukannya, James Holmes ditangkap, diadili, dipenjara, atau mungkin dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Tapi bagaimana dengan orang-orang lain yang mirip dirinya? Kita tahu, ada orang-orang yang mirip James Holmes, namun dalam versi berbeda. Jika James Holmes meyakini dirinya Joker dan menyerang membabi buta, di sekitar kita ada orang-orang yang meyakini dirinya nabi dan juga menyerang orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya.

Orang-orang yang mirip James Holmes kadang meyakini dirinya menerima wahyu atau mendengar suara langit, kemudian sibuk menyalah-nyalahkan orang lain sambil menganggap dirinya paling benar sendiri. Apa bedanya orang-orang semacam itu dengan James Holmes? Mereka sama-sama terobsesi dengan khayalannya, dan kemudian meyakini dirinya sebagai sosok khayalannya. Yang membedakan, James Holmes sudah teridentifikasi kegilaannya, namun orang-orang gila di sekitar kita masih gentayangan di mana-mana.

Kadang-kadang Saya Merasa Menjadi Magneto (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Pada waktu kuliah, saya pernah mendapat tugas penulisan makalah, yang di dalamnya saya harus mewawancarai cukup banyak orang. Orang-orang yang akan diwawancarai itu harus dipilih secara acak dan cermat, agar hasil wawancaranya nanti benar-benar dapat menunjang isi makalah. Kebetulan, orang-orang yang akan saya wawancarai itu tinggal di daerah yang berjauhan, sehingga bisa dikatakan tidak saling kenal.

Di salah satu tempat, saya mewawancarai seorang lelaki berusia 50 tahunan. Saya menggali isi pikirannya, perasaannya, khayalan-khayalannya, dan saya benar-benar dibuatnya tercengang. Lelaki itu merasa dirinya dapat mengutuk siapa pun menjadi batu!

Karena khawatir salah paham, saya bertanya kepadanya, “Maksudnya, Anda berkhayal dapat mengutuk orang lain menjadi batu?”

“Tidak begitu!” sahutnya. “Maksud saya, kenyataannya saya memang bisa mengutuk siapa pun menjadi batu!”

Oh, hell, pikir saya. Apa jadinya hidup ini kalau memang ada orang yang memiliki kemampuan seperti itu? Tetapi saya tidak berhak membantah klaim orang itu, karena tugas saya hanya mewawancarainya—dan membiarkan dia ngoceh apa pun tentang khayalan-khayalannya. Kalau dia menyatakan dirinya bisa mengutuk orang lain menjadi batu, maka itulah yang akan saya tulis dalam makalah.

Dan orang itu waras, dalam arti dia menjalani hidup sebagaimana biasa—tampak seperti orang-orang waras lainnya. Dia bekerja di pagi hari, pulang kerja di sore hari, tetap makan nasi, minum teh, dan merokok, serta memiliki anak dan istri. Dia waras, namun mungkin dia merasa kecewa dengan realitas hidupnya, kemudian mengkhayalkan dirinya memiliki kekuatan hebat, dan terobsesi dengan khayalannya.

Di tempat lain, saya mewawancarai lelaki yang tak kalah aneh. Lelaki itu berusia 40 tahunan, dan bercerai dengan istrinya. Ketika saya mulai mengorek khayalannya, dia bercerita bahwa dia sering bertemu bidadari dari surga. Untuk menegaskan pemahaman, saya bertanya, “Maksudnya, Anda sering mengkhayalkan bertemu dengan bidadari dari surga?”

“Tidak, Mas,” sahutnya buru-buru. “Yang saya maksudkan, ya itu. Saya benar-benar bertemu bidadari dari surga—bukan khayalan!.”

Saya memasang tampang takjub. “Oh, hebat sekali! Bagaimana caranya, Pak?”

Dan dia pun ngoceh panjang lebar tentang cara bertemu para bidadari yang membuat saya panas dingin mendengarkannya. Saya tahu dia sedang berbohong, tetapi saya tidak berhak menyatakan hal itu kepadanya. Tugas saya hanya mendengarkan, dan menuliskannya. Jadi, kalau dia mengklaim bertemu para bidadari dari surga, maka itulah yang akan saya tulis dalam makalah, untuk kemudian dianalisis di kelas.

Seperti lelaki sebelumnya, lelaki itu pun waras. Namun, mungkin, untuk menghibur dirinya sendiri yang bercerai dengan istrinya, dia pun mengkhayalkan sering bertemu dengan para bidadari, dan dia terobsesi khayalannya sendiri.

