***
Dalam menulis di blog, apa tujuan Anda ketika menghadirkan suatu tulisan?
Tidak ada tujuan apa pun, selain menuangkan kegelisahan. Itu pula yang mendasari banyak catatan saya yang tidak “match” dengan kejadian-kejadian yang sedang aktual. Misalnya, ketika topik A sedang dibicarakan banyak orang, belum tentu saya akan menulis topik A. Saya tidak menulis untuk memburu trafik atau mendatangkan pengunjung. Saya menulis semata-mata untuk menuangkan kegelisahan yang ada di pikiran. Jadi, apa yang membuat pikiran gelisah, itu pula yang saya tuangkan.
Kadang-kadang, saya memang menulis suatu topik ketika topik tersebut sedang ramai dibicarakan. Biasanya, topik itu kebetulan juga sedang menjadi kegelisahan saya. Tapi sering kali, saya baru menulis suatu topik yang sebenarnya sudah bisa dianggap kedaluwarsa, karena topik itu sudah tidak lagi ramai dibicarakan. Bagi saya tidak masalah, karena blog saya memang bukan koran harian yang harus selalu up to date.
Yang jelas, jika saya tertarik menulis suatu topik, saya harus benar-benar memahami topik tersebut luar dalam. Artinya, saya tidak mau menulis suatu topik dengan pengetahuan dan pemahaman yang dangkal. Jadi, ketika tertarik menulis suatu topik tertentu, biasanya saya harus menelusuri terlebih dulu topik itu sampai ke akar-akarnya, agar saya benar-benar tahu apa yang saya tulis.
Contoh untuk ini adalah kasus JIS yang fenomenal itu. Saya sampai membaca ratusan artikel berkaitan kasus itu, sehingga saya benar-benar bisa menimbang, menilai, dan memutuskan sikap, dengan pengetahuan yang utuh dan komprehensif.
Sekarang tentang isi tulisan Anda. Kalau dicermati, dalam tulisan-tulisan Anda di blog sering muncul kata “oh, well”. Bisa Anda ceritakan latar belakang hal itu?
Hahaha... kata itu dulu sering muncul waktu saya masih aktif menjadi pembicara. Dulu, khususnya waktu masih kuliah, saya sering diundang menjadi pembicara, dan kata itu—“oh, well”—sering muncul atau lepas begitu saja saat asyik berbicara di depan forum.
Ketika mulai lebih banyak menulis, khususnya ketika mulai mencari-cari gaya menulis yang khas, saya mencoba menulis dengan cara dan gaya seperti ketika saya berbicara. Jadi, waktu menulis—khususnya di blog—saya menulis dengan gaya yang nyaris sama ketika saya berbicara. Dan kata itu—“oh, well”—juga sering terselip dalam tulisan, persis seperti saat saya berbicara.
Well, omong-omong, Mbak Nana, kita sudah ngobrol cukup lama, dan mulut saya mulai asem. Saya boleh merokok?
Ini studio, dan kita siaran secara live.
Jadi, saya tidak boleh merokok?
Ya. Nah, omong-omong soal rokok, Anda juga cukup sering menulis catatan yang di dalamnya menceritakan Anda sedang merokok. Anda seperti sengaja menunjukkan kepada pembaca, bahwa Anda seorang perokok. Mengingat bahwa isu rokok saat ini kadang menjadi isu negatif, Anda tidak khawatir pembaca Anda—bisa jadi—tidak menyukai hal itu?
Saya ngeblog bukan untuk pencitraan, Mbak Nana. Seperti yang saya nyatakan tadi, saya ngeblog untuk menuangkan kegelisahan. Jadi, saya ingin menulis, ingin ngeblog, secara jujur dan apa adanya. Karena saya memang tidak ngeblog untuk pencitraan. Lebih dari itu, saya manusia biasa, yang mungkin memiliki kelebihan, tapi juga memiliki kekurangan. Jika merokok dianggap sebagai kekurangan saya, tidak apa-apa, karena saya memang bukan manusia sempurna.
