Jumat, 15 Februari 2013

Sombong!

Orang sombong itu tak jauh beda dengan anak kecil
yang memakai baju kebesaran, sehingga tampak konyol.
@noffret


Seharusnya saya pakai kacamata, karena sudah minus. Saya tidak tahu minus berapa, karena tidak pernah memeriksakannya, tapi yang jelas mata saya sudah minus. Untuk membaca buku atau koran memang tidak masalah, mata saya baik-baik saja. Namun kadang saya agak kesulitan kalau membaca tulisan di layar monitor (blog/internet), khususnya yang terlalu kecil.

Ketika menonton film luar negeri yang menggunakan teks, saya juga sering kesulitan membacanya, khususnya jika jaraknya cukup jauh. Untuk dapat membaca teks film di layar teve atau monitor, saya harus mendekat, atau terpaksa tidak membaca teks tersebut dan hanya mengandalkan pemahaman saya atas percakapan dalam film. Untunglah saya jarang nonton film India, karena—jujur saja—saya tidak bisa bahasa India.

Berkaitan dengan mata minus, yang paling menyusahkan ketika berhadapan dengan orang lain, dalam jarak cukup jauh. Jika seseorang berdiri di depan saya lebih dari dua puluh meter, saya kesulitan untuk dapat mengenalinya. Biasanya, saya harus benar-benar memperhatikannya dulu, baru kemudian saya tahu dia siapa. Atau dengan mendengarkan suaranya, dan kemudian saya akan mengenali itu suara siapa.

Lebih parah lagi kalau malam hari. Di malam hari, jarak pandang saya semakin terbatas. Dalam jarak sepuluh meter saja, saya sudah kesulitan mengenali seseorang. Sebenarnya saya sudah harus memakai kacamata. Tapi entah mengapa sampai sekarang hati saya belum terketuk untuk melakukannya. Beberapa kawan ada yang menyarankan untuk operasi lasik, tapi saya sudah keburu ngeri mendengar istilah “operasi”.

Jadi begitulah. Saya menjalani hari-hari dengan mata minus, yang dikombinasikan keras kepala, karena tak mau juga memakai kacamata. Padahal, dulu, saya pernah meminjam kacamata seseorang, dan merasakan daya penglihatan yang lebih baik. Selain itu, teman-teman bilang saya tampak lebih ganteng waktu memakai kacamata. Tapi, well, saya tahu mereka bohong. Jadi saya tetap tidak memakai kacamata. ☺

Nah, menyangkut mata minus, kadang-kadang saya menghadapi masalah. Sering kali orang menyangka saya sombong, karena disapa diam saja, atau disenyumi tidak membalas. Faktanya, waktu mereka menyapa atau tersenyum itu, saya benar-benar tidak melihatnya. Atau, pada malam hari, ketika berpapasan dengan orang yang saya kenal, saya diam saja—tidak menyapa—dan orang itu mengira saya sombong. Padahal, demi Tuhan, saya benar-benar tidak mengenali siapa orang itu karena gelap.

Tidak jarang saya menerima SMS dari teman yang isinya cuma seperti ini: “Sombong!”

Lalu saya balas: “Sombong gimana?”

Kemudian si teman pun akan menjelaskan bahwa dia tadi berpapasan dengan saya, lalu tersenyum manis, tapi saya diam saja. Omigod, kalau mendengar penjelasan seperti itu, rasanya saya ingin membenci diri sendiri. Tentu saya diam saja—tidak membalas senyumnya—karena memang tidak melihatnya!

Ini mungkin terdengar perkara remeh, dan tidak penting. Tapi sejujurnya saya anggap hal penting, karena ini menyangkut hubungan kita dengan seseorang, khususnya lagi dengan seorang teman. Dan teman, kalau kita setuju, adalah harta yang berharga dalam hidup. Saya pasti akan sangat sedih jika tahu seorang teman marah atau bahkan sakit hati karena saya tidak membalas sapaan atau senyumnya.

Ya, ya, seharusnya saya memakai kacamata. Tapi saya memang keras kepala. Mata minus dan kepala yang keras rupanya bukan kombinasi yang baik, karena melahirkan prasangka kesombongan. Dan, kau tahu, rasanya gimanaaaaa gitu kalau sampai ada orang yang mengira kita sombong. Ada rasa tidak enak atau tidak nyaman. Saya pun begitu. Lebih baik saya mendengar orang mengatakan saya tolol daripada mendengar orang mengatakan saya sombong.

Saya takut pada kesombongan, bukan semata-mata karena itu tidak baik dalam hubungan antarmanusia, tetapi juga karena kesombongan selalu menjadi senjata makan tuan. Setepat bumerang yang dilemparkan akan kembali pada pengirimnya, kesombongan akan menampar muka kita dengan ketepatan yang sama.

Tetapi kesombongan memang godaan manusia yang terbesar. Bahkan Imam Al-Ghazali sampai frustasi dengan sifat satu ini. “Sungguh sulit melenyapkan kesombongan,” kata Al-Ghazali dengan nada introspeksi, “karena bahkan tidak kita tunjukkan sekalipun, kita masih bisa menyimpan kesombongan dalam hati.”

