Senin, 23 November 2015

Kejahatan Paling Menjijikkan

Neraka terdalam dan paling dasar disediakan untuk
orang-orang munafik. Sangat pantas! Karena munafik
adalah iblis yang berpura-pura baik.
@noffret 


Jam dinding telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Tapi kami masih asyik bercakap-cakap—di dekat perapian, sambil menghirup teh panas yang wangi. Kami sedang membicarakan moralitas, dan saya mendengarkannya dengan khusyuk seperti dalam kelas. Orang-orang menyebut dia “bajingan yang beradab”. Sementara saya menganggapnya sebagai guru, mengingat pengetahuan dan pengalamannya yang sangat luas.

Dini hari itu kami membahas Sartre, Spinoza, Iqbal, Huxley, sampai Nietzcshe dan Marx. Dia orang tua yang menyenangkan, dan—seperti yang dikatakan orang-orang—dia juga sangat beradab. Meski usianya jauh lebih tua, tapi dia memperlakukan saya dengan hormat.

Setelah dia mengisap pipa dan terdiam cukup lama, saya memberanikan diri bertanya, “Sir, maafkan saya. Kalau—sekali lagi, kalau—Anda mengetahui istri Anda berselingkuh, landasan moral apa yang akan Anda gunakan, dan apa yang akan Anda lakukan?”

Dia tersenyum seperti biasa, saat dihadapkan pertanyaan sulit, kemudian berkata perlahan-lahan, “Maka aku akan melakukan yang harus kulakukan, Nak.”

“Yaitu?”

“Mula-mula, aku akan memastikan istriku benar-benar berselingkuh. Karena dia berselingkuh, artinya dia melanggar dasar moral perkawinan. Karena kami menikah dengan diketahui orang banyak, maka begitu pula perselingkuhannya. Aku akan mengumpulkan orang-orang, dan kami akan menangkapnya saat berselingkuh, agar orang-orang tahu bahwa dia telah mengkhianati perkawinan kami.”

“Anda ingin istri Anda malu karena perbuatannya?”

“Benar,” dia menjawab. “Setelah itu, aku akan melaporkan perbuatannya kepada pihak berwenang, dengan tuduhan perzinahan, perselingkuhan, atau apa pun, dan aku akan memastikan dia serta selingkuhannya masuk penjara, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.”

Saya mengangguk. “Setelah mereka selesai menjalani hukuman, Sir, apakah Anda akan memaafkan mereka?”

Dia menjawab dengan muka berkerut, “Kau tidak ingin mendengar jawabannya.”

Hening.

Suara detak jarum jam di dinding terdengar nyaring.

Setelah mengisap pipa sesaat, dia kembali berkata, masih dengan muka berkerut, “Apa yang lebih kejam dari pengkhianatan, Nak? Kau mempercayai seseorang yang kauyakini bisa dipercaya, tapi diam-diam menertawakanmu di belakang. Kau berbaik sangka pada seseorang, tapi dia melukaimu dari belakang. Kau mengulurkan kebaikan kepadanya, dan dia membalasnya dengan kebusukan di belakang. Kau menjaga nama baiknya, dan dia merusak namamu di belakang. Apa yang lebih kejam dari itu? Menggunakan standar moral apa pun, pengkhianatan adalah perbuatan yang paling menjijikkan.”

Saya terdiam, mendengarkan.

Dia kembali mengisap pipanya, lalu bertanya, “Kau tahu konsep Omerta?”

Saya menyahut, “Hukum tutup mulut di dunia mafia.”

“Benar.” Dia mengangguk. “Para mafia—sebajingan apa pun mereka—menyadari bahwa pengkhianatan adalah dosa tak terampuni. Karenanya, mereka lebih memilih mati daripada membuka mulut dan mengkhianati teman sendiri. Jika mereka mati demi menjaga keselamatan temannya, keluarga mereka akan dijaga dan diayomi. Sebaliknya, siapa pun yang melanggar sumpah Omerta, dan diketahui berkhianat, maka seluruh keluarganya akan dihabisi. Bahkan bagi para mafia yang jelas bajingan, pengkhianatan adalah kejahatan paling menjijikkan.”

Kembali dia mengisap pipa, diam sejenak, lalu berkata perlahan, “Jauh lebih baik kau menikam seseorang dari depan, Nak, daripada menusuk dari belakang.”

....
....

Saya tidak pernah melupakan kalimat terakhir itu.

Kamis, 19 November 2015

Catatan Orang Tidak Terkenal

“Selebriti,” katanya, “adalah orang yang mati-matian ingin terkenal,
lalu ke mana-mana memakai kacamata hitam demi tidak dikenali.”
@noffret 


Suatu siang, di Bandung, Ariel sedang istirahat sendirian di ruang tamu rumahnya yang sepi. Seorang pengamen mampir ke depan rumahnya, dan menyanyikan lagu “Mimpi yang Sempurna” dengan genjrengan gitar.

Waktu itu, group band Peterpan baru mengeluarkan album pertama, setelah mereka sukses merilis single “Sahabat”. Waktu itu pula, nama band Peterpan sudah mulai terkenal, tapi para personilnya belum dikenal banyak orang. Meski orang-orang telah mulai familier dengan lagu-lagu Peterpan, tapi belum banyak yang hafal wajah vokalisnya. Termasuk pengamen yang datang ke rumah Ariel siang itu.

Sambil menahan senyum, Ariel keluar rumah, dan menyerahkan uang kepada si pengamen. Si pengamen menerima uang itu, mengangguk, dan berkata, “Nuhun, Sep.” Lalu beranjak pergi meninggalkan Ariel yang senyum-senyum sendiri. Pengamen itu sama sekali tidak menyadari bahwa lagu yang dinyanyikannya adalah ciptaan orang yang barusan memberikan uang kepadanya.

Bertahun-tahun kemudian, saat mengenang peristiwa itu, Ariel menyatakan, “Aku mencintai masa-masa itu, ketika belum banyak orang yang mengenalku.”

Sekarang, dia tidak lagi memiliki “kemewahan” semacam itu, karena bisa dibilang seluruh Indonesia mengenalnya. Dia tidak lagi memiliki kebebasan seperti yang semula dimilikinya, hingga tidak bisa bebas keluyuran atau jalan-jalan tanpa gangguan. Bahkan, ketika Sophia Latjuba mengajaknya ke swalayan, Ariel harus ditemani satpam swalayan yang mengawal.

....
....

Mungkin, karena tidak menyadari dampak yang akan terjadi bila terkenal, banyak orang yang mati-matian ingin terkenal. Yang ada dalam pikiran mereka, rata-rata, menjadi terkenal akan memungkinkan mereka masuk koran, muncul di televisi, nongol di majalah, diberitakan di mana-mana, dipuja dan dibicarakan banyak orang, lalu kaya-raya, dan dunia ada di telapak tangan.

Mungkin memang begitu. Tetapi... tidak hanya itu. Popularitas atau keterkenalan juga akan memunculkan beban, kerangkeng yang membatasi kebebasan.

Dua tahun lalu, saya masuk ke sebuah warung makan sederhana. Dengan santai, saya melenggang sendirian, lalu menuju ke tempat yang kosong. Hanya ada satu orang di sana. Saat akan duduk, saya baru menyadari bahwa lelaki yang duduk sendirian itu seseorang yang saya kenal. Semula, dia tampak memalingkan wajah, hingga saya tidak langsung mengenali. Tapi begitu saya duduk di depannya, mau tak mau dia menghadapkan muka ke arah saya.

Jadi, sebagaimana kepada orang lain yang saya kenal, saya pun menyapanya. Dan dia menyahut sapaan dengan kaku. Kemudian, tanpa saya minta, dia menjelaskan bahwa dia masuk warung itu karena sangat menyukai masakan yang ada di sana, bahwa sejak dulu dia sering makan di warung itu, dan lain-lain, dan sebagainya. Intinya, dia tampak merasa bersalah, hanya karena saya memergokinya ada di warung tersebut.

Sesaat, saya sempat kebingungan dengan penjelasannya yang bertubi-tubi. Dari ekspresi wajahnya, saya bisa memahami dia merasa bersalah. Tapi merasa bersalah untuk apa? Waktu itu kami ada di warung makan yang menyediakan makanan dan minuman halal, dan kami tentu sama-sama makan di sana dengan membayar. Kenapa dia harus merasa bersalah, hanya karena kami bertemu di warung itu?

Setelah kami bercakap beberapa saat, pelan-pelan saya mulai menyadari ketololan saya. Dia merasa bersalah karena ketemu saya di warung itu, bukan karena apa pun... tapi karena dia orang terkenal!

Karena sudah mengenalnya cukup lama, saya kadang lupa kalau dia sangat terkenal. Bocah itu biasa muncul di mana-mana, diberitakan di banyak media dengan segala macam aktivitasnya. Dan karena keterkenalannya pula, dia jadi merasa bersalah hanya karena ketemu saya di warung makan sederhana. Bisakah kalian memahami yang saya maksudkan?

Dulu, sebelum terkenal, dia bisa masuk warung mana pun dengan bebas, dan orang tidak terlalu menghiraukan. Tapi ketika telah terkenal, dia harus jaga image—berusaha menyesuaikan diri dengan keterkenalannya—termasuk dalam hal makan di tempat yang tepat. “Sialnya”, dia sangat menyukai masakan di warung sederhana itu, jadi terpaksa datang ke sana, dan berpakaian sederhana, mungkin dengan maksud menyamarkan identitas. Mungkin dia berharap tidak ada orang yang mengenali. Sial baginya, siang itu saya kebetulan memergoki.

Padahal, bagi saya pribadi, sama sekali bukan masalah kalau dia mau makan di tempat mana pun. Wong umpama saya kebetulan memergokinya makan di angkringan, ya tidak masalah, saya tidak akan meributkannya. Tapi sebagai orang terkenal, dia terlalu “sadar diri”. Karena terlalu sadar diri itu pulalah yang mungkin menjadikannya merasa perlu memberi penjelasan macam-macam kepada saya, tentang kenapa dia sampai masuk warung itu.

Malang sekali nasib orang terkenal, pikir saya saat dia telah pergi. Hanya untuk makan di warung favorit saja, harus susah payah menyamarkan identitas demi tidak dikenali. Siang itu, sambil merokok sendirian seusai makan, tiba-tiba saya merasa hebat karena tidak terkenal. Oh, well, saya bisa masuk warung mana pun, bisa makan di mana pun, tanpa khawatir dikenali orang lain. Karena kenyataannya memang tidak ada yang mengenal saya!

Dulu, ketika penyair WS. Rendra masih hidup, Iwan Fals pernah berkata pada Rendra, “Aku ingin sekali bisa sepertimu. Orang-orang mengenal namamu, tapi kau bisa keluyuran ke mana-mana tanpa terganggu.”

Sebagai “bocah urakan”, Rendra suka keluyuran ke mana-mana, menikmati hidup dengan bebas, meski namanya sangat terkenal. Dia memiliki jenis popularitas yang unik—sebentuk popularitas yang tidak membelenggu kebebasan. Meski jutaan orang mengenal namanya, tapi Rendra bisa ke mana-mana tanpa beban, tanpa terganggu atau terusik apa pun.

Iwan Fals tidak memiliki hal semacam itu. Kemana pun pergi, Iwan Fals akan mengundang perhatian banyak orang—para penggemar yang minta tanda tangan, orang-orang yang ingin foto bersama, sampai reporter kurang kerjaan yang memburu berita untuk infotainment. Artinya, Iwan Fals tidak bisa bebas keluyuran tanpa terganggu seperti Rendra. Karenanya, dia pun dengan jujur mengatakan kepada penyair legendaris itu, “Aku ingin sekali bisa sepertimu.”

....
....

Kita mungkin tidak pernah membayangkan beban macam apa yang dihadapi orang-orang terkenal. Padahal keterkenalan atau popularitas tidak diperoleh secara gratis. Ia memiliki harga yang harus ditebus—dari kemampuan berkarya, sempitnya privasi, sampai hilangnya kebebasan.

Dalam hal popularitas, tokoh idola saya adalah Samuel Newhouse Jr., seorang bocah yang tinggal di Manhattan, New York. Omong-omong, ada yang pernah mengenal namanya? Tidak? Well, tidak mengherankan, karena dia memang tidak terkenal. Tapi orang tidak terkenal itu menjadi “panutan” saya dalam hal popularitas.

Dunia pasti mengenal majalah Vogue, Glamour, atau Vanity Vair. Kalian juga pasti mengenalnya, karena majalah-majalah itu sangat terkenal. Nah, Samuel Newhouse adalah pemilik majalah-majalah tersebut!

Samuel Newhouse Jr. adalah pemimpin Condé Nast Publications, salah satu penerbit media massa kelas atas di Amerika. Condé Nast Publications menerbitkan beragam majalah, di antaranya Vogue, The New Yorker, Architectural Digest, Glamour, Vanity Fair, Gourmet, GQ, hingga Condé Nast Traveler. Total media (surat kabar dan majalah) yang diterbitkan Condé Nast Publications lebih dari 100 buah, dan tersebar di 26 negara.

Karena majalah-majalah terbitan Condé Nast Publications ditujukan untuk kalangan atas, majalah-majalah itu pun dicetak luks, dengan tampilan eksklusif, halaman-halamannya menggunakan kertas glossy, berisi foto-foto mewah beresolusi tinggi. Condé Nast Publications juga mempekerjakan ratusan orang—reporter, penulis, fotografer—yang semuanya berpenampilan rapi bahkan mewah, karena biasa menemui tokoh-tokoh kalangan atas, dari para selebritas sampai politisi.

