***
Rifki terdiam. Dan saya pun menyatakan, “Rif, kalau kamu merasa cocok dengan MLM ABC, dan kamu merasa mendapat keuntungan atau penghasilan dari MLM itu, silakan lanjutkan. Aku berdoa semoga kamu sukses dan bisa sekaya seperti yang dijanjikan para upline atau mentormu. Tapi aku punya pekerjaan dan kesibukan sendiri, dan aku mencintai pekerjaanku. Selama bertahun-tahun, pekerjaan yang kutekuni telah memberikan banyak hal bagi hidupku. Mungkin aku tidak sesukses atau sekaya para upline-mu, tapi demi Tuhan aku mencintai pekerjaanku. Tak peduli ditukar dengan apa pun, aku tidak akan pernah meninggalkannya.”
Sejak itu, Rifki mulai jarang ke rumah saya. Mungkin karena dia berpikir saya sudah “tak bisa ditolong”, sehingga dia memutuskan untuk tidak lagi memprospek saya. Kadang-kadang saya berkunjung ke rumahnya, namun jarang pula saya bisa menemuinya. Sering kali, saat saya datang, dia sedang pergi untuk memenuhi kesibukan seputar MLM ABC. Jadi, seiring berlalunya hari, kami pun makin jarang bertemu. Sesekalinya bertemu, lagi-lagi yang dia bicarakan hanya MLM ABC, dan janji-janji hebat yang kelak akan diperolehnya dari MLM itu.
Saya sedih. Pertama, saya sedih karena merasa kehilangan teman baik. Kedua, saya sedih karena teman baik saya sepertinya telah punya “agama” baru yang tidak saya pahami. Tidak ada lagi percakapan asyik seperti dulu, hal-hal ringan yang kami obrolkan sampai larut malam. Tidak ada lagi keakraban dan kedekatan seperti dulu layaknya sepasang teman. Tidak ada lagi curhat, tukar pikiran, canda dan tawa yang dulu biasa saya nikmati bersamanya.
Sekarang, yang ada hanya MLM ABC. Kalau kami ketemu dan ngobrol, topik pembicaraan kami hanya MLM ABC, dan hal-hal muluk yang akan didapatkannya. Sepertinya, bagi Rifki, MLM ABC adalah agamanya yang baru. Upline dan mentornya adalah nabi. Kitab sucinya adalah starter kit dan buku-buku serta VCD panduan MLM. Ibadahnya adalah mencari dan memprospek orang. Pahalanya adalah janji-janji surga—dari kendaraan dan rumah, sampai penghasilan yang konon milyaran. Sementara point yang diperoleh menjelma tuhan sesembahan.
Saya patah hati.
Dan rupanya, yang patah hati semacam itu bukan cuma saya. Ketika bertemu kawan-kawan yang lain, dan pembicaraan kami menyerempet tentang Rifki, biasanya kami akan mengeluhkan hal yang sama. Rifki telah berubah, bergitu biasanya yang kami katakan. Urusan hidupnya sekarang hanya berkutat seputar MLM ABC. Ternyata yang merasa kehilangan teman bukan cuma saya.
Akhirnya, kami tahu, Rifki hanya menjalin pertemanan dengan sesama aktivis MLM ABC, dan meninggalkan teman-teman lamanya yang tidak ikut atau tidak aktif MLM itu. Jika dulu kami bisa berteman dan bersahabat dengan tulus tanpa pamrih, sekarang pertemanan harus memiliki tendensi. Salah satunya tendensi keaktifan dalam MLM. Sejak itu pula, saya pun tidak pernah lagi bertemu dengan Rifki. Dia makin sibuk dengan bisnis MLM-nya.
Ternyata, yang mengalami hal semacam itu bukan cuma Rifki. Berdasarkan kisah dari teman-teman yang lain, ada cukup banyak orang yang hidupnya jadi berubah seperti Rifki, setelah mereka ikut dan aktif dalam sebuah MLM. Beberapa di antaranya juga saya kenal, meski tidak akrab. “Sekarang,” kata teman-teman kami, “orang-orang yang sibuk ngurusin MLM itu tidak tahu lagi arti persahabatan dan ketulusan. Semuanya harus dibangun dengan motivasi bisnis.”