Nah, kalau dipikir-pikir, apa sih keuntungan menjadi sombong? Saya belum pernah mendengar ada orang yang gajinya dinaikkan karena memiliki sifat sombong. Saya juga belum pernah mendengar ada orang yang disukai banyak orang karena sombong. Yang ada, saya malah berkali-kali mendengar orang dijauhi karena memiliki sifat itu. Orang sombong itu tak jauh beda dengan anak kecil yang memakai baju kebesaran, sehingga tampak konyol.

Jadi, kesimpulan saya, sombong itu konyol. Karena itu pula, saya lebih suka tertawa kalau menemukan orang yang sombong. Mungkin menertawakan orang sombong juga termasuk kesombongan, tapi persetan! Daripada sakit hati menyaksikan kesombongannya, saya merasa lebih baik menertawakannya!

Ehmm… salah satu teman saya yang juga penulis adalah Ika. Itu nama samaran, karena nama aslinya cukup terkenal. Pada saat ini, novel-novel karya Ika telah terjual puluhan ribu eksemplar, dan namanya tidak asing bagi para pembaca buku di Indonesia. Tetapi, bertahun-tahun lalu, Ika hanyalah seorang cewek yang baru menulis, dan masih bingung dengan dunia penerbitan.

Nah, suatu hari, bertahun-tahun lalu, Ika pernah berkirim e-mail ke seorang penulis cewek bernama Rea (ini juga nama samaran). Ika membaca beberapa novel Rea, dan mengaguminya, dan kemudian memberanikan diri mengirim e-mail kepada penulis idolanya. E-mail itu tidak pernah dibalas. Ika pun memaklumi, karena mungkin Rea mendapatkan e-mail dari banyak orang, sehingga tentu tak bisa membalas satu per satu.

Di Twitter, Ika juga mem-follow akun Rea, dan beberapa kali memberanikan diri mengirimkan mention ke Rea, tapi tidak satu kali pun direspon. Untuk kesekian kalinya, Ika mencoba memahami dan memaklumi.

Sampai suatu hari, masih beberapa tahun lalu, Ika berhasil menulis novel. Dan berhasil diterbitkan. Novel pertama itu langsung menjadi bestseller, dan nama Ika mulai terkenal. Kemudian, Ika menulis novel kedua. Kali ini, Ika ingin sekali mendapatkan endorsement dari Rea, penulis idolanya, untuk novel kedua tersebut. Maka Ika pun mengirimkan e-mail ke Rea, memohon agar Rea mau memberikan endorsement untuk novelnya.

Sama seperti dulu, Rea tidak membalas e-mail Ika. Di Twitter, Ika mencoba mengirimkan mention beberapa kali ke Rea, sehubungan dengan permintaan endorsement tersebut, namun lagi-lagi Rea tak pernah membalas. Ika mencoba menebalkan muka, dan mengirim e-mail beberapa kali lagi kepada Rea, tapi semuanya tidak pernah dibalas.

Akhirnya novel kedua itu pun terbit, meski Ika tak berhasil mendapatkan endorsement dari Rea. Seperti novel pertamanya, novel kedua itu pun bestseller. Lalu Ika menulis novel ketiga, keempat, dan seterusnya. Hari ini, nama Ika jauh lebih terkenal dibanding nama Rea. Dalam hal kualitas maupun produktivitas, Ika jauh mengungguli Rea.

Nah, seperti yang dinyatakan di atas, kesombongan itu mirip bumerang, dan sering kali menjadi senjata makan tuan. Setepat bumerang yang dilemparkan akan kembali pada pengirimnya, kesombongan akan menampar muka kita dengan ketepatan yang sama.

Suatu hari, Ika bercerita, dia mendapatkan e-mail dari Rea, yang memohon agar Ika memberikan endorsement untuk novel terbaru Rea. Meski Ika bukan cewek judes, tetapi dia manusia biasa. Dia masih ingat dulu ketika berkali-kali mengirim e-mail kepada Rea dan sama sekali dicueki. Dia masih ingat ketika dulu mengirimkan mention berkali-kali kepada Rea, tapi dianggap angin lalu. Maka saat pembalasan pun tiba, pikir Ika.

Ika tidak membalas e-mail itu. Dua kali Rea mengirim e-mail kepada Ika, dan sama sekali tak dibalas. Lalu Rea mem-follow akun Twitter Ika, dan mengirimkan mention berisi hal sama. Ika hanya menertawakannya. Sampai suatu hari, mungkin karena didorong rasa sebal, Ika menulis tweet di akun Twitter-nya, berbunyi, “Maaf, kamu terlalu sombong untuk menjadi temanku.”

Sebagai salah satu follower-nya, Rea pasti membaca tweet itu, dan mungkin dia akan merasa tweet itu ditujukan untuknya. Tapi Ika tak peduli. Berdasarkan penuturannya sendiri, Ika mengakui, “Jujur, aku ngerasa nggak enak udah cuekin dia. Tapi biar aja. Dia dulu juga cuekin aku. Mungkin dia pikir bakal di atas selamanya, jadi ngerasa bisa seenaknya sendiri.”

Saya tidak membenarkan atau menyalahkan Ika—ataupun Rea. Kita semua hanyalah manusia biasa, yang memang kadang-kadang ingin sombong, dan kadang-kadang juga ingin membalas kesombongan dengan cara yang sama. Ika dan Rea hanyalah cewek biasa, sebagaimana saya juga cowok biasa. Dan, mungkin, sudah saatnya saya memakai kacamata… agar lebih bisa mengenali mereka.

 
;