Dan orang-orang lain yang saya temui juga memiliki khayalan-khayalan fantastis. Ada di antara mereka yang mengaku bisa terbang, dapat berjalan di atas air, bahkan ada pula yang merasa dirinya nabi! Sebagian mereka menyadari itu hanya sebatas khayalan—dan mereka mengakui secara jujur bahwa itu khayalan—sementara sebagian yang lain sangat meyakini bahwa itu bukan khayalan. Artinya, mereka benar-benar yakin kalau mereka memang seperti sosok yang dikhayalkan.

Lanjut ke sini.

Kadang-kadang Saya Merasa Menjadi Magneto (1)

Mengerikan adalah monster dalam cermin,
dan kita tidak mengenalinya.
@noffret


Begini. Kadang-kadang saya merasa diri saya—ya, saya—adalah Magneto. Mungkin ini terdengar aneh. Kok bisa-bisanya saya begitu? Dan mengapa saya harus merasa diri saya Magneto? Maksudnya, mengapa tidak merasa Superman atau superhero lain yang lebih hebat atau lebih keren?

Di antara tokoh-tokoh mutan dalam serial X-Men, saya sangat mengagumi Magneto. Karena… yeah, saya merasa bersimpati terhadap dirinya, juga merasa dapat memahami hidup serta latar belakang pikirannya. Jadi, saya sangat mengagumi Magneto, meski dalam film X-Men dia dianggap antagonis.

Tidak jarang—biasanya ketika sedang kesal—saya membayangkan memiliki kekuatan hebat seperti Magneto, mampu menguasai dan menggerakkan logam seberat apa pun hanya dengan kekuatan pikiran. Ketika terjebak kemacetan, misalnya, saya kerap kali membayangkan memiliki kekuatan Magneto, dan dengan kekuatan itu saya bisa menggerakkan mobil-mobil dan kendaraan lain untuk menyingkir dari jalan. Oh, well, rasanya hebat sekali.

Tapi saya bukan Magneto. Jadi, yang bisa saya lakukan hanya membayangkannya saja. Dan membayangkan menjadi Magneto adalah hiburan kecil yang menyenangkan bagi saya. Malah, kalau kebetulan sedang stres, saya sering berharap ketemu Magneto di jalan. Tentu saja khayalan gila semacam itu tidak pernah terjadi, karena kenyataannya Magneto hanya ada dalam kisah fiksi.

Nah, suatu hari saya pernah curhat pada Arifin, sohib saya, tentang khayalan tersebut. Lucunya, ternyata Arifin juga memiliki “kelainan” seperti saya, hanya beda tokoh. Kalau saya sering merasa menjadi Magneto, Arifin sering merasa menjadi Edward Cullen!

Latar belakangnya juga tak jauh beda. Arifin terkagum-kagum pada Edward dalam film Twilight. Dia sering membayangkan dirinya setampan cowok itu, dan diam-diam menjadi vampir yang hidup abadi. Sama seperti saya, Arifin juga kerap mengkhayalkan dirinya sebagai Edward Cullen yang tampan dan mempesona, kuat dan hebat, dan… tentu saja, dikagumi cewek-cewek cantik.

Tetapi, bagaimana pun, kami masih cukup waras untuk menyadari bahwa saya bukan Magneto, dan Arifin juga bukan Edward Cullen. Karena kesadaran itu pula, kami pun tetap menjalani kehidupan sebagaimana mestinya, yakni sebagai Hoeda atau sebagai Arifin yang manusia biasa. Saya tidak pernah mencoba menggerakkan logam, dan Arifin juga tidak pernah menggigit leher orang untuk mengisap darahnya.

Well, setiap kita mungkin juga punya khayalan-khayalan semacam itu. Menjadi sesosok tokoh hebat, atau menjadi superhero, dan semacamnya. Kalau cowok biasanya mengkhayalkan dirinya menjadi pahlawan, sementara cewek—konon—kerap mengkhayalkan dirinya menjadi Cinderella. Apa pun khayalannya, setiap kita punya khayalan, dan tentu saja itu sah. Namanya mengkhayal, kan tidak apa-apa?

Nah, yang membedakan, kadang-kadang, adalah tingkat obsesi kita pada sosok khayalan. Kebanyakan orang mengkhayalkan sesuatu dalam pikirannya, dan menyadari bahwa itu hanya sebatas khayalan. Misalnya saya mengkhayalkan diri saya Magneto, dan Arifin mengkhayalkan dirinya Edward Cullen. Hanya sebatas itu. Saya tidak pernah mengaku-aku sebagai Magneto, dan Arifin juga tidak pernah berteriak-teriak menyatakan dirinya Edward Cullen.