Pernyataan semacam itu mungkin terdengar sarkastis. Tetapi, saya pernah menemui bukti konkrit yang bisa saya saksikan. Suatu hari, saya jatuh sakit. Menurut dokter yang memeriksa, saya terkena gejala tipus, dan disarankan untuk dirawat di rumah sakit. Oh, well, rumah sakit adalah tempat terakhir yang saya inginkan di muka bumi ini. Jadi, selama masih bisa dirawat di rumah, saya bersikukuh untuk tetap di rumah.
Lanjut ke sini.
Sejak itu, Rifki mulai jarang ke rumah saya. Mungkin karena dia berpikir saya sudah “tak bisa ditolong”, sehingga dia memutuskan untuk tidak lagi memprospek saya. Kadang-kadang saya berkunjung ke rumahnya, namun jarang pula saya bisa menemuinya. Sering kali, saat saya datang, dia sedang pergi untuk memenuhi kesibukan seputar MLM ABC. Jadi, seiring berlalunya hari, kami pun makin jarang bertemu. Sesekalinya bertemu, lagi-lagi yang dia bicarakan hanya MLM ABC, dan janji-janji hebat yang kelak akan diperolehnya dari MLM itu.
Saya sedih. Pertama, saya sedih karena merasa kehilangan teman baik. Kedua, saya sedih karena teman baik saya sepertinya telah punya “agama” baru yang tidak saya pahami. Tidak ada lagi percakapan asyik seperti dulu, hal-hal ringan yang kami obrolkan sampai larut malam. Tidak ada lagi keakraban dan kedekatan seperti dulu layaknya sepasang teman. Tidak ada lagi curhat, tukar pikiran, canda dan tawa yang dulu biasa saya nikmati bersamanya.
Sekarang, yang ada hanya MLM ABC. Kalau kami ketemu dan ngobrol, topik pembicaraan kami hanya MLM ABC, dan hal-hal muluk yang akan didapatkannya. Sepertinya, bagi Rifki, MLM ABC adalah agamanya yang baru. Upline dan mentornya adalah nabi. Kitab sucinya adalah starter kit dan buku-buku serta VCD panduan MLM. Ibadahnya adalah mencari dan memprospek orang. Pahalanya adalah janji-janji surga—dari kendaraan dan rumah, sampai penghasilan yang konon milyaran. Sementara point yang diperoleh menjelma tuhan sesembahan.
Saya patah hati.
Dan rupanya, yang patah hati semacam itu bukan cuma saya. Ketika bertemu kawan-kawan yang lain, dan pembicaraan kami menyerempet tentang Rifki, biasanya kami akan mengeluhkan hal yang sama. Rifki telah berubah, bergitu biasanya yang kami katakan. Urusan hidupnya sekarang hanya berkutat seputar MLM ABC. Ternyata yang merasa kehilangan teman bukan cuma saya.
Akhirnya, kami tahu, Rifki hanya menjalin pertemanan dengan sesama aktivis MLM ABC, dan meninggalkan teman-teman lamanya yang tidak ikut atau tidak aktif MLM itu. Jika dulu kami bisa berteman dan bersahabat dengan tulus tanpa pamrih, sekarang pertemanan harus memiliki tendensi. Salah satunya tendensi keaktifan dalam MLM. Sejak itu pula, saya pun tidak pernah lagi bertemu dengan Rifki. Dia makin sibuk dengan bisnis MLM-nya.
Ternyata, yang mengalami hal semacam itu bukan cuma Rifki. Berdasarkan kisah dari teman-teman yang lain, ada cukup banyak orang yang hidupnya jadi berubah seperti Rifki, setelah mereka ikut dan aktif dalam sebuah MLM. Beberapa di antaranya juga saya kenal, meski tidak akrab. “Sekarang,” kata teman-teman kami, “orang-orang yang sibuk ngurusin MLM itu tidak tahu lagi arti persahabatan dan ketulusan. Semuanya harus dibangun dengan motivasi bisnis.”
Pernyataan semacam itu mungkin terdengar sarkastis. Tetapi, saya pernah menemui bukti konkrit yang bisa saya saksikan. Suatu hari, saya jatuh sakit. Menurut dokter yang memeriksa, saya terkena gejala tipus, dan disarankan untuk dirawat di rumah sakit. Oh, well, rumah sakit adalah tempat terakhir yang saya inginkan di muka bumi ini. Jadi, selama masih bisa dirawat di rumah, saya bersikukuh untuk tetap di rumah.
Lanjut ke sini.