Jumat, 27 Juni 2014

Perbedaan Jaim dan Sok Jaim

Lelaki suka mempermudah hal-hal sulit. Perempuan
suka mempersulit hal-hal mudah. Karena itulah
kisah cinta tak pernah selesai ditulis.
@noffret


Tempo hari, waktu sedang asyik ngobrol, saya diberitahu wanita ini, “Kalau kamu nyebut istilah ‘sok jaim’ dalam tulisanmu, dan meminta agar kita nggak sok jaim, mungkin perlu dijelasin yang kamu maksud atas istilah itu, karena bisa jadi ada pembaca yang keliru memahami.”

Dia menyampaikan saran itu karena mendapati beberapa temannya—yang membaca blog ini—tampaknya memang keliru memahami saran “jangan sok jaim” yang saya maksudkan. So, saya menulis catatan ini untuk meluruskan hal tersebut, sekaligus membicarakan beberapa hal lain seputar hubungan cowok-cewek, yang mungkin biasa kita alami atau saksikan setiap hari.

Well, sebagian besar cowok—setidaknya yang pernah saya ajak ngobrol mengenai hal ini—lebih menyukai cewek yang tidak sok jaim daripada yang sok jaim. Saya pribadi, sebagai cowok, jauh lebih tertarik pada cewek yang tidak sok jaim daripada yang sok jaim. Dan, terus terang, saya sama sekali tidak punya minat atau ketertarikan terhadap cewek yang sok jaim. Semakin tinggi sok jaimnya, semakin hilang ketertarikan saya.

Nah, sekarang, apa yang dimaksud “sok jaim” dalam paragraf di atas?

Jika kalian membuka-buka dan membaca kembali catatan-catatan mengenai interaksi cowok-cewek di blog ini, kalian akan mendapati bahwa yang terus saya katakan berulang-ulang adalah “Jangan sok jam”—bukan “Jangan jaim”. Apa bedanya? Jelas beda! Dalam beberapa hal, jaim memang kadang diperlukan. Tapi sok jaim... itu membosankan, bahkan menjengkelkan!

Dalam perspektif saya, jaim adalah bagian kesopanan. Sedangkan sok jaim adalah bagian kemunafikan. Kesopanan itu perlu, tapi kemunafikan... oh, hell, itu memuakkan!

Agar hal ini lebih jelas, mari kita gunakan contoh nyata. Najwa (bukan nama sebenarnya) biasa duduk dengan menaikkan kedua kakinya ke meja, khususnya ketika sedang santai sendirian di rumah. Tetapi, ketika bersama teman cowoknya, dia tidak pernah melakukan hal itu. Yang dilakukan Najwa dalam kasus ini disebut jaim, bukan sok jaim. Dia menjaga image-nya agar tampak sebagai cewek yang sopan. Tidak masalah, itu bahkan cantik.

Kasus lain, saya biasa mengenakan boxer dan kaos oblong kalau di rumah. Tetapi kalau ada tamu datang, saya akan berganti pakaian yang lebih baik agar tampak cakep. Itu jaim. Saya sengaja jaga image, demi terlihat layak di depan mereka. Tidak masalah, itu bahkan bagian dari kesopanan, khususnya kesopanan dalam menerima tamu.

Jadi, jaim adalah bagian kesopanan, dan itu tidak masalah. Bahkan, dalam beberapa situasi atau kondisi tertentu, jaim bahkan diperlukan. So, silakan jaim. Tapi jangan sok jaim!

Sekarang, mari kita lihat contoh nyata perilaku sok jaim.

Dalam hubungan atau interaksi cowok-cewek, perilaku sok jaim sangat mudah kita temukan. Bahkan, banyak cewek yang sengaja bersikap dan berlaku sok jaim dalam berbagai situasi, demi tujuan tertentu yang mereka harapkan positif... tetapi sering kali justru berbalik menjadi bumerang yang mereka sesali.

Ketika seorang cowok meminta nomor ponsel cewek gebetannya, misalnya, kebanyakan cewek tidak akan langsung memberikannya. Kenapa? Jawabannya sangat gamblang—sok jaim! Yang ada di pikiran cewek-cewek itu kira-kira seperti ini, “Aku mau memberikan nomor ponselku, tapi tidak akan kubuat ini menjadi mudah. Jadi, mintalah terus, jangan menyerah, nanti akan kuberikan nomor ponselku.”

Cewek-cewek itu mungkin berpikir bahwa memberikan nomor ponsel dengan mudah akan menurunkan “harga diri” mereka, jadi mereka sengaja mempersulit hal itu. Konyol...? Mungkin iya, tapi itulah yang mereka lakukan! Dan itulah yang disebut sok jaim!

Cewek-cewek sok jaim itu sebenarnya mau memberikan nomor ponsel mereka, mau ditelepon oleh si cowok, mau lebih akrab dan dekat, bahkan mungkin mereka mengharapkannya. Tapi mereka sengaja mempersulit hal itu demi sok jaim. Itu jelas perilaku yang repot sekaligus merepotkan. Dalam contoh kasus lebih luas, cewek-cewek sok jaim itu bahkan mempersulit hal-hal lain yang sebenarnya juga mereka inginkan—ajakan pertemuan, tawaran kencan, jalan-jalan, sebut lainnya.

So, mari kita lihat implikasi yang terjadi dari perilaku sok jaim semacam itu.

Ketika seorang cowok meminta nomor ponsel cewek gebetannya dan tidak langsung diberi, setidaknya akan ada tiga kemungkinan.

Kemungkinan pertama, si cowok benar-benar “lugu” dan tidak tahu kalau si cewek sebenarnya cuma sok jaim. Jadi, begitu dia meminta nomor ponsel si cewek dan tidak diberi, si cowok pun mengartikannya secara “harfiah”. Lalu cerita selesai—si cowok merasa ditolak, dan mungkin dia mulai berpikir untuk melupakan si cewek yang semula ditaksirnya.

Kemungkinan kedua, si cowok paham bahwa si cewek hanya sok jaim, dan pura-pura tidak mau memberikan nomor ponselnya. Tetapi, si cowok tidak punya waktu untuk main drama. Lebih khusus lagi, si cowok tidak punya waktu untuk “ngemis-ngemis” hanya untuk mendapatkan nomor ponsel si cewek.

Kemungkinan ketiga, si cowok paham kalau si cewek hanya sok jaim, dan dia tergolong orang kurang kerjaan. Jadi dia pun terus berusaha mendapatkan nomor ponsel si cewek, hingga si cewek akhirnya memberikan nomor ponselnya.

Dari tiga kemungkinan, hanya satu kemungkinan yang positif bagi si cewek, sementara dua kemungkinan lain justru menjadi bumerang baginya. Yang menjadi masalah di sini, cewek tak pernah bisa memastikan cowok macam apa yang sedang dihadapinya, kan? Ketika seorang cewek bersikap sok jaim pada cowok gebetannya, bagaimana pun dia tidak bisa memastikan seperti apa cowok itu, dan akan seperti apa sikap cowok itu ketika menghadapi sikap sok jaimnya.

Artinya, sikap sok jaim yang ditunjukkan seorang cewek pada cowok gebetannya sangat gambling dan spekulatif, karena tidak bisa diprediksi, apalagi diharapkan. Seorang cewek bisa saja sok jaim dan berharap si cowok akan mengejar-ngejarnya. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau cowok itu benar-benar akan mengejarnya?

Ketika seorang cowok meminta nomor ponsel si cewek, dan kemudian si cewek bertingkah sok jaim, bagaimana pun si cewek tidak bisa memastikan perasaan atau reaksi cowok itu. Bisa jadi cowok itu memang cinta mati kepadanya (hingga mau ngemis-ngemis demi mendapat nomor ponselnya). Bisa jadi pula cowok itu memang jatuh cinta kepadanya, tapi tidak punya waktu untuk main drama. Atau bisa jadi pula cowok itu memang jatuh hati kepadanya, tapi tidak paham bahwa penolakan si cewek hanya dimaksudkan untuk sok jaim.

Karenanya, dalam interaksi antar-gebetan, sikap sok jaim lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Lebih banyak merepotkan daripada menyenangkan. Baik bagi si cewek, maupun bagi si cowok.

Sebagian cewek mungkin berpikir bahwa dengan sok jaim maka dirinya akan tampak “mahal”, dan jika tidak sok jaim maka akan tampak “murahan”. Salah! Perhatikan lagi definisi jaim dan sok jaim yang telah dijelaskan di atas. Jaim itu perlu, bahkan dibutuhkan. Tapi sok jaim... itu membosankan sekaligus menjengkelkan! Hanya cewek-cewek tolol di sinetron konyol yang masih menganggap sok jaim adalah perilaku berpendidikan! Hellooooow...???

Cobalah tanyakan pada cowok-cowok temanmu. Tanyakan pada mereka seperti apa karakter cewek yang disukai kebanyakan cowok, dan kalian akan mendapati jawaban tidak jauh beda dengan yang saya tulis ini. Kami, cowok-cowok, lebih suka cewek yang jujur, tidak sok jaim, karena cewek semacam itulah yang asyik di mata kami, hingga membuat kami tertarik. Sebaliknya, kami malas mengurusi cewek yang sok jaim.

Sebagai cowok normal, saya menyukai cewek. Tapi cewek yang tidak sok jaim! Jika saya menemukan cewek yang asyik, dan kami telah berkomunikasi dengan baik serta akrab, lalu saya mencoba meminta nomor ponselnya tapi tidak diberi (apa pun alasannya), maka saya TIDAK AKAN PERNAH MENCOBA MEMINTANYA LAGI. Oh, well, hidup ini terlalu singkat untuk ngemis-ngemis nomor ponsel siapa pun!

Mungkin cewek itu tidak mau memberikan nomor ponselnya karena memang tidak mau memberikan. Mungkin pula dia ingin sok jaim dan baru akan memberikan nomor ponselnya setelah saya “ngemis-ngemis”. Apa pun kemungkinannya, yang jelas saya tidak akan buang-buang waktu untuk meminta lagi. Di dunia ini ada banyak kegiatan penting yang bisa saya lakukan, dan ngemis-ngemis nomor ponsel cewek adalah kegiatan yang tidak akan pernah saya lakukan.

Oh, well, kalian yang membaca paragraf di atas mungkin membatin, “Cowok bangsat macam apa si Hoeda Manis ini?”

Percayalah, saya cowok biasa—cowok baik-baik yang biasa—tapi tidak punya waktu mengurusi cewek sok jaim. Dan percayalah, di dunia ini ada berjuta-juta cowok lain yang seperti saya, tapi selama ini tidak tahu bagaimana cara menyatakan dan mengungkapkan semua ini kepada kalian.

Jadi, lain kali, kalau cowok gebetanmu meminta nomor ponselmu, dan kau diam-diam juga ingin ditelepon olehnya, berikan nomor ponselmu, tidak perlu sok jaim! Dan jika dia kemudian benar-benar meneleponmu, terima teleponnya dengan baik, tidak usah sok jaim! Hubungan baik dibangun dengan kejujuran, bukan dengan sok jaim-jaiman!

Akhirnya, demi para mbakyu bijaksana di dunia ini, saya berani bersumpah bahwa sikap jujur tidak akan merendahkanmu, sebagaimana sikap sok jaim tidak akan meninggikanmu. Silakan tanya pada mbakyumu!

Saya Orang

Iya, kamu orang.

Rabu, 25 Juni 2014

Catatan dari Celana Dalam

Hidup bahagia seperti celana dalam yang pas.
Tidak longgar, tidak terlalu ketat. Nyaman dirasakan.
@noffret


Saat belanja pakaian, kadang-kadang saya juga membeli celana dalam. Untuk hal satu itu, saya melakukan survei pribadi, untuk menemukan celana dalam paling pas dan paling nyaman saat dipakai. Meski tak terlihat—karena tertutup celana luar—tingkat kenyamanan celana dalam berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan hidup yang kita jalani. Maksud saya, kau tidak bisa nyaman menikmati hidup kalau ada sesuatu yang terselip apalagi terjepit di celana dalammu.