Bahkan, sejujurnya, saya tidak ingin pembaca punya kesan terlalu tinggi kepada saya. Saya ingin pembaca menilai saya sewajarnya, sebagaimana manusia umumnya. Karena itulah, di blog, saya katakan terus terang hal-hal yang mungkin menjadi kelemahan atau kekurangan saya. Di luar rokok, yang mungkin bisa dinilai negatif, saya sering menceritakan hal-hal lain yang bisa jadi merupakan kekurangan saya—secara terang-terangan.
Di blog, Anda tidak hanya menulis banyak hal, tapi tampaknya juga menulis dengan mood beragam. Di suatu tulisan, Anda bisa sangat keras, bahkan tidak jarang sampai memaki. Sementara di tulisan lain, Anda bisa sangat lembut, menggunakan kata-kata yang indah dan menyentuh. Bahkan, di satu tulisan, Anda bisa tampak tegar, sementara di tulisan lain Anda bisa terkesan rapuh. Bagaimana penjelasan soal tersebut?
Seperti yang saya katakan berulang-ulang, saya menulis di blog untuk menuangkan kegelisahan. Karenanya, saya pun berusaha menulis secara jujur, bahkan—tidak jarang—juga spontan. Karena saya berusaha jujur, saya pun menulis sesuai yang saya rasakan. Di satu waktu, saya menulis dalam keadaan marah, hingga kadang terselip makian di dalamnya. Karena menulis dalam keadaan marah, kata-kata yang saya gunakan pun kata-kata kemarahan.
Sebaliknya, saat sedang damai atau tenteram, atau merasakan hati tersentuh sesuatu—cinta, kerinduan, kelembutan—saya pun menulis sesuai perasaan, dan menggunakan kata-kata yang sama lembut. Tentu beda, dong, antara menulis saat marah dan menulis saat jatuh cinta, misalnya. Bahkan, saya sengaja menghindari tulisan yang datar—waktu marah ya begitu, waktu kangen ya begitu, waktu stres ya begitu. Ketika menulis, saya memang sengaja membiarkan pembaca tahu yang sedang saya rasakan.
Begitu pula ketika sedang merasa rapuh, saya pun berusaha menulis secara jujur, dan saya tidak malu mengakui bahwa kadang-kadang saya juga rapuh. Saya tidak ingin menciptakan kesan bahwa saya manusia tegar atau semacamnya. Seperti orang lain umumnya, saya juga kadang tegar, namun kadang juga rapuh.
Blog Anda saat ini telah berusia enam tahun, dan Anda masih setia menggunakan domain blogspot. Anda tidak terpikir untuk mengganti blog dengan nama domain sendiri?
Jawaban untuk pertanyaan itu cukup panjang. Blog saya memang sampai saat ini menggunakan domain blogspot, dan saya belum terpikir untuk menggunakan nama domain sendiri. Alasannya, karena saya ingin blog tersebut menjadi warisan atau peninggalan saya bagi dunia, yang akan tetap ada meski saya telah meninggal.
Sampai saat ini, saya tidak—atau belum—terpikir untuk menikah. Artinya, kemungkinan besar saya tidak akan punya anak atau ahli waris yang bisa dipercaya. Jika saya menggunakan nama domain sendiri, artinya setiap tahun saya harus memperpanjang registrasi nama domain. Selama saya masih hidup, saya bisa melakukannya. Atau, kalau pun saya sudah meninggal, mungkin saya bisa titip pada anak saya untuk memperpanjang registrasi nama domain tersebut. Tapi bagaimana kalau saya tidak punya anak?
Jika saya menggunakan nama domain sendiri, dan kelak tidak ada orang yang bisa dititipi amanat untuk memperpanjang registrasi nama domain tersebut, maka nama domain blog saya akan mati. Ketika itu terjadi, blog saya pun tidak bisa diakses lagi. Itu yang tidak saya inginkan. Itu pula yang mendasari saya tidak menggunakan nama domain sendiri, dan tetap menggunakan domain blogspot seperti sekarang.
