Selasa, 26 Februari 2013

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Ceritanya, Rifki bergabung dengan sebuah bisnis Multi Level Marketing, gara-gara diprospek Fandi (juga bukan nama sebenarnya). Saya juga mengenal Fandi, karena kami sama-sama bersekolah di SMA yang sama. Seperti dengan saya, Rifki dan Fandi telah menjalin persahabatan sejak SMA. Pada waktu itu, Fandi telah memiliki usaha batik, sementara Rifki bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan ekspedisi.

Setelah bergabung dengan MLM yang ditawarkan Fandi, Rifki lalu berusaha memprospek saya agar ikut bergabung dengan bisnis MLM tersebut. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja bisnis MLM itu dengan nama MLM ABC. Ketika ditawari/diprospek Rifki untuk bergabung dengan MLM ABC, saya menolak. Alasannya sederhana, karena waktu itu saya telah bergabung dengan MLM lain.

Kita flashback ke belakang dulu, agar cerita ini benar-benar utuh. Empat tahun sebelum Rifki memprospek saya agar ikut bisnis MLM ABC, saya telah bergabung dengan bisnis MLM lain (kita sebut saja MLM XYZ), karena ditawari seseorang. Waktu itu, saya mau bergabung dengan MLM XYZ karena tertarik pada salah satu produknya yang kebetulan saya butuhkan.

Produk yang saya maksud ditujukan untuk detoksifikasi. Sebagai perokok yang cukup berat, saya membutuhkan upaya pembersihan untuk mengeluarkan racun-racun dalam tubuh saya, agar kesehatan saya lebih terjaga. Nah, produk MLM XYZ mampu melakukan hal itu, dan telah saya buktikan sendiri kualitasnya yang memang hebat. Meski harganya tergolong mahal, produk itu memberikan hasil seperti yang saya inginkan.

Waktu itu, saya pikir, dengan bergabung dan menjadi anggota MLM XYZ, maka saya akan dapat membeli produk itu terus-menerus dengan harga yang lebih murah. Itulah alasan saya bergabung dengan MLM XYZ. Karenanya, ketika memutuskan untuk bergabung dengan MLM tersebut, saya katakan terus terang pada orang yang memprospek saya, bahwa tujuan saya bergabung dengan MLM XYZ hanya untuk mengonsumsi produknya, dan bukan untuk aktif sebagai membernya.

Jadi, sejak itu, saya pun tercatat sebagai member MLM XYZ. Setiap bulan, saya rutin membeli produk-produk yang memang saya butuhkan, namun tidak pernah sekali pun memprospek orang lain untuk ikut MLM itu. Alasannya sederhana. Saya memiliki pekerjaan dan kesibukan sendiri, dan saya tidak punya waktu untuk memprospek orang. Selain itu, saya juga tidak ahli dalam hal tersebut.

Kalau kebetulan ada teman yang melihat saya sedang mengonsumsi produk MLM itu, dan menanyakannya, saya akan menjawab secukupnya, dan sama sekali tidak berusaha mengajak atau memprospeknya agar ikut bergabung dengan MLM yang menjual produknya.

Jika kemudian ada beberapa orang yang memutuskan bergabung dengan MLM XYZ melalui saya, itu semata-mata karena mereka memang tertarik dan berinisiatif sendiri untuk bergabung, tanpa saya paksa sedikit pun. Kenyataannya, teman-teman saya yang kemudian ikut menjadi anggota MLM XYZ juga semata-mata ingin mengonsumsi produknya, tanpa bermaksud aktif dalam MLM dengan memprospek orang lain untuk menjadi downline mereka.

Nah, lalu Rifki bergabung dengan MLM ABC, dan berusaha memprospek saya agar bergabung dengan MLM-nya. Saya katakan terus terang kepadanya, bahwa saya tidak bisa ikut MLM ABC, karena saya telah bergabung dengan MLM lain. (Salah satu peraturan dalam MLM XYZ adalah tidak boleh bergabung dengan MLM lain selama masih menjadi anggotanya). Meski saya bukan anggota aktif, tapi saya berusaha tidak menyalahi aturan itu.

Tapi Rifki—sahabat baik saya—tidak patah semangat. Dia terus memprospek dan merayu saya dengan berbagai macam cara. Mula-mula, dia memberikan undangan agar saya datang ke acara yang diselenggarakan MLM ABC. “Kamu akan tahu kehebatan MLM ABC kalau sudah melihat sendiri seperti apa ramainya acaranya,” katanya menggebu-gebu.

Lanjut ke sini.

 
;