Sabtu, 20 April 2024

Keseimbangan Alam Semesta

Banyak orang—dari awam sampai ilmuwan—bertanya-tanya mengenai keberadaan peradaban-peradaban maju di masa lalu (termasuk bangunan sampai teknologi), yang bahkan lebih maju dibanding zaman sekarang. Mengapa, dan bagaimana, keanehan semacam itu bisa terjadi?

Orang zaman kuno bisa membangun Piramida Giza, Stonehenge, sampai Borobudur. Orang zaman sekarang belum tentu bisa melakukan hal serupa. Di Baghdad, ada penemuan baterai berusia ribuan tahun. Sementara di Gabon, ada temuan reaktor nuklir yang telah beroperasi 500 ribu tahun.

Bagaimana orang-orang kuno yang hidup ribuan tahun lalu bisa melakukan dan menghasilkan sesuatu yang tidak/belum bisa dilakukan orang zaman sekarang? Bagaimana mereka di zaman kuno bisa mencapai peradaban hebat yang belum bisa dicapai orang zaman sekarang?

Sekarang kita tahu jawabannya. 

Thanos.

Ribuan tahun lalu, manusia telah mencapai puncak peradaban, tapi terlalu banyak populasi. Lalu Thanos muncul dengan Infinity Stones, dan memusnahkan semuanya, sementara Avengers belum lahir. Lalu peradaban kembali dibangun dari nol...

Ya tentu saja gak gitu, sih.

Cuma, soal kelebihan populasi itu kemungkinan memang menjadi penyebab hancurnya peradaban-peradaban masa lalu. Meski ukuran "banyak populasi" itu juga relatif, dalam arti berbeda dengan ukuran "banyak populasi" di masa kini.
Satu contoh yang gamblang adalah lenyapnya Suku Maya.

Suku Maya telah diakui sebagai pembangun peradaban hebat, yang bahkan membuat orang modern takjub, karena Suku Maya membangun peradaban hebat itu ribuan tahun lalu. And then, Suku Maya lenyap... tanpa bekas.

Selama bertahun-tahun, para ilmuwan kebingungan—bukan hanya karena kehebatan peradaban Suku Maya, tapi juga soal lenyapnya mereka. Ke mana orang-orang (yang jumlahnya tentu banyak) itu hilang? Mengapa mereka lenyap begitu saja, meninggalkan temuan-temuan hebat yang mengagumkan?

Sebegitu misterius soal itu, sampai ada orang-orang yang percaya bahwa Suku Maya diculik alien, karena mereka (alien) ingin mendapatkan pengetahuan-pengetahuan hebat yang dimiliki Suku Maya.

Tapi, sekali lagi, yang terjadi sesungguhnya tentu tidak begitu.

Belakangan, setelah bertungkus lumus puluhan tahun dalam penelitian panjang bercampur rasa penasaran yang akademis dan environmental, para ilmuwan akhirnya mengetahui penyebab musnahnya Suku Maya. Dan ternyata penyebabnya "sepele".

Paceklik! Gagal panen!

Owalaaaah...

Kita yang hidup di zaman sekarang mungkin menertawakan penyebab itu—paceklik—karena kita kini hidup dengan makanan berlimpah. Tapi ribuan tahun lalu, gagal panen bisa memusnahkan ribuan orang, ketika (sisa) makanan yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan populasi.
Kelebihan populasi telah melenyapkan Suku Maya. Dengan kemajuan dan kehebatan yang mereka miliki, di zamannya, mungkin mereka tidak pernah terpikir bahwa suatu saat bencana paceklik terjadi, dan akan melenyapkan mereka. 

Well, persis seperti yang sekarang kita alami.

Bahkan, jika kita mau mempelajari bencana banjir besar ribuan tahun lalu—yang melenyapkan setengah populasi dunia di masa itu—sebenarnya inti masalahnya juga kelebihan populasi. Meski legenda dan berbagai mitologi kemudian "membelokkan" asal usul bencana itu.