Menggunakan domain blogspot tidak membutuhkan registrasi, karena urusan itu di-handle oleh Google. Artinya, jika kelak saya meninggal dunia, dan tidak bisa lagi menulis serta mengurus blog, saya tidak khawatir blog saya akan hilang. Blog itu akan tetap ada, meski saya sudah tidak ada. Seperti yang saya bilang tadi, saya ingin blog tersebut menjadi warisan atau peninggalan saya bagi dunia, sebagai bukti—jejak nyata—bahwa saya pernah hidup di sini.
Di blog, Anda cukup sering menulis tentang seseorang yang Anda kagumi, atau yang membuat Anda terinspirasi. Misalnya, Anda pernah menonton acara Mata Najwa yang berisi wawancara dengan Raditya Dika dan Syahrini, lalu Anda terinspirasi untuk menulis tentang mereka. Kenapa Anda tidak menghubungi mereka, misalnya mengirim mention di Twitter, atau semacamnya, agar mereka tahu bahwa Anda menulis tentang mereka?
Saat menulis sesuatu atau seseorang, saya murni ingin menulis. Bisa karena kekaguman, karena terinspirasi, atau karena menemukan suatu pelajaran tertentu menyangkut sesuatu atau seseorang. Artinya, saya menulis bukan karena sesuatu atau seseorang an sich, melainkan apa yang terdapat pada sesuatu atau pada orang tersebut.
Ketika menulis tentang Raditya Dika dan Syahrini, misalnya, karena saya terinspirasi oleh yang mereka lakukan, sebagaimana yang saya lihat di acara Mata Najwa waktu itu. Dengan kata lain, kalau pun inspirasi yang sama datang dari orang lain, saya akan tetap menulisnya. Jadi, yang menjadi crucial point di sini bukan siapa, tapi apa.
Kebetulan saja yang saya tulis waktu itu menyangkut orang-orang terkenal. Tapi saya tidak menjadikan popularitas seseorang sebagai syarat untuk menulis. Artinya, meski menyangkut orang biasa—yang tidak terkenal—saya akan menulisnya, jika memang terinspirasi, atau menemukan suatu pelajaran tertentu menyangkut orang itu. Sebagai contoh, saya juga pernah menulis tentang @macangadungan dan @three4yu yang bisa dibilang orang-orang biasa.
Dan Anda tidak merasa perlu menghubungi mereka, bahwa Anda menulis tentang mereka? Maksud saya, siapa tahu orang-orang yang Anda tulis tersebut kemudian tertarik untuk membagikannya pada orang lain?
Saya tidak terpikir hal itu, Mbak Nana. Saya hanya percaya, bahwa jika kita membicarakan seseorang, pembicaraan itu akan sampai pada orang yang kita bicarakan. Apalagi di dunia maya, yang bisa dibilang sangat sempit. Jadi, saya merasa tidak perlu menghubungi orang-orang yang saya tulis hanya untuk memberitahu bahwa saya menulis tentang mereka. Yang jelas, saya menulis hal-hal baik menyangkut mereka.
Kalau kemudian mereka—orang-orang yang saya tulis—mengetahui hal itu, dan ingin membagikannya kepada orang lain, tidak masalah, itu hak mereka. Salah satu fungsi dunia maya, khususnya blog dan sosial media, kan memang untuk berbagi. Saya berbagi inspirasi dengan pembaca, dan orang-orang lain mungkin ingin berbagi tulisan saya, tidak masalah. Saya justru akan senang.
Jadi, kalau sewaktu-waktu Anda menulis tentang saya, misalnya, kemudian saya membagikan link tulisan Anda kepada orang lain melalui Twitter atau Facebook, Anda tidak keberatan?
Sejujurnya, saya justru akan senang, karena saya anggap itu sebagai bentuk penghargaan. Bahwa Anda bersedia membagikan tulisan saya, artinya Anda menghargai yang saya lakukan. Jika tulisan saya jelek dan memalukan, Anda tidak akan sudi membagikannya, kan? Jadi, saya tidak punya alasan keberatan jika Anda berbagi link tulisan saya di Twitter atau di mana pun.