Tetapi, semua itu justru berkebalikan dengan Samuel Newhouse Jr., sosok yang memiliki perusahaan penerbitan tersebut. Berbeda dengan majalah-majalah terbitannya yang glamor dan mewah, Samuel Newhouse justru bocah pendiam, dan biasa berpenampilan sederhana—sangat jauh dari kesan bahwa dia sosok miliuner yang memiliki industri penerbitan majalah-majalah kelas atas.

Orang asing yang bertemu atau melihatnya, atau bahkan sempat bercakap-cakap dengannya, sering tidak menyadari bahwa dia adalah pemilik majalah-majalah yang dibaca jutaan orang di dunia. Lebih dari itu, Samuel Newhouse memang menjauhi publisitas dirinya, dan tidak suka menjadi pusat perhatian. Di Manhattan, New York, dia sering jalan-jalan sendirian, seperti orang kebanyakan, dan nyaris tidak ada orang yang tahu siapa dirinya.

Tidak jarang, dia membeli popcorn di pinggir jalan, lalu duduk santai di bangku taman, sambil menikmati popcorn dalam contong. Orang-orang berlalu lalang di sekelilingnya, dan tidak menghiraukan. Kadang-kadang, Samuel Newhouse juga mendapati beberapa orang tengah memegang atau membaca majalah terbitan perusahaannya, dan diam-diam tersenyum sendiri.

Sehari-hari, Samuel Newhouse datang ke kantornya untuk bekerja, dan dia biasa terlihat mengenakan kemeja tua, dan celana agak lusuh—jauh beda dengan para karyawannya yang justru tampil mewah. Penampilannya tenang dan seperti orang polos yang tidak tahu apa-apa. Anna Wintour, pemimpin redaksi majalah Vogue edisi Amerika, mengomentari gaya bosnya sebagai “bentuk unik dari gaya”. Tentu saja dia mengatakannya sambil tertawa.

Ketika Samuel Newhouse ditanya mengenai gayanya yang cuek dan tak ingin dikenal, dia menjelaskan, “Memiliki perusahaan media bukan berarti kau harus tampil di media. Sungguh menyenangkan melihat orang-orang menikmati karyamu, tapi mereka sama sekali tak mengenalimu. Well, tidak setiap orang memiliki karunia semacam itu.”

Oh, well, tidak setiap orang memiliki karunia semacam itu.

Percakapan Tingkat Tinggi

Di jalan raya, sebuah truk besar memuat tangki yang sama besarnya, melaju di jalanan yang macet. Di sisi tangki terdapat tulisan besar-besar, berbunyi: HATI-HATI. BARANG BERBAHAYA. BISA MELEDAK.

Akibat kemacetan yang parah, lalu lintas bisa dibilang tak bergerak. Dua ABG berboncengan motor berhenti di sisi kanan truk tangki, tampak bete karena macet dan panas. Mungkin karena bosan, salah satu ABG mengetuk-ngetuk tangki dengan cukup keras—kedengarannya dia ingin menimbulkan bunyi-bunyian yang berirama.

Tiba-tiba, sopir truk menongolkan kepalanya dan menengok ke belakang, melotot pada ABG yang mengetuk-ngetuk tangkinya. Mungkin karena sedang jengkel akibat panas dan macet, si sopir langsung menyemburkan amarah pada si ABG, “Jangan diketuk-ketuk, goblok! Itu barang berbahaya, bisa meledak!”

Si ABG, yang terkejut, seketika menjawab dengan nada sama marah, “Lu yang goblok! Udah tahu barang berbahaya, masih juga dibawa keluyuran!”

Peraturan Tak Teratur

Suatu hari, dengan naluri seorang bocah, saya mengalami kekeliruan. Yaitu melakukan sesuatu yang ternyata melanggar aturan. Tapi saya tidak tahu, karena biasanya tidak ada peraturan itu.

Sambil bingung campur jengkel, saya seperti disadarkan bahwa di dunia ini ada peraturan yang tidak teratur—peraturan yang tak bisa mengatur dirinya sendiri.

Minggu, 15 November 2015

Wawancara Saya di Mata Najwa (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Ehmm... mengulang pertanyaan tadi. Artinya, Anda sebenarnya memaklumi aktivitas copy paste di internet, asal menyebutkan sumber?

Istilah copas atau copy paste di internet sebenarnya masih ambigu, Mbak Nana. Sebagai contoh, Anda menulis suatu artikel di blog, dan merasa perlu menyisipkan suatu penjelasan yang Anda ambil dari Wikipedia, misalnya. Anda pun meng-copy satu alinea dari Wikipedia, untuk Anda masukkan ke artikel, dan Anda menyebutkan bahwa alinea tersebut berasal dari Wikipedia. Yang Anda lakukan itu kan juga copas. Tapi apakah itu salah? Tentu saja tidak, karena Anda jujur menyebutkan bahwa bagian yang Anda copas berasal dari Wikipedia.

Contoh lain. Situs KapanLagi.Com, misalnya, memiliki ribuan posting yang berisi lirik-lirik lagu Indonesia maupun luar negeri. Lirik-lirik lagu di situs KapanLagi juga bisa digolongkan copas, karena hanya memindahkan lirik yang semula ada di sampul kaset atau CD ke situs mereka.

Tapi KapanLagi tidak mengklaim bahwa lirik-lirik lagu itu milik mereka. Dengan jelas dan gamblang, KapanLagi menyebutkan bahwa lirik lagu itu milik penyanyi A atau penyanyi B. Itu jenis copas yang bisa ditoleransi. Lebih dari itu, si penyanyi atau pemilik lagu tersebut juga tidak mempermasalahkan lirik lagunya dipublikasikan di tempat lain, bahkan hal semacam itu bisa dianggap sebagai promosi gratis.

Yang tidak bisa ditoleransi adalah copas yang dilakukan tanpa menyebutkan sumber, bahkan diklaim atau diakui sebagai milik si peng-copas. Itu yang menjadikan iklim di internet tidak sehat. Sebagian orang mati-matian mikir demi bisa menulis suatu artikel, lalu orang lain meng-copas artikel itu dan diakui sebagai miliknya. Itu kan jahat. Copas semacam itulah yang saya benci, karena merugikan orang lain.

Berdasarkan penjelasan Anda, artinya Anda tidak mempermasalahkan jika ada orang yang ingin berbagi tulisan Anda di blog?

Tidak masalah, selama hal itu dilakukan dengan cara benar, yakni jujur menyebutkan sumbernya. Membagikan suatu tulisan, atau membagikan link suatu tulisan yang kita anggap bermanfaat, itu kan termasuk berbagi pengetahuan atau menyebarkan wawasan bagi orang lain. No problem. Itu bahkan hal yang positif. Asal dilakukan dengan cara benar dan saling menghormati, pihak yang artikelnya dibagikan pun pasti tidak masalah. Mereka justru akan merasa dihargai, karena tulisannya diapresiasi orang lain.

Sebagai blogger, saya memahami hal-hal semacam itu. Bisa jadi, ada pembaca blog yang mungkin menyukai, atau terinspirasi oleh suatu tulisan saya, kemudian membagikannya ke orang lain melalui blognya, atau melalui sosial media miliknya—tidak masalah. Itu hal biasa di internet, yang dilakukan banyak orang. Asal, ya itu tadi... lakukan dengan cara terhormat.

Baik. Sekarang kita beralih ke topik lain. Di dunia maya, Anda terkenal sebagai orang yang tidak ingin terkenal. Bisakah Anda menjelaskan latar belakang itu?

Sebenarnya saya ingin tertawa setiap mendengar pertanyaan itu. Kita—atau bahkan masyarakat kita—tampaknya lebih bisa menoleransi apa pun yang mayoritas, tapi sering kesulitan memahami yang minoritas. Ada banyak orang yang ingin terkenal, dan kita bisa memaklumi mereka. Tapi ketika ada orang yang tidak ingin terkenal, kita justru ribut.

Padahal, ini kan hanya soal pilihan. Tak jauh beda dengan menikah atau tidak, punya anak atau tidak, itu hak dan pilihan masing-masing orang. Saya tidak mempermasalahkan siapa pun yang ingin terkenal, sebagaimana saya juga tidak ingin dipermasalahkan hanya karena tidak ingin terkenal.

Jadi?

Jadi, bagi saya, ini hanya soal pilihan. Kenapa kita tampaknya kesulitan memahami pilihan orang lain, ketika pilihan yang dipilih tergolong minoritas, atau berbeda dengan pilihan kita?

Sebagai pribadi, saya menyadari kurang bisa bersosialisasi dengan orang lain, kurang bisa beramah-tamah dengan orang lain. Kondisi itu menjadikan saya lebih nyaman jika tidak dikenal.

Tapi kecenderungan Anda yang semacam itu bisa menjadikan orang lain—khususnya di dunia maya—jadi segan jika ingin mendekati Anda?

Well, siapalah saya ini, Mbak Nana? Saya bukan siapa-siapa.

Anda pasti sedang merendah.

Tidak. Anda bisa lihat bio di akun Twitter saya, di situ tertulis bahwa saya bukan siapa-siapa.

Kebetulan Anda menyebut soal Twitter. Ada desas-desus yang menyebutkan bahwa Anda tidak suka jika tweet-tweet Anda di-retweet orang lain. Ada pula desas-desus yang mengatakan Anda tidak suka di-follow banyak orang, karena Anda tidak ingin terkenal.

Hahaha... kadang saya heran bagaimana desas-desus semacam itu bisa muncul dan beredar di belakang saya. Mungkin itu gara-gara catatan iseng yang pernah saya tulis di sini. Well, mari kita urai satu per satu dengan akal sehat.

Di Twitter disediakan fitur mention, juga retweet. Artinya, pengguna Twitter tentu berhak menggunakan fitur itu di sana. Kalau kita menyukai tweet seseorang, tersedia fitur retweet yang bisa digunakan. Kalau kita ingin berinteraksi dengan seseorang, kita bisa menggunakan fitur mention yang disediakan. Sebagai pengguna Twitter, saya tentu memahami hal-hal itu. Di Twitter juga ada tombol follow yang bisa digunakan untuk mem-follow siapa pun. Jadi, kalau ada orang mengirim mention atau me-retweet tweet saya, atau bahkan mem-follow akun saya, sama sekali bukan masalah.

Lagi-lagi, yang menjadi masalah adalah copas. Seseorang meng-copas tweet seseorang, padahal di Twitter sudah disediakan fitur retweet. Kalau memang menyukai tweet seseorang, kenapa harus meng-copas, wong sudah disediakan fitur retweet? Itu yang saya persoalkan. Jadi, kalau orang lain mau me-retweet tweet saya, silakan. Atau mau me-mention atau mem-follow, juga silakan. Asal kita bisa saling menghormati, dan berinteraksi secara wajar, saya pikir tidak masalah.

Dari blog dan Twitter, sekarang kita beralih ke diri Anda. Bagaimana orang seperti Anda—yang terkesan serius—menggunakan nama pena Hoeda Manis, yang sekilas terdengar main-main?

Hahahaha....

Anda tidak bersedia menjelaskan?

Well, apa yang saya harus jelaskan?

Banyak spekulasi yang muncul, bahwa nama Hoeda Manis sebenarnya anagram atau semacam itu. Anda mau memberikan penjelasan?

Saya tahu ada cukup banyak orang kurang kerjaan yang mencoba mengutak-atik huruf-huruf dalam nama saya, karena mereka pikir saya menyembunyikan sesuatu pada nama itu. Saya juga berkali-kali menerima e-mail yang menanyakan atau bahkan menegaskan hal itu. Mereka tanya, apakah nama saya sebenarnya anagram? Apa yang saya sembunyikan di dalam nama itu?

Biasanya, kepada mereka, saya tidak mengatakan ya atau tidak. Saya hanya menjawab, bahwa mereka hampir mendekati kebenaran. Oh, saya tentu menyadari bahwa orang-orang yang “terusik” dengan nama saya pasti bukan orang kebanyakan, karena orang kebanyakan akan menganggap nama saya sebatas main-main.

Artinya, Anda memang menyembunyikan sesuatu pada nama yang Anda gunakan?

Maafkan saya, Mbak Nana, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, kapan pun, para pencari akan menemukan yang mereka cari. Ketika itu terjadi, mereka akan menemukan, dan tahu, dan menyadari, apa sebenarnya yang ada pada nama itu.

Baiklah, sekarang tinggalkan soal nama. Dalam kehidupan pribadi Anda, bagaimana sih seorang Hoeda Manis menjalani kehidupan sehari-hari?

Well... tidak jauh beda dengan kebanyakan orang lain. Bikin kopi saat bangun tidur, merokok, menjalankan aktivitas dan kesibukan sehari-hari, nyuci piring dan gelas di dapur, keluar rumah kalau ada keperluan, dan terkadang misuh-misuh kalau lagi jengkel. Tidak beda, lah, dengan kebanyakan orang.

Meski begitu, Anda dikenal memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan kebanyakan orang. Misalnya, Anda tampaknya tidak tertarik pada pernikahan, sementara kebanyakan orang lain justru mengimpikan pernikahan.

Itu kan soal pilihan, Mbak Nana. Dalam hidup, saya tentu menjalani kehidupan sebagaimana umumnya manusia lain—makan, tidur, bekerja, dan semacamnya. Tetapi, di luar itu, masing-masing orang kan punya pilihan dalam menghadapi kehidupan, dan pilihan-pilihan yang diambil sering kali sangat berkaitan dengan cara berpikirnya, dan cara berpikir orang per orang sangat dipengaruhi oleh pengalaman serta latar belakangnya.