Jadi, saat membeli celana dalam, biasanya saya akan membeli beberapa merek sekaligus. Kebetulan, swalayan yang saya datangi menyediakan cukup banyak pilihan. Kemudian, seiring hari demi hari, saya akan mengenakan masing-masing celana dalam itu, untuk merasakan merek mana yang terasa paling pas dan paling nyaman. Yang keluar sebagai “pemenang” kemudian saya jadikan celana dalam pilihan.

Di antara berbagai merek celana dalam yang pernah saya pakai, sebenarnya rata-rata terasa pas dan nyaman. Sama-sama terbuat dari bahan yang lembut, pas di pinggang, dan tersedia dalam banyak warna pilihan. Tetapi, bagaimana pun, tentu ada yang pualiiiiing pas dan nyaman. Kita sebut saja celana dalam Merek X.

Dibanding yang lain, celana dalam Merek X benar-benar hebat. Bahannya sangat lembut, hingga kita seperti tidak memakainya, karena begitu ringan memeluk pinggang, sangat halus menempel kulit, namun tepat dalam menyangga beban. Jika ada kompetisi celana dalam terbaik di dunia, mungkin Merek X akan menjadi pemenang.

Tetapi, bagaimana pun, sepertinya dunia ini tidak dibuat untuk sempurna. Celana dalam X yang hebat dan nyaris sempurna itu pun memiliki kekurangan. Yang ironis, kekurangan itu justru disebabkan oleh mereknya!

Jadi, celana dalam Merek X ditempeli label merek yang terbuat dari kain sintetis agak kaku, berukuran 5x2 sentimeter. Label merek itu dijahit secara horisontal di bagian karet sebelah dalam, di bagian belakang. Akibatnya, ketika dipakai, ujung merek yang kaku terasa menusuk-nusuk punggung. Padahal, rata-rata celana dalam lain memasang merek di bagian luar, di sebelah depan, sehingga keberadaan label merek sama sekali tidak mengganggu.

Karena masalah sepele itu pula, saya jadi jengkel setiap kali memakai celana dalam Merek X. Semua struktur yang membentuk celana dalam itu hebat, tapi label mereknya justru bermasalah! Saya tidak habis pikir mengapa Merek X ingin “tampil beda” dengan memasang label merek di bagian dalam, padahal umumnya celana dalam lain memasang label merek di bagian luar.

Akhirnya, untuk mengatasi hal itu, saya terpaksa melepaskan label merek dengan cara menggunting semua jahitannya, hingga label yang mengganggu itu terlepas. Setelah labelnya hilang, celana dalam itu pun benar-benar nyaman saat dikenakan. Dan hidup terasa lebih indah. Nyanyian burung terdengar lebih merdu, dan daun-daun pohon yang bergoyang tampak seperti tarian bidadari.

Karena celana dalam Merek X yang saya miliki cukup banyak, aktivitas melepas label merek dari celana dalam itu pun cukup memakan waktu. Bagaimana pun, saya harus sangat hati-hati saat menggerakkan gunting waktu memotong benang-benang jahitannya, agar tidak melukai bahan celana dalamnya. Label merek itu harus terlepas dengan mulus, tanpa ada bagian lain yang terluka.

Ketika sedang sibuk melakukan kegiatan aneh itu, saya sempat berpikir dan bertanya-tanya. Mengapa celana dalam Merek X melakukan hal semacam itu—memasang label merek di bagian dalam? Apakah mereka tidak sempat memikirkan hal semacam itu bisa mengganggu dan membuat pemakainya tidak nyaman? Kenapa mereka tidak meniru celana dalam lain saja, yang memasang label merek di bagian luar?

Mungkin, pikir saya, celana dalam Merek X ingin tampil beda, agar tidak mainstream. Bisa jadi mereka berpikir label merek di bagian luar sudah sangat biasa, dan mereka ingin tampil unik. Tetapi apalah arti unik, jika hasilnya justru membuat tidak nyaman? Apalah arti berbeda, jika efeknya justru menjengkelkan?

Atau, bisa jadi, celana dalam Merek X ingin tampil bersahaja dan tidak menonjolkan diri. Jika celana dalam lain menempelkan label merek di bagian luar, Merek X memasang label mereknya di bagian dalam. Tetapi, sekali lagi, apalah arti bersahaja jika hasilnya ketidaknyamanan?

Hidup kita tak jauh beda dengan celana dalam itu, kalau dipikir-pikir. Sebagian orang menunjukkan identitasnya terang-terangan bahkan berharap bisa dikenal banyak orang, sementara sebagian lain ingin tak terlihat karena tidak ingin dikenal. Apa pun pilihannya, tentu hak dan pilihan masing-masing orang. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, karena hidup adalah soal pilihan. Selama orang nyaman dengan pilihannya, kita tidak berhak mengganggu gugat.

Yang kadang menjadi masalah adalah pilihan yang didasari oleh sinisme atau keinginan untuk semata berbeda. Beberapa orang kadang sangat ingin dianggap antimainstream, sebegitu inginnya hingga mereka tampak sangat ekstrem. Padahal, tidak selamanya yang mainstream tak bernilai, sebagaimana tidak selamanya yang antimaintream pasti hebat.

Di Twitter, misalnya, ada cukup banyak orang yang sangat antiselebtwit. Sebegitu anti, sampai semua selebtwit jadi tampak seperti iblis baginya. Padahal, meski ada beberapa selebtwit yang songong campur bangsat, tapi banyak pula selebtwit yang baik dan ramah. Sebagian dari mereka bahkan sangat bersahaja, dan rajin memposting tweet-tweet lucu atau bermanfaat, hingga layak di-follow.

Identitas seseorang tak jauh beda dengan merek celana dalam. Apa pun mereknya, kita memilih dan memakai celana dalam bukan karena mereknya, melainkan karena kenyamanan. Bahkan, ketika merek yang melekat itu terasa mengganggu, saya sampai melepaskan label merek dari celana dalam demi bisa nyaman memakainya. Artinya, merek sama sekali tidak penting, jika dibandingkan kenyamanan.

Seseorang yang kita kenal mungkin punya merek artis, seleb di Twitter, public figure, atau orang terkenal di internet. Itu hanya merek. Sama seperti merek celana dalam, sebagian dari mereka ada yang menunjukkan identitasnya terang-terangan, ada pula yang menyembunyikan identitasnya karena tak ingin terlihat. Tetapi apa pun pilihannya, sekali lagi itu hak mereka. Jika kita nyaman dengan merek atau identitas mereka, silakan ambil. Jika tidak, cari yang lain.

Sebaliknya, kita juga punya hak untuk menunjukkan merek atau identitas kita sendiri, sebagaimana celana dalam yang kita kenakan. Kita bisa memamerkan merek itu di bagian luar secara terang-terangan, atau bisa pula menempelkannya di bagian dalam di sebelah belakang. Yang jelas, orang lain juga akan menilai merek atau identitas kita, sebagaimana kita menilai merek dan identitas orang lain.

Sebagian orang memasang merek dan membangun identitasnya secara alami, dari tidak dikenal menjadi terkenal, karena berbagai kualitas yang dimilikinya. Sebagian lain memasang merek dan membangun identitasnya dengan cara ekstrem hingga menimbulkan kehebohan sesaat dan terkenal dalam waktu singkat. Sebagian lainnya lagi ingin dikenal sebagai pihak yang “pokoknya beda dengan siapa pun”. Terserah saja, itu pilihan masing-masing orang, dan orang-orang lain pula yang akan menilainya.

Sebagaimana celana dalam, kita menilai kualitas dari kenyamanan. Apa pun merek seseorang, kita akan mendekat jika membuat nyaman, dan menjauh jika sebaliknya. Meski seseorang artis terkenal atau tokoh populer, kita tidak akan tertarik mendekatinya jika tidak merasa nyaman. Dan meski seseorang bukan siapa-siapa, kita pun menyukai berdekatan dengannya karena merasa nyaman. Merek sama sekali tidak penting. Karena yang penting adalah kenyamanan.

Dan, ketika melihat label-label merek berserakan setelah saya lepaskan dari celana dalam, saya pun jadi berpikir untuk tidak punya merek sama sekali. Kadang-kadang, ketiadaan merek justru terasa lebih baik dan membuat nyaman, sebagaimana label-label merek yang saya lepaskan dari celana dalam.

Noffret’s Note: Pemilu

Dunia ini mungkin jauh lebih baik kalau tidak ada pemilu.
—Twitter, 21 Juni 2014

Di antara kelebihan seorang bocah yang tidak dimiliki
orang dewasa adalah; mereka tidak meributkan pemilu,
atau siapa calon presidenmu.
—Twitter, 21 Juni 2014

Siapa pun calon presidenmu, aku akan tetap menikmati
karya-karyamu kalau memang bagus, dan pilihanmu
tidak akan mempengaruhi penilaianku.
—Twitter, 21 Juni 2014

Dalam pikiranku, pemilu adalah peristiwa aneh
lima tahun sekali, yang diributkan orang-orang dewasa,
tapi ditertawakan para bocah.
—Twitter, 21 Juni 2014

Sungguh lucu menyaksikan orang-orang dewasa
kehilangan nalar dan kearifan hanya karena
perbedaan pilihan. #WisdomOfBocah
—Twitter, 21 Juni 2014

Hidup adalah soal pilihan. Begitu pula pilihan partai
dalam pemilu, pilihan calon presidenmu,
atau pilihan soal mbakyu. Tidak usah ribut!
—Twitter, 21 Juni 2014

Mungkin pemilu akan baik-baik saja
kalau setiap orang bisa menjalani dan menghadapinya
sebagai hal yang biasa-biasa saja.
—Twitter, 21 Juni 2014

Jika pemilu dianggap istimewa karena dilakukan
5 tahun sekali, mungkin tak ada salahnya kalau negeri ini
mengadakan pemilu seminggu sekali.
—Twitter, 21 Juni 2014

Kalau saja pemilu dilakukan para bocah, pasti semuanya
baik-baik saja. Dalam pikiran sederhana para bocah,
pemilu hanyalah soal pilihan.
—Twitter, 21 Juni 2014

Yang membuat pemilu jadi membingungkan dan
banyak keributan, karena dilakukan orang-orang dewasa.
Mereka tidak bisa berpikir sederhana.
—Twitter, 21 Juni 2014

Pilihanmu belum tentu tepat, belum tentu yang terbaik,
dan yang jelas tidak sempurna. Begitu pula pilihanku.
Jadi, kenapa kita harus ribut?
—Twitter, 21 Juni 2014

Jika kita tidak mau berubah pikiran
dan mengganti pilihan hanya karena disalahkan,
maka menyalahkan pilihan orang lain sungguh sia-sia.
—Twitter, 21 Juni 2014

Bocah-bocah di kampungku tidak ikut pemilu,
karena belum cukup umur. Tapi tampaknya
mereka tetap waras dan baik-baik saja.
—Twitter, 21 Juni 2014

Betapa banyak beban orang dewasa.
Mereka harus mikir pemilu, malam Minggu, soal presiden,
sampai Piala Dunia. Aku bersyukur menjadi bocah.
—Twitter, 21 Juni 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

Terlalu Banyak

Galang Rambu Anarki pernah menulis lagu yang dalam liriknya terdapat kalimat, “Terlalu banyak beban yang kau angkat.” Ketika dinyanyikan Bunga—group musiknya—Galang “mengamuk” dengan raungan gitar yang membahana.

Telah bertahun berlalu, tapi aku tak pernah bisa melupakan lagu itu. Mungkin, seperti dirinya, terlalu banyak beban yang kuangkat. Perjalanan singkat menuju tempat istirahat.

Jumat, 20 Juni 2014

Plus Minus Belanja Buku di Internet (4)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sebagai pecinta buku, saya sangat berhati-hati dalam memperlakukan buku. Ketika membeli di toko buku konvensional, saya benar-benar memperhatikan buku yang akan saya beli secara saksama, dan memastikan tidak ada cacat sekecil apa pun pada buku itu.