Kisah banjir besar tidak hanya dimiliki agama-agama samawi, tapi juga oleh berbagai peradaban dan bangsa di dunia, dengan aneka kisah di dalamnya. Di dalam agama tentu terkait kisah Nabi Nuh yang umatnya diazab dengan banjir besar. Tapi itu hanya satu kisah, masih banyak lainnya.

Dalam legenda Sumeria, bencana banjir besar diceritakan terkait orang bernama Ziusudra dan Enki. Di Babilonia, kisah banjir besar diceritakan dalam epos Gilgames, yang mengisahkan seseorang bernama Ea. Di Akkadia, banjir besar dikisahkan dalam epos Atrahasis, dan seterusnya.

Hampir semua bangsa di muka bumi punya kisah tentang bencana banjir besar yang menghancurkan peradaban dan melenyapkan lebih dari setengah populasi di masa itu. Semuanya dituturkan dengan kisah beragam, tapi intinya sama: Bencana besar itu "menyeimbangkan" alam semesta.

Karenanya, ketika menyaksikan Avengers: Infinity Stones, aku benar-benar takjub pada penulis kisahnya. Kalimat-kalimat yang diucapkan Thanos itu sebenarnya diambil dari manuskrip-manuskrip kuno. Bahkan misi Thanos sebenarnya "rekaman pengetahuan dari masa ribuan tahun lalu".


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Mei 2019.

Infinity Stones dan Utopia

Kerusakan bumi, polusi udara, rusaknya habitat, aneka wabah, sempitnya lapangan kerja, kelaparan, pengangguran, kebodohan, kehidupan yang makin berat—intinya semua masalah di dunia—bisa diselesaikan dengan sederhana.

Kumpulkan Infinity Stones, dan lakukan yang harus kaulakukan.

Infinity Stones terdiri dari enam elemen, yaitu Ruang (Space), Realitas (Reality), Kekuatan (Power), Jiwa (Soul), Pikiran (Mind), dan Waktu (Time).

Saat enam batu dengan kekuatan masing-masing itu dikumpulkan, keajaiban terjadi. Bagaimana kalau batu-batu itu kumpulan manusia?

Apa yang sekiranya akan terjadi jika ada sekumpulan manusia yang memiliki kemampuan luar biasa seperti Infinity Stones—kau bisa membayangkan analogi kekuatan mereka masing-masing—dan berpikir seperti Thanos?

Benar sekali, bahkan Avengers yang kuat pun tidak mampu mengatasi.

Tapi Thanos tak boleh menang dan Avengers tak boleh kalah, tentu saja, karena itu akan melukai keyakinanmu. Jadi, agar hatimu adem dan kau tetap punya harapan, kau diberi janji bahwa kelak Thanos akan kalah setelah Satria Piningit... maaf, setelah Captain Marvel, datang ke bumi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Maret 2019.

Hari Bumi

Selamat #haribumi

Sudah saatnya kita menyadari bahwa bumi bukan surga, dan manusia tidak bisa terus bereproduksi seenaknya. Karena semakin banyak manusia, semakin berat beban bumi. 

Nyanyian Bumi » http://bit.ly/15Zqqqp 

Menunggu Kepunahan Manusia » http://bit.ly/133XjvI 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 April 2019.

Ingin Musnah

Kadang-kadang aku ingin musnah jadi debu dalam jentikan Thanos.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 April 2019.

Film-film Bagus di 2019

Tiga film yang paling kutunggu tahun ini:
Avengers: Endgame
Angel Has Fallen
It II

Kebanyakan orang menunggu-nunggu Avengers: Endgame tentu karena ingin tahu bagaimana akhir kisah seri ini. Ada banyak spekulasi menarik dan menggelisahkan seputar akhir film ini, dan aku juga penasaran setengah mati.

Yang membuat akhir kisah Avengers: Endgame sulit ditebak, karena sebagian superhero Avengers mati. Jika mereka "dipaksa" bangkit (hidup kembali), artinya sekian juta orang lain juga akan hidup kembali. Memang akan menyenangkan penonton, tapi itu jelas bukan "tipe Hollywood".