Meski sama-sama berwujud manusia, kita kan memiliki latar belakang, pengalaman, serta berbagai hal yang berbeda. Semua perbedaan itu membentuk cara berpikir kita, dan cara berpikir kita menentukan pilihan-pilihan kita. Karena itulah, sampai jutaan kali saya mengatakan bahwa hidup adalah soal pilihan. Kita mengambil dan menentukan pilihan dalam hidup berdasarkan yang kita pahami, yang kita jalani, juga dipengaruhi berbagai pengalaman serta latar belakang yang kemudian membentuk kita hingga seperti sekarang.

Bahwa kita sama-sama manusia—ya. Tetapi kita, masing-masing kita, memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda, dan dari perbedaan itulah kita kadang memiliki perbedaan pilihan dalam hidup. Saya pikir tidak masalah, selama kita bisa saling menghormati pilihan orang lain. Yang jadi masalah, ketika orang merasa lebih baik atau bahkan lebih benar dari orang lain yang berbeda pilihan.

Termasuk soal pernikahan?

Termasuk soal pernikahan. Sebagian orang memilih untuk menikah, karena memang itu pilihan, dan sebagian lain memilih tidak menikah karena juga pilihan. No problem. Apa yang salah?

Bahkan, yang sama-sama menikah pun punya pilihan berbeda. Sebagian pasangan memilih punya anak, sementara sebagian lain memilih tidak punya anak. Sekali lagi, no problem. Jika ini mau diteruskan, bahkan yang sama-sama punya anak pun bisa berbeda pilihan. Sebagian ingin punya banyak anak, sebagian lain hanya ingin punya satu atau dua anak. Itu kan juga perbedaan pilihan, dan... sekali lagi, no problem. Kita toh tidak bisa menyalahkan pilihan atau memaksakan suatu pilihan kepada orang lain.

Tapi tampaknya masyarakat kita belum mampu menerima perbedaan-perbedaan pilihan semacam itu?

Well, sepertinya itu tugas Anda untuk mengatakan kepada mereka.

Maksud saya begini. Anda memiliki prinsip yang jelas-jelas berbeda dengan prinsip kebanyakan masyarakat. Seperti soal pernikahan, misalnya. Anda jelas minoritas di antara mayoritas orang lain yang menganggap pernikahan penting dilakukan. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana Anda mampu menghadapi hal semacam itu?

Seperti kaum minoritas lain, saya pun membutuhkan resistensi untuk tetap bertahan dalam pilihan yang saya ambil. Terus terang saja, memilih untuk menikah—khususnya bagi saya—jauh lebih mudah dibandingkan memilih untuk tidak menikah. Tetapi saya tetap bertahan untuk tidak menikah, karena beberapa alasan. Alasan itulah yang mampu membuat saya tetap bergeming meski menyadari saya berbeda dengan mayoritas orang, dengan masyarakat.

Nah, saya sering berpikir, di sekeliling kita sebenarnya banyak orang yang tak jauh beda dengan saya—mereka memiliki pilihan-pilihan tertentu yang berbeda dengan pilihan masyarakat, namun hanya memendam diam-diam. Latar belakang pemikiran semacam itulah yang menjadikan saya terang-terangan menyatakan bahwa saya tidak tertarik menikah. Tujuannya untuk menunjukkan pada orang-orang lain bahwa mereka tidak perlu khawatir jika berbeda pilihan dengan masyarakat, sekaligus memberitahu masyarakat agar mereka mulai bisa menyadari dan memahami pilihan orang lain yang mungkin minoritas.

Anda tadi menyebut, bahwa karena suatu alasan, Anda memilih untuk tidak menikah. Boleh tahu alasan apa yang mendasari?

Dalam hidup, kita tentu memiliki prioritas-prioritas. Selain pengalaman dan latar belakang, prioritas itulah yang menuntun pilihan yang kita ambil. Orang yang memilih menikah, misalnya, mungkin karena pernikahan masuk dalam prioritas hidupnya. Sementara yang memilih tidak menikah—atau tidak buru-buru menikah—karena memiliki prioritas lain yang dianggap lebih penting.

Begitu pula saya. Dalam hidup, saya punya beberapa prioritas yang saya anggap lebih penting dari pernikahan. Jika saya menikah, maka saya akan memiliki tanggungan, dan itu jelas akan menghambat langkah saya menuju prioritas yang saya inginkan. Selama saya sendirian, saya memiliki waktu, pikiran, energi, dan kebebasan sepenuhnya, untuk mengejar yang ingin saya capai. Hal semacam itu jelas tidak akan saya miliki jika saya menikah, karena saya harus berbagi dengan pasangan—dari berbagi tempat tidur sampai berbagi waktu dan kebebasan.

Jadi, itulah alasan yang mendasari pilihan saya kenapa sampai sekarang tetap tidak tertarik pada pernikahan. Saya masih menginginkan kebebasan dalam menggunakan seluruh waktu, energi, dan pikiran, untuk mengejar sesuatu yang saya anggap penting. Dan saya tidak ingin diganggu apa pun atau siapa pun, termasuk oleh pasangan.

Meski begitu, Anda sering menyebut-nyebut “Mbakyu”....

Ahahahaha... itu sebenarnya refleksi hati saya yang mungkin gersang, Mbak Nana. Sebagai lelaki normal, saya tentu mendambakan kasih lawan jenis. Tapi kebutuhan itu harus berbenturan dengan pilihan hidup saya yang belum memungkinkan. Karena itu, “Mbakyu” jadi semacam katarsis untuk menyalurkannya.

Oh, ya, Anda sering menyatakan terang-terangan, bahwa Anda kesulitan saat bersosialisasi dengan orang lain. Tapi dari tadi kita mengobrol dengan lancar dan tidak ada masalah. Anda bisa asyik menjelaskan apa pun, dan tampaknya normal-normal saja.

Benar, saya memang kurang mampu bersosialisasi dengan orang lain. Yang saya maksud “bersosialisasi” adalah berbasa-basi dengan orang yang belum terlalu kenal, atau menyapa orang lain terlebih dulu, atau semacamnya.

Di dunia nyata atau dunia maya, misalnya di Twitter, saya sering merasakan hal itu. Saat ingin menyapa orang—khususnya yang belum terlalu kenal—saya sering bingung. Karenanya, saya sering kali baru menyapa orang lain saat ada suatu hal tertentu yang memungkinkan saya mengatakan sesuatu kepadanya. Jika tidak ada alasan atau latar belakang apa pun, saya sering kesulitan, dan tidak tahu apa yang harus saya katakan.

Nah, dari tadi kita bisa mengobrol lancar, bahkan asyik—kenapa? Karena Anda bertanya, dan saya menjawab. Sesederhana itu. Dan Anda juga bertanya bukan untuk basa-basi, melainkan murni ingin bertanya. Lebih dari itu, Anda fokus kepada saya, dan bisa menjaga percakapan ini terus mengalir, sehingga tidak membosankan. Maka saya pun menjawab dengan baik, sebagaimana yang Anda inginkan. Artinya, jika saya disapa atau ditanya, saya bisa menghadapi sapaan atau pertanyaan itu dengan baik. Tetapi, saya sering kebingungan jika sayalah yang diminta untuk menyapa atau bertanya lebih dulu.

Jadi, kepada siapa pun yang ingin berkomunikasi dengan saya, sapalah saya. Sesederhana itu. Jika kalian menunggu saya menyapa terlebih dulu, kalian akan menunggu lama, karena saya sering kebingungan saat akan menyapa orang lain.

Ooh, jadi begitu masalahnya. Mas Hoeda, tak terasa kita sudah mengobrol cukup banyak. Dari blog, tulisan-tulisan Anda, juga Twitter, sampai kehidupan Anda sebagai pribadi. Semoga obrolan ini bisa memberikan penjelasan bagi orang-orang yang mungkin ingin tahu.

Sebenarnya, masih banyak yang bisa kita obrolkan, tapi waktu kita tampaknya sudah habis. Sekarang, pertanyaan terakhir. Dalam perspektif Anda, apakah saya termasuk Mbakyu?

Ahahaha... tentu saja Anda seorang Mbakyu!

Wawancara Saya di Mata Najwa (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Dalam menulis di blog, apa tujuan Anda ketika menghadirkan suatu tulisan?

Tidak ada tujuan apa pun, selain menuangkan kegelisahan. Itu pula yang mendasari banyak catatan saya yang tidak “match” dengan kejadian-kejadian yang sedang aktual. Misalnya, ketika topik A sedang dibicarakan banyak orang, belum tentu saya akan menulis topik A. Saya tidak menulis untuk memburu trafik atau mendatangkan pengunjung. Saya menulis semata-mata untuk menuangkan kegelisahan yang ada di pikiran. Jadi, apa yang membuat pikiran gelisah, itu pula yang saya tuangkan.

Kadang-kadang, saya memang menulis suatu topik ketika topik tersebut sedang ramai dibicarakan. Biasanya, topik itu kebetulan juga sedang menjadi kegelisahan saya. Tapi sering kali, saya baru menulis suatu topik yang sebenarnya sudah bisa dianggap kedaluwarsa, karena topik itu sudah tidak lagi ramai dibicarakan. Bagi saya tidak masalah, karena blog saya memang bukan koran harian yang harus selalu up to date.

Yang jelas, jika saya tertarik menulis suatu topik, saya harus benar-benar memahami topik tersebut luar dalam. Artinya, saya tidak mau menulis suatu topik dengan pengetahuan dan pemahaman yang dangkal. Jadi, ketika tertarik menulis suatu topik tertentu, biasanya saya harus menelusuri terlebih dulu topik itu sampai ke akar-akarnya, agar saya benar-benar tahu apa yang saya tulis.

Contoh untuk ini adalah kasus JIS yang fenomenal itu. Saya sampai membaca ratusan artikel berkaitan kasus itu, sehingga saya benar-benar bisa menimbang, menilai, dan memutuskan sikap, dengan pengetahuan yang utuh dan komprehensif.

Sekarang tentang isi tulisan Anda. Kalau dicermati, dalam tulisan-tulisan Anda di blog sering muncul kata “oh, well”. Bisa Anda ceritakan latar belakang hal itu?

Hahaha... kata itu dulu sering muncul waktu saya masih aktif menjadi pembicara. Dulu, khususnya waktu masih kuliah, saya sering diundang menjadi pembicara, dan kata itu—“oh, well”—sering muncul atau lepas begitu saja saat asyik berbicara di depan forum.

Ketika mulai lebih banyak menulis, khususnya ketika mulai mencari-cari gaya menulis yang khas, saya mencoba menulis dengan cara dan gaya seperti ketika saya berbicara. Jadi, waktu menulis—khususnya di blog—saya menulis dengan gaya yang nyaris sama ketika saya berbicara. Dan kata itu—“oh, well”—juga sering terselip dalam tulisan, persis seperti saat saya berbicara.

Well, omong-omong, Mbak Nana, kita sudah ngobrol cukup lama, dan mulut saya mulai asem. Saya boleh merokok?

Ini studio, dan kita siaran secara live.

Jadi, saya tidak boleh merokok?

Ya. Nah, omong-omong soal rokok, Anda juga cukup sering menulis catatan yang di dalamnya menceritakan Anda sedang merokok. Anda seperti sengaja menunjukkan kepada pembaca, bahwa Anda seorang perokok. Mengingat bahwa isu rokok saat ini kadang menjadi isu negatif, Anda tidak khawatir pembaca Anda—bisa jadi—tidak menyukai hal itu?

Saya ngeblog bukan untuk pencitraan, Mbak Nana. Seperti yang saya nyatakan tadi, saya ngeblog untuk menuangkan kegelisahan. Jadi, saya ingin menulis, ingin ngeblog, secara jujur dan apa adanya. Karena saya memang tidak ngeblog untuk pencitraan. Lebih dari itu, saya manusia biasa, yang mungkin memiliki kelebihan, tapi juga memiliki kekurangan. Jika merokok dianggap sebagai kekurangan saya, tidak apa-apa, karena saya memang bukan manusia sempurna.

Bahkan, sejujurnya, saya tidak ingin pembaca punya kesan terlalu tinggi kepada saya. Saya ingin pembaca menilai saya sewajarnya, sebagaimana manusia umumnya. Karena itulah, di blog, saya katakan terus terang hal-hal yang mungkin menjadi kelemahan atau kekurangan saya. Di luar rokok, yang mungkin bisa dinilai negatif, saya sering menceritakan hal-hal lain yang bisa jadi merupakan kekurangan saya—secara terang-terangan.

Di blog, Anda tidak hanya menulis banyak hal, tapi tampaknya juga menulis dengan mood beragam. Di suatu tulisan, Anda bisa sangat keras, bahkan tidak jarang sampai memaki. Sementara di tulisan lain, Anda bisa sangat lembut, menggunakan kata-kata yang indah dan menyentuh. Bahkan, di satu tulisan, Anda bisa tampak tegar, sementara di tulisan lain Anda bisa terkesan rapuh. Bagaimana penjelasan soal tersebut?


Seperti yang saya katakan berulang-ulang, saya menulis di blog untuk menuangkan kegelisahan. Karenanya, saya pun berusaha menulis secara jujur, bahkan—tidak jarang—juga spontan. Karena saya berusaha jujur, saya pun menulis sesuai yang saya rasakan. Di satu waktu, saya menulis dalam keadaan marah, hingga kadang terselip makian di dalamnya. Karena menulis dalam keadaan marah, kata-kata yang saya gunakan pun kata-kata kemarahan.