Misalnya, sampulnya harus dalam kondisi mulus tertutup shrink (plastik tipis pengemas buku), dan jilidannya benar-benar lurus. Kalau buku itu menggunakan hardcover, saya akan memastikan bagian-bagian tepi sampulnya benar-benar utuh tanpa ada yang rusak atau tertekuk. Jika buku yang akan saya beli kebetulan stoknya masih cukup banyak, saya akan memeriksanya satu per satu, dan memilih yang saya anggap terbaik.

Nah, proses pemeriksaan semacam itu tidak bisa kita lakukan ketika membeli buku di toko buku internet. Kita hanya melihat gambar sampul di halaman web, dan memilihnya. Setelah itu, pihak toko yang akan memilih dan menentukan buku-buku yang akan dikirim ke alamat kita. Dalam proses tersebut, mereka belum tentu sangat hati-hati, sehingga ada kalanya buku yang dikirimkan untuk kita kebetulan memiliki cacat tertentu. Kemudian, proses pengepakan yang tidak rapi juga memungkinkan adanya kerusakan selama perjalanan pengiriman.

Sebagai pecinta buku, saya benar-benar “terluka” setiap kali melihat buku tampak rusak, tertekuk, atau mengalami kerusakan lain. Dan saya benar-benar “patah hati” jika mendapati buku yang saya beli mengalami kerusakan semacam itu, gara-gara pengepakan yang tidak benar, atau karena proses pengiriman yang tidak hati-hati.

Hal lain yang juga sering menjadi nilai minus toko buku internet adalah kekuranglengkapan data buku yang ditawarkan. Di banyak toko buku internet, kita pasti sering mendapati ketiadaan jumlah halaman buku. Biasanya, data yang mereka sediakan hanya sampul dan judul buku, nama penulis dan penerbit, ISBN, dan ukuran serta berat buku. Tetapi halaman buku sering kali tertulis “0”. Ini ironis, karena jumlah halaman buku termasuk data penting yang juga perlu diketahui calon pembeli.

Saya sendiri menganggap tingkat ketebalan/ketipisan sebuah buku sebagai faktor penting dalam membeli buku. Di toko buku internet, ilustrasi sebuah buku hanya diwakili sampul depan. Karena itu, saya perlu tahu berapa jumlah halaman buku itu, agar bisa membayangkan seperti apa tampilan wujud aslinya. Sayangnya, dalam hal ini, toko-toko buku internet justru sering kali tidak menyebutkan berapa jumlah halamannya.

Terakhir, yang kadang juga menjadi nilai minus toko buku internet adalah loading laman web yang berat/lambat. Ini mungkin sepele, tapi sering kali menjengkelkan, khususnya ketika koneksi internet sedang down. Ketika mengakses toko buku online, calon pembeli cenderung membuka beberapa laman sekaligus untuk melihat-lihat atau membandingkan suatu buku dengan buku lain. Hal itu tentu membutuhkan loading web yang ringan/cepat, agar aktivitas itu terasa menyenangkan.

Yang menjengkelkan, kadang ada toko buku online yang loading-nya sangat berat. Untuk membuka satu laman saja dibutuhkan waktu sampai beberapa menit. Itu sangat menjengkelkan, sehingga calon pembeli bisa langsung kabur untuk mencari toko buku online lain yang loading-nya lebih ringan. Karenanya, loading web yang ringan tidak hanya menyenangkan pembeli, tapi juga menguntungkan pihak penjual.

Jika toko buku konvensional membutuhkan ruangan yang bersih, rapi, dan pelayan yang ramah, maka toko buku internet membutuhkan tampilan lay out yang rapi, serta loading web yang ringan. Tujuannya sama—membuat calon pembeli merasa nyaman.


Saran:

Berdasarkan plus minus yang ada, bagaimana pun toko buku internet telah menjadi bagian hidup para pecinta buku. Betapa pun, mereka telah membantu para pembaca dan pecinta buku mendapatkan buku-buku dengan lebih mudah, khususnya untuk buku-buku yang sulit ditemukan di toko buku konvensional. Sebagai konsumen, tentu kita berharap para pemilik dan pengelola toko buku internet bisa lebih memperbaiki kualitas layanan, sehingga kita juga bisa lebih puas membeli buku di tempat mereka.

Selama bertahun-tahun menjadi pelanggan beberapa toko buku di internet, saya cukup bisa melihat kelebihan dan kekurangan yang dimiliki masing-masing toko buku tersebut berdasarkan tampilan web serta layanan mereka, dan berikut ini beberapa saran yang saya ambil dari pengalaman selama berinteraksi dengan toko-toko buku online, agar aktivitas belanja buku di internet bisa lebih menyenangkan.

Pertama, dan yang terpenting, ringankan loading web. Percaya atau tidak, loading yang ringan adalah hal paling penting di internet, khususnya bagi toko buku online yang berharap mendapat banyak pembeli/pelanggan dari pengunjung yang datang. Disadari atau tidak, loading sebuah web adalah hal pertama yang diperhatikan pengunjung internet. Jika loading-nya ramah pengguna, pengunjung akan senang membuka-buka. Sebaliknya, loading yang berat sama saja mengusir pengunjung.

Seperti yang disebutkan di atas, toko buku konvensional membutuhkan ruangan yang bersih serta pelayan yang ramah, agar pembeli merasa nyaman dan betah. Dalam hal ini, ruangan bersih dan pelayan ramah bagi toko buku internet adalah lay out laman yang rapi, dan loading yang ringan sehingga ramah pengguna.

Beberapa toko buku di internet mengalami masalah ini. Ada toko buku online di Indonesia yang koleksinya sangat lengkap. Buku yang mereka sediakan jumlahnya mungkin lebih dari sejuta judul—sebuah tawaran koleksi yang cukup menerbitkan air liur para pecinta dan kolektor buku. Buku-buku yang sulit didapatkan di toko buku konvensional—terbitan Indonesia atau luar negeri—bisa didapatkan di toko buku online ini. Sebut judul apa saja, dan kemungkinan besar kita bisa menemukannya di sana.

Toko buku online itu bahkan saya anggap paling lengkap di Indonesia. Sejauh ini, saya belum menemukan toko buku online lain yang sanggup menandingi kelengkapan koleksi mereka. Selain itu, kualitas layanan mereka juga hebat. Ditinjau dari segala segi, toko buku online ini benar-benar istimewa—koleksi lengkap, layanan hebat, waktu pengiriman cepat. Tetapi, toko buku online yang seharusnya hebat ini mengalami masalah dalam hal loading!

Untuk membuka satu laman, dibutuhkan waktu cukup lama. Hal itu, kemungkinan besar, karena penataan/tampilan lay out yang berantakan, plus hal-hal tidak penting yang terlalu banyak menghiasi serta menyita isi laman. Kenyataannya, toko buku online satu itu memang “payah” dalam hal tampilan laman.

Mereka tampaknya “kedodoran” dalam menata lay out-nya, sehingga tampilan laman kurang rapi sekaligus memberatkan loading. Hanya gara-gara itu, saya terpaksa menjadikan toko buku tersebut sebagai “opsi kedua”. Artinya, jika saya bisa mendapatkan suatu buku di toko online lain, saya akan memilih untuk membeli di tempat lain saja.

Coba bayangkan, hanya karena loading yang kurang ramah pengguna, sebuah toko buku online berpotensi kehilangan penjualan. Jika setiap hari ada satu saja calon pembeli yang pergi gara-gara loading yang menjengkelkan, coba pikirkan berapa kerugian yang didapatkan toko buku itu dalam sebulan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun...

Di sisi lain, ada toko buku online yang jumlah koleksinya “biasa-biasa saja”—tidak sebanyak toko online yang saya ceritakan di atas. Tetapi, mereka menata laman web-nya dengan rapi, bersih, sekaligus ringan loading-nya.

Meski menyadari koleksi mereka tidak terlalu banyak, tapi saya menomorsatukan toko buku itu. Setiap kali, jika saya menemukan suatu buku yang ingin saya beli (dan hal semacam itu sering terjadi), maka web pertama yang akan saya buka adalah toko buku online tersebut, untuk mengecek apakah buku itu tersedia di sana atau tidak. Jika tersedia, saya akan langsung memasukkannya ke wishlist. Jika tidak ada, baru saya akan mencari toko buku lain.

Loading, loading, loading. Itu faktor paling penting di internet, sama pentingnya dengan fakta bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama di dunia.

Kedua, lengkapilah data buku yang ditawarkan. Seperti yang telah disebutkan di atas, calon pembeli tidak hanya perlu tahu seperti apa sampul sebuah buku, siapa penulis dan penerbitnya, tapi juga berapa jumlah halaman buku itu. Karenanya, jika toko buku online mau menyebutkan data-data lain sebuah buku yang ditawarkan, jangan lupa pula untuk menyebutkan jumlah halamannya.

Seperti memilih jodoh, kita perlu mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobotnya. Begitu pun ketika memilih buku, kita juga perlu mempertimbangkan bibit (penulis dan penerbitnya), bebet (wujud atau tampilan sampulnya), dan bobot (berapa jumlah halamannya).

Ketiga, perhatikan pengepakan dan proses pengiriman. Karena pembeli di toko buku internet tidak bisa memilih langsung wujud buku-buku yang mereka beli, maka tolong pilihkan buku-buku yang tampilannya paling mulus, yang kemasan plastiknya masih rapi, yang sampulnya tidak tertekuk (khususnya yang menggunakan hardcover), dan kemas atau bungkuslah semua buku itu dengan lembut serta penuh kasih, agar tidak ada satu bagian pun yang terluka.

Setelah itu, wanti-wanti (ingatkanlah sungguh-sungguh) biro ekspedisi yang mengirimkan buku-buku tersebut, agar mereka membawa bungkusan buku itu dengan lembut dan juga penuh kasih.

Ingat, di antara sekian banyak pelanggan toko buku internet adalah para kutubuku/pecinta buku/kolektor buku sejati, yang menganggap buku sebagai benda paling berharga dan paling mulia di muka bumi. Karenanya, jangan lukai perasaan mereka dengan tampilan buku yang lecek, tertekuk, atau kerusakan lainnya. Itu sungguh melukai perasaan pecinta buku. Sejujurnya, saya bisa menangis jika menyaksikan buku diperlakukan dengan tidak selayaknya.

Keempat, sebagai pelanggan, saya tidak bisa berharap terlalu banyak. Yang jelas, para pelanggan toko buku internet—termasuk saya—tentu sangat mengharapkan toko-toko buku langganan kami terus meningkatkan kualitas layanan mereka, agar kami semakin nyaman berbelanja.

Akhirnya, bagaimana pun, saya harus mengucapkan terima kasih pada toko-toko buku online yang selama ini telah memanjakan “kerakusan” saya dalam membaca buku. Sungguh, saya merasa sangat terbantu dengan keberadaan toko buku di internet, karena bisa mendapatkan buku apa pun yang saya inginkan, kapan pun saya perlukan, di mana pun saya butuhkan. Terima kasih untuk kejujuran dan layanan yang menyenangkan, juga terima kasih karena telah mau repot-repot mencarikan buku-buku yang kami inginkan.

Plus Minus Belanja Buku di Internet (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Namun, ada kalanya proses pengepakan itu membutuhkan waktu cukup lama jika kebetulan buku-buku yang kita beli tidak ready stock. Artinya, mereka harus menghubungi distributor atau penerbitnya terlebih dulu, dan baru dapat mengepak serta mengirimkannya jika buku-buku itu telah didapatkan. Kadang-kadang, jika pesanan kita cukup banyak, waktunya bisa sampai dua atau tiga minggu. Saya bahkan pernah menunggu sampai satu bulan untuk mendapatkan buku-buku yang mengalami kasus seperti di atas.