Soalnya begini, Mas Hoeda. Ada desas-desus yang menyatakan bahwa Anda tidak suka jika tulisan Anda dibagikan ke media lain di luar blog Anda. Karenanya, saya ingin menegaskan hal ini.
Seperti yang Anda sebut barusan, Mbak Nana. Desas-desus. Namanya desas-desus, tentu tidak terverifikasi. Desas-desus itu mungkin timbul, sebab saya pernah marah-marah karena tulisan-tulisan saya di-copy paste di tempat lain, tanpa menyebutkan sumber. Itu yang tidak saya suka. Sebenarnya, saya bahkan tidak mempermasalahkan orang meng-copas tulisan saya di blog untuk dibagikan di tempat lain, asal menyebutkan bahwa tulisan itu berasal dari blog saya.
Di internet, hal-hal semacam itu sebenarnya sudah disepakati bersama sebagai hukum tak tertulis. Bahwa kita boleh membagikan apa saja kepada orang lain—komunitas kita—asal menyebutkan dari mana sumber objek yang kita bagikan. Sebagai blogger yang aktif di internet, saya juga memahami hal itu. Tidak selamanya copas atau copy paste pasti buruk. Selama kita menyebutkan sumber yang kita copas, tidak masalah, karena itu hal umum di internet.
Artinya, Anda sebenarnya memaklumi aktivitas copy paste di internet, asal menyebutkan sumber?
Mbak Nana, mulut saya rasanya makin asem. Kita sudah mengobrol cukup lama, dan saya ingin merokok. Saya akan menjawab pertanyaan Anda barusan, tapi... well, Anda tidak keberatan kita break sebentar, agar saya bisa merokok?
Pemirsa Mata Najwa, karena tamu kita kali ini agak-agak... anu, agak bocah, dan masih suka seenaknya, kita break dulu sebentar. Jangan ke mana-mana, karena kita akan segera kembali setelah pesan-pesan berikut ini.
Lanjut ke sini: Wawancara Saya di Mata Najwa (3)
Tidak ada tujuan apa pun, selain menuangkan kegelisahan. Itu pula yang mendasari banyak catatan saya yang tidak “match” dengan kejadian-kejadian yang sedang aktual. Misalnya, ketika topik A sedang dibicarakan banyak orang, belum tentu saya akan menulis topik A. Saya tidak menulis untuk memburu trafik atau mendatangkan pengunjung. Saya menulis semata-mata untuk menuangkan kegelisahan yang ada di pikiran. Jadi, apa yang membuat pikiran gelisah, itu pula yang saya tuangkan.
Kadang-kadang, saya memang menulis suatu topik ketika topik tersebut sedang ramai dibicarakan. Biasanya, topik itu kebetulan juga sedang menjadi kegelisahan saya. Tapi sering kali, saya baru menulis suatu topik yang sebenarnya sudah bisa dianggap kedaluwarsa, karena topik itu sudah tidak lagi ramai dibicarakan. Bagi saya tidak masalah, karena blog saya memang bukan koran harian yang harus selalu up to date.
Yang jelas, jika saya tertarik menulis suatu topik, saya harus benar-benar memahami topik tersebut luar dalam. Artinya, saya tidak mau menulis suatu topik dengan pengetahuan dan pemahaman yang dangkal. Jadi, ketika tertarik menulis suatu topik tertentu, biasanya saya harus menelusuri terlebih dulu topik itu sampai ke akar-akarnya, agar saya benar-benar tahu apa yang saya tulis.
Contoh untuk ini adalah kasus JIS yang fenomenal itu. Saya sampai membaca ratusan artikel berkaitan kasus itu, sehingga saya benar-benar bisa menimbang, menilai, dan memutuskan sikap, dengan pengetahuan yang utuh dan komprehensif.
Sekarang tentang isi tulisan Anda. Kalau dicermati, dalam tulisan-tulisan Anda di blog sering muncul kata “oh, well”. Bisa Anda ceritakan latar belakang hal itu?