Sebaliknya, saat sedang damai atau tenteram, atau merasakan hati tersentuh sesuatu—cinta, kerinduan, kelembutan—saya pun menulis sesuai perasaan, dan menggunakan kata-kata yang sama lembut. Tentu beda, dong, antara menulis saat marah dan menulis saat jatuh cinta, misalnya. Bahkan, saya sengaja menghindari tulisan yang datar—waktu marah ya begitu, waktu kangen ya begitu, waktu stres ya begitu. Ketika menulis, saya memang sengaja membiarkan pembaca tahu yang sedang saya rasakan. 

Begitu pula ketika sedang merasa rapuh, saya pun berusaha menulis secara jujur, dan saya tidak malu mengakui bahwa kadang-kadang saya juga rapuh. Saya tidak ingin menciptakan kesan bahwa saya manusia tegar atau semacamnya. Seperti orang lain umumnya, saya juga kadang tegar, namun kadang juga rapuh.

Blog Anda saat ini telah berusia enam tahun, dan Anda masih setia menggunakan domain blogspot. Anda tidak terpikir untuk mengganti blog dengan nama domain sendiri?

Jawaban untuk pertanyaan itu cukup panjang. Blog saya memang sampai saat ini menggunakan domain blogspot, dan saya belum terpikir untuk menggunakan nama domain sendiri. Alasannya, karena saya ingin blog tersebut menjadi warisan atau peninggalan saya bagi dunia, yang akan tetap ada meski saya telah meninggal.

Sampai saat ini, saya tidak—atau belum—terpikir untuk menikah. Artinya, kemungkinan besar saya tidak akan punya anak atau ahli waris yang bisa dipercaya. Jika saya menggunakan nama domain sendiri, artinya setiap tahun saya harus memperpanjang registrasi nama domain. Selama saya masih hidup, saya bisa melakukannya. Atau, kalau pun saya sudah meninggal, mungkin saya bisa titip pada anak saya untuk memperpanjang registrasi nama domain tersebut. Tapi bagaimana kalau saya tidak punya anak?

Jika saya menggunakan nama domain sendiri, dan kelak tidak ada orang yang bisa dititipi amanat untuk memperpanjang registrasi nama domain tersebut, maka nama domain blog saya akan mati. Ketika itu terjadi, blog saya pun tidak bisa diakses lagi. Itu yang tidak saya inginkan. Itu pula yang mendasari saya tidak menggunakan nama domain sendiri, dan tetap menggunakan domain blogspot seperti sekarang.

Menggunakan domain blogspot tidak membutuhkan registrasi, karena urusan itu di-handle oleh Google. Artinya, jika kelak saya meninggal dunia, dan tidak bisa lagi menulis serta mengurus blog, saya tidak khawatir blog saya akan hilang. Blog itu akan tetap ada, meski saya sudah tidak ada. Seperti yang saya bilang tadi, saya ingin blog tersebut menjadi warisan atau peninggalan saya bagi dunia, sebagai bukti—jejak nyata—bahwa saya pernah hidup di sini.

Di blog, Anda cukup sering menulis tentang seseorang yang Anda kagumi, atau yang membuat Anda terinspirasi. Misalnya, Anda pernah menonton acara Mata Najwa yang berisi wawancara dengan Raditya Dika dan Syahrini, lalu Anda terinspirasi untuk menulis tentang mereka. Kenapa Anda tidak menghubungi mereka, misalnya mengirim mention di Twitter, atau semacamnya, agar mereka tahu bahwa Anda menulis tentang mereka?

Saat menulis sesuatu atau seseorang, saya murni ingin menulis. Bisa karena kekaguman, karena terinspirasi, atau karena menemukan suatu pelajaran tertentu menyangkut sesuatu atau seseorang. Artinya, saya menulis bukan karena sesuatu atau seseorang an sich, melainkan apa yang terdapat pada sesuatu atau pada orang tersebut.

Ketika menulis tentang Raditya Dika dan Syahrini, misalnya, karena saya terinspirasi oleh yang mereka lakukan, sebagaimana yang saya lihat di acara Mata Najwa waktu itu. Dengan kata lain, kalau pun inspirasi yang sama datang dari orang lain, saya akan tetap menulisnya. Jadi, yang menjadi crucial point di sini bukan siapa, tapi apa.

Kebetulan saja yang saya tulis waktu itu menyangkut orang-orang terkenal. Tapi saya tidak menjadikan popularitas seseorang sebagai syarat untuk menulis. Artinya, meski menyangkut orang biasa—yang tidak terkenal—saya akan menulisnya, jika memang terinspirasi, atau menemukan suatu pelajaran tertentu menyangkut orang itu. Sebagai contoh, saya juga pernah menulis tentang @macangadungan dan @three4yu yang bisa dibilang orang-orang biasa.

Dan Anda tidak merasa perlu menghubungi mereka, bahwa Anda menulis tentang mereka? Maksud saya, siapa tahu orang-orang yang Anda tulis tersebut kemudian tertarik untuk membagikannya pada orang lain?

Saya tidak terpikir hal itu, Mbak Nana. Saya hanya percaya, bahwa jika kita membicarakan seseorang, pembicaraan itu akan sampai pada orang yang kita bicarakan. Apalagi di dunia maya, yang bisa dibilang sangat sempit. Jadi, saya merasa tidak perlu menghubungi orang-orang yang saya tulis hanya untuk memberitahu bahwa saya menulis tentang mereka. Yang jelas, saya menulis hal-hal baik menyangkut mereka.

Kalau kemudian mereka—orang-orang yang saya tulis—mengetahui hal itu, dan ingin membagikannya kepada orang lain, tidak masalah, itu hak mereka. Salah satu fungsi dunia maya, khususnya blog dan sosial media, kan memang untuk berbagi. Saya berbagi inspirasi dengan pembaca, dan orang-orang lain mungkin ingin berbagi tulisan saya, tidak masalah. Saya justru akan senang.

Jadi, kalau sewaktu-waktu Anda menulis tentang saya, misalnya, kemudian saya membagikan link tulisan Anda kepada orang lain melalui Twitter atau Facebook, Anda tidak keberatan? 

Sejujurnya, saya justru akan senang, karena saya anggap itu sebagai bentuk penghargaan. Bahwa Anda bersedia membagikan tulisan saya, artinya Anda menghargai yang saya lakukan. Jika tulisan saya jelek dan memalukan, Anda tidak akan sudi membagikannya, kan? Jadi, saya tidak punya alasan keberatan jika Anda berbagi link tulisan saya di Twitter atau di mana pun.

Soalnya begini, Mas Hoeda. Ada desas-desus yang menyatakan bahwa Anda tidak suka jika tulisan Anda dibagikan ke media lain di luar blog Anda. Karenanya, saya ingin menegaskan hal ini.

Seperti yang Anda sebut barusan, Mbak Nana. Desas-desus. Namanya desas-desus, tentu tidak terverifikasi. Desas-desus itu mungkin timbul, sebab saya pernah marah-marah karena tulisan-tulisan saya di-copy paste di tempat lain, tanpa menyebutkan sumber. Itu yang tidak saya suka. Sebenarnya, saya bahkan tidak mempermasalahkan orang meng-copas tulisan saya di blog untuk dibagikan di tempat lain, asal menyebutkan bahwa tulisan itu berasal dari blog saya.

Di internet, hal-hal semacam itu sebenarnya sudah disepakati bersama sebagai hukum tak tertulis. Bahwa kita boleh membagikan apa saja kepada orang lain—komunitas kita—asal menyebutkan dari mana sumber objek yang kita bagikan. Sebagai blogger yang aktif di internet, saya juga memahami hal itu. Tidak selamanya copas atau copy paste pasti buruk. Selama kita menyebutkan sumber yang kita copas, tidak masalah, karena itu hal umum di internet.

Artinya, Anda sebenarnya memaklumi aktivitas copy paste di internet, asal menyebutkan sumber?

Mbak Nana, mulut saya rasanya makin asem. Kita sudah mengobrol cukup lama, dan saya ingin merokok. Saya akan menjawab pertanyaan Anda barusan, tapi... well, Anda tidak keberatan kita break sebentar, agar saya bisa merokok?

Pemirsa Mata Najwa, karena tamu kita kali ini agak-agak... anu, agak bocah, dan masih suka seenaknya, kita break dulu sebentar. Jangan ke mana-mana, karena kita akan segera kembali setelah pesan-pesan berikut ini.

Lanjut ke sini: Wawancara Saya di Mata Najwa (3)

Wawancara Saya di Mata Najwa (1)

Tiap kali nonton “Mata Najwa”, aku sering berpikir
kalau Najwa Shihab adalah Guru BP yang sedang
menegur kesalahan murid-muridnya.
@noffret


Tentu saja saya tidak pernah diwawancara di Mata Najwa! Memangnya saya ini siapa? Wong saya bukan siapa-siapa!

Ada tiga alasan yang menjadikan saya tidak mungkin diwawancara di Mata Najwa. Pertama, Najwa Shihab dan kru Mata Najwa tidak mengenal saya, karena saya bukan siapa-siapa. Kedua, kalau pun mereka mengenal saya, mereka tidak akan mengundang saya untuk wawancara, karena saya memang bukan siapa-siapa. Ketiga, kalau pun mereka menganggap perlu mengundang saya untuk wawancara di Mata Najwa, saya belum tentu bersedia, karena menyadari... saya bukan siapa-siapa.

Jadi, apakah catatan ini dimaksudkan sebagai hoax? Tidak juga. Sebenarnya, catatan ini saya tulis untuk menyambut ulang tahun ke-6 blog ini, dan saya ingin membuat sesuatu yang “tidak biasa” di sini.

Hari ini, enam tahun yang lalu, saya memulai blog dengan catatan pertama. Lalu tahun-tahun berganti, dan catatan yang terkumpul semakin banyak. Saat ini, ada lebih dari 1.500 catatan yang terkumpul, yang sebagian besar merupakan catatan pembelajaran yang saya alami, atau kristalisasi pikiran dari keseharian dan pengalaman yang saya jalani.

Selama tahun demi tahun, bisa dibilang saya melewati setiap ulang tahun blog ini dengan hening, dalam arti tidak ada apa pun yang “tidak biasa” apalagi istimewa. Jadi, selama tahun demi tahun, saat blog ini berulang tahun, saya terus saja menulis seperti biasa, seolah tak ada apa-apa. Kini, saat ulang tahun keenam, saya terpikir untuk membuat sesuatu yang “tidak biasa”.

Saat memikirkan apa yang ingin saya lakukan untuk merayakan ulang tahun blog ini, saya pun terpikir untuk menerbitkan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikirim pembaca ke alamat e-mail saya, yang isinya cukup beragam. Tetapi, agar pemuatan pertanyaan-pertanyaan itu lebih asyik dibaca, saya pikir wawancara imajiner bisa dijadikan sarana untuk mewujudkannya.

Jadi, “Wawancara Saya di Mata Najwa” adalah wawancara imajiner, seolah-olah saya diwawancarai Najwa Shihab di acara Mata Najwa, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah materi-materi yang berasal dari kalian—pembaca setia blog ini.

Dari banyak e-mail berisi pertanyaan (kebanyakan berhubungan dengan blog ini dan kehidupan saya sebagai pribadi), saya pilih yang asyik untuk dibahas dan dibicarakan, juga yang paling banyak ditanyakan. Mulai dari motivasi ngeblog, produktivitas menulis, sampai ciri khas atau kebiasaan tertentu yang sering muncul dalam tulisan-tulisan saya di blog.

Mengapa menggunakan acara Mata Najwa untuk wawancara imajiner ini? Karena saya menyukai acara itu, dan mengagumi Najwa Shihab! Lebih dari itu, format percakapan di acara Mata Najwa saya pikir paling pas untuk digunakan di sini. Jadi, kalau kebetulan—entah bagaimana caranya—Najwa Shihab atau kru Mata Najwa membaca catatan ini, saya berharap mereka memaklumi “kenakalan” saya.

Dan sekarang... well, selamat menikmati wawancara saya di Mata Najwa.

....
....

Selamat datang di acara Mata Najwa, Mas Hoeda.

Terima kasih, Mbak Nana. Well, saya juga punya teman bernama Najwa, dan kami biasa memanggilnya ‘Nana’. Anda tidak keberatan saya panggil begitu?

Silakan. Teman-teman saya juga biasa memanggil begitu. Senang bisa melihat Anda di sini. Kita akan membicarakan cukup banyak hal seputar blog Anda, dan—mungkin—beberapa hal menyangkut kehidupan Anda sebagai pribadi.

Dengan senang hati.

Saat ini, Anda sudah aktif menulis di blog selama enam tahun. Selama bertahun-tahun, bisa dibilang Anda belum pernah hiatus. Apa sebenarnya yang menggerakkan Anda, hingga bisa terus menulis tanpa henti?

Sebenarnya, saya juga pernah hiatus, Mbak Nana, atau mungkin berencana hiatus. Pada 2011, saya pernah berencana libur ngeblog, karena sedang mengerjakan sesuatu yang membutuhkan banyak waktu dan pikiran. Jadi, waktu itu, saya sempat pamit pada pembaca, karena mungkin akan hiatus. Tetapi, ternyata saya tidak mampu. Baru libur dua minggu—kala tak salah ingat—saya sudah gatal ingin menulis di blog lagi. Jadi, rencana hiatus waktu itu bisa dibilang gagal, karena saya kembali ngeblog.

Jadi, apa sebenarnya motivasi Anda ngeblog?