Karena itu, membeli di toko buku internet tidak hanya harus bermodal ketekunan dalam mencari buku-buku yang kita inginkan, tidak hanya harus bermodal uang yang cukup, tetapi juga harus bermodal kesabaran dalam menunggu buku-buku yang telah kita bayar. Jika tidak sabar, kadang-kadang kita bisa jengkel dan terpaksa sampai komplain ke pihak toko buku bersangkutan.

Kemudian, hal lain yang juga dianggap minus di toko buku internet adalah adanya biaya kirim. Untuk setiap buku yang kita beli, kita akan dikenai tambahan pembayaran untuk biaya kirim. Sebenarnya, itu wajar saja, karena mereka harus mengirimkan buku tersebut ke alamat kita. Untuk pengiriman dalam kota (jika pembeli satu kota dengan pihak toko buku internet bersangkutan) kadang pembeli dibebaskan dari biaya kirim. Namun, untuk pembeli di luar kota selalu dikenakan biaya kirim, karena mereka harus membayar pihak biro ekspedisi yang akan mengirimkan pesanan ke alamat kita.

Besarnya biaya kirim juga ditentukan berapa banyak atau berapa sedikit buku yang kita beli. Semakin banyak buku yang kita pesan, biaya kirimnya biasanya akan semakin banyak. Konon, toko-toko buku internet menggunakan ukuran kilo dalam hal tersebut. Artinya, masing-masing buku telah didata beratnya, dan nantinya total buku yang dibeli akan diakumulasikan berapa beratnya untuk kemudian ditentukan berapa biaya pengirimannya.

Nah, yang kadang membuat kening pembeli jadi berkerut, ada kalanya biaya kirim itu “tidak masuk akal”. Bila kita hanya membeli sedikit buku, jumlah biaya kirimnya mungkin tidak terlalu besar, dan kita tidak terlalu merisaukan. Namun, jika kita membeli buku dalam jumlah besar, bisa jadi kita akan “takjub” ketika melihat berapa biaya kirim yang harus kita bayar.

Sebagai ilustrasi, saya pernah membeli sejumlah buku senilai Rp. 4.000.000 di sebuah toko buku internet, dan biaya kirim yang harus saya bayar mencapai Rp. 600.000. Itu pengiriman dalam negeri, artinya toko buku tersebut ada di Indonesia, dan saya juga menggunakan alamat di Indonesia. Ketika mendapati jumlah itu, mau tak mau saya terkejut. Biaya kirimnya lebih dari setengah juta! Uang sejumlah Rp. 600.000 itu bisa digunakan untuk membeli banyak buku, pikir saya dengan masygul.

Yang lebih parah lagi, ada kalanya toko buku internet sengaja “menilep” biaya pengiriman ketika kebetulan ada buku yang stoknya kosong. Ada pengalaman pribadi yang bisa dijadikan contoh untuk hal ini.

Di sebuah toko buku internet, saya pernah memesan sejumlah buku. Saya membayar buku-buku tersebut, beserta biaya kirimnya. Namun ternyata sebagian buku yang saya pesan sudah habis, dan belum dicetak ulang. Karena kenyataan itu, toko buku tersebut akan mengembalikan sisa pembayaran saya.

Nah, pada waktu mereka mengembalikan sisa pembayaran, yang mereka kembalikan hanya sisa pembayaran buku. Padahal, seharusnya, mereka juga mengembalikan sisa biaya kirim, karena semakin berkurangnya jumlah buku yang mereka kirim maka tentu jumlah biaya kirimnya semakin sedikit.

Pada kasus ini, saya memesan 55 judul buku. Untuk hal itu, saya harus membayar biaya kirim untuk berat 55 buku tersebut. Namun, ternyata, sebanyak 16 buku yang saya pesan sudah habis stoknya, dan pembayaran untuk 16 buku itu pun dikembalikan, tapi sisa biaya kirimnya tidak dikembalikan. Padahal, seharusnya, saya berhak mendapat pengembalian biaya kirim juga, kan? Karena, semakin sedikit jumlah yang dikirim, semakin berkurang pula biaya kirimnya.

Memang tidak semua toko buku internet seperti itu. Selama berkali-kali membeli buku di internet, saya menjumpai toko-toko buku online yang baik dan jujur. Ketika ada buku-buku yang stoknya habis, mereka juga mengembalikan sisa biaya kirimnya, dan saya tentu sangat menghargai hal itu. Sebaliknya, saya pun biasanya langsung mengucap “good bye” pada toko buku online yang mengecewakan dan tak bisa dipercaya.

Kepercayaan—itulah faktor paling penting dalam urusan jual-beli di internet. Bagaimana pun, pembeli tidak tahu dengan siapa mereka berhubungan. Karenanya, jika konsumen telah percaya dengan suatu toko online, selalu ada kemungkinan dia akan melanjutkan pembelian di lain hari hingga menjadi pelanggan tetap. Sebaliknya, jika pembeli merasa dikecewakan, maka bisa dipastikan dia tidak akan pernah percaya lagi.

Selama ini, saya biasa “membagi” pembelian rutin ke beberapa toko buku online. Saya punya beberapa toko buku langganan di internet, yang kebetulan sudah cocok. Layanan mereka juga rata-rata memuaskan, meski masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Kadang-kadang suatu buku tidak bisa saya dapatkan di toko buku A, namun tersedia di toko buku B. Karena itulah, setiap bulan saya rutin “menggilir” toko-toko buku itu untuk mendapatkan buku-buku yang saya inginkan.

Apa sisi minus lain belanja di toko buku internet? Bagi saya pribadi—dan mungkin bagi para pecinta buku lain—adalah kemungkinan kerusakan buku selama proses pengepakan atau pengiriman.

Lanjut ke sini.

Plus Minus Belanja Buku di Internet (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Yang tidak kalah menarik di toko buku internet adalah adanya wishlist. Wishlist adalah ruang (laman) khusus yang diperuntukkan untuk memasukkan buku-buku yang kita sukai, namun belum bisa kita beli saat itu juga.

Seperti yang telah disebutkan di atas, sebuah toko buku internet bisa menyediakan ribuan atau bahkan ratusan ribu judul buku. Ketika sedang melakukan pencarian buku-buku tertentu, tidak menutup kemungkinan kita akan mendapati beberapa buku lain yang juga ingin kita beli. Namun, ada kalanya kita tak bisa langsung membeli buku itu karena dana yang terbatas. Dengan adanya wishlist, kita bisa menyisihkan/menyimpan buku-buku idaman tersebut untuk kita beli di lain waktu.

Layanan semacam itu tentu tidak terdapat di toko buku konvensional. Kalau kita jalan-jalan ke toko buku untuk mencari beberapa buku tertentu, dan kemudian mendapati ada buku-buku lain yang menarik minat, kita tidak bisa menyisihkannya terlebih dulu di suatu tempat. Artinya, kalau kita mau membelinya, kita harus membeli saat itu juga. Atau, kita bisa kembali ke toko itu di lain waktu untuk membelinya, namun tidak ada jaminan buku itu masih ada.

Di toko buku konvensional, selalu ada kemungkinan sebuah buku yang kita minati telah keburu habis dibeli orang lain. Jika kita terpaksa memesan pada toko bersangkutan, kecil kemungkinan toko itu mau memintanya pada pihak penerbit atau distributor, jika pesanan yang ada hanya satu atau dua eksemplar.

Memang, di toko buku internet juga kadang hal semacam itu terjadi. Kita memasukkan beberapa buku ke dalam wishlist, dan buku itu ternyata sudah habis ketika akan kita beli. Namun, kemungkinan semacam itu lebih kecil dibanding yang terjadi di toko buku konvensional, karena toko buku internet selalu bisa menghubungi distributor atau penerbitnya langsung jika memang ada pesanan, meski pesanan yang ada hanya sedikit. Untuk hal itu, biasanya, kita harus menunggu lebih lama sampai toko buku tersebut mendapatkan buku yang kita inginkan.

Nah, yang paling menyenangkan berbelanja di toko buku internet adalah kemudahan serta kepraktisannya. Berbeda dengan belanja di toko buku konvensional, berbelanja buku di internet tidak perlu keluar rumah, tidak perlu berpakaian atau berpenampilan layak, tidak perlu repot memarkir kendaraan, tidak perlu capek berjalan ke sana kemari, bahkan tidak perlu kerepotan membawa-bawa buku yang kita pilih untuk dibeli.

Untuk berbelanja buku di internet, yang kita butuhkan cuma komputer atau laptop yang terhubung internet, kemudian duduk santai sambil membuka-buka laman web untuk memilih buku yang diinginkan. Kita bahkan bisa sambil menyeruput kopi selama melakukannya. Untuk membayar, kita bisa menggunakan layanan mobile banking atau internet banking. Kalau pun harus ke bank atau ATM untuk mentransfer pembayaran, kita juga bisa pergi kapan saja, dan tentunya tidak perlu memakan banyak waktu.

Karenanya, keberadaan toko buku internet bagi saya benar-benar sebuah “revolusi” dalam hal keasyikan berbelanja buku!

Hal lain yang tidak kalah penting, sekaligus nilai plus dari toko buku internet, adalah adanya katalog yang rutin dikirimkan kepada para member suatu toko buku online. Memang tidak semua toko buku online memberikan fasilitas ini, tapi salah satu toko buku online langganan saya secara rutin mengirimkan katalog buku-buku terbaru ke alamat e-mail saya.

Katalog rutin itu saya anggap penting, karena bisa terus memantau dan tahu buku-buku apa saja yang baru terbit. Bagi pecinta dan pembaca buku, mengetahui buku baru yang terbit adalah hal penting dalam hidup—sama pentingnya mengetahui bahwa hari ini belum kiamat, dan matahari masih terbit di waktu pagi.

Melalui katalog yang dikirimkan secara rutin itu, saya selalu tahu buku-buku baru apa saja yang perlu segera dimiliki, kabar apa saja di dunia buku (misalnya obral atau diskon besar dari suatu penerbit), dan lain-lain, yang biasanya sangat membantu saya dalam menikmati buku. So, sekali lagi, keberadaan toko buku online bagi saya adalah revolusi di dunia buku.


Minus!

Sekarang bagian minusnya. Berbeda dengan membeli buku di toko konvensional yang bisa langsung kita bawa setelah membayar, membeli di toko buku internet harus menunggu beberapa hari sebelum kita mendapatkan buku yang telah kita bayar. Di toko buku konvensional, kita tinggal membawa buku-buku yang kita pilih, lalu ke kasir untuk membayar, dan bisa pulang sambil menenteng buku-buku tersebut. Sesampai rumah, kita bisa langsung menikmatinya.

Di toko buku internet, kita harus melalui tahap yang lebih panjang. Setelah mengumpulkan buku-buku yang akan kita beli, kita harus mentransfer pembayaran. Kemudian mengonfirmasikan pembayaran itu ke toko buku internet bersangkutan, dan mereka akan menindaklanjutinya dengan mengepak buku-buku yang telah kita bayar. Setelah itu, buku-buku yang kita beli akan dikirim ke alamat kita melalui biro ekspedisi.

Kadang-kadang, proses pengepakan dan pengiriman itu tidak terlalu lama, jika kebetulan buku-buku yang kita beli telah siap persediaannya (ready stock). Mereka tinggal mengepaknya dan mengirimkan ke alamat kita. Persoalan lama atau tidaknya tergantung pada si pengirim atau biro ekspedisi yang mereka gunakan.

Lanjut ke sini.

Plus Minus Belanja Buku di Internet (1)

Jadi, inilah definisi malam Minggu.
Sebuah buku, segelas teh hangat, dan sebungkus
dji sam soe. Tak ada yang lebih indah dibanding itu.
@noffret


Setelah internet menjadi “dunia lain” yang mengiringi kehidupan dunia nyata, berbagai macam kebutuhan pun bisa kita peroleh di internet, dari baju, sepatu, lampu, sampai buku. Sekarang, toko-toko buku tidak hanya berdiri di dunia nyata, tetapi juga menjamur di dunia maya. Entah ada berapa ribu online bookstore yang saat ini telah beroperasi, siap melayani pembeli dari mana saja.