Hahaha... kata itu dulu sering muncul waktu saya masih aktif menjadi pembicara. Dulu, khususnya waktu masih kuliah, saya sering diundang menjadi pembicara, dan kata itu—“oh, well”—sering muncul atau lepas begitu saja saat asyik berbicara di depan forum.
Ketika mulai lebih banyak menulis, khususnya ketika mulai mencari-cari gaya menulis yang khas, saya mencoba menulis dengan cara dan gaya seperti ketika saya berbicara. Jadi, waktu menulis—khususnya di blog—saya menulis dengan gaya yang nyaris sama ketika saya berbicara. Dan kata itu—“oh, well”—juga sering terselip dalam tulisan, persis seperti saat saya berbicara.
Well, omong-omong, Mbak Nana, kita sudah ngobrol cukup lama, dan mulut saya mulai asem. Saya boleh merokok?
Ini studio, dan kita siaran secara live.
Jadi, saya tidak boleh merokok?
Ya. Nah, omong-omong soal rokok, Anda juga cukup sering menulis catatan yang di dalamnya menceritakan Anda sedang merokok. Anda seperti sengaja menunjukkan kepada pembaca, bahwa Anda seorang perokok. Mengingat bahwa isu rokok saat ini kadang menjadi isu negatif, Anda tidak khawatir pembaca Anda—bisa jadi—tidak menyukai hal itu?
Saya ngeblog bukan untuk pencitraan, Mbak Nana. Seperti yang saya nyatakan tadi, saya ngeblog untuk menuangkan kegelisahan. Jadi, saya ingin menulis, ingin ngeblog, secara jujur dan apa adanya. Karena saya memang tidak ngeblog untuk pencitraan. Lebih dari itu, saya manusia biasa, yang mungkin memiliki kelebihan, tapi juga memiliki kekurangan. Jika merokok dianggap sebagai kekurangan saya, tidak apa-apa, karena saya memang bukan manusia sempurna.
Bahkan, sejujurnya, saya tidak ingin pembaca punya kesan terlalu tinggi kepada saya. Saya ingin pembaca menilai saya sewajarnya, sebagaimana manusia umumnya. Karena itulah, di blog, saya katakan terus terang hal-hal yang mungkin menjadi kelemahan atau kekurangan saya. Di luar rokok, yang mungkin bisa dinilai negatif, saya sering menceritakan hal-hal lain yang bisa jadi merupakan kekurangan saya—secara terang-terangan.
Di blog, Anda tidak hanya menulis banyak hal, tapi tampaknya juga menulis dengan mood beragam. Di suatu tulisan, Anda bisa sangat keras, bahkan tidak jarang sampai memaki. Sementara di tulisan lain, Anda bisa sangat lembut, menggunakan kata-kata yang indah dan menyentuh. Bahkan, di satu tulisan, Anda bisa tampak tegar, sementara di tulisan lain Anda bisa terkesan rapuh. Bagaimana penjelasan soal tersebut?
Seperti yang saya katakan berulang-ulang, saya menulis di blog untuk menuangkan kegelisahan. Karenanya, saya pun berusaha menulis secara jujur, bahkan—tidak jarang—juga spontan. Karena saya berusaha jujur, saya pun menulis sesuai yang saya rasakan. Di satu waktu, saya menulis dalam keadaan marah, hingga kadang terselip makian di dalamnya. Karena menulis dalam keadaan marah, kata-kata yang saya gunakan pun kata-kata kemarahan.
Sebaliknya, saat sedang damai atau tenteram, atau merasakan hati tersentuh sesuatu—cinta, kerinduan, kelembutan—saya pun menulis sesuai perasaan, dan menggunakan kata-kata yang sama lembut. Tentu beda, dong, antara menulis saat marah dan menulis saat jatuh cinta, misalnya. Bahkan, saya sengaja menghindari tulisan yang datar—waktu marah ya begitu, waktu kangen ya begitu, waktu stres ya begitu. Ketika menulis, saya memang sengaja membiarkan pembaca tahu yang sedang saya rasakan.