Ngeblog, bagi saya, adalah upaya menjaga pikiran tetap waras. Saya punya kebiasaan buruk—kalau bisa dibilang begitu—yaitu suka memikirkan banyak hal. Melihat apa saja, atau mendengar apa saja, bisa membuat pikiran saya sangat aktif, lalu saya memikirkannya secara mendalam, dan itu sering membuat saya pusing. Upaya untuk mengobati atau mengatasi hal itu adalah dengan mengeluarkannya dalam bentuk tulisan, agar yang ada dalam pikiran bisa keluar.

Dulu, sebelum ada blog, saya suka menuliskan pikiran-pikiran di buku tersendiri, yang lalu saya baca dan nikmati sendiri. Itu pernah menjadi aktivitas yang menyenangkan, dan buku-buku yang saya gunakan untuk menuliskan pemikiran itu jadi semacam kumpulan kegelisahan dari waktu ke waktu. Setelah ada blog, saya pun menggunakan blog sebagai penyaluran kegelisahan pikiran, sehingga yang saya tulis tidak hanya dapat dinikmati sendiri, tapi juga bisa dibaca orang lain.

Itu yang menjadikan Anda mampu menulis tanpa henti di blog, sampai bertahun-tahun?

Benar. Jadi, blog saya sebenarnya rekaman kegelisahan pikiran, yang saya rasakan dari waktu ke waktu. Saya sangat menikmati saat menulis di blog, karena bisa dibilang saya dapat menulis seenaknya, bisa menulis tentang apa saja, dengan gaya seperti apa pun. Di blog, saya benar-benar bisa mengekspresikan diri sekaligus melepaskan banyak hal di pikiran. Itu pula yang membuat saya seperti sulit untuk berhenti menulis, karena selalu ada hal yang perlu ditulis, selalu ada sesuatu dalam pikiran yang perlu dituliskan. Akibatnya, saya ngeblog terus tanpa henti.

Di blog, bisa dibilang Anda membahas banyak hal—dari kehidupan pribadi, sosial, kebudayaan, politik, pendidikan, keagamaan, sampai urusan cinta, dan lain-lain. Bagaimana Anda bisa memahami semua topik itu, hingga bisa menuliskannya?

Sebenarnya, saya tidak memahami semuanya—meski juga bukan berarti saya memahami segala sesuatu secara parsial. Hal-hal yang saya tulis di blog adalah hal-hal yang kebetulan saya tahu. Dalam hal ini, saya diuntungkan oleh hobi saya—membaca. Jauh-jauh hari sebelum menulis di blog, saya sudah hobi membaca buku, koran, juga majalah, sehingga cukup tahu banyak hal.

Aktivitas membaca yang saya jalani bertahun-tahun tak jauh beda dengan menuangkan banyak pengetahuan ke kepala. Ketika kemudian saya mendapati suatu kejadian faktual—entah berhubungan dengan fenomena sosial, pendidikan, atau bahkan kehidupan pribadi—saya pun menggunakan pengetahuan yang ada di kepala untuk menganalisis hal itu, lalu menuliskannya di blog.

Artinya, yang Anda lakukan tak jauh beda dengan proses menulis kolom semacam yang dilakukan Goenawan Mohamad, begitu?

Mungkin bisa dibilang begitu. Meski tentu berlebihan jika menyamakan saya dengan Goenawan Mohamad.

Berkaitan dengan Goenawan Mohamad, Anda tampaknya sangat mengaguminya?

Goenawan Mohamad telah menulis ribuan catatan selama bertahun-tahun, bahkan sejak saya belum lahir. Dan dia menulis tentang banyak hal, minggu demi minggu, di kolom Catatan Pinggir majalah Tempo. Kejadian-kejadian aktual dipotret menggunakan tulisan yang ia hasilkan dari buku-buku yang telah dibaca. Bagi saya, itu pekerjaan mengagumkan, karena tidak hanya membutuhkan kemampuan, tapi juga kesabaran, ketekunan, dan kearifan.

Saya sangat menyukai tulisan-tulisan Goenawan Mohamad, khususnya yang ada di kolom Catatan Pinggir. Saya bahkan mengoleksi semua jilid kumpulan Catatan Pinggir, dan sering mengimpikan bisa menulis sebanyak dia.

Anda pernah terpikir untuk menulis seperti gaya Goenawan Mohamad?

Kalau terpikir tentu saja pernah. Cuma, saya tentu menyadari tidak mungkin menjadi duplikat Goenawan Mohamad—atau siapa pun. Jadi, saya pun berusaha menemukan gaya sendiri, yang lebih sesuai dengan pembaca saya. Lebih penting lagi, sesuai dengan karakter pribadi saya. Jadi, saya hanya terinspirasi oleh Goenawan Mohamad—tulisannya, produktivitasnya, kemampuannya dalam menulis—tapi saya tidak ingin meniru mentah-mentah gaya tulisannya.

Kembali ke blog Anda. Di blog, Anda tidak menyediakan kolom komentar untuk pembaca, sehingga para pengunjung atau pembaca blog tidak bisa menulis komentar apa pun. Apa yang melatari hal itu?

Seperti yang saya bilang tadi, blog ini adalah tempat menuangkan kegelisahan-kegelisahan yang ada di pikiran, yang berasal dari hal-hal yang saya lihat, dengar, rasakan. Artinya, semua yang saya tulis adalah hal-hal yang saya alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai pribadi. Karena saya yang mengalami, merasakan, dan memikirkan, maka tentu pengalaman itu menjadi sesuatu yang subjektif. Dengan kata lain, yang saya pikirkan bisa jadi jauh berbeda dengan yang dirasakan orang lain.

Jika saya membuka kolom komentar, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi konfrontasi yang tidak perlu dengan pembaca. Bisa jadi, saya berpikir A, sementara pembaca berpikir B. Pembaca yang bijak tentu bisa memaklumi perbedaan pemikiran semacam itu.

Tapi tidak menutup kemungkinan ada pula pembaca yang tidak cukup bijak, sehingga kurang mampu menoleransi perbedaan. Akibatnya, kolom komentar bisa berubah menjadi arena perang. Bisa antara pemilik blog dengan pembaca, bisa pula antara pembaca dengan pembaca. Banyak sekali kejadian semacam itu di dunia blog. Karena suatu tulisan tertentu, para pembaca berperang di kolom komentar.

Saya tidak menginginkan hal semacam itu terjadi. Ketika menulis di blog, saya hanya ingin menulis—menyampaikan yang saya rasakan, yang saya pikirkan, yang saya alami. Jika orang membacanya, dan setuju, silakan teruskan. Jika tidak setuju, ya tidak apa-apa, wong masih banyak blog lain yang bisa dibaca. Saya kan tidak pernah memaksa siapa pun untuk membaca blog saya. Wong umpama tidak ada satu orang pun yang membaca, saya akan tetap menulis.

Artinya, Anda sengaja tidak menyediakan kolom komentar untuk pembaca, karena tidak menginginkan interaksi?

Ya, karena interaksi di blog yang bersifat pemikiran bisa dibilang interaksi yang subjektif. Di blog, saya menuangkan pemikiran saya yang bisa jadi berbeda dengan pemikiran orang lain. Yang menjadi masalah, banyak orang di internet yang sangat reaktif. Ketika mendapati sesuatu yang dianggap berbeda, mereka langsung aktif bahkan agresif memuntahkan komentar. Mereka seperti tak peduli—atau tak menyadari—kalau komentarnya kadang sangat dangkal, dan hanya menyentuh permukaan.

Karena komentarnya reaktif, isinya pun belum tentu positif. Blak-blakan sajalah, sangat sedikit pembaca di internet yang mau berkomentar secara reflektif apalagi kontemplatif.

Tapi biasanya blog yang mendapat banyak komentar reaktif semacam itu malah yang ramai? Para pembaca biasanya saling bereaksi dan berinteraksi secara ramai di kolom komentar.

Kalau untuk itu, tampaknya kembali pada motivasi kita ngeblog. Ada memang yang justru suka blognya ramai oleh komentar-komentar pro dan kontra semacam itu. Bahkan banyak yang sengaja menulis topik-topik kontroversial, karena berharap para pembaca akan “berperang” di kolom komentar—antara yang sepakat dan yang menentang. Tidak masalah, karena itu kembali pada motivasi si empunya blog.

Dalam hal ini, motivasi saya ngeblog tidak untuk hal semacam itu. Saya tidak memburu keramaian atau popularitas. Saya ngeblog untuk menuangkan pikiran saya, pengalaman dan kegelisahan yang saya alami, dan membiarkan pembaca untuk mencerna serta mengendapkannya dalam pikiran masing-masing secara hening. Jadi, di blog, saya seolah berkata pada pembaca, “Hei, ini pikiran-pikiranku. Kalau kau setuju, silakan lanjut membaca. Kalau tidak setuju, tidak apa-apa.”

Anda juga punya blog Belajar Sampai Mati, dan di blog itu Anda membuka kolom komentar untuk pembaca. Bagaimana Anda menjelaskan hal itu?

Blog Belajar Sampai Mati jauh berbeda dengan blog pribadi saya, Mbak Nana. Di blog Belajar Sampai Mati, saya hanya menuliskan fakta, yang bersumber pada data-data yang saya baca dan pelajari. Topik-topik yang dibahas di blog Belajar Sampai Mati juga sangat luas—meliputi sejarah, astronomi, flora fauna, biologi, sampai tokoh-tokoh dunia. Tapi semua tulisan di blog Belajar Sampai Mati berdasarkan fakta berbasis data. Saya bahkan menuliskan daftar pustaka di blog itu, yang semuanya bisa ditelusuri para pembaca.

Artinya, jika ada pembaca yang tidak setuju dengan yang saya tulis di blog tersebut, dan ingin menyanggah atau menyangkal, maka dia harus menggunakan data yang dapat diverifikasi. Di blog Belajar Sampai Mati, orang tidak bisa seenaknya menulis komentar subjektif, karena blog itu dibangun di atas data. Kalau dia tidak setuju, dia harus menunjukkan datanya.

Nah, di blog Belajar Sampai Mati, saya memang sengaja membuka kolom komentar, karena saya pikir komentar di blog tersebut dibutuhkan. Bagaimana pun, saya manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan. Tidak menutup kemungkinan, saya mengalami kekeliruan tertentu dalam penyajian suatu artikel, dan ada pembaca yang cukup jeli menemukan kekeliruan saya, lalu dia menuliskan ralat di kolom komentar. Itu justru bagus—kita saling belajar tanpa merasa paling benar—dan karena itu saya membuka kolom komentar di blog tersebut.

Tidak pernah ada “perang” komentar di blog Belajar Sampai Mati?

Bisa dibilang tidak pernah, karena... ya itu tadi, semuanya berbasis data, sehingga penilaian atau pemikiran subjektif bisa diminimalisasi. Bahkan kalau pun terjadi perbedaan, tetap saja masing-masing pihak harus kembali pada fakta atau data yang bisa diverifikasi. Hal semacam itu kan sulit dilakukan pada blog pribadi yang isinya murni pemikiran. Namanya pemikiran, selalu ada kemungkinan berbeda orang per orang. Dan dalam urusan pemikiran, kita sulit melakukan verifikasi, karena sifatnya yang subjektif.

Sepertinya pembicaraan kita makin mengasyikkan. Tapi kita harus break sejenak, karena ada yang mau lewat.

Pemirsa Mata Najwa, jangan ke mana-mana, karena kita akan segera kembali setelah pesan-pesan berikut ini.


Lanjut ke sini: Wawancara Saya di Mata Najwa (2)

Kepada Mbuh

Hei, Mbuh.

Kaulah karibku.

Selasa, 10 November 2015

Superhero dan Mbakyunya

Sebenarnya, Aunt May tahu siapa Spiderman. 
Tapi dia pura-pura tak tahu. Dan siapakah yang tahu 
sosok sebenarnya Batman? Seorang mbakyu.
@noffret


Semua superhero memiliki mbakyu—kecuali Captain America. Bahkan Captain America pun sebenarnya punya mbakyu, tapi hubungan mereka sangat rumit, akibat perbedaan fisiologis. Karena kekuatan yang dimilikinya, Captain America tidak pernah tua. Fisiknya terus muda, meski usia biologisnya semakin tua. Kenyataan itu menimbulkan masalah. Sementara pasangannya menua dan fisiknya makin renta, Captain America tetap muda dan segar bugar. Jadi, semua superhero punya mbakyu—kecuali Captain America.

Coba lihat. Batman memiliki mbakyu bernama Rachel Dawes. Spiderman memiliki mbakyu bernama Mary Jane Watson. Superman memiliki mbakyu bernama Lois Lane. Iron Man memiliki mbakyu bernama Pepper Potts. Bahkan Hulk pun memiliki mbakyu bernama Elizabeth Ross.

Sudah melihat yang saya maksud? Lebih penting lagi, sudah melihat pola yang terjadi? Semua wanita yang menjadi pasangan superhero memiliki karakter sama—dewasa dan bijaksana, mendamaikan dan menenteramkan—sosok seorang mbakyu!

Semula, Spiderman sempat menjalin hubungan dengan Gwen Stacy, sebagaimana yang kita lihat dalam seri Amazing Spiderman. Mungkin Gwen perempuan istimewa, tapi bagaimana pun kita tidak bisa yakin dia seorang mbakyu. Bagaimana pun, Gwen masih terkesan kekanak-kanakan dan belum bisa dikatakan matang. Dan apa yang kemudian terjadi? Oh, well, takdir merenggutnya... agar Spiderman menemukan pasangan yang tepat, sosok seorang mbakyu sejati, yakni Mary Jane Watson.