Di Indonesia, ada cukup banyak toko buku internet, yang terkenal maupun yang tidak. Sebagai pecinta buku, saya tentu sangat senang dengan keberadaan toko-toko buku di internet, karena memudahkan saya mendapatkan buku tanpa harus keluar rumah apalagi sampai keluyuran jauh-jauh. Hanya dengan menggerakkan mouse, kemudian mentransfer pembayaran, saya sudah bisa mendapatkan buku-buku yang saya inginkan.

Yang menarik di toko buku internet, mereka memberikan diskon yang lumayan. Kalau dilihat-lihat, bahkan nyaris semua toko buku internet memberikan diskon, sehingga rata-rata membeli buku di internet bisa dibilang lebih murah dibanding membeli buku di toko konvensional (bukan di internet). Diskon yang diberikan rata-rata minimal 15 persen dari harga jual.

Tentu saja pemberian diskon itu sangat wajar, karena pengelola toko buku di internet tidak perlu membangun toko yang menghabiskan uang banyak, tidak perlu menyiapkan rak dan gudang, tidak perlu menggaji satpam dan banyak karyawan, tidak perlu menyediakan ruang parkir kendaraan bagi pembeli, bahkan kadang tidak perlu menyiapkan stok untuk buku-buku terbitan lama. Dengan banyaknya “penghematan” semacam itu, toko buku internet bisa memberikan diskon yang sulit diberikan oleh toko buku konvensional.

Karena fasilitas diskon dan kepraktisannya, saya pun suka berbelanja di toko buku internet. Jika dirata-rata, saya menghabiskan 1 sampai 3 juta per bulan untuk membeli buku, dan toko buku di internet benar-benar memanjakan kebutuhan saya. Selama betahun-tahun, saya telah berlangganan pada beberapa toko buku di internet, dan sejauh ini lancar-lancar saja, dalam arti layanan mereka bisa dibilang cukup memuaskan. 

Berkaitan dengan hal itu, berikut ini plus minus berbelanja buku di internet, yang didasarkan pada pengalaman saya selama menjadi pelanggan mereka. Jika kebetulan ada pengelola toko buku internet yang membaca catatan ini, semoga uraian ini bisa menjadi masukan positif.


Plus!

Nilai plus pertama yang diberikan toko buku internet, seperti yang disebutkan di atas, adalah diskon. Pemberian diskon di toko buku internet bisa dibilang wajib, karena pertimbangan seperti yang dijelaskan di atas. Karenanya pula, toko buku internet yang tidak memberikan diskon bisa dibilang tidak menarik. Kalau harus memilih sama-sama tidak ada diskon, saya akan memilih belanja buku di toko konvensional, karena mereka lebih layak menerima pembelian dari konsumen, mengingat besarnya modal yang harus mereka sediakan.

Kelebihan lain yang dimiliki toko buku internet adalah luasnya pilihan. Berbeda dengan toko buku konvensional, toko buku internet tidak memerlukan ruangan luas dan rak-rak untuk memajang buku yang ditawarkan. Mereka hanya membutuhkan laman web untuk menata buku-buku yang ingin ditawarkan pada pembeli. Karena itu, toko buku internet pun sangat leluasa dalam menyediakan buku, karena mereka tidak dibatasi ruangan sebagaimana toko buku konvensional. 

Sebaliknya, seluas apa pun sebuah toko buku konvensional, ruangan mereka tetap terbatas. Karena keterbatasan itu pula, banyak toko buku konvensional yang memberlakukan sistem rotasi bagi buku-buku yang mereka pajang di rak.

Biasanya, toko buku konvensional akan memberikan kesempatan bagi satu judul buku untuk mejeng di rak selama satu sampai tiga bulan. Dalam jangka waktu itu, nasib sebuah buku akan ditentukan oleh pembeli. Jika buku itu dianggap laris, jatah waktu mejeng di rak bisa diperpanjang. Jika tidak, maka buku itu terpaksa harus keluar dari rak toko untuk digantikan buku-buku baru yang telah siap menunggu di gudang.

Karena adanya pemberlakuan sistem rotasi semacam itu, kadang-kadang kita kesulitan mencari sebuah buku di toko buku konvensional, karena buku yang kita cari kebetulan telah lama terbit dan terhitung kurang laris atau tidak terkenal. Bisa jadi, buku yang kita cari sebenarnya masih ada atau bahkan masih banyak, tapi tidak lagi ada di toko buku konvensional, karena telah dikembalikan ke gudang penerbit.

Dalam hal itu, toko buku internet memberikan solusi yang mudah. Karena tidak perlu merotasi buku-buku yang mereka pajang, toko buku internet pun bisa tetap menawarkan buku-buku terbitan lama di laman web-nya, selama penerbit yang menerbitkan buku itu memang masih menyediakan. Jika ada pembeli yang tertarik pada buku tersebut, pengelola toko buku internet tinggal memintanya pada penerbit.

Di toko buku internet, saya sering menemukan buku-buku terbitan lama yang sudah tidak tersedia di toko-toko buku konvensional. Bagi saya itu sangat menyenangkan. Dulu, sebelum ada toko buku di internet, saya harus keluyuran kesana kemari hanya untuk mendapatkan sebuah buku. Sekarang, keberadaan toko buku di internet memudahkan pencarian. Tinggal masukkan judul buku atau nama penulis di kolom pencarian, dan buku yang dicari langsung tertemukan.

Kemudahan dan ketersediaan buku-buku tertentu memang juga ditentukan oleh banyaknya jaringan yang dimiliki oleh toko buku bersangkutan. Ada toko buku internet yang menjalin hubungan dengan banyak penerbit, namun ada pula yang hanya menjalin kerjasama dengan beberapa penerbit saja. Dalam hal itu, sebuah toko buku internet akan lebih mungkin memberikan pilihan lebih banyak jika jumlah penerbit atau distributor yang berhubungan dengan mereka juga lebih banyak.

Lanjut ke sini.

Apakah Kau Pernah Pergi ke Lesotho?

“Apakah kau pernah pergi ke Lesotho?” tanya seorang bocah pada temannya.

Bocah yang ditanya mengerutkan kening. “Ke... mana?”

“Lesotho.”

“Lesotho? Uh... Lesotho itu apa?”

“Astaghfirullahalaziiim...” Kemudian, setelah geleng-geleng, dia bertanya lagi, “Apakah kau pernah ke Burkina Faso?”

Bocah yang ditanya mengerutkan kening. “Ke... mana?”

“Burkina Faso.”

“Burkina Faso? Uh... Burkina Faso itu apa?”

“Astaghfirullahalaziiim...” Dia geleng-geleng lagi, kemudian bergumam, “Betapa luas dunia ini, dan betapa sedikit yang kita ketahui.”

Minggu, 15 Juni 2014

Anak-anak Memaki Orangtuanya

Rantai makanan memang ada, dan terus berlangsung.
Kadang terlihat, kadang diam-diam.
Yang mengerikan, tidak hanya secara biologi.
@noffret


Di Twitter atau di Facebook, kita mungkin pernah—atau bahkan sering—mendapati orang (biasanya remaja) menulis makian pada orangtua mereka. Kadang-kadang, makian itu sangat kasar, hingga orang lain sampai risih campur heran ketika membacanya. Risih, karena makian itu ditulis secara terbuka hingga siapa pun bisa membacanya. Dan heran, karena bagaimana bisa ada anak yang sampai hati mencaci-maki orangtuanya.

Karena kenyataan itu pula, kadang ada orang yang sampai meng-capture caci-maki tersebut, dan menyebarkannya melalui timeline-nya. Hasilnya bisa ditebak, anak yang mencaci-maki orangtuanya tadi langsung di-bully ramai-ramai, karena dianggap durhaka, dan orang-orang yang mem-bully tiba-tiba merasa menjadi anak paling berbakti di dunia.

Kejadian semacam itu tidak hanya terjadi sekali, tapi cukup sering. Dan itulah anehnya. Jika kita searching di Twitter menggunakan kalimat tertentu yang ditujukan untuk memaki orangtua, misalnya, kita bisa menemukan setumpuk tweet yang semuanya berisi caci-maki terhadap orangtua, yang ditulis oleh banyak remaja. Ada yang mencaci ayahnya, ada yang memaki ibunya. Artinya, caci-maki seorang anak terhadap orangtuanya tidak bisa dibilang kasuistis, karena dilakukan banyak orang.

Pertanyaannya, ada apa dengan anak-anak itu...?

Dalam suatu acara, saya bertemu Lidya, seorang teman lama, yang sekarang menjadi guru di sebuah SMP. Kami pun mengobrol, dan saling bercerita. Ketika obrolan kami sampai pada topik anak-anak yang memaki orangtua, Lidya menceritakan kisah seorang muridnya yang sangat mengejutkan. Kita sebut saja namanya Deni.

Deni adalah satu di antara banyak murid Lidya di SMP. Di antara teman-temannya, Deni hanyalah murid yang “biasa-biasa saja”, dalam arti tidak terlalu pintar atau tidak memiliki prestasi menonjol. Tetapi, yang membuat Lidya tertarik kepadanya, Deni cukup sering diadukan ke guru karena melakukan tindak kekerasan terhadap teman-temannya. Puncaknya, Lidya mendapati coretan caci-maki di buku tulis Deni yang ditujukan kepada orangtuanya. Dia menemukan caci-maki itu tanpa sengaja, ketika sedang memeriksa PR di buku tulis Deni.

Sebagai guru dengan background psikologi, Lidya berusaha menghadapi Deni tanpa buru-buru menghakimi. Dia percaya Deni tidak dilahirkan sebagai anak nakal apalagi anak durhaka. Jika kemudian dia terbentuk menjadi murid yang terkenal nakal dan punya kecenderungan durhaka pada orangtua, Lidya pun berusaha mencari jawabannya. Jadi, yang dilakukan Lidya kemudian adalah berusaha mendekati Deni, dan mencoba mengajaknya berteman.

Sebelumnya, berkali-kali Deni dilaporkan kepada guru di sekolah akibat tindakan kekerasannya pada teman-teman. Biasanya, Deni akan dinasihati dan diceramahi macam-macam, dan biasanya pula Deni hanya diam tanpa menyatakan apa pun. Dia tidak pernah ditanya mengapa melakukan tindak kekerasan pada teman-temannya. Dia langsung divonis, dan langsung diceramahi. Karena Deni tidak ditanya, dia pun mungkin tidak perlu menjelaskan apa pun. Dan karena dia langsung divonis sebagai anak nakal, Deni pun hanya bisa menganggukkan kepala.

Kenyataan itu sangat disadari oleh Lidya. Jadi, ketika mendekati Deni, dia tidak berperan sebagai guru yang menghakimi, melainkan berusaha menjadi teman yang ingin memahami. Mula-mula tidak mudah, karena sifat Deni yang tertutup. Di kelas pun, Deni tidak banyak omong. Hubungan mereka mulai terjalin ketika suatu hari Lidya memberikan PR untuk murid-muridnya, dan diam-diam berkata pada Deni, “Kalau kamu mau datang ke rumah saya, nanti saya bantu PR-mu.”

Mungkin karena percaya pada itikad baik ibu gurunya, Deni datang. Lydia memenuhi janjinya. Ketika Deni datang, dia menyambutnya dengan ramah, lalu membantu mengerjakan PR yang diberikannya. Dia tidak langsung masuk pada inti yang ditujunya—dia ingin membangun kepercayaan lebih dulu. Di kelas, ketika PR itu dikumpulkan, Lidya memberikan nilai bagus untuk Deni. Kepercayaan sang murid mulai terbentuk.

Lalu hal sama berulang. Lidya kembali memberi PR, dan diam-diam berkata akan membantu PR Deni kalau dia mau datang ke rumah. Deni kembali datang. Setelah melihat Deni percaya kepadanya, dan sikapnya mulai tampak terbuka, Lidya mulai masuk pada inti yang ditujunya. Dengan halus, dia mulai bertanya kepada Deni tentang beberapa hal negatif yang dilakukannya. Lidya mengajukan pertanyaannya dengan santai, seperti seseorang kepada temannya, bukan dengan otoritas guru pada muridnya.