Begitu pula ketika sedang merasa rapuh, saya pun berusaha menulis secara jujur, dan saya tidak malu mengakui bahwa kadang-kadang saya juga rapuh. Saya tidak ingin menciptakan kesan bahwa saya manusia tegar atau semacamnya. Seperti orang lain umumnya, saya juga kadang tegar, namun kadang juga rapuh.
Blog Anda saat ini telah berusia enam tahun, dan Anda masih setia menggunakan domain blogspot. Anda tidak terpikir untuk mengganti blog dengan nama domain sendiri?
Jawaban untuk pertanyaan itu cukup panjang. Blog saya memang sampai saat ini menggunakan domain blogspot, dan saya belum terpikir untuk menggunakan nama domain sendiri. Alasannya, karena saya ingin blog tersebut menjadi warisan atau peninggalan saya bagi dunia, yang akan tetap ada meski saya telah meninggal.
Sampai saat ini, saya tidak—atau belum—terpikir untuk menikah. Artinya, kemungkinan besar saya tidak akan punya anak atau ahli waris yang bisa dipercaya. Jika saya menggunakan nama domain sendiri, artinya setiap tahun saya harus memperpanjang registrasi nama domain. Selama saya masih hidup, saya bisa melakukannya. Atau, kalau pun saya sudah meninggal, mungkin saya bisa titip pada anak saya untuk memperpanjang registrasi nama domain tersebut. Tapi bagaimana kalau saya tidak punya anak?
Jika saya menggunakan nama domain sendiri, dan kelak tidak ada orang yang bisa dititipi amanat untuk memperpanjang registrasi nama domain tersebut, maka nama domain blog saya akan mati. Ketika itu terjadi, blog saya pun tidak bisa diakses lagi. Itu yang tidak saya inginkan. Itu pula yang mendasari saya tidak menggunakan nama domain sendiri, dan tetap menggunakan domain blogspot seperti sekarang.
Menggunakan domain blogspot tidak membutuhkan registrasi, karena urusan itu di-handle oleh Google. Artinya, jika kelak saya meninggal dunia, dan tidak bisa lagi menulis serta mengurus blog, saya tidak khawatir blog saya akan hilang. Blog itu akan tetap ada, meski saya sudah tidak ada. Seperti yang saya bilang tadi, saya ingin blog tersebut menjadi warisan atau peninggalan saya bagi dunia, sebagai bukti—jejak nyata—bahwa saya pernah hidup di sini.
Di blog, Anda cukup sering menulis tentang seseorang yang Anda kagumi, atau yang membuat Anda terinspirasi. Misalnya, Anda pernah menonton acara Mata Najwa yang berisi wawancara dengan Raditya Dika dan Syahrini, lalu Anda terinspirasi untuk menulis tentang mereka. Kenapa Anda tidak menghubungi mereka, misalnya mengirim mention di Twitter, atau semacamnya, agar mereka tahu bahwa Anda menulis tentang mereka?
Saat menulis sesuatu atau seseorang, saya murni ingin menulis. Bisa karena kekaguman, karena terinspirasi, atau karena menemukan suatu pelajaran tertentu menyangkut sesuatu atau seseorang. Artinya, saya menulis bukan karena sesuatu atau seseorang an sich, melainkan apa yang terdapat pada sesuatu atau pada orang tersebut.
Ketika menulis tentang Raditya Dika dan Syahrini, misalnya, karena saya terinspirasi oleh yang mereka lakukan, sebagaimana yang saya lihat di acara Mata Najwa waktu itu. Dengan kata lain, kalau pun inspirasi yang sama datang dari orang lain, saya akan tetap menulisnya. Jadi, yang menjadi crucial point di sini bukan siapa, tapi apa.
Kebetulan saja yang saya tulis waktu itu menyangkut orang-orang terkenal. Tapi saya tidak menjadikan popularitas seseorang sebagai syarat untuk menulis. Artinya, meski menyangkut orang biasa—yang tidak terkenal—saya akan menulisnya, jika memang terinspirasi, atau menemukan suatu pelajaran tertentu menyangkut orang itu. Sebagai contoh, saya juga pernah menulis tentang @macangadungan dan @three4yu yang bisa dibilang orang-orang biasa.