Sekilas, kisah kematian Gwen Stacy mungkin terkesan kejam. Tapi kisah itu menunjukkan pola yang sama—yang terus terjadi pada kisah-kisah serupa—bahwa pasangan superhero harus benar-benar seorang mbakyu!

Kenapa pasangan superhero harus seorang mbakyu? Karena semua superhero adalah bocah!

Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa Bruce Wayne menjadi Batman? Sebagai lelaki, dia sosok sempurna—ganteng, pintar, kaya-raya, dunia ada di telapak tangannya. Jika Bruce Wayne mau, dia bisa menikmati hidup dengan mengasyikkan, ngebut di jalanan dengan mobil sport, main golf dengan sesama orang kaya, atau keluyuran di mal sambil ngecengin cewek-cewek. Lalu kawin. Lalu poligami. Lalu selingkuh. Oh, well.

Tapi tidak. Alih-alih menikmati kehidupan hedonis semacam itu, Bruce Wayne justru menjadi Batman, dan menghabiskan hidupnya untuk sesuatu yang bisa dibilang tidak enak—memerangi penjahat di Gotham, bertarung dengan para bajingan, demi memastikan warga kotanya aman dari kejahatan. Mengapa dia mau melakukan itu? Karena dia seorang bocah!

Atau coba lihat Peter Parker. Dia anak malang, ditinggal orangtuanya sejak kecil, dan hidup bersama paman-bibinya yang miskin. Saat pamannya meninggal, kehidupan Peter Parker bersama Aunt May sangat pas-pasan. Sementara itu, kita tahu, Peter Parker memiliki kekuatan dan kemampuan luar biasa, karena tergigit laba-laba. Jika Peter Parker bukan bocah, dia pasti akan memanfaatkan kekuatannya untuk hal-hal yang menguntungkan diri sendiri.

Kalau mau, sangat mudah bagi Peter Parker untuk menyamar atau menyembunyikan identitasnya, kemudian merampok bank atau semacamnya, dan kemungkinan besar dia tidak akan tertangkap atau ketahuan. Sebagai anak miskin, dia bisa saja berdalih, “Aku miskin, dan aku punya kekuatan. Apa salahnya kalau aku mengambil sedikit harta orang-orang kaya?”

Tapi apakah dia melakukan hal semacam itu? Tidak! Alih-alih menggunakan kekuatannya untuk tujuan menguntungkan diri, Peter Parker justru menjadi Spiderman, dan memanfaatkan karunia yang dimilikinya untuk membantu orang lain. Mengapa dia mau melakukan itu? Karena Peter Parker seorang bocah! Dia tidak berpikir dalam kerangka orang dewasa yang cenderung praktis dan pragmatis, tapi berpikir sebagai bocah.

Begitu pula para superhero lain—Iron Man, Superman, Captain America, Green Lantern, atau lainnya. Mereka menghadapi hidup yang memungkinkan untuk melakukan hal-hal menyenangkan bahkan menguntungkan dengan mudah, tapi tidak dilakukan. Bukan karena bodoh, tapi karena mereka memilih. Dan mereka memilih untuk menjadi bocah. Dengan pakaian besi. Dengan kostum. Atau dengan topeng dan jubah.

Jadi, para superhero adalah bocah. Dan pasangan para bocah adalah mbakyu. Karena itulah para superhero memiliki mbakyu.

Mengapa para superhero memiliki mbakyu? Point itulah yang ingin saya bicarakan.

Disadari atau tidak, kita hidup dalam kultur patriarkhi yang menempatkan pria sebagai pihak dominan, dan wanita di pihak yang tersubordinasi. Posisi itu tidak selamanya menguntungkan bagi pria dan merugikan bagi wanita. Dalam banyak kasus, bahkan dalam kehidupan kita, kultur patriarkhi semacam itu bisa berbalik menjadi senjata makan tuan.

Karena terbiasa hidup dalam kultur patriarkhi, pria sering memandang wanita sebagai makhluk kelas dua (lebih rendah), sementara wanita juga tanpa sadar sering menilai pria seolah makhluk super. Penilaian semacam itu akan sangat terasa ketika pria dan wanita menjalin hubungan, membangun keluarga dan berumah tangga. Padahal, masing-masing penilaian itu bukan hanya keliru, tapi juga dapat merusak hubungan di antara keduanya.  

Di radio, saya pernah mendengar iklan tolol yang menyuarakan seorang wanita berkata, “Lelaki kok lemah!” Di lain waktu, saya juga mendengar iklan tolol lain yang menyuarakan seorang pria berkata, “Ah, wanita tahu apa!”

Iklan-iklan tolol dengan kata-kata tolol semacam itu bisa muncul dalam ruang kehidupan kita... kenapa? Karena kita hidup dalam kultur patriarkhi! Yang wanita menilai pria terlalu tinggi, sementara yang pria menilai wanita terlalu rendah. Padahal penilaian atau persepsi itu bukan hanya salah... tapi sangat salah!

Sekarang, coba tebak. Secara biologis, lebih kuat manakah antara pria dan wanita? Oh, ini bukan tebak-tebakan konyol dengan jawaban yang sama konyol. Tapi jika kalian menjawab bahwa pria dan wanita lebih kuat pria, kalian salah! Secara biologis, wanita jauh lebih kuat dibanding pria. Kenyataan itulah yang menjadikan para pria lebih cepat mati, dan seiring dengan itu jumlah wanita di planet ini semakin mengungguli jumlah pria.

Selama ini, para aktivis poligami berdalih, bahwa poligami perlu dilakukan, karena jumlah wanita tiga kali lipat lebih banyak dibanding pria. Memang benar bahwa jumlah wanita tiga kali lipat dari pria—tapi bukan wanita muda! Dua pertiga wanita yang saat ini mendominasi jumlah mereka adalah para wanita tua yang telah ditinggal suaminya. Rata-rata suami meninggal lebih dulu, karena—secara biologis—pria memang lebih lemah dibanding wanita, sehingga mereka lebih cepat mati.

Jadi, sebenarnya, pria sama sekali tidak lebih kuat dibanding wanita. Tapi kultur patriarkhi mendoktrin sebaliknya! Kenyataannya, pria tidak sekuat yang dibayangkan rata-rata wanita, dan—sebaliknya—wanita juga tidak selemah yang dibayangkan rata-rata pria.

Oh, well, tentu saja ini bukan berarti wanita perlu jadi tukang becak, dan pria harus pintar memasak. Jangan salah paham. Ilustrasi di atas hanya untuk menunjukkan bahwa persepsi kita terhadap lawan jenis belum tentu benar, dan kenyataannya memang tidak benar. Karenanya, dalam hubungan antara pria dan wanita, kultur patriarkhi sebenarnya menyimpan masalah, karena kultur itu telah mendoktrin dengan cara salah.

Itulah sebabnya, saya sangat menggemari film-film superhero, karena film-film itu menyampaikan pelajaran terselubung mengenai hubungan ideal antara pria dan wanita. Bahwa sekuat dan sehebat apa pun seorang superhero, mereka tetap membutuhkan mbakyu. Karena kesadaran itu pula, para superhero tidak menilai wanita sebagai subordinasi. Sebaliknya, mereka memandang wanita pasangannya secara sejajar, kalau tidak lebih tinggi.

Dan bukankah seperti itu sebenarnya hubungan yang ideal? Dalam konteks superhero dan mbakyunya, kita melihat suatu hubungan yang tidak hanya saling membangun, tapi juga saling mengisi dan saling menyadari. Meski para wanita itu menjalin hubungan dengan para superhero, tapi mereka tetap memandang pasangan sebagaimana mestinya, tanpa penilaian berlebihan.

Pepper Potts menjalin hubungan dengan Tony Stark—genius kaya-raya, sosok superhero di balik baju besi Iron Man. Meski begitu, Pepper Potts tetap menyadari bahwa pria hebat itu tetaplah seorang bocah yang kadang suka seenaknya sendiri, dan Pepper Potts terus berusaha sabar serta bijaksana menghadapinya. Mengapa Pepper Potts mampu melakukan hal semacam itu? Karena dia menyadari posisinya dalam hubungan itu, bahwa dia seorang mbakyu!

Mary Jane Watson menjalin hubungan dengan Peter Parker—sosok cerdas dan introver yang bersembunyi di balik kostum Spiderman. Meski tahu pacarnya superhero, Mary Jane Watson menyadari bahwa Peter Parker tetap seorang bocah yang sering dilanda keraguan, kegalauan, dan Mary Jane Watson menempatkan dirinya untuk menguatkan. Mengapa Mary Jane Watson mampu memosisikan dirinya seperti itu? Karena dia seorang mbakyu!

Rachel Dawes menjalin hubungan dengan Bruce Wayne—miliuner cerdas yang merahasiakan identitasnya di balik jubah dan topeng Batman. Meski tahu bahwa lelaki yang dicintainya sosok hebat, bahkan superhero, Rachel Dawes tidak menilai Bruce Wayne secara berlebihan. Sebaliknya, dia sangat menyadari jati diri Bruce Wayne sebagai sosok bocah terluka, dan dia menghadapinya dengan bijaksana. Lagi-lagi, karena Rachel Dawes adalah mbakyu!

Dalam konteks hubungan pria dan wanita, hubungan semacam itulah sebenarnya yang ideal. Bahwa sekuat apa pun pria, dia tetap butuh penopang. Dan selemah apa pun wanita, dia bisa menjadi sandaran yang menenteramkan. Yang pria tidak menilai rendah wanita, dan yang wanita tidak menilai pria secara tidak semestinya.

Bruce Wayne adalah bocah terluka yang trauma akibat kematian orangtuanya, dan Rachel Dawes memberi kedamaian. Peter Parker adalah bocah introver yang sering dirundung keraguan, dan Mary Jane Watson memberi ketenteraman. Tony Stark adalah bocah yang senang bertingkah seenaknya, dan Pepper Potts tahu cara menghadapinya. Bahkan Bruce Banner alias Hulk yang sangat kuat pun sebenarnya bocah kesepian, dan Elizabeth Ross memberinya perasaan aman.

Jika para superhero memiliki kelemahan serta butuh penopang, apalagi para lelaki biasa di sekeliling kita?

Dan, well, sekarang kalian paham siapa sebenarnya yang saya maksud dengan Mbakyu, yang sering saya sebut setiap waktu. Mbakyu adalah wanita bijaksana yang tahu cara menghadapi bocah!

Lelaki Pencemburu

Seorang wanita bertanya, “Kamu termasuk lelaki pencemburu?”

“Sangat,” saya menjawab. “Aku sangat pencemburu.”

Dia tersenyum. “Wah, kalau aku jadi pacar atau gebetanmu, aku pasti akan sering menggodamu, biar cemburu.”

Saya membalas senyumnya. “Meski aku pencemburu, kamu tidak akan bisa memanfaatkan kelemahan itu. Karena kalau kamu mencoba membuatku cemburu, aku tidak akan mengejar-ngejarmu. Aku akan langsung meninggalkanmu.”

Step

Akhir-akhir ini aku sering menyenandungkan lagu “Step by Step”, meski aku cuma hafal “step by step”—itu saja. Begitu terus menerus. Karena aku bukan anggota NKOTB, tentu wajar kalau tak hafal lirik lagunya secara utuh. Tapi tidak penting. Yang penting aku bisa menyenandungkan “step by step”, meski aku juga tak yakin apakah senandungku benar.

Tetapi, sekali lagi, itu tak penting.

Yang penting hanyalah kenyataan bahwa aku selalu ingat Step—maksudku, ingat step by step. Ya, itulah yang penting. Karena hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah menyenandungkan “step by step”.

Sabtu, 07 November 2015

Alang-alang

Kuman bertanya pada gajah, “Apakah kau melihatku?” |
Gajah menjawab, “Ya, tapi aku pura-pura tak tahu.” |
Dan mataku tertawa.
@noffret


Dalam perjalanan karir saya sebagai bocah miskin, saya pernah bekerja sebagai penjaga titipan kendaraan di pelabuhan. Di kota saya ada pelabuhan, tempat kapal-kapal ikan berlabuh, menurunkan muatan, yang lalu dilelang oleh juru lelang pelabuhan. Biasanya, kapal-kapal berlabuh tengah malam, dan pelelangan dimulai sekitar jam tiga dini hari, lalu terus berlangsung sampai siang, tergantung banyak atau sedikit ikan yang masuk pelabuhan hari itu.

Jadi, sejak dini hari, pelabuhan sudah ramai, dan banyak orang datang ke sana—para pemilik kapal, para juragan ikan, para pengepul, sampai alang-alang. Alang-alang adalah sebutan untuk orang-orang (kebanyakan anak-anak lelaki belasan tahun) yang biasa berkeliaran di pelabuhan untuk memunguti ikan-ikan yang jatuh. Mereka biasanya membawa kantung plastik yang digunakan untuk mewadahi ikan.

Di pelabuhan, ikan-ikan biasa dikumpulkan dalam basket berukuran besar. Selama diangkut, atau dipindah-pindah, beberapa ikan sering terjatuh dari basket. Ikan-ikan yang jatuh itu dianggap boleh diambil, dan ada cukup banyak orang yang datang ke pelabuhan untuk mengambil ikan-ikan jatuh tersebut. Merekalah yang disebut alang-alang. Biasanya, setelah mengumpulkan cukup ikan, mereka menjualnya kepada para pengepul.

