***
Maka, selama sakit itu, saya pun tinggal di rumah. Ada cukup banyak teman yang datang berkunjung, dan saya senang. Suatu hari, ada teman kuliah saya, yang juga mendengar saya sakit, dan dia pun datang berkunjung. Kita sebut saja namanya Hilman. Kami dekat selama di kampus, dan tetap akrab selepas kuliah.
Sewaktu mengunjungi saya, Hilman membawakan beberapa obat-obatan yang dikatakannya sangat bagus untuk mengatasi gejala tipus. Tanpa saya minta, dia membuka obat-obat itu. Obat yang cair diminumkannya untuk saya, sedang obat yang berbentuk seperti balsam dioleskannya ke bagian tubuh saya yang sakit.
Waktu itu saya sempat menyadari bahwa obat-obatan yang dibawa Hilman adalah produk-produk yang dikeluarkan MLM ABC. Saya mengenali kemasannya, karena obat-obatan itu terdapat dalam buku produk yang diterbitkan MLM ABC. Jadi, saya pun bertanya pada Hilman, apakah dia juga ikut MLM ABC, dan ternyata dia memang anggota MLM ABC. Baik sekali teman saya ini, pikir saya. Dia menggunakan produk-produk MLM-nya untuk membantu temannya yang sakit.
Tapi persepsi itu seketika berubah. Ketika akan pulang, Hilman memberitahu saya harga obat-obatan yang telah digunakannya tadi, dan dia—secara halus—meminta saya membayarnya. Dia pun meninggalkan obat-obatan itu di kamar saya, setelah saya membayar semua harganya.
Demi Tuhan, saya tidak mempermasalahkan berapa yang harus saya bayar untuk obat-obatan itu. Yang membuat saya tercenung, sampai seperti itukah perbuatan para pelaku bisnis MLM? Mereka, sepertinya, tidak lagi memiliki nurani kemanusiaan dan ketulusan dalam berkawan. Selama bisa mengambil keuntungan, mereka akan mengambilnya, bahkan jika itu harus memanipulasi temannya sendiri yang sedang sakit parah.
Perbuatan Hilman itu pun kemudian mengingatkan saya pada ucapan Rifki beberapa waktu sebelumnya. Rifki pernah menyatakan, bahwa menjual produk MLM ABC—yang sebagian besar berupa obat-obatan dan suplemen kesehatan—sangat menjanjikan, karena produk-produk itu selalu dibutuhkan banyak orang.
“Bayangkan,” katanya waktu itu, “kalau kita datang ke tempat orang yang sedang sakit parah, dan membawakan obat-obatan ini serta menjanjikan kepadanya bahwa dia bisa sembuh jika mengonsumsinya, orang itu pasti akan mau membelinya, tak peduli semahal apa pun harganya. Karena itulah bisnis MLM ini sangat menjanjikan, karena selalu dibutuhkan banyak orang.”
Ucapan Rifki itu terbukti dengan datangnya Hilman ketika mengunjungi saya yang sedang sakit parah, dan membawa obat-obatan produksi MLM yang dijualnya dengan cara halus namun memaksa. Dia memanipulasi saya yang sedang sakit parah. Ketulusan yang saya bayangkan, ternyata keuntungan yang ditujunya. Dan, tanpa bermaksud sok idealis, saya tidak mau mencari nafkah dengan cara seperti itu.
Sebagai sebuah bisnis, MLM tentu legal, buktinya keberadaannya direstui pemerintah di banyak negara. Bahkan banyak pakar yang berkompeten menyatakan bahwa MLM adalah salah satu sistem bisnis yang baik. Sebagai upaya mendapatkan nafkah, MLM juga tentu halal, nyatanya sampai saat ini belum ada lembaga yang jelas-jelas mengharamkannya. Namun, sesuatu yang legal dan halal itu kemudian menjadi “meresahkan” banyak orang (khususnya orang di luar anggota MLM), akibat beberapa pelaku MLM yang terkesan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Saya tidak bermaksud menggeneralisir. Saya menyandarkan catatan ini pada pengalaman pribadi saya, juga pengalaman teman-teman lain, yang kebetulan pernah berhubungan atau berurusan dengan beberapa orang yang kami kenal, yang menjadi anggota suatu MLM.
Di mata kami, para anggota MLM yang kami kenal itu terkesan “menghalalkan segala cara” untuk meraih tujuannya. Untuk memprospek orang, mereka tak peduli waktu dan tempat. Selama ada yang bisa diprospek, mereka akan melakukannya. Tentu saja itu hak mereka, toh mereka sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya. Yang mulai jadi masalah, ketika mereka memprospek kita.