Tetapi, ada pula orang-orang yang sangat terobsesi pada sosok khayalannya, hingga kemudian tak bisa lagi membedakan mana dirinya yang asli, dan mana dirinya yang hanya ada dalam sosok khayal. Penjelasan dan penjabaran mengenai topik ini bisa memakan waktu satu semester karena akan melibatkan teori-teori psikologi yang rumit, namun sekarang izinkan saya menjelaskannya secara ringkas.

Ketika seseorang merasa tidak mampu menghadapi realitas hidupnya, ketika dia tidak mampu menerima kenyataan tentang siapa dirinya, maka alam bawah sadarnya akan berusaha memunculkan khayalan sosok lain yang dapat diterimanya. Dalam psikologi kita diberitahu, hal semacam itu pula yang memicu timbulnya kepribadian ganda. Kenyataannya, para pengidap kepribadian ganda memang memiliki latar belakang yang menyakitkan.

Tetapi kita sekarang tidak bermaksud membicarakan kepribadian ganda. Kita hanya akan membicarakan tentang khayalan, dan tingkat obsesi kita pada khayalan. Seperti yang disinggung di atas, masing-masing orang memiliki khayalan, atau mengkhayalkan dirinya sebagai sosok tertentu. Namun, kadang tingkat obsesinya berbeda. Jika kebanyakan kita menyadari bahwa kita bukanlah sosok yang dikhayalkan, sebagian orang ada yang sangat percaya, bahkan yakin, dia memang seperti sosok yang dikhayalkannya.

Lanjut ke sini.

Daging, oh, Daging

Dagiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing, daging.

Mahal sekali kau dagiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing.

….
….

*Puk-puk Arie Dagienk*

Sabtu, 02 Februari 2013

Februari, Suatu Pagi

Cinta adalah alasanku untuk pulang. Ke hatimu.
@noffret


Di pagi pertama bulan Februari saya terbangun di sebuah hotel, yang jauhnya bermil-mil dari rumah. Begitu mata terbuka, saya meraih ponsel, dan mendapati pukul 03:50 pagi. Saya bangkit, menuju kamar mandi untuk cuci muka dan bercukur, lalu membuat kopi. Itu hari ke-14 saya di hotel tersebut—setengah bulan sebelumnya saya harus pergi meninggalkan rumah untuk suatu urusan kerja.

Pekerjaan kadang membuatmu pergi ke tempat jauh yang tidak kauinginkan, begitu pula saya. Setengah bulan yang lalu saya masih menjalani kehidupan yang nyaman sebagai orang rumahan. Sampai kemudian sebuah telepon datang, dan saya harus meninggalkan rumah, menempuh perjalanan berjam-jam, melintasi darat dan lautan. Sekarang saya terdampar di hotel ini, duduk di atas tempat tidur, menunggu air mendidih untuk membuat kopi.

Saya menyobek sachet kopi, memasukkannya ke mug bersama gula, dan menuangkan air panas ke dalamnya. Setelah itu membuka pintu samping kamar yang berhadapan dengan kolam renang, lalu duduk di atas kursi depan kamar sambil mulai menghirup kopi yang masih mengepulkan asap. Saya menyulut rokok, dan mengisapnya dengan nikmat. Kolam renang terlihat sepi, karena para tamu hotel mungkin masih terlelap tidur. Atau sedang sibuk dengan pasangannya.

Selalu menyenangkan menikmati saat-saat seperti itu. Sendirian, duduk santai di tempat yang hening, dan merokok. Hanya bersama kopi. Dan sedikit pikiran di kepala.

Ketika sedang menikmati kesendirian yang nyaman itulah, sesosok bayangan muncul dari balik lampu temaram taman. Karena mata saya agak minus, saya harus memfokuskan pandangan untuk mengenali bayangan itu. Ternyata seorang wanita, salah satu tamu hotel, yang beberapa kali bertemu dengan saya sewaktu di front desk. Usianya mungkin 60 tahunan, tapi tampak masih segar, dan berwajah ramah. Berdasarkan percakapan sekilas beberapa hari sebelumnya, saya tahu dia datang dari Prancis.

Wanita itu agak terkejut melihat saya sedang duduk sendirian di depan kamar. Tapi kemudian segera tersenyum ramah dan menyapa, “Tidak bisa tidur, eh?”