Meski keberadaan alang-alang di pelabuhan bisa dibilang hal biasa—karena telah ada sejak zaman dahulu kala—tetapi kadang ada juga “razia” yang menyasar mereka. Tidak jarang, ada petugas yang memburu mereka, dan bocah-bocah lelaki yang menjadi alang-alang itu pun lari kocar-kacir.

Nah, karena ada banyak orang yang datang ke pelabuhan, berbagai kendaraan pun ada di sana—dari truk muatan, pick up, hingga sepeda motor dan sepeda. Untuk sepeda dan sepeda motor, disediakan ruang tersendiri yang cukup luas, dan di sanalah saya bekerja. Setiap hari, saya berangkat ke pelabuhan habis subuh, dan biasanya baru pulang sekitar jam dua atau tiga siang—tergantung selesainya lelang di pelabuhan.

Jadi, bertahun-tahun lalu, setiap habis subuh, saat langit masih gelap, saya mengayuh sepeda dari rumah ke pelabuhan. Jaraknya cukup jauh, kira-kira 1,5 jam perjalanan. Sesampai di pelabuhan, saya masuk ke pos jaga untuk mengambil bundel tiket parkir, lalu menuju ke tempat sepeda dan sepeda motor. Di sana, ratusan sepeda dan sepeda motor tumplek-blek dalam formasi kacau tak karuan, ditinggalkan pemiliknya sejak dini hari, saat mereka akan mengikuti lelang ikan.

Tugas pertama saya adalah merapikan ratusan sepeda dan sepeda motor itu, hingga berjajar dan berbaris rapi, agar lebih mudah saat diambil. Meski mungkin terdengar remeh, dibutuhkan kesabaran setingkat nabi untuk melakukan tugas itu. Tidak sedikit sepeda motor dikunci setang, tapi diparkir seenaknya. Untuk merapikan, tidak hanya dibutuhkan kesabaran, tapi juga ketelitian. Bagaimana pun, saya harus menjaga motor-motor itu tidak lecet atau terluka selama dipindah-pindah.

Setelah bekerja keras merapikan semua kendaraan di sana, saya pun duduk dengan tenang, dengan perasaan puas menyaksikan hasil kerja saya yang menakjubkan. Oh, well, tidak banyak bocah belasan tahun yang mampu melakukan pekerjaan “prestisius” semacam itu. Jadi, saya pun duduk di sana dengan tenang, menyaksikan ratusan sepeda dan sepeda motor yang kini berjajar rapi dan teratur, lalu menyulut rokok. Rasanya nikmat sekali.

Sekitar jam tujuh atau delapan pagi, biasanya ada penjual sarapan yang datang—seorang ibu muda dengan bakul di pundaknya—dan saya membeli beberapa jajan serta teh dalam plastik. Kemudian, selama setengah hari, saya duduk tenang di sana, menjaga semua kendaraan, dan menunggu satu per satu orang datang mengambil sepeda atau sepeda motor miliknya. Saya bekerja di tempat itu hingga sekitar satu tahun.

Selama bekerja di sana, ada banyak kisah dan orang yang saya temui. Salah satu yang cukup unik untuk diceritakan adalah seorang lelaki—usianya sekitar 30 tahun—yang sering ada di sana. Saya tidak tahu apa pekerjaan atau kegiatannya, tapi yang jelas dia sering ada di pelabuhan. Saat senggang, dia senang menemani saya di tempat itu, dan kami pun mengobrol. Obrolan kami sering tidak nyambung—dia berbicara seperti orang mabuk. Meski begitu, saya senang-senang saja. Saya tidak pernah tahu siapa namanya, tapi mari sebut saja dia John Doe.

Suatu hari, John Doe melakukan sesuatu yang sangat mencengangkan.

Karena di tempat itu banyak ikan, kucing-kucing pun banyak berkeliaran, dari yang besar, sampai yang sedang, sampai yang kecil. Selain kucing, di sana juga banyak sarung tangan bekas. Sarung-sarung tangan itu terbuat dari wol, dan biasa digunakan para pengangkut ikan dini hari untuk menjaga tangannya tidak kedinginan. Setelah tidak layak pakai, biasanya sarung-sarung tangan itu dibuang.

Nah, John Doe mengambil sarung tangan itu, dan menggunakannya untuk menutupi kepala seekor kucing. Semula saya tidak tahu apa yang terjadi, saat mendapatinya datang ke tempat saya, sambil tertawa-tawa sendiri seperti orang gila. Waktu saya tanya ada apa, dia menunjuk sesuatu yang membuat saya tercengang.

Tidak jauh di depan saya, seekor kucing berukuran sedang tampak berusaha melepaskan sarung tangan yang memerangkap kepalanya. Tingkah kucing itu memang terlihat lucu—karena dia tidak juga mampu melepaskan sarung tangan di kepalanya—hingga wajar kalau John Doe tertawa-tawa melihat “kreativitas” yang dilakukannya. Saya juga sempat tertawa melihat itu, sampai kemudian menyadari sesuatu yang sangat berbahaya.

Di tempat itu banyak truk dan pick up berlalu-lalang, mengangkuti ikan-ikan untuk dibawa ke luar pelabuhan. Kucing itu pasti tidak menyadari datangnya bahaya, karena kepalanya tertutup sarung tangan. Dan jika sopir truk atau pick up tidak memperhatikan, bisa saja kucing itu terlindas. Baru saja terpikir hal itu, kenyataan mengerikan itu benar-benar terjadi.

Sebuah truk muatan datang, dan kucing malang itu terlindas ban truk. Si kucing tidak melihat datangnya truk, karena kepalanya tertutup, dan mungkin sopir truk juga tidak memperhatikan keberadaan kucing itu. Hasilnya bisa ditebak—tubuh kucing itu langsung remuk.

John Doe ada di samping saya saat peristiwa itu terjadi. Apakah dia kaget? Menyesal? Tidak. Sebaliknya, dia makin keras tertawa sampai guling-guling menyaksikan terlindasnya kucing itu. Tawa dan ekspresi guling-gulingnya begitu dramatis, hingga saya ikut tertawa—suatu perasaan “tertular” tawa seseorang yang mau tak mau membuat kita ikut tertawa. Tampaknya, John Doe sangat puas melihat hasil pekerjaannya.

Jadi, siang itu, bersama John Doe yang tertawa guling-guling karena melihat seekor kucing terlindas truk, saya ikut tertawa. Bukan menertawakan nasib naas si kucing, tapi karena menyaksikan tawa John Doe.

Sejak hari itu, setiap kali melihat saya, John Doe tertawa. Mungkin karena keberadaan saya mengingatkan kucing yang terlindas truk tempo hari. Dan setiap kali melihat John Doe tertawa, saya ikut tertawa, karena tertular oleh gaya tawanya.

Bertahun-tahun kemudian, saat kembali teringat kisah itu, saya kadang berpikir, apakah John Doe pernah menyesali perbuatannya? Apakah dia menyadari bahwa “kreativitas” yang dilakukannya telah menghilangkan nyawa sesosok makhluk—seekor kucing?

Saya tidak tahu. Selama waktu-waktu bersamanya, saya tidak pernah menanyakan hal itu kepadanya, karena obrolan kami juga sering tidak nyambung.

Beberapa hari setelah peristiwa kucing terlindas truk itu, saya mendapati kisah lain. Seorang bocah lelaki datang ke tempat saya, untuk mengambil sepeda miliknya. Saya sudah mengenal wajahnya, karena setiap hari selalu bertemu. Dia bocah alang-alang di pelabuhan itu, dan biasa datang ke pelabuhan seusai subuh untuk memunguti ikan-ikan yang jatuh, menjualnya ke pengepul, lalu pulang saat mentari sedang panas-panasnya.

Siang itu, dia datang ke tempat saya dengan muka bingung. Dengan bingung pula dia berkata, “Bang, maaf, saya tidak punya uang untuk bayar titipan sepeda saya. Hari ini tidak ada ikan.”

Itu pertama kali dia menyatakan tidak bisa membayar titipan sepeda. Dari ekspresinya, saya tahu dia jujur, dan kenyataannya memang hari itu cuma sedikit kapal yang berlabuh. Saya pun bilang kepadanya tidak masalah, dan dia boleh mengambil sepedanya.

Karena peristiwa hari itu, kami pun jadi akrab. Kalau biasanya dia hanya datang untuk mengambil sepeda, sejak itu dia sering duduk-duduk di tempat saya, dan mengobrol sejenak.

Waktu itu usia saya 17 tahun, dan bocah itu mungkin 11 tahun. Dari percakapan dengannya, saya tahu dia putus sekolah karena tidak ada biaya. Ayahnya bekerja sebagai penjual barang bekas, dan ibunya menjadi pembantu rumah tangga. Dia punya dua adik. Setiap hari, dia datang ke pelabuhan menjadi alang-alang, untuk membantu orangtua. Hasilnya tidak banyak, tentu saja. Tetapi, seperti yang dikatakannya, “Saya senang kalau pas dapat banyak ikan.”

Dari mengobrol dengannya, saya pun banyak tahu kehidupan anak-anak yang menjadi alang-alang di pelabuhan.

Sebagai alang-alang, yang paling ditakutinya adalah saat ada razia. Kadang-kadang, muncul beberapa petugas yang merazia alang-alang di sana, dan bocah itu—beserta alang-alang lain—akan berlarian dengan panik. Kadang ada petugas yang kasar, mereka menempeleng alang-alang yang tertangkap. Tetapi, sebagaimana alang-alang yang tetap tumbuh meski terus dipangkas, alang-alang di pelabuhan juga tidak pernah hilang, meski razia rutin dilakukan.

Selama setahun di sana, saya menyaksikan alang-alang selalu ada di pelabuhan, apalagi saat banyak kapal ikan yang berlabuh. Mereka bocah-bocah kecil yang berharap rezeki kecil, tapi berhadapan dengan risiko yang tak kecil. Suatu hari, saat kami mengobrol ketika dia akan mengambil sepeda seperti biasa, bocah alang-alang itu berkata, “Apa saya harus begini terus ya, Bang?”

Pertanyaan itu mengingatkan saya pada kucing yang terlindas truk, karena kepalanya tertutup sarung tangan. Mungkin bocah itu tidak harus begitu terus, karena saya lihat kepalanya tidak tertutup apa pun.

Tapi saya tidak mengatakan apa pun kepadanya, waktu itu. Karena, bagaimana pun, dia tidak melihat kucing yang terlindas truk.

Analisis Epistemologis Teori Fragmentasi dan Kategorisasi Revisionisme Dalam Perspektif Elementer Versi Chauvinistik yang Terstandarisasi Humanisme Dalam Tanda Kutip

Iki aku nulis opo...???

Tuhan Dalam Sunyi

Yang paling bising bersuara, yang paling tak bisa mendengar apa-apa.
—Twitter, 23 Mei 2015

Mungkin dunia akan jauh lebih tenang jika tidak ada mic, TOA, atau
semacamnya, dan manusia bisa menjalani hidup tanpa banyak bising suara.
—Twitter, 10 Maret 2015

Aku tidak tahu seperti apa wujud surga.
Tapi aku sering berpikir, di sana tidak ada TOA.
—Twitter, 21 Juni 2015

Kehidupan manusia-manusia gua di zaman purba
pasti sangat tenang dan damai, karena belum ada TOA.
—Twitter, 29 Juni 2015

Orang-orang meributkan asap dan polusi udara, tapi lupa ada polusi lain
yang tak kalah mengerikan—TOA dan polusi suara.
—Twitter, 1 Juli 2015

Sebagian orang mungkin perlu diberitahu, tingginya peradaban manusia
tidak berbanding lurus dengan kerasnya TOA yang disuarakannya.
—Twitter, 1 Juli 2015

TOA adalah penemuan yang mengubah manusia modern kembali
bermental purba. TOA membuat orang jatuh hati pada suaranya sendiri.
—Twitter, 1 Juli 2015

Di sana TOA di sini TOA. Di tengah-tengah ada kebingungan umat manusia.
—Twitter, 1 Juli 2015

Orang yang mengaku beribadah tapi mengeraskan suara, sebenarnya
sedang menghina Tuhannya, seolah Tuhan tuli hingga harus diteriaki TOA.
—Twitter, 1 Juli 2015

Satu TOA mati, TOA lainnya bersuara. Manusia makin takut kesunyian,
hingga ingin terus menyetubuhi bising, dan tenggelam dalam kebisingan.
—Twitter, 15 Juli 2015

Yang begitu semangat beribadah lewat TOA, sebenarnya demi kepatuhan
kepada Tuhan, ataukah karena ingin pamer ibadah pada sesama manusia?
—Twitter, 15 Juli 2015

Di zaman ini, TOA telah berubah fungsi, dari sekadar pengeras suara,
menjadi sarana pamer ibadah. Orang merasa belum ibadah jika tanpa TOA.
—Twitter, 15 Juli 2015

Kelak, di akhirat, aku akan menggugat orang-orang yang suka mengeraskan
suara lewat TOA, karena mereka mengusik heningku, merusak ibadahku.
—Twitter, 15 Juli 2015

Kita hidup di zaman ketika manusia beribadah hanya lewat kerasnya suara,
dan Tuhan berubah menjadi berhala yang menjelma sesosok TOA.
—Twitter, 15 Juli 2015

Aku hanya percaya pada Tuhan yang ditemui dalam sunyi.
—Twitter, 15 Juli 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Yola Menyemir Rambut

Terbahak di masa lalu, ketika belum menyemir rambut, Yola masih suka tertawa. Bahkan ketika seharusnya dia tidak tertawa. Untuk suatu pertanyaan dan pernyataan, Yola tertawa. Terbahak. Di masa lalu. Bertahun kemudian, dia mendorong sesuatu untuk pergi, dan menghidupkan sesuatu di tanah kosong yang tak terlalu jauh. Di atas semuanya, dia menyemir rambut. Dan mungkin berpikir dia masih hidup di masa lalu ketika dia masih suka tertawa. Terbahak.