Dan Anda tidak merasa perlu menghubungi mereka, bahwa Anda menulis tentang mereka? Maksud saya, siapa tahu orang-orang yang Anda tulis tersebut kemudian tertarik untuk membagikannya pada orang lain?
Saya tidak terpikir hal itu, Mbak Nana. Saya hanya percaya, bahwa jika kita membicarakan seseorang, pembicaraan itu akan sampai pada orang yang kita bicarakan. Apalagi di dunia maya, yang bisa dibilang sangat sempit. Jadi, saya merasa tidak perlu menghubungi orang-orang yang saya tulis hanya untuk memberitahu bahwa saya menulis tentang mereka. Yang jelas, saya menulis hal-hal baik menyangkut mereka.
Kalau kemudian mereka—orang-orang yang saya tulis—mengetahui hal itu, dan ingin membagikannya kepada orang lain, tidak masalah, itu hak mereka. Salah satu fungsi dunia maya, khususnya blog dan sosial media, kan memang untuk berbagi. Saya berbagi inspirasi dengan pembaca, dan orang-orang lain mungkin ingin berbagi tulisan saya, tidak masalah. Saya justru akan senang.
Jadi, kalau sewaktu-waktu Anda menulis tentang saya, misalnya, kemudian saya membagikan link tulisan Anda kepada orang lain melalui Twitter atau Facebook, Anda tidak keberatan?
Sejujurnya, saya justru akan senang, karena saya anggap itu sebagai bentuk penghargaan. Bahwa Anda bersedia membagikan tulisan saya, artinya Anda menghargai yang saya lakukan. Jika tulisan saya jelek dan memalukan, Anda tidak akan sudi membagikannya, kan? Jadi, saya tidak punya alasan keberatan jika Anda berbagi link tulisan saya di Twitter atau di mana pun.
Soalnya begini, Mas Hoeda. Ada desas-desus yang menyatakan bahwa Anda tidak suka jika tulisan Anda dibagikan ke media lain di luar blog Anda. Karenanya, saya ingin menegaskan hal ini.
Seperti yang Anda sebut barusan, Mbak Nana. Desas-desus. Namanya desas-desus, tentu tidak terverifikasi. Desas-desus itu mungkin timbul, sebab saya pernah marah-marah karena tulisan-tulisan saya di-copy paste di tempat lain, tanpa menyebutkan sumber. Itu yang tidak saya suka. Sebenarnya, saya bahkan tidak mempermasalahkan orang meng-copas tulisan saya di blog untuk dibagikan di tempat lain, asal menyebutkan bahwa tulisan itu berasal dari blog saya.
Di internet, hal-hal semacam itu sebenarnya sudah disepakati bersama sebagai hukum tak tertulis. Bahwa kita boleh membagikan apa saja kepada orang lain—komunitas kita—asal menyebutkan dari mana sumber objek yang kita bagikan. Sebagai blogger yang aktif di internet, saya juga memahami hal itu. Tidak selamanya copas atau copy paste pasti buruk. Selama kita menyebutkan sumber yang kita copas, tidak masalah, karena itu hal umum di internet.
Artinya, Anda sebenarnya memaklumi aktivitas copy paste di internet, asal menyebutkan sumber?
Mbak Nana, mulut saya rasanya makin asem. Kita sudah mengobrol cukup lama, dan saya ingin merokok. Saya akan menjawab pertanyaan Anda barusan, tapi... well, Anda tidak keberatan kita break sebentar, agar saya bisa merokok?
Pemirsa Mata Najwa, karena tamu kita kali ini agak-agak... anu, agak bocah, dan masih suka seenaknya, kita break dulu sebentar. Jangan ke mana-mana, karena kita akan segera kembali setelah pesan-pesan berikut ini.
Lanjut ke sini: Wawancara Saya di Mata Najwa (3)