Lanjut ke sini.
Sewaktu mengunjungi saya, Hilman membawakan beberapa obat-obatan yang dikatakannya sangat bagus untuk mengatasi gejala tipus. Tanpa saya minta, dia membuka obat-obat itu. Obat yang cair diminumkannya untuk saya, sedang obat yang berbentuk seperti balsam dioleskannya ke bagian tubuh saya yang sakit.
Waktu itu saya sempat menyadari bahwa obat-obatan yang dibawa Hilman adalah produk-produk yang dikeluarkan MLM ABC. Saya mengenali kemasannya, karena obat-obatan itu terdapat dalam buku produk yang diterbitkan MLM ABC. Jadi, saya pun bertanya pada Hilman, apakah dia juga ikut MLM ABC, dan ternyata dia memang anggota MLM ABC. Baik sekali teman saya ini, pikir saya. Dia menggunakan produk-produk MLM-nya untuk membantu temannya yang sakit.
Tapi persepsi itu seketika berubah. Ketika akan pulang, Hilman memberitahu saya harga obat-obatan yang telah digunakannya tadi, dan dia—secara halus—meminta saya membayarnya. Dia pun meninggalkan obat-obatan itu di kamar saya, setelah saya membayar semua harganya.
Demi Tuhan, saya tidak mempermasalahkan berapa yang harus saya bayar untuk obat-obatan itu. Yang membuat saya tercenung, sampai seperti itukah perbuatan para pelaku bisnis MLM? Mereka, sepertinya, tidak lagi memiliki nurani kemanusiaan dan ketulusan dalam berkawan. Selama bisa mengambil keuntungan, mereka akan mengambilnya, bahkan jika itu harus memanipulasi temannya sendiri yang sedang sakit parah.
Perbuatan Hilman itu pun kemudian mengingatkan saya pada ucapan Rifki beberapa waktu sebelumnya. Rifki pernah menyatakan, bahwa menjual produk MLM ABC—yang sebagian besar berupa obat-obatan dan suplemen kesehatan—sangat menjanjikan, karena produk-produk itu selalu dibutuhkan banyak orang.
“Bayangkan,” katanya waktu itu, “kalau kita datang ke tempat orang yang sedang sakit parah, dan membawakan obat-obatan ini serta menjanjikan kepadanya bahwa dia bisa sembuh jika mengonsumsinya, orang itu pasti akan mau membelinya, tak peduli semahal apa pun harganya. Karena itulah bisnis MLM ini sangat menjanjikan, karena selalu dibutuhkan banyak orang.”
Ucapan Rifki itu terbukti dengan datangnya Hilman ketika mengunjungi saya yang sedang sakit parah, dan membawa obat-obatan produksi MLM yang dijualnya dengan cara halus namun memaksa. Dia memanipulasi saya yang sedang sakit parah. Ketulusan yang saya bayangkan, ternyata keuntungan yang ditujunya. Dan, tanpa bermaksud sok idealis, saya tidak mau mencari nafkah dengan cara seperti itu.
Sebagai sebuah bisnis, MLM tentu legal, buktinya keberadaannya direstui pemerintah di banyak negara. Bahkan banyak pakar yang berkompeten menyatakan bahwa MLM adalah salah satu sistem bisnis yang baik. Sebagai upaya mendapatkan nafkah, MLM juga tentu halal, nyatanya sampai saat ini belum ada lembaga yang jelas-jelas mengharamkannya. Namun, sesuatu yang legal dan halal itu kemudian menjadi “meresahkan” banyak orang (khususnya orang di luar anggota MLM), akibat beberapa pelaku MLM yang terkesan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Saya tidak bermaksud menggeneralisir. Saya menyandarkan catatan ini pada pengalaman pribadi saya, juga pengalaman teman-teman lain, yang kebetulan pernah berhubungan atau berurusan dengan beberapa orang yang kami kenal, yang menjadi anggota suatu MLM.
Di mata kami, para anggota MLM yang kami kenal itu terkesan “menghalalkan segala cara” untuk meraih tujuannya. Untuk memprospek orang, mereka tak peduli waktu dan tempat. Selama ada yang bisa diprospek, mereka akan melakukannya. Tentu saja itu hak mereka, toh mereka sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya. Yang mulai jadi masalah, ketika mereka memprospek kita.
Lanjut ke sini.