Hasilnya efektif. Ketika Deni mulai membuka mulut, ceritanya mengalir seperti bendungan jebol. Mungkin, selama ini, Deni ingin menceritakan kisah dirinya kepada orang lain yang dapat ia percaya. Tapi ia menahan diri, karena tak mampu menemukan siapa pun yang bisa dipercaya. Ketika Lidya membuktikan dirinya bisa menjadi teman yang dapat dipercaya, Deni pun menceritakan semuanya.

Deni lahir dan tumbuh di sebuah keluarga yang relatif miskin. Dia anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik dengan penghasilan pas-pasan, sementara ibunya menjadi ibu rumahtangga yang kadang bekerja apa saja untuk membantu menambah penghasilan keluarga. Sebenarnya, kondisi itu tidak terlalu bermasalah bagi Deni, kalau saja rumahnya tidak menjadi neraka baginya.

Kedua orangtua Deni sering bertengkar, dan pertengkaran itu nyaris selalu berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan ayah Deni kepada istrinya (ibu Deni). Hampir setiap hari Deni menyaksikan ibunya ditampar, ditendang, dan dicaci-maki ayahnya, dengan berbagai alasan. Sebegitu seringnya pertengkaran itu terjadi, hingga tetangga mereka sudah menganggapnya hal biasa. Setiap kali terjadi keributan di rumah, para tetangga akan pura-pura tak tahu.

Sebenarnya, Deni kasihan melihat ibunya. Tetapi rasa kasihan itu berubah menjadi benci ketika ibunya melakukan hal sama pada anak-anaknya, khususnya dirinya. Kakak Deni sudah putus sekolah, dan seharian bekerja di luar rumah—macam-macam kerja, kata Deni. Kadang jadi karnet angkutan umum, kadang menjadi pengamen, dan lain-lain. Karenanya, Deni yang lebih sering ada di rumah, dan hal itu menjadikannya sebagai sasaran korban kekerasan ibunya.

Setiap kali pulang sekolah, Deni sering prihatin. Ia sekolah dengan tekanan batin—ibunya sangat jarang memberi uang saku, dan dia sering tidak bisa membeli buku pelajaran yang diperlukan. Dan setiap kali pulang sekolah, selalu ada berbagai macam alasan yang membuat ibunya marah kepadanya, dan menjadikannya sebagai sasaran kemarahan. Hanya karena sedikit masalah, ibunya bisa langsung meledak.

Selama bertahun-tahun, kisah Deni, dia telah menghadapi berbagai tindak kekerasan orangtuanya—ayah dan ibunya—dan beberapa memar di tubuhnya bisa menjadi saksi. Deni pernah ditampar, dijambak, dipukul wajan, dilempar talenan, dan pernah mendengar aneka caci-maki yang sangat menyakitkan hatinya sebagai seorang bocah. Tampaknya, pikir Deni, dia tidak memiliki apa pun yang benar atau positif bagi orangtuanya, hingga yang terlihat pada dirinya hanyalah tumpukan kesalahan.

Meski selalu prihatin setiap berangkat ke sekolah akibat jarang punya uang saku, tapi Deni menganggap sekolah cukup menyenangkan, karena bisa meninggalkan rumahnya, meninggalkan sejenak kekerasan orangtuanya. Karena kenyataan menyakitkan itulah yang sampai membuat Deni pernah menulis caci-maki pada orangtuanya, ketika dia merasa sangat sedih dan kesepian, hingga yang ia mampu lakukan hanyalah menuliskan kekesalan di buku tulisnya.

Kisah yang saya tuliskan di sini mungkin rapi dan terstruktur, hingga cukup mudah dipahami. Tapi ketika Deni menceritakan langsung kisahnya pada Lidya, jalan ceritanya agak berantakan karena dituturkan seorang bocah SMP. Berantakan—tapi efek dramatisnya lebih menyentuh, hingga Lidya sampai berkaca-kaca saat mendengar semua tuturannya. Dan, sejak itu pula, Lidya pun mulai bisa memahami semua tindakan Deni yang pernah ia saksikan di sekolah.

Tidak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi anak nakal, apalagi anak durhaka. Begitu pun Deni, begitu pun anak-anak tetangga kita, begitu pun anak-anak yang mungkin kita temukan di Twitter atau Facebook. Mereka sampai mencaci-maki orangtuanya bukan tanpa sebab, bukan tanpa alasan. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada mereka, hingga sampai melakukan tindakan menyedihkan semacam itu. 

Kita yang hidup di dalam keluarga damai sejahtera, mungkin sangat menghormati kedua orangtua, bahkan sampai memuja mereka sebagai orangtua terbaik di dunia. Mengapa? Karena kita punya alasan, karena kenyataannya orangtua kita memang baik. Tetapi bukan berarti semua orangtua di dunia ini sama baik dan sama sempurnanya dengan orangtua kita.

Kedua orangtua Deni mungkin orangtua yang baik—sama baiknya dengan orangtua lain yang baik. Tetapi kondisi hidup sering kali mampu mengubah seorang yang baik menjadi sangat buruk. Itu realitas yang sebenarnya sangat mudah kita lihat, kalau saja kita mau peka memperhatikan lingkungan sekitar, dan bukannya terlalu sibuk selfie dengan memuja diri sendiri.

Tidak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi jahat, begitu pun ayah Deni. Tetapi, kondisi hidup mungkin mengubahnya, mendegradasi kepribadiannya. Karena penghasilan yang pas-pasan dan sering kali kurang, ayah Deni mungkin menilai harga dirinya sangat rendah—itu kecenderungan khas yang dilakukan orang-orang yang terdesak oleh hidup. Kondisi itu diperparah tanggung jawab keluarga, bahwa ia harus menghidupi istri dan anak-anaknya. Diakui atau tidak, gaji pas-pasan dan tuntutan tanggung jawab keluarga sering kali mampu mengubah perangai seorang laki-laki.

Sebagai laki-laki, mungkin ayah Deni mampu bertahan menghadapi gempuran hidup yang berat. Tapi jangan lupa, dia punya istri. Dan istri mana pun, wanita mana pun, selalu punya tuntutan terhadap suami—diakui atau tidak—karena memang hak istri untuk mendapat tanggung jawab suami. Ketika penghasilan tidak mampu memenuhi tanggung jawab, dan sang istri tidak mampu memahami, maka api pertama mulai menyala di dalam rumah. Itu konsekuensi hidup berumah tangga.

Sebagai istri, mungkin ibu Deni telah berusaha memahami kenyataan suaminya yang bergaji pas-pasan. Tapi ketika kebutuhan hidup terus meningkat sementara penghasilan suami selalu kurang, bagaimana pun kesabaran seorang istri akan terkuras. Mula-mula mungkin dia hanya diam, dan bersabar, tapi kesabaran—termasuk kesabaran seorang istri—selalu memiliki batas. Dan ketika batas itu terlampaui, wanita pun mulai terlihat aslinya. Mula-mula muncul ucapan tajam, sindiran, lalu perkataan kasar, dan terjadilah pertengkaran.

Apa kira-kira yang ada dalam pikiran ayah Deni? Dia didesak oleh hidup. Seharian dia harus banting tulang, dan hasilnya adalah gaji pas-pasan. Di rumah, istrinya terasa menjengkelkan dan sering menyulut pertengkaran. Dengan penilaian diri yang rendah, ayah Deni pun kemudian menjadikan istrinya sebagai lampiasan kemarahan. Dia tidak mampu melawan kehidupan di luar rumahnya, maka dia menjadikan isi rumahnya sebagai pelampiasan. Maka istrinya pun menjadi korban.

Rantai makanan tidak hanya berlaku dalam bidang biologi. Tapi juga dalam hal psikologi. Ketika seorang lelaki—seorang suami—tidak mampu mengalahkan dunia, maka dia akan cenderung “mengalahkan” isi rumahnya, yakni istri dan anak-anaknya. Dia telah kehilangan harga diri dalam menghadapi dunia, sehingga ia membangun harga dirinya dengan cara “berkuasa” di dalam rumahnya. Itu kisah klasik yang menimpa banyak rumahtangga yang sebenarnya sangat kasatmata, kalau saja kita mau sedikit peka melihatnya.

Yang mengerikan, efek kekerasan tak jauh beda dengan rantai makanan. Ia berputar, dari yang besar kepada yang kecil. Ketika suami menganiaya istri, mungkin sang istri tidak melawan, dengan berbagai alasan. Tapi bukan berarti masalahnya telah selesai. Karena sang istri tidak berani melawan suaminya, dia melampiaskan amarahnya kepada anak-anaknya. Kenyataan itulah yang kemungkinan juga terjadi pada Deni. Ibunya tidak berani melawan suaminya, maka dia melampiaskan kejengkelannya pada Deni.

Dan Deni...? Jawabannya sangat gamblang. Dia juga butuh pelampiasan atas amarah yang ditimbulkan oleh ibunya di rumah. Maka dia pun cenderung melakukan tindak kekerasan yang sama pada teman-temannya di sekolah. Rantai makanan tidak hanya terjadi dalam biologi, tapi juga psikologi. Jika satu orang “dimakan” yang lain, maka korban yang “dimakan” akan cenderung “memakan” yang lain. Dan karena latar belakang itu pulalah, Deni sampai menulis caci-maki terhadap orangtuanya sendiri.

Sekarang, setiap kali mendapati remaja di Twitter mencaci-maki orangtuanya, dan saya tidak tahu apa penyebabnya, saya tidak bisa lagi membenci atau menganggapnya anak durhaka. Yang terjadi, saya justru kasihan pada mereka.

Ayat Bumi

Hei, Orang-orang yang Berakal,

Ketahuilah bahwa setiap kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk melestarikan kehidupan Bumi, serta merawat peradaban manusia.

Jika kau tidak bisa memperbaiki atau membuat perbaikan apa pun, terhadap Bumi atau pun manusia, tolong jangan menambah kerusakan yang telah ada.

Kampanye Pilpres

Siapa pun calon presidenmu, pilihanku tetap mbakyu!

Oh, well.

Rabu, 11 Juni 2014

Jupe Naksir Prabowo, tapi Dicueki, lalu Pindah Dukung Jokowi

Wanita suka dirayu. Tapi Adam terjatuh
karena rayuan Hawa. Alam Semesta memang
punya selera humor yang aneh.
@noffret


Banyak teman saya—khususnya yang cowok—menyukai Julia Perez. Bagi sebagian cowok, Julia Perez a.k.a Jupe mungkin tergolong wanita ideal. Khususnya bagi para pemuja ukuran 36 D. Karenanya, teman-teman saya pun kerap menyarankan, “Kamu sering-sering nulis soal Jupe, dong!” Dan biasanya ditambah keterangan, “Tulis bagian yang hot!”

Masalahnya, dalam hal ini, saya tidak terlalu tertarik pada Jupe. Meski secara fisik mungkin Jupe punya daya tarik, sayangnya itu tak mampu menarik minat saya. Alasannya sederhana—Jupe sama sekali tidak mencerminkan pribadi seorang mbakyu! Wanita ideal di mata saya adalah wanita yang memancarkan aura seorang mbakyu. Dan wanita itu bukan tipe Jupe.

Jadi, saya malas menulis soal Jupe. Kecuali kalau terpaksa. Seperti catatan ini.

Ketertarikan saya untuk menulis catatan ini dimulai ketika saya mendengar kalau Jupe naksir Prabowo. Iya, Prabowo Subianto yang calon presiden itu. Ceritanya, pada 19 Mei kemarin, Jupe mengirim mention ke Prabowo, berbunyi, “Dear pak prabowo, jupe siap di pinang kapan aja bapak mau.. Bapak kan mau jadi presiden butuh istri jupe siap pak..” (teks sesuai aslinya.)