Dalam bayanganku (yang tentu bisa keliru), Russo Bersaudara akan mengakhiri seri Avengers "secara adil". Thanos mungkin memang akan dibiarkan kalah, tapi mereka yang telah mati akan tetap mati. (Meski ending semacam ini akan memunculkan banyak pertanyaan lain).

Setelah Avengers; Endgame, film lain yang juga sangat kutunggu-tunggu adalah Angel Has Fallen, yang akan jadi seri ketiga setelah Olympus Has Fallen dan London Has Fallen. Itu jenis film yang selalu ingin kutonton. Benar-benar puas menyaksikannya!

Menyaksikan adegan ancur-ancuran dalam film selalu menyenangkan bagiku, apalagi adegan ancur-ancuran itu terjadi di pusat kekuasaan dunia! Amerika dan Inggris diserang habis-habisan, gila-gilaan, tepat di jantung kekuasaan mereka—well, kapan Indonesia bikin film kayak gitu?

Dan akhirnya, film yang paling ingin kutonton, di atas yang lainnya, adalah It II. Sepertinya hidupku belum tenteram sebelum menyaksikannya (tolong tidak usah tanya kenapa). Menurut desas-desus, film ini tayang 2019, dan semoga desas-desus itu memang benar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 April 2019.

Obat Stres

Ketika stres, sebagian orang jadi gak doyan makan, sementara sebagian lain makannya tambah banyak. Kenapa kok bisa beda gitu, ya? Padahal sama-sama stres. Omong-omong, aku termasuk yang pertama, yang gak doyan makan kalau lagi stres. Mau makan apa aja rasanya males.

Akibat stres bisa berbeda orang per orang; ada yang gak doyan makan, ada pula yang malah makannya tambah banyak. Bagaimana dengan obat stres? Kemungkinan besar juga berbeda. Ada yang mengobati stres dengan traveling, ngumpul dengan teman-teman, dan lain sebagainya.

Kalau aku simpel saja. Kalau lagi stres, biasanya lebih suka sendirian, mengisi waktu dengan hal-hal yang disukai; baca buku, nonton film bagus, semacam itu. Kalau beda dengan caramu, ya tidak apa-apa. Wong nyatanya kita memang punya cara berbeda untuk menangani stres, kan?

Ada orang bilang, stresnya mereda setelah rajin berdoa. Ya bagus itu. Cuma, cara yang bagus menurutmu, belum tentu bagus pula untuk orang lain. Karena obat stresmu belum tentu sama manjur untuk jadi obat stres orang lain. Jadi santai saja, tak perlu memaksakan caramu ke orang lain. 

Punya Simpanan

Lapar larut malam tapi malas keluar. Untung punya simpanan:
Mi instan ✖
Telur asin ✔


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 April 2019.

Sampah

Sampah pun laris di hari-hari kemarin.

Hari Mbuh.

Hari yang mbuh.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Mei 2019.

Bdg

Bgst.

Rabu, 10 April 2024

Genosida Kucing di Australia

Australia sedang melakukan perburuan dan pembunuhan massal pada kucing-kucing liar yang dianggap telah sangat meresahkan. Selain jumlahnya yang luar biasa besar, kucing-kucing itu telah mengacaukan habitat. Upaya pembunuhan tergolong sadis, dari penembakan sampai peracunan.

Para penyayang binatang pun protes. Mereka mengusulkan agar perburuan/pembunuhan yang dilakukan lebih berperikucingan, salah satunya dengan cara sterilisasi. Dengan cara itu, menurut mereka, kucing-kucing tak bisa lagi bereproduksi hingga jumlahnya turun, dan masalah pun selesai.

Sterilisasi terhadap kucing yang kini meresahkan Australia memang terdengar seperti solusi yang baik, tapi juga mengandung masalah laten. Ketika kucing disterilkan, mereka memang tidak bisa lagi bereproduksi, tapi usianya akan lebih panjang. Hal ini berlaku pada semua makhluk.