Saya membalas senyumnya. “Sebenarnya, saya baru saja bangun.”

“Selalu menyenangkan bangun pagi,” sahutnya, masih dengan senyum ramah. “Saya biasa jalan-jalan setiap pagi begini. Udaranya masih bersih.”

Ucapan itu agak membuat saya salah tingkah, karena sedang memegangi rokok. Tapi rupanya dia wanita yang sensitif, dan dia buru-buru berkata sambil menatap ke arah rokok di tangan saya, “Pas de problème, nikmati rokokmu.”

Setelah itu dia berdiri tak jauh di hadapan saya, sambil menatap kolam yang masih lengang. “Tidak ingin berenang?” ujarnya.

“Mandi sepagi ini adalah hal terakhir yang saya inginkan, Ma’am.”

Dia tertawa. Lalu kami pun bercakap-cakap, mengobrolkan hal-hal ringan, sambil dia menggerak-gerakkan tubuh seperti orang berolah raga ringan. Tidak lama kemudian, mungkin karena capek, dia mendekati tempat saya duduk, lalu menarik satu kursi di depan saya.

“Anda ingin kopi?” saya menawarkan.

“Merci,” jawabnya. “Sudah lama saya meninggalkan kopi. Agak kurang baik bagi jantung saya yang lemah. Well, sepertinya kau sendirian di sini. Wisata?”

“Tidak. Urusan pekerjaan.”

Dia mengangguk. “Waktu bertemu denganmu beberapa hari lalu, saya sudah mengira kau bukan wisatawan. Kau selalu tampak buru-buru.”

Saya tersenyum. “Hanya di pagi seperti ini saya bisa agak santai.”

“Kau menikah?”

“Tidak.”

“Gay?”

“Well, saya belum menemukan wanita yang ingin saya ajak nikah.”

Dia tersenyum keibuan. “Anak lelaki saya mungkin seusiamu. Dia juga terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan mungkin lupa untuk mencari pacar. Kadang-kadang dia bahkan bilang ingin hidup melajang. Saya bilang kepadanya, seorang lelaki tidak akan pernah tahu arti pulang sebelum ia memiliki seorang pasangan.”

“Pulang…?” saya memastikan tidak salah dengar. “Rentrer à la maison?”

“Ya, arti pulang,” dia menjelaskan. “Sebagai lajang, kau bisa pergi sejauh apa pun yang kauinginkan. Tapi selalu ada batas untuk setiap perjalanan. Pada suatu waktu, kapan pun, kau mesti pulang ke rumah—di mana pun tempatnya. Apa yang paling kauinginkan ketika pulang? Kesepian? Kehampaan? Di suatu waktu yang akan datang, kau akan menyadari, bahwa esensi pulang adalah mendapati seseorang yang menyambut kedatanganmu dengan kerinduan.”

“Saya tidak pernah berpikir sejauh itu, Ma’am.”

“Sekarang kau bisa memikirkannya,” sahutnya sambil tersenyum. Kemudian dia bercerita, “Suami saya sudah meninggal cukup lama. Kami menikah tiga puluh tahun lalu—kami sudah sama-sama dewasa waktu itu. Jadi, ketika menikah, kami sama-sama menyadari arti dan konsekuensi pernikahan. Suami saya sering bepergian, untuk urusan kerja. Setiap kali melepasnya pergi, saya selalu merasa kehilangan. Dan setiap kali menyambutnya pulang, saya merasa seperti telah bertahun-tahun merindukannya, meski nyatanya kadang dia hanya pergi beberapa hari atau beberapa minggu.”

“Orang Prancis,” saya berkomentar, “memang tahu cara mencinta.”

Dia tertawa. “Tapi bukan itu bagian terbaiknya. Setiap kali pulang, suami saya berkata bahwa alasan kepulangannya adalah untuk menyaksikan istrinya tersenyum saat menyambutnya. Itu, menurutnya, adalah pulang dalam arti sesungguhnya. Bukan hanya rumah yang nyaman, tapi juga seseorang yang menyambut dengan kerinduan dan memeluk dengan kehangatan. Seorang pasangan untuk pulang.”

“Seorang pasangan untuk pulang,” ulang saya sambil termenung.

Dia menatap saya sejenak, kemudian berkata dengan lebih serius, “Itulah yang saya katakan pada anak lelaki saya. Setelah setua ini, saya tahu bahwa kita lebih menyesali hal-hal yang tidak kita lakukan daripada hal-hal yang telah kita lakukan. Saya tidak ingin anak lelaki saya kelak menyesal karena tak pernah menikah. Sepahit apa pun sebuah pernikahan, rasanya lebih pahit ketika seseorang memandang masa lalunya, dan menyesali keputusannya untuk tidak menikah.”

