“Selebriti,” katanya, “adalah orang yang mati-matian ingin terkenal,
lalu ke mana-mana memakai kacamata hitam demi tidak dikenali.”
—@noffret
lalu ke mana-mana memakai kacamata hitam demi tidak dikenali.”
—@noffret
Suatu siang, di Bandung, Ariel sedang istirahat sendirian di ruang tamu rumahnya yang sepi. Seorang pengamen mampir ke depan rumahnya, dan menyanyikan lagu “Mimpi yang Sempurna” dengan genjrengan gitar.
Waktu itu, group band Peterpan baru mengeluarkan album pertama, setelah mereka sukses merilis single “Sahabat”. Waktu itu pula, nama band Peterpan sudah mulai terkenal, tapi para personilnya belum dikenal banyak orang. Meski orang-orang telah mulai familier dengan lagu-lagu Peterpan, tapi belum banyak yang hafal wajah vokalisnya. Termasuk pengamen yang datang ke rumah Ariel siang itu.
Sambil menahan senyum, Ariel keluar rumah, dan menyerahkan uang kepada si pengamen. Si pengamen menerima uang itu, mengangguk, dan berkata, “Nuhun, Sep.” Lalu beranjak pergi meninggalkan Ariel yang senyum-senyum sendiri. Pengamen itu sama sekali tidak menyadari bahwa lagu yang dinyanyikannya adalah ciptaan orang yang barusan memberikan uang kepadanya.
Bertahun-tahun kemudian, saat mengenang peristiwa itu, Ariel menyatakan, “Aku mencintai masa-masa itu, ketika belum banyak orang yang mengenalku.”
Sekarang, dia tidak lagi memiliki “kemewahan” semacam itu, karena bisa dibilang seluruh Indonesia mengenalnya. Dia tidak lagi memiliki kebebasan seperti yang semula dimilikinya, hingga tidak bisa bebas keluyuran atau jalan-jalan tanpa gangguan. Bahkan, ketika Sophia Latjuba mengajaknya ke swalayan, Ariel harus ditemani satpam swalayan yang mengawal.
....
....
Mungkin, karena tidak menyadari dampak yang akan terjadi bila terkenal, banyak orang yang mati-matian ingin terkenal. Yang ada dalam pikiran mereka, rata-rata, menjadi terkenal akan memungkinkan mereka masuk koran, muncul di televisi, nongol di majalah, diberitakan di mana-mana, dipuja dan dibicarakan banyak orang, lalu kaya-raya, dan dunia ada di telapak tangan.
Mungkin memang begitu. Tetapi... tidak hanya itu. Popularitas atau keterkenalan juga akan memunculkan beban, kerangkeng yang membatasi kebebasan.
Dua tahun lalu, saya masuk ke sebuah warung makan sederhana. Dengan santai, saya melenggang sendirian, lalu menuju ke tempat yang kosong. Hanya ada satu orang di sana. Saat akan duduk, saya baru menyadari bahwa lelaki yang duduk sendirian itu seseorang yang saya kenal. Semula, dia tampak memalingkan wajah, hingga saya tidak langsung mengenali. Tapi begitu saya duduk di depannya, mau tak mau dia menghadapkan muka ke arah saya.
Jadi, sebagaimana kepada orang lain yang saya kenal, saya pun menyapanya. Dan dia menyahut sapaan dengan kaku. Kemudian, tanpa saya minta, dia menjelaskan bahwa dia masuk warung itu karena sangat menyukai masakan yang ada di sana, bahwa sejak dulu dia sering makan di warung itu, dan lain-lain, dan sebagainya. Intinya, dia tampak merasa bersalah, hanya karena saya memergokinya ada di warung tersebut.
Sesaat, saya sempat kebingungan dengan penjelasannya yang bertubi-tubi. Dari ekspresi wajahnya, saya bisa memahami dia merasa bersalah. Tapi merasa bersalah untuk apa? Waktu itu kami ada di warung makan yang menyediakan makanan dan minuman halal, dan kami tentu sama-sama makan di sana dengan membayar. Kenapa dia harus merasa bersalah, hanya karena kami bertemu di warung itu?