Kita tahu, sebelumnya Jupe terlibat “yang-yangan” dengan pemain sepakbola Argentina, Gaston Castano. Tapi hubungan mereka putus, dan Jupe sekarang jomblo. Sementara Prabowo juga jomblo, setelah bercerai dengan istrinya. Entah karena kesepian atau karena ingin membuat kegegeran seperti biasa, Jupe lalu pedekate pada Prabowo. Dan pedekatenya benar-benar frontal, khas Julia Perez.

Sayangnya, upaya pedekate Jupe dibalas dingin oleh Prabowo. Bukannya menanggapi dengan kalimat berbunga-bunga atau memberi harapan, Prabowo hanya membalas, “Terima kasih untuk dukungannya selama ini, mbak @juliaperrez.”

Balasan Prabowo untuk mention Jupe itu ditulis pada 22 Mei 2014, atau tiga hari setelah Jupe menyampaikan maksud pedekatenya. Satu minggu kemudian, kabel diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat mengalami kebocoran, dan salah satu yang bocor adalah kabar kalau Prabowo ternyata sudah punya pacar, seorang wanita yang tinggal di Thailand.

Ketika Jupe dikonfirmasi mengenai hal itu, dan wartawan ingin tahu bagaimana tanggapannya mengenai status Prabowo yang ternyata sudah punya pacar, Jupe hanya menjawab, “Nanti saja ya telepon lagi.”

Sampai berhari-hari sejak itu, Julia Perez belum juga memberi tanggapan pasti. Akhirnya, setelah didesak terus oleh wartawan, pada 4 Juni kemarin Jupe menyatakan kalau dia kecewa dengan kenyataan bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. “Sakit hati,” ujarnya. “Kayaknya Pak Prabowo sudah punya pacar.” Kemudian, dia menegaskan, “Saya pindah ke Jokowi saja.”

Sampai di sini, saya benar-benar penasaran. Kalau umpama Prabowo menerima pendekatan Jupe, apakah Jupe akan konsisten mendukung Prabowo, dan tidak tergoda dengan “yang-yangan” lain? Dan ketika Jupe beralih mendukung Jokowi karena kecewa akibat dicueki Prabowo, apakah dia akan konsisten mendukung Jokowi, jika suatu saat Prabowo mendekatinya? Sekilas, pertanyaan itu mungkin terdengar remeh. Tapi coba pikirkan implikasi psikologisnya.

Dalam film Mission Impossible II, ada dialog ironis antara Ethan Hunt (Tom Cruise) dengan Sean Ambrose (Dougray Scott), ketika mereka sedang berkonfrontasi memperebutkan zat biologi di tengah laboratorium yang porak poranda. Sean Ambrose berkata pada Ethan Hunt, “You know women, mate. Like monkeys, they are—won’t let go of one branch until they’ve got a grip on the next!”

Kalimat itu mungkin terdengar tajam, bahkan kasar. Sayangnya, kenyataan itulah yang kerap terjadi di dunia kita, khususnya dalam hubungan cowok-cewek.

Ketika seorang cowok menyadari hubungan yang dijalaninya keliru, sering kali mereka kebingungan dan berpikir sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hanya untuk menyatakan putus dari ceweknya. Sebaliknya, ketika cewek merasa ingin putus dengan cowoknya—apa pun alasannya—mereka bisa dengan mudah menjatuhkan ultimatum, meski kadang dengan alasan yang sangat tak masuk akal.

Memang tidak semua cowok begitu, sebagaimana tidak semua cewek begitu. Tapi “kebingungan cowok saat ingin putus dari ceweknya” sudah sangat terkenal, sama terkenalnya dengan “mudahnya cewek ketika ingin putus dengan cowoknya”. Apa artinya itu? Jelas, jauh lebih banyak cewek yang mudah memutuskan cowoknya, daripada sebaliknya.

Ada cowok yang menjalin hubungan pacaran dengan seorang cewek, akibat “kecelakaan”. Si cowok menganggap hubungannya dengan si cewek hanya berteman—tidak pernah mengucap cinta atau semacamnya—tapi si cewek menganggap mereka telah pacaran. Semula, karena bingung, si cowok membiarkan hubungan berjalan, sambil berpikir mencari cara untuk menjelaskan bahwa hubungan mereka hanya berteman.

Tapi ternyata itu bukan hal mudah. Sampai lebih dari setahun, si cowok tetap belum juga menemukan cara untuk menjelaskan status mereka. Sementara si cewek telah menganggap si cowok benar-benar pacarnya. Ini konyol, tentu saja. Tetapi, cowok yang menjalani hubungan itu sama sekali tidak menganggapnya konyol. Yang benar, dia frustrasi! Dia menjalani suatu hubungan tidak jelas, tidak pernah jatuh cinta pada si cewek, tapi terlalu kasihan setiap kali ingin menjelaskan kebenaran status mereka, bahwa dia tidak mencintainya.

Saya bisa membayangkan segalau apa perasaan cowok itu. Dia menjalani hubungan dengan seorang cewek hanya karena “kecelakaan”—suatu kedekatan yang membuat si cewek yakin mereka telah pacaran, meski si cowok belum jelas menyatakan cinta atau perasaannya. Sementara itu, si cowok terlalu kasihan jika ingin mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya, bahwa dia tidak mencintai si cewek, dan menganggap hubungan mereka hanya sebatas teman.

Sebaliknya, ada sepasang cowok-cewek yang telah pacaran sejak semester awal di kampus. Sampai menjelang wisuda, mereka tetap pacaran, dan keduanya telah berjanji untuk melangsungkan hubungan sampai altar perkawinan. Mereka saling jatuh cinta, saling ingin memiliki, saling mencintai. Rencananya, seusai wisuda, mereka akan bekerja dan menabung, lalu akan menikah setelah segalanya siap.

Suatu hari, tanpa angin tanpa hujan, dan tanpa pemberitahuan lebih dulu, si cewek menyatakan bahwa hubungan mereka putus sampai di situ, karena ada cowok lain yang telah melamar si cewek, dan orangtua si cewek telah setuju. Si cowok kaget, jengkel, galau, frustrasi, patah hati—sebut apa pun—tapi itu tidak mengubah keputusan si cewek. Intinya, mereka putus. Dan alasannya karena ada cowok lain yang telah melamar. Sangat mudah—oh, well, terlalu mudah!

Sebagaimana Jupe yang bisa mudah berganti dukungan dari Prabowo ke Jokowi, di dunia kita ada cewek-cewek yang teramat mudah pindah ke lain hati. Dan mereka bisa mengajukan seribu satu alasan untuk melakukannya—bahkan yang paling tak masuk akal sekali pun. Karenanya, meski terdengar kasar, ucapan Sean Ambrose memang ada benarnya, “Like monkeys, they are—won’t let go of one branch until they’ve got a grip on the next!”

Sampai di sini, kalian tentu ingin menyatakan, “Tapi, Hoeda Manis, tidak semua cewek seperti itu, kan?”

Benar, dear—tidak semua cewek seperti itu. Dan karena kenyataan itu pula, saya sengaja memperkenalkan (mungkin lebih tepat disebut meredifinisi) istilah mbakyu.

Di dunia ini ada dua jenis perempuan. Jenis pertama adalah mbakyu, dan jenis kedua bukan mbakyu. Saya sengaja tidak menggunakan dikotomi baik dan buruk, tapi mbakyu dan bukan mbakyu. Dalam hubungan antar lawan jenis, baik dan buruk bisa sangat relatif. Tapi mbakyu dan bukan mbakyu, itu mutlak.

Lalu bagaimana kita tahu seorang cewek tergolong mbakyu atau bukan? Dan bagaimana kita tahu pasangan kita tergolong mbakyu atau bukan? Izinkan saya menjelaskannya.

Ketika seseorang—khususnya cowok—menginginkan seorang pasangan, disadari atau tidak, dia sedang ada di antara dua pilihan; antara kebanggaan dan ketenteraman. Sebagian cowok menomorsatukan kebanggaan, sebagian lain menomorsatukan ketenteraman. Itu pilihan masing-masing mereka, jadi tidak ada yang salah. Tetapi, masing-masing pilihan itu sering kali mengandung konsekuensi.

Ada teman kita yang pacarnya sangat cantik. Secara fisik sempurna—wajahnya bersinar seperti lampu senter, rambutnya lurus mirip jalan tol, kulitnya selembut tepung terigu, posturnya langsing dan jenjang seperti tiang listrik, dan dadanya saingan sama Jupe. Tentu saja cowok yang menjadi pacarnya akan bangga setiap jalan dengan cewek semacam itu. Bangga—tapi apakah tenteram atau tidak, itu urusan lain.

Jika si cowok merasa tenteram dengan cewek itu, artinya si cewek termasuk mbakyu. Karena ciri khas seorang mbakyu adalah menenteramkan. Tetapi jika si cowok tidak merasa tenteram—tak peduli secantik apa pun si cewek—maka si cewek bukan mbakyu, karena tidak memiliki unsur mbakyu, yakni menenteramkan. Dan tingkat ketenteraman seorang cowok berbanding lurus dengan tingkat kesetiaan seorang cewek, bukan berbanding lurus dengan tampilan fisiknya!

Jadi, mbakyu dan bukan mbakyu tidak semata urusan fisik, bukan juga soal usia. (Meski mungkin lebih banyak wanita dewasa yang mbakyu daripada yang masih remaja). Mbakyu adalah wanita yang menenteramkan, seseorang yang kita percayai mampu menjaga hati kita, karena dia akan tetap bersama kita, dan tidak akan tergoda menjadi “monyet yang meninggalkan dahan begitu mendapatkan pegangan lainnya”.

Karena itulah, saya tidak terlalu tertarik pada Jupe. Dia sangat mudah berpindah dari Prabowo ke Jokowi hanya karena alasan sepele. Tampaknya, Jupe masih butuh banyak waktu untuk bisa menjadi seorang mbakyu. Dan, saya pikir, Prabowo pun paham soal itu. 

Bingung Mau Nyoblos Siapa

Dua bocah bercakap-cakap tentang pemilu pilpres. Bocah pertama bertanya, “Di pemilu nanti, kamu mau nyoblos siapa?”

“Aku masih bingung,” jawab bocah kedua. “Di antara dua pilihan yang ada, masing-masingnya punya kelebihan dan kelemahan, dan sepertinya aku tidak cukup bijak untuk bisa memilih salah satunya.”

“Jadi, apa rencanamu dengan pemilu pilpres nanti? Tidak nyoblos sama sekali?”

Setelah terdiam sejenak, bocah kedua menjelaskan, “Begini. Sebagai bocah, aku berpikir untuk mengikuti mbakyu-mbakyu bijaksana saja. Maksudku, karena aku tidak bisa menentukan siapa pilihanku di pemilu nanti, rencananya aku akan mengikuti para mbakyu saja. Kalau para mbakyu bijaksana pilih nyoblos A, aku akan ikut nyoblos A. Begitu pula kalau para mbakyu pilih nyoblos B, aku ikut nyoblos B. Kupikir, itu lebih bijak daripada aku memutuskan pilihanku sendiri yang bisa jadi keliru.”

Bocah pertama manggut-manggut. “Jadi, para mbakyu mau nyoblos capres yang mana?”

“Itulah masalahnya. Aku sudah mengamat-amati, tapi belum ada mbakyu yang secara jelas mau nyoblos salah satunya. Jadinya aku bingung dan galau, kira-kira mau nyoblos yang mana.”

“Uhm... kalau begitu, kamu nyoblos mbakyu saja.”

....
....

Oke, sip!

Ck ck ck ck....

Ck ck ck ck....

Baca: Hati-hati Bila Menerima E-Mail Seperti Ini

Jumat, 06 Juni 2014

Geli

Suka geli kalau lihat pendengki kebingungan menyaksikan kejahatannya sendiri.

Minggu, 01 Juni 2014

Hukum Rahasia Alam Semesta

Alam semesta, dengan caranya sendiri, memberikan
banyak pelajaran. Manusia, bersama kebodohannya sendiri,
terlalu malas untuk belajar.
@noffret


Sering kali saya ditanya mengapa menyukai Suzuki Satria. Di antara semua motor yang beredar di Indonesia, saya memang paling suka Suzuki Satria. Bukan berarti motor lain tidak bagus—ini hanya soal selera. Kita biasanya cenderung memilih sesuatu yang mampu merepresentasikan diri kita, dan saya menilai Suzuki Satria merepresentasikan kepribadian saya.