Para ilmuwan telah mengetahui, bahwa cara pasti untuk panjang umur adalah sterilisasi (menghilangkan kemungkinan bereproduksi). Saat makhluk hidup disterilisasi, angka harapan hidupnya naik secara drastis! Hal ini tidak hanya berlaku pada hewan, tapi juga pada manusia.

Para kasim (pembantu di istana zaman Tiongkok kuno) menjalani sterilisasi untuk bisa bekerja di istana. Mereka memang tak bisa lagi bereproduksi, tapi usianya meningkat drastis hingga bisa mencapai 100 tahun—hampir dua kali lipat dari usia rata-rata manusia di zaman itu.

Di sisi lain, cara pasti cepat tua (dengan kata lain; cepat mati) adalah dengan punya anak. Ini sangat mudah dibuktikan. Kalau kau lajang (atau sudah menikah tapi tidak/belum punya anak) dan kau punya teman sebaya yang sudah punya anak, temanmu pasti tampak lebih tua darimu.

Bahkan, setiap kali seorang wanita melahirkan anak, usia biologisnya akan bertambah 9 tahun. (Usia biologis itu usia yang terkait kondisi tubuh, bukan usia yang didasarkan kalender). Karenanya, wanita yang punya lebih dari satu anak biasanya sangat cepat bertambah tua.

Apa yang bisa disimpulkan dari fakta-fakta ini? Bagiku sederhana; begitulah cara evolusi menjebak kita!

Yang diinginkan evolusi hanya satu: Kau kawin agar bisa beranak pinak! Setelah itu terjadi, evolusi tidak membutuhkanmu lagi, karena itulah kau segera menua, dan lalu mati.

Kenyataan ini terjadi pada semua makhluk hidup, termasuk pada kucing-kucing liar yang kini sedang menghadapi genosida di Australia. Bedanya, kucing-kucing itu—dan hewan-hewan lain, tentu saja—tidak menyadari apa yang terjadi pada mereka, karena memang tidak punya akal pikiran.

Akal budi dan pikiran, itulah yang membedakan manusia dengan binatang, yang memampukan manusia untuk pede menempatkan diri sebagai "pemimpin di muka bumi", khalifah fil ardh—oh, well.

Dan "pemimpin di muka bumi" ini, sayangnya, ternyata sama-sama tolol dan tunduk pada evolusi.

Kawin dan beranak-pinak adalah tuntutan evolusi. Dan manusia, makhluk yang berakal ini—sang "pemimpin di muka bumi"—justru mengarang-ngarang dalih dan doktrinasi yang mengglorifikasi kawin dan beranak-pinak... sambil gembar-gembor menentang teori evolusi. 

Oh, well, pecah ndase.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Mei 2019.

Hidup Begitu Sederhana

Hidup begitu sederhana, yang ndakik-ndakik cuma doktrinnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Mei 2019.

Sambutan-sambutan

Sesuatu yang biasanya ada dalam acara apa pun, tapi biasanya juga tidak diminati siapa pun: Sambutan-sambutan.

Ini aku lagi "terjebak" dalam suatu acara, dan dari tadi "sambutan-sambutan" gak habis-habis. Orang-orang terlihat bosan, sementara yang ngasih sambutan juga terlihat gak semangat. Dan aku berpikir, "Untuk apa semua ini, ya Allah?"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 April 2019.

Dan Seterusnya dan Seterusnya

Ketika tangan dan seterusnya dan seterusnya, ketika kaki dan seterusnya dan seterusnya, ketika mulut dan seterusnya dan seterusnya, ketika kangeuuun dan seterusnya dan seterusnya, ketika emessshhh dan seterusnya dan seterusnya....

Selamat Idulfitri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Juni 2019.

Beda Orang Tolol dan Orang Cerdas

Orang yang sering atau terbiasa menulis karya ilmiah pasti tahu—bahkan hafal—bahwa salah satu hal penting yang harus selalu dilakukan adalah menggunakan diksi atau pilihan kata denotatif (bermakna harfiah), bukan menggunakan kata konotatif (bermakna kiasan).