Setelah kami bercakap beberapa saat, pelan-pelan saya mulai menyadari ketololan saya. Dia merasa bersalah karena ketemu saya di warung itu, bukan karena apa pun... tapi karena dia orang terkenal!
Karena sudah mengenalnya cukup lama, saya kadang lupa kalau dia sangat terkenal. Bocah itu biasa muncul di mana-mana, diberitakan di banyak media dengan segala macam aktivitasnya. Dan karena keterkenalannya pula, dia jadi merasa bersalah hanya karena ketemu saya di warung makan sederhana. Bisakah kalian memahami yang saya maksudkan?
Dulu, sebelum terkenal, dia bisa masuk warung mana pun dengan bebas, dan orang tidak terlalu menghiraukan. Tapi ketika telah terkenal, dia harus jaga image—berusaha menyesuaikan diri dengan keterkenalannya—termasuk dalam hal makan di tempat yang tepat. “Sialnya”, dia sangat menyukai masakan di warung sederhana itu, jadi terpaksa datang ke sana, dan berpakaian sederhana, mungkin dengan maksud menyamarkan identitas. Mungkin dia berharap tidak ada orang yang mengenali. Sial baginya, siang itu saya kebetulan memergoki.
Padahal, bagi saya pribadi, sama sekali bukan masalah kalau dia mau makan di tempat mana pun. Wong umpama saya kebetulan memergokinya makan di angkringan, ya tidak masalah, saya tidak akan meributkannya. Tapi sebagai orang terkenal, dia terlalu “sadar diri”. Karena terlalu sadar diri itu pulalah yang mungkin menjadikannya merasa perlu memberi penjelasan macam-macam kepada saya, tentang kenapa dia sampai masuk warung itu.
Malang sekali nasib orang terkenal, pikir saya saat dia telah pergi. Hanya untuk makan di warung favorit saja, harus susah payah menyamarkan identitas demi tidak dikenali. Siang itu, sambil merokok sendirian seusai makan, tiba-tiba saya merasa hebat karena tidak terkenal. Oh, well, saya bisa masuk warung mana pun, bisa makan di mana pun, tanpa khawatir dikenali orang lain. Karena kenyataannya memang tidak ada yang mengenal saya!
Dulu, ketika penyair WS. Rendra masih hidup, Iwan Fals pernah berkata pada Rendra, “Aku ingin sekali bisa sepertimu. Orang-orang mengenal namamu, tapi kau bisa keluyuran ke mana-mana tanpa terganggu.”
Sebagai “bocah urakan”, Rendra suka keluyuran ke mana-mana, menikmati hidup dengan bebas, meski namanya sangat terkenal. Dia memiliki jenis popularitas yang unik—sebentuk popularitas yang tidak membelenggu kebebasan. Meski jutaan orang mengenal namanya, tapi Rendra bisa ke mana-mana tanpa beban, tanpa terganggu atau terusik apa pun.
Iwan Fals tidak memiliki hal semacam itu. Kemana pun pergi, Iwan Fals akan mengundang perhatian banyak orang—para penggemar yang minta tanda tangan, orang-orang yang ingin foto bersama, sampai reporter kurang kerjaan yang memburu berita untuk infotainment. Artinya, Iwan Fals tidak bisa bebas keluyuran tanpa terganggu seperti Rendra. Karenanya, dia pun dengan jujur mengatakan kepada penyair legendaris itu, “Aku ingin sekali bisa sepertimu.”
....
....
Kita mungkin tidak pernah membayangkan beban macam apa yang dihadapi orang-orang terkenal. Padahal keterkenalan atau popularitas tidak diperoleh secara gratis. Ia memiliki harga yang harus ditebus—dari kemampuan berkarya, sempitnya privasi, sampai hilangnya kebebasan.