Namun, rupanya, ada cukup banyak teman yang heran dengan pilihan itu. Karena, menurut mereka, Suzuki Satria memiliki beberapa “kekurangan”. Pertama, harganya relatif mahal. Kedua, bahan bakarnya boros. Ketiga, kemungkinan jual-kembali yang sulit, karena harganya relatif jatuh dibanding saat membelinya.

Tapi saya tak peduli. Saya memilih Suzuki Satria karena cinta kepadanya, dan persetan dengan perhitungan-perhitungan semacam itu. Faktanya, motor itu mampu memuaskan saya secara lahir batin, dan saya tak pernah menyesal telah memilihnya. Ini soal cinta. Soal pilihan. Dalam cinta dan pilihan, tidak seharusnya orang membuat perhitungan-perhitungan yang “keterlaluan”. Hidup hanya sekali. Jika kita harus memasukkan hal-hal tertentu ke dalam hidup, kita hanya akan memilih hal-hal yang kita cintai.

....
....

Dalam hidup, memang ada hal-hal yang perlu kita perhitungkan dengan cermat, bahkan detail. Ketika ingin membangun suatu usaha, misalnya, kita tentu harus memperhitungkan semua aspeknya dengan sangat cermat agar usaha yang kita lakukan bisa berjalan lancar. Kesuksesan sebuah usaha, sebuah bisnis, berawal dari kematangan persiapan sekaligus perhitungan cermat yang kita lakukan.

Tetapi keseluruhan hidup kita tidak bisa diperlakukan sebagaimana kita menghadapi bisnis yang melulu berorientasi untung rugi. Dalam berteman, misalnya, kita tentu tidak layak memperhitungkan untung rugi sebagaimana dalam bisnis, karena pertemanan atau persahabatan bukan bisnis. Kita berteman dan bersahabat dengan orang lain bukan karena uang atau keuntungan, melainkan karena kecocokan.

Begitu pun dalam spektrum kehidupan kita yang lain. Ada banyak hal dalam hidup ini yang seharusnya tidak dilatarbelakangi perhitungan-perhitungan tertentu, namun murni karena kita memang ingin memilihnya. Karena cocok, karena nyaman, atau karena cinta. Dalam kecocokan, kenyamanan, dan cinta, nilai uang sungguh tak punya harga. Kau tidak bisa membeli kecocokan dan kenyamanan, sebagaimana kau tidak bisa membeli cinta.

Ehmmm....

Jika kita bertanya pada milyuner mana pun di dunia ini, tentang bagaimana cara menjadi kaya, mereka semua akan menjawab kira-kira seperti ini, “Urusan kaya dan miskin adalah urusan mental.”

Terdengar aneh? Mungkin sebagian orang akan berharap mendengar jawaban, “bekerja keras”, “rajin menabung”, “hidup hemat”, dan semacamnya. Tapi tidak. Untuk menjadi kaya memang dibutuhkan hal-hal itu. Tetapi yang paling penting adalah mental. Selama seseorang masih bermental miskin, sampai kapan pun dia akan tetap miskin. Untuk bisa menjadi kaya, seseorang harus bermental kaya terlebih dulu!

Sebelum Bill Gates menjadi milyuner, dia telah memiliki mental seorang milyuner. Begitu pun Warren Buffet, Donald Trump, Rupert Murdoch, sampai Henry Ford dan Andrew Carnegie. Semua milyuner yang kita kenal hari ini telah memiliki mental seorang milyuner sebelum mereka menjadi milyuner. Sebagaimana orang miskin yang kita kenal hari ini juga memelihara mental miskinnya.

Soal kaya dan miskin adalah soal mental—ini hukum rahasia alam semesta yang telah berlaku sejak zaman Nabi Sulaiman, dan tetap akan berlaku sampai kelak di akhir zaman.

Mengapa anak orang kaya cenderung menjadi kaya, sebagaimana anak orang miskin juga cenderung menjadi miskin? Jawabannya tidak semata soal warisan, lingkungan, atau pergaulan, tetapi lebih karena mental! Anak orang kaya telah terbiasa memiliki mental kaya, sebagaimana anak orang miskin juga telah terbiasa memiliki mental miskin. Karenanya, hal paling penting yang harus dilakukan anak miskin untuk bisa menjadi kaya adalah memiliki mental kaya terlebih dulu!

Itu bukan teori yang terkesan muluk-muluk—itu aturan alam semesta yang tersembunyi. Saya percaya sepenuhnya, karena telah membuktikannya! Siapa pun yang bersekolah dengan saya di SD pasti tahu saya bocah yang sangat miskin. Dan siapa pun yang pernah kuliah dengan saya pasti tahu saya mahasiswa paling kaya di kampus. Saya mengatakan ini bukan untuk sok-sokan, melainkan untuk menunjukkan bahwa kita bisa keluar dari kemiskinan dengan mengubah mental kita.

Selama saya masih bermental miskin, sampai kapan pun saya akan tetap miskin. Untuk bisa keluar dari kemiskinan, saya harus melepaskan mental miskin terlebih dulu.

Apa yang disebut mental kaya dan mental miskin? Butuh pemaparan yang sangat panjang lebar jika saya harus menjelaskannya di sini. (Semoga di lain waktu kita bisa mempelajarinya di catatan lain).

Yang jelas, perbedaan paling mendasar antara mental kaya dan mental miskin adalah cara kita memandang hidup, dan cara kita menghadapi atau memperlakukan kehidupan. Perbedaan itulah yang menentukan seseorang bermental kaya, atau bermental miskin. Agar penjelasan ini lebih mudah dipahami, mari kita gunakan contoh nyata.

Perhatikan sekelilingmu. Lihatlah teman-temanmu. Ketika membeli sebuah ponsel, misalnya, ada orang yang membeli ponsel semata-mata karena memang mencintainya, namun ada pula yang membeli ponsel karena berpikir harga ponsel itu tidak akan terlalu jatuh ketika dijual kembali. Apa yang membedakan di sini? Bukan harga ponsel, bukan pula bentuk atau model ponsel. Yang membedakan di sini adalah mental keduanya!

Orang yang membeli ponsel karena semata-mata mencintainya, adalah orang bermental kaya. Dia tidak peduli jika harga ponsel itu kelak akan jatuh ketika dijual kembali, sebagaimana dia pun tak peduli jika harga ponsel itu relatif mahal. Jika dia bisa membelinya, dia akan membeli. Titik. Yang penting, baginya, adalah kepuasan hati. Itu tipe orang bermental kaya. Bagi mereka, yang penting adalah cinta, kecocokan, dan kenyamanan—persetan dengan lainnya.

Berbeda dengan orang bermental miskin. Ketika membeli ponsel, sebagai misal, orang jenis ini bukan membeli karena cocok dan cinta pada ponsel itu, melainkan karena berbagai pertimbangan. Umumnya, pertimbangan mereka bersifat ekonomis, misalnya, “harganya tidak terlalu jatuh ketika dijual kembali”. Coba lihat, bahkan sebelum memilikinya, dia sudah berpikir untuk menjualnya. Itu pola pikir orang bermental miskin.

Perhatikan, saya menyebut pola pikir orang bermental miskin, bukan pola pikir orang miskin. Ada perbedaan penting di sini. Orang yang secara ekonomi bisa disebut kaya, tidak menutup kemungkinan dia bermental miskin. Sebagaimana orang yang secara ekonomi bisa dibilang miskin juga tidak menutup kemungkinan dia bermental kaya.

Mental kaya atau mental miskin bisa dimiliki siapa saja. Orang kaya yang bermental miskin akan segera menjadi miskin, sebagaimana orang miskin yang bermental kaya—cepat atau lambat—akan menjadi kaya. Sekali lagi, ini hukum rahasia alam semesta.

Dalam kasus pembelian ponsel di atas, orang bermental kaya membeli karena cinta, karena menyukai ponsel itu. Karenanya, dia pun merasakan kepuasan karena memilikinya—sesuatu yang tidak dimiliki orang bermental miskin yang membeli karena pertimbangan ekonomis. Hal penting dalam kasus ini bukan harga ponsel yang murah atau mahal, melainkan cara atau pola pikir kita dalam membelinya.

Orang bermental kaya membeli sesuatu karena memang ingin memilikinya, dan tidak dipusingkan oleh hal lain. Dia membeli sesuatu karena cinta. Titik. Lalu dia puas dengan sesuatu yang dimilikinya. Ketika hal itu terjadi, secara tak langsung dia mengirim sinyal pada alam semesta bahwa dia kaya. Karena dia mengirimkan sinyal bahwa dirinya kaya, alam semesta pun mewujudkan kekayaan dan keberlimpahan untuknya.

Sebaliknya, orang bermental miskin membeli sesuatu dengan pertimbangan “harga jualnya tidak akan terlalu jatuh ketika dijual kembali”. Itu sama saja dengan mengirim sinyal pada alam semesta bahwa di masa depan dia akan kehabisan uang, hingga harus terpaksa menjual ponselnya. Karena dia mengirimkan sinyal kekurangan atau kemiskinan, maka alam semesta pun mewujudkan kemiskinan dan kekurangan untuknya.

You see that...? Di situlah letak perbedaannya! Begitulah aturan mainnya! Begitulah alam semesta memberlakukan hukum rahasianya.

Tujuan saya menulis catatan ini bukan untuk mengajarkan agar kita berlaku konsumtif atau agar kita bersifat boros. Tidak—bukan itu maksud yang saya tuju. Yang ingin saya katakan adalah bahwa kita—masing-masing dari kita—bisa jadi memiliki mental kaya, bisa jadi pula memiliki mental miskin. Dan, yang berbahaya, mental yang kita miliki akan berperan besar dalam menentukan hidup kita. Yang bermental kaya akan menjadi kaya, yang bermental miskin akan menjadi miskin.

Sekali lagi, ini aturan main alam semesta yang tak bisa diganggu gugat. Kau percaya atau tidak, permainan ini akan terus berlangsung. Jika kita ikuti cara permainannya, kita akan selamat. Jika kita melanggar atau mencoba menentang aturan mainnya, kita akan menanggung risikonya.

Dan saya...? Saya tentu akan memilih mengikuti aturan alam semesta, karena saya percaya. Karena itu pula, ketika memilih atau melakukan sesuatu, saya akan memilih dan melakukan atas dasar cinta, bukan karena perhitungan-perhitungan ekonomis tertentu. Ketika memilih motor, seperti yang diceritakan di atas, saya akan memilih semata-mata karena cinta dan kenyamanan, bukan memikirkan soal harganya yang mahal atau bahan bakarnya yang boros. Kalau saya bisa membelinya, kenapa saya harus dipusingkan hal-hal remeh lainnya?

Akhirnya, meminjam tweet yang sering dituliskan di Twitter, “Jangan bertingkah seperti orang susah!”

Demi Tuhan, tweet itu benar.

Hidup Ini Sungguh Sia-sia jika Tidak Punya Mbakyu

Dua bocah bercakap-cakap dengan serius, seolah sedang membicarakan nasib bangsa dan kemaslahatan umat manusia. Bocah pertama berkata pada temannya, “Kamu punya mbakyu?”

“Punya, dong,” jawab bocah kedua dengan jumawa.

“Oh, syukurlah.” Bocah pertama manggut-manggut bijak. “Soalnya, kata Hoeda Manis, hidup ini sungguh sia-sia jika tidak punya mbakyu.”

“Uh, gitu, ya?” Bocah kedua tampak heran. “Jadi, Hoeda Manis juga punya mbakyu?”

“Tidak.”

“Lhah...???”

Mumbling

Lalu aku berkata pada diriku, “Cobalah lihat saudaramu yang di sana. Kau tidak ada apa-apanya dibanding dirinya.”

 
;