Seseorang mengatakan bahwa Yola telah menjadi pendekar. Atau semacam itu. Tapi mungkin sejak lama Yola telah merasa dirinya pendekar. Ketika dia pergi ke hutan belantara, di mana-mana, dan tertawa. Terbahak. Kini Yola menyemir rambut. Dan tawanya, bahaknya, tidak lagi seperti dulu.

Minggu, 01 November 2015

Bertarung Melawan Takdir (2)

Post ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Wafatnya ibu angkat Larry Ellison mengharuskannya keluar dari kuliah, karena kini tidak ada lagi yang bisa membiayainya. Jadi, dengan terpaksa, Larry Ellison pun drop out dari kampus, lalu mulai bekerja serabutan. Ia masih tinggal bersama ayah angkatnya, dan berdua mereka bekerja seadanya demi bertahan meneruskan hidup.

“Takdir memang kejam, Nak,” ujar ayah angkat Larry Ellison setiap kali.

Larry Ellison nyaris bosan mendengar ucapan itu. Ayah angkatnya selalu dan selalu menyatakan bahwa semua ini terjadi karena takdir. Dulu, ayah angkat Larry Ellison adalah pialang real estate yang sukses. Sampai kemudian dia mengalami kerugian, dan bisnisnya hancur. Dia tidak mencoba bangkit lagi, karena berpikir bahwa itu sudah kehendak takdir. “Percuma melawan kehendak takdir,” ujarnya berkali-kali.

Tetapi, diam-diam, Larry Ellison punya pikiran berbeda. Jika dia harus berhadapan dengan takdir, pikirnya, maka dia tidak sudi mengalah. Jika takdir menghendakinya bermain keras, dia akan bermain jauh lebih keras. Dia telah menyaksikan ayah angkatnya dikalahkan oleh takdir, dan dia tak sudi menghadapi kekalahan yang sama. Kesadaran itu pula yang kemudian membangkitkan motivasi di dalam diri Larry Ellison untuk terus bertahan.

Jadi, setelah tidak lagi kuliah, Larry Ellison bekerja apa saja—untuk menyambung hidup, juga berusaha menabung. Dia masih menyimpan keinginan untuk kuliah, dan sekarang dia harus mengumpulkan uang agar bisa mendaftar kuliah. Setelah cukup lama bekerja serabutan dan menabung, akhirnya Larry Ellison cukup punya uang yang dapat digunakan untuk mendaftar di Universitas Chicago. Impiannya berhasil, dia kembali duduk di bangku kuliah. Untuk menyambung biaya kuliah, pikirnya, dia akan bekerja apa saja.

Tapi ternyata kenyataan tak semudah harapan, karena lagi-lagi takdir menghantamnya dengan keras. Baru satu semester Larry Ellison kuliah, dia kehabisan uang. Tabungannya habis, sementara pekerjaan tiba-tiba sulit didapatkan. Mati-matian Larry Ellison mencoba bertahan, tapi akhirnya dia harus drop out sekali lagi karena tidak ada biaya untuk membayar semesteran.

“Apa kubilang, Nak, takdir memang kejam,” ujar ayah angkatnya. Kemudian, karena berharap membesarkan hati Larry Ellison, dia menyatakan, “Sebaiknya berpikirlah realistis, tidak usah muluk-muluk. Bekerja sajalah apa adanya, tidak usah berpikir ingin kuliah dan segala macam. Kita sudah beruntung bisa bertahan hidup sejauh ini. Simpan saja impian mulukmu, karena itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang lebih beruntung.”

Larry Ellison diam, tapi tidak mempedulikan ucapan ayah angkatnya. Dia telah bertekad melawan takdir, sampai titik darah penghabisan, dan dia tidak akan dapat dihentikan. Tidak oleh ayah angkatnya, tidak oleh masyarakatnya, tidak oleh dunia, bahkan tidak oleh takdir sekali pun.

Jadi, Larry Ellison kembali bekerja serabutan untuk bisa makan, juga untuk menabung. Dia tahu, bahwa akar kemiskinan adalah kebodohan, dan akar kebodohan adalah kemiskinan. Itu seperti lingkaran setan, pikirnya. Bagaimana pun, dia harus keluar dari lingkaran terkutuk itu, agar terbebas dari kebodohan, dari kemiskinan, agar bisa membangun hidup lebih baik. Untuk tujuan itu, dia harus belajar agar dapat keluar dari kebodohan dan kemiskinan.

Karena menyadari bahwa kuliah di universitas membutuhkan biaya besar, dia pun terpikir untuk kursus saja. Waktu itu, dia mendapat pekerjaan sebagai pelayan toko. Dengan melakukan penghematan di sana-sini, dia bisa menabung. Saat tabungannya mencukupi, dia mendaftar ke sebuah tempat kursus komputer. Sejak itu, pagi sampai sore dia bekerja sebagai pelayan toko, dan malamnya belajar komputer di tempat kursus.

Larry Ellison berhasil lulus dari kursusnya. Berbekal ijazah kursus, dia kemudian pergi ke Berkeley, California, dengan harapan mendapat penghidupan yang lebih baik. Di Berkeley, dia mendatangi kantor demi kantor perusahaan, mencari kerja dengan menawarkan ijazah kursusnya, tapi tidak ada satu kantor pun menerima. Bahkan, selama berkeliling ke sana kemari, uang sakunya habis, hingga sempat kebingungan bagaimana dia harus membeli makan.

Di tengah keputusasaan itu, lamaran Larry Ellison diterima di sebuah perusahaan investasi, bernama Fireman’s Fund. Ia pun bekerja di sana sebagai teknisi komputer. Di sana dia bekerja cukup lama, menangani segala masalah perangkat keras dan perangkat lunak, dan diam-diam pekerjaan itu menambah pengetahuannya seputar komputer. Tapi nasib baik tidak bertahan lama. Takdir kembali menghantam. Larry Ellison dipecat dengan alasan tenaganya tidak lagi dibutuhkan.

Berbekal ijazah kursus dan pengalaman, Larry Ellison kemudian melamar kerja di Bank Wells Fargo. Dia diterima sebagai teknisi komputer, dan sekali lagi dapat menunjukkan kinerja yang baik. Tetapi, bagaimana pun, dia hanya teknisi. Di bank yang mewah itu, orang-orang tampak hebat dengan penampilan hebat, sementara dirinya hanyalah bocah pendiam dan pemurung, yang bekerja sebagai teknisi. Kenyataannya, orang-orang di sana sering meremehkan Larry Ellison, dan lama-lama Larry Ellison tidak tahan dengan kenyataan itu.

Maka dia pun keluar dari sana, dan pindah kerja lagi ke perusahaan komputer bernama Ampex Corporation. Kali ini, dia bekerja sebagai programmer. Di Ampex, Larry Ellison menemukan suasana kerja yang menyenangkan. Dia memiliki atasan yang baik, dan teman-teman kerja yang bisa memahami dirinya. Dia masih pendiam dan pemurung seperti dulu, seperti biasa. Tapi programmer komputer diizinkan untuk menjadi pendiam dan pemurung.

Di Ampex pulalah, Larry Ellison menemukan paper karya Edgar F. Codd, seorang programmer di perusahaan IBM. Paper itu berjudul “A Relational Model of Data for Large Shared Data Banks”, yang mempresentasikan teori database relasional untuk mengolah data berskala besar. Tampaknya, Edgar F. Codd menulis paper itu untuk IBM, tapi atasannya di sana tidak memahami maksud isi paper itu. Entah bagaimana caranya, paper itu kemudian sampai di Ampex, dan lagi-lagi tidak ada orang yang bisa memahami isinya.

Sekarang, paper itu sampai di tangan Larry Ellison. Sebagai bocah cerdas, Larry Ellison tahu yang dimaksud Edgar F. Codd dalam paper tersebut, dan dia bahkan tahu cara mengaplikasikannya.

“Konsep ini hebat jika dikembangkan,” pikir Larry Ellison setelah membaca paper tersebut. Dalam paper itu, Edgar F. Codd telah menunjukkan pemikiran yang jauh melampaui masa depan, dan orang-orang di sekelilingnya tidak bisa memahami. Tapi Larry Ellison memahami. Dan dia mulai mengembangkan kerangka teori yang ditulis Edgar F. Codd.

Menggunakan posisinya di Ampex, Larry Ellison kemudian mengimplementasikan ide yang dirumuskan Edgar F. Codd. Konsep itu di kemudian hari dikenal sebagai SQL (Structured Query Language), sebuah program databese canggih yang waktu itu belum dikenal siapa pun. Larry Ellison menamai program buatannya sebagai “Oracle”.

Melihat pekerjaan Larry Ellison dalam membangun sistem canggih itu, atasannya di Ampex terkagum-kagum. Robert Miner, bos di Ampex, memuji Larry Ellison, dan berniat mempromosikannya sebagai kepala programmer di perusahaan. Tapi Larry Ellison tak tertarik. Dia ingin setara dengan pemilik Ampex—bukan lagi sebagai karyawan, tapi sebagai rekanan bisnis.

Akhirnya, Larry Ellison, Robert Miner (bos Ampex), dan Ed Oates (teman karib Larry Ellison) bersatu untuk mendirikan perusahaan sendiri, yang dinamai Software Development Labs. Mereka mengumpulkan modal sebesar 2.000 dollar. Larry Ellison menyetor 1.200 dollar, sementara sisanya dibagi antara Robert Miner dan Ed Oates. Perusahaan itu sempat berganti nama menjadi Relational Software Incorporation, lalu berganti nama lagi menjadi Oracle. Setelah itu... sejarah besar dimulai.

Langkah pertama yang harus dilakukan Larry Ellison dan dua rekannya adalah mencari klien. Kebetulan, waktu itu, CIA (Central Intelligence Agency—Dinas Intelijen Amerika Serikat) sedang membuka tender untuk menyusun database raksasa milik mereka. Larry Ellison mendaftarkan perusahaannya, Oracle, dan berhasil memenangkan tender. Oracle kemudian berhasil pula memenuhi kontrak dengan CIA, yang menyatakan puas dengan hasil kerja Larry Ellison.

Kabar itu pun seketika menyebar dengan cepat. Jika CIA yang terkenal detail dan rewel bisa puas dengan hasil kerja sebuah perusahaan, maka itu artinya jalan bagi Larry Ellison terbentang lebar. Sejak itu, Larry Ellison—melalui Oracle—menangani klien-klien besar lain, termasuk Wright Patterson Air Force Base, hingga perusahaan raksasa IBM. Setelah itu, Oracle mulai mengembangkan sayap, dan terus terbang.

Memasuki pertengahan 1990-an, Oracle juga mulai membuat produk-produk non-database server, seperti application server (web DB, OAS), development tool (Oracle Developer, Oracle Designer), dan application suite (Oracle Apps). Seiring dengan itu, Oracle pelan-pelan menjadi perusahaan perangkat lunak raksasa.

Kini, Larry Ellison telah terkenal sebagai salah satu tokoh penting di bidang komputer, sementara Oracle menjadi perusahaan perangkat lunak terbesar kedua setelah Microsoft. Berdasarkan desas-desus di Silicon Valley, di dunia ini hanya ada satu orang yang ditakuti Bill Gates, yaitu Larry Ellison. Selangkah lagi Larry Ellison maju, maka Oracle akan menumbangkan dominasi Microsoft yang saat ini masih menjadi nomor satu.

“Takdir memang kejam, Nak.” Larry Ellison masih mengingat kata-kata ayah angkatnya. Tetapi sekarang dia tahu, bahwa takdir hanya kejam kepada siapa pun yang tak berani berjuang. Sepanjang hidup, Larry Ellison telah mati-matian berjuang dan bertarung melawan takdir, dan sekarang dia menjadi pemenang. Takdir pernah mengejeknya, mengecewakannya, menghantamnya, melukainya, dan berupaya mengalahkannya. Tapi Larry Ellison terus melawan... terus melawan... terus melawan.

Saat dilahirkan, dia lahir tanpa ayah, hingga sering diejek anak haram. Saat berusia 9 bulan, dia menderita penyakit parah. Saat berangkat remaja, dia tahu kenyataan dirinya hanya anak pungut. Saat sedang senang karena baru kuliah, ibu angkat yang sangat dikasihinya meninggal dunia, hingga dia harus drop out. Saat mencoba kuliah lagi, dia harus drop out lagi karena kehabisan biaya. Dan sepanjang kehidupan yang pahit itu, ayah angkatnya terus menerus mengingatkan bahwa takdir memang kejam... takdir memang kejam.

Oh, well, takdir memang kejam, pikir Larry Ellison. Tapi sekarang dia berhasil mengalahkannya. Kini, Larry Ellison tinggal di rumah super mewah di Woodside, California, selain memiliki tempat berlibur di Cabron Beach, Malibu. Karena menyukai golf, dia pun membeli sebuah klub elit golf di Rancho Mirage. Majalah TIME memasukkannya dalam daftar 10 besar orang terkaya di dunia, karena bocah itu memiliki kekayaan senilai 54,3 miliar dollar.

Larry Ellison masih sama seperti dulu—pendiam, pemurung. Tapi sekarang senyum juga sering menghias wajahnya. Mungkin, sekali waktu, dia tersenyum sendiri... menertawakan takdir.

 
;