Dalam hal popularitas, tokoh idola saya adalah Samuel Newhouse Jr., seorang bocah yang tinggal di Manhattan, New York. Omong-omong, ada yang pernah mengenal namanya? Tidak? Well, tidak mengherankan, karena dia memang tidak terkenal. Tapi orang tidak terkenal itu menjadi “panutan” saya dalam hal popularitas.
Dunia pasti mengenal majalah Vogue, Glamour, atau Vanity Vair. Kalian juga pasti mengenalnya, karena majalah-majalah itu sangat terkenal. Nah, Samuel Newhouse adalah pemilik majalah-majalah tersebut!
Samuel Newhouse Jr. adalah pemimpin Condé Nast Publications, salah satu penerbit media massa kelas atas di Amerika. Condé Nast Publications menerbitkan beragam majalah, di antaranya Vogue, The New Yorker, Architectural Digest, Glamour, Vanity Fair, Gourmet, GQ, hingga Condé Nast Traveler. Total media (surat kabar dan majalah) yang diterbitkan Condé Nast Publications lebih dari 100 buah, dan tersebar di 26 negara.
Karena majalah-majalah terbitan Condé Nast Publications ditujukan untuk kalangan atas, majalah-majalah itu pun dicetak luks, dengan tampilan eksklusif, halaman-halamannya menggunakan kertas glossy, berisi foto-foto mewah beresolusi tinggi. Condé Nast Publications juga mempekerjakan ratusan orang—reporter, penulis, fotografer—yang semuanya berpenampilan rapi bahkan mewah, karena biasa menemui tokoh-tokoh kalangan atas, dari para selebritas sampai politisi.
Tetapi, semua itu justru berkebalikan dengan Samuel Newhouse Jr., sosok yang memiliki perusahaan penerbitan tersebut. Berbeda dengan majalah-majalah terbitannya yang glamor dan mewah, Samuel Newhouse justru bocah pendiam, dan biasa berpenampilan sederhana—sangat jauh dari kesan bahwa dia sosok miliuner yang memiliki industri penerbitan majalah-majalah kelas atas.
Orang asing yang bertemu atau melihatnya, atau bahkan sempat bercakap-cakap dengannya, sering tidak menyadari bahwa dia adalah pemilik majalah-majalah yang dibaca jutaan orang di dunia. Lebih dari itu, Samuel Newhouse memang menjauhi publisitas dirinya, dan tidak suka menjadi pusat perhatian. Di Manhattan, New York, dia sering jalan-jalan sendirian, seperti orang kebanyakan, dan nyaris tidak ada orang yang tahu siapa dirinya.
Tidak jarang, dia membeli popcorn di pinggir jalan, lalu duduk santai di bangku taman, sambil menikmati popcorn dalam contong. Orang-orang berlalu lalang di sekelilingnya, dan tidak menghiraukan. Kadang-kadang, Samuel Newhouse juga mendapati beberapa orang tengah memegang atau membaca majalah terbitan perusahaannya, dan diam-diam tersenyum sendiri.
Sehari-hari, Samuel Newhouse datang ke kantornya untuk bekerja, dan dia biasa terlihat mengenakan kemeja tua, dan celana agak lusuh—jauh beda dengan para karyawannya yang justru tampil mewah. Penampilannya tenang dan seperti orang polos yang tidak tahu apa-apa. Anna Wintour, pemimpin redaksi majalah Vogue edisi Amerika, mengomentari gaya bosnya sebagai “bentuk unik dari gaya”. Tentu saja dia mengatakannya sambil tertawa.
Ketika Samuel Newhouse ditanya mengenai gayanya yang cuek dan tak ingin dikenal, dia menjelaskan, “Memiliki perusahaan media bukan berarti kau harus tampil di media. Sungguh menyenangkan melihat orang-orang menikmati karyamu, tapi mereka sama sekali tak mengenalimu. Well, tidak setiap orang memiliki karunia semacam itu.”
Oh, well, tidak setiap orang memiliki karunia semacam itu.