“Well,” saya berkata perlahan-lahan, “saya tidak pernah memikirkan sejauh itu…”

Sekali lagi dia tersenyum keibuan. “Kau masih memiliki banyak waktu untuk memikirkannya, Nak. Omong-omong, hari sepertinya makin terang. Senang bercakap-cakap denganmu, tapi saya pasti sudah menyita waktu sendirimu.” Setelah itu dia bangkit, lalu pergi dengan langkah-langkah santai, meninggalkan saya yang duduk termenung bersama sebungkus rokok dan kopi yang mulai dingin.

Sepeninggal wanita itu, saya menghabiskan kopi di mug, dan kembali menyulut rokok. Saya masih terngiang-ngiang pada semua percakapan tadi. Saya tahu, ada lebih banyak hal yang kita sesali karena tidak pernah kita lakukan, daripada sebaliknya. Tiba-tiba saya menggigil. Bukan karena udara pagi yang dingin, tapi karena satu kesadaran yang tiba-tiba melintas di pikiran. Apa jadinya jika seumur hidup saya tak pernah tahu arti pulang, dan suatu hari kelak menyesalinya…?

Beberapa hari mendatang, pekerjaan saya di sini mungkin sudah selesai. Dan setelah itu saya pun akan pulang. Apa yang akan saya dapati ketika pulang? Rumah yang kosong, dan tumpukan kerja yang siap menyongsong. Hari demi hari saya melewati semua rutinitas itu tanpa berpikir apa pun selain terobsesi pada pekerjaan. Dan sekarang, saya seperti dipaksa untuk keluar dari semua itu dan melihat dari kejauhan… melihat diri saya sendiri.

Di antara asap rokok yang mengepul, tiba-tiba saya teringat pada percakapan Yinsen dan Toni Stark dalam film Iron Man. Ketika mereka berada dalam satu ruangan karena disekap penjahat di gurun pasir, Yinsen bertanya, “Apakah kau punya keluarga, Stark?”

Toni Stark, sang genius-milyuner, menjawab, “Tidak.”

“Kalau begitu,” sahut Yinsen, “kau memiliki segalanya, tapi sebenarnya tak memiliki apa-apa.”

Saya termenung. Lama.

Elipsis

...

Ajari Aku Lupa

Sekarang aku tahu mengapa kita perlu lupa.
Pasti sangat menyiksa jika kita terus mengingat segalanya.
@noffret


Kau tak pernah tahu bagaimana sakitnya jika tak pernah lupa. Kau tak pernah tahu bagaimana pedih hidupmu jika tak pernah lupa. Ketika kau tak mampu lupa, kau akan tahu bahwa kematian lebih menakjubkan dari kehidupan, dan kau ingin menujunya—bagaimana pun caranya. Hanya untuk lupa. Hanya untuk bisa lupa.

Hidup, kadang-kadang, berisi pelajaran penting untuk melupakan—dapat melupakan—tapi kau tak akan mampu melakukannya jika kau tak pernah bisa lupa. Apa pun yang kaulihat, kaudengar, kausaksikan, semuanya tergurat bagaikan ukiran batu, dan kau tak pernah bisa menghapusnya. Bahkan sebentuk titik di udara pun tak bisa kaulupakan.

Kau melihat sesuatu bertahun-tahun lalu, dan kau tak pernah bisa melupakan, bahkan untuk setiap detailnya. Kau mendengar sesuatu bertahun-tahun lalu, dan kau tak pernah bisa melupakan, bahkan untuk setiap getarannya. Kau merasakan sesuatu bertahun-tahun lalu, dan kau tak pernah bisa melupakan, bahkan untuk setiap sentuhannya.

Kau akan ketakutan… terbangun dari tidur di tengah malam dengan keringat dingin di sekujur tubuh, tiba-tiba merasakan ruangan di sekelilingmu berputar… berputar… suara-suara terdengar… gambar-gambar berhamburan dari sisi-sisi dinding, mencengkerammu, mengoyak ketenangan malammu, membungkam jeritanmu.

Seperti tangis hujan—suara deras yang tak dipahami.

Seperti gelegar halilintar—gemuruh di malam sunyi.

Seperti lolong serigala—jerit yang tak dimengerti.

Seperti ketakutan yang kurasakan saat menulis tangisan ini.

 
;