Selasa, 26 Februari 2013

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (1)

“Kalau kamu aktif dalam MLM ini,
sepuluh tahun mendatang kamu akan bisa punya rumah,
kendaraan, dan penghasilan yang lumayan.”
—Teman

“Kenapa aku harus menunggu sepuluh tahun mendatang?
Sekarang pun aku sudah punya semuanya itu.”
—Saya


Sudah cukup sering saya mendengar orang mengeluh kehilangan teman gara-gara MLM (Multi Level Marketing). Kasus “kehilangan teman” itu biasanya diawali karena si teman terlalu sering atau terlalu agresif mengajak (memprospek) agar ikut dalam bisnis MLM yang digelutinya.

Para pebisnis MLM biasanya butuh downline, dan untuk itu mereka sangat aktif serta rajin memprospek orang lain—termasuk teman-temannya—dan biasanya dari situ perasaan “tidak enak” mulai muncul. Beberapa orang ada yang mau diprospek dan ikut dalam bisnis MLM yang ditawarkan temannya, sementara beberapa yang lain ada yang merasa tidak nyaman karena terus-menerus diprospek, hingga kemudian memilih untuk menjauhi si teman yang terus memprospeknya.

Kenyataan semacam itu juga terjadi pada saya, dan sejujurnya saya sangat sedih. Gara-gara MLM, saya kehilangan seorang teman yang amat saya sayangi, yang telah menjadi sahabat saya selama bertahun-tahun. Saya memberanikan diri menulis catatan ini karena “kasus” menyangkut MLM yang menimpa saya dan teman saya ini rupanya berbuntut panjang, hingga sampai pada tahap yang tak pernah saya bayangkan.

Catatan ini sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan bisnis MLM. Catatan ini juga tidak akan membahas bagaimana cara menjalankan MLM sebagai bisnis, karena mungkin itu di luar kompetensi saya. Yang ingin saya bahas dalam catatan ini adalah pengaruh yang ditimbulkan MLM dalam hubungan antar manusia, khususnya hubungan antar kawan. Semoga catatan yang mungkin pahit ini bisa menjadi masukan positif bagi para aktivis dan praktisi bisnis MLM, agar mereka mulai memahami hal-hal yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan dari upline atau mentor mereka selama menjalani bisnis tersebut.

Meski menyangkut suatu barang yang diperjualbelikan, namun MLM sebenarnya bisnis manusia. Artinya, yang paling terlibat dalam MLM tidak hanya barang dagangannya semata-mata, tetapi lebih pada manusia pelakunya. Tolong jangan salahpahami kalimat itu. Dalam bisnis apa pun, barang atau komoditas memang penting. Tetapi para pelaku bisnis jauh lebih penting. Ada banyak sampah yang laris terjual karena ditawarkan dengan cara baik, begitu pun banyak barang hebat yang tak laku karena cara penawarannya buruk.

Benar bahwa rata-rata barang yang dijual lewat sistem MLM memiliki mutu atau kualitas yang baik. Tetapi jika barang yang berkualitas baik itu tidak dijajakan dengan baik pula, orang-orang yang ditawari barang itu justru menjadi ilfil. Kenyataan semacam itulah yang selama ini berjalan dalam bisnis MLM, dan entah mengapa para mentor, guru, dan praktisi MLM sepertinya menutup mata dari kenyataan ini.

Sekarang, seperti yang saya nyatakan tadi, saya akan menceritakan kasus kehilangan teman yang saya alami, gara-gara MLM. Kasus seperti yang saya alami ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, karena bukan cuma saya yang mengalaminya. Sebelum saya mengalaminya sendiri, sudah berkali-kali saya mendengar kisah duka yang sama.

….
….

Semenjak SMA, saya berkawan karib dengan Rifki (bukan nama sebenarnya). Kami sangat cocok bersahabat karena mungkin merasa memiliki banyak kesamaan. Sejak dulu, saya kerap dolan ke rumahnya, dan dia pun sering berkunjung ke rumah saya. Kadang-kadang, pas hari libur, kami jalan-jalan berdua ke suatu tempat yang diinginkan. Persahabatan yang dimulai sejak SMA itu terus berlanjut sampai kami kuliah, lulus, bahkan sampai dia menikah.

Selama bertahun-tahun itu, nyaris tidak ada masalah apa pun di antara kami. Pendeknya, kami benar-benar sepasang sahabat sejati. Kalau saya butuh curhat dan berkeluh kesah, saya akan datang kepadanya. Kalau dia perlu tukar pikiran, dia pun datang kepada saya. Tuhan tahu betapa saya merasa beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya, dan saya pun berharap Rifki merasakan hal yang sama. Bahkan, karena sebegitu akrabnya, kami pun merasa seperti saudara. Saya mengenal orang tua Rifki dengan baik, begitu pula Rifki mengenal orang tua saya.

Sampai kemudian, sekitar empat tahun yang lalu, hubungan persahabatan yang telah terjalin dengan baik selama bertahun-tahun itu mulai retak. Gara-garanya sepele, bahkan sangat sepele. Yaitu MLM.

Lanjut ke sini.

 
;