Karenanya, semakin sering atau semakin lama seseorang berkutat dengan hal-hal ilmiah, ia pun semakin dekat dengan realitas, dan, sebaliknya, semakin berjarak dari hal-hal yang tidak realistis (khususnya, dalam hal ini, penggunaan diksi atau kata-kata yang biasa dipakai).

Bagi “orang ilmiah”—maksudnya, orang yang terbiasa berpikir ilmiah—ya berarti ya, dan tidak berarti tidak. Orang semacam itu bisa dongkol dan bosan kalau menghadapi orang yang menjawab “ya” padahal maksudnya tidak, atau menjawab “tidak” padahal maksudnya “ya”.

Kalau kamu perempuan, dan kebetulan pacaran dengan orang yang kamu yakini cerdas, biasakan untuk berbicara apa adanya, bukan menggunakan kode-kode tolol yang biasa dilakukan perempuan saat berpacaran. Pacarmu bisa bosan kalau kamu pakai kode-kodean.

“Tapi cowok mestinya harus ngertiin cewek, dong!” Ya kalau begitu, kamu harusnya pacaran dengan cowok tolol! Atau, kalau beruntung, mestinya kamu pacaran dengan Albus Dumbledore atau Doctor Strange, yang bisa membaca pikiranmu tanpa harus ada penjelasan kata-kata.

Nyatanya, kita memang bisa menilai tingkat intelegensi seseorang dari sikap atau kata-katanya. Orang-orang cerdas bersikap dan berbicara secara langsung dan lugas, orang-orang tolol suka bicara mutar-mutar tidak jelas. 

Menghadapi Hal Serius

"Bagaimana cara terbaik menghadapi sesuatu yang sangat serius?" 

"Tertawa saja, tapi tetap anggap hal itu serius." 

—Nasihat yang bagus!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Maret 2012.

Terlelap dan Terjaga

Orang-orang terlelap di dunia nyata, dan terjaga di dunia maya. Udara telah menjadi bagian virtual, dan kehidupan cuma segaris pita digital.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Definisi Pagi

Pagi adalah definisi bagi orang yang baru bangun tidur,


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 April 2012.

Kayak Nggak Ada Kerjaan Lain Aja

Pemberitahuan di Facebook: "Si X mengajak Anda untuk bermain FarmVille 2." 

Kok kayak nggak ada kerjaan lain yang bermanfaat aja!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2012.

Simpulkan

Bisa dipastikan, tiap malam Minggu pengunjung blogku berkurang sampai seribuan. Hmm, ada seribuan orang yang lebih suka pacaran daripada....

Mari kita simpulkan. Orang yang sering tidak muncul di timeline pada malam Minggu berarti sudah punya pacar. #NgomongSendiri


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Senin, 01 April 2024

Orang Gila Ngaku Waras

"Kamu kalau ngoceh panjang-panjang gitu, sambil buka buku, ya?"

Hahahaaaaa, ya nggak, laaaah. Wong ngoceh kok buka buka. Kalau sambil buka buku itu namanya presentasi, bukan ngoceh!

....
....

Sedari dulu aku "kagum" pada orang gila yang bisa ngoceh apa saja di mana saja, tanpa peduli lingkungannya. Aku ingin bisa seperti itu, tapi terbentur masalah kewarasan—orang-orang menganggapku waras—jadi aku tidak bisa ngomong sendiri seperti orang gila. 

Belakangan, aku menyadari, media sosial—khususnya Twitter—memungkinkanku melakukan sesuatu yang sedari dulu ingin kulakukan; ngoceh sendiri tentang apa saja, tanpa peduli lingkungan. Ini menyenangkan, setidaknya bagiku, karena rasanya "melegakan"—kalau kau paham maksudku.

Dulu, tiap kali melihat orang gila yang lagi ngoceh sendiri, aku pasti akan duduk tak jauh dari tempatnya, dan khusyuk mendengarkannya. Bagiku, mendengarkan orang gila yang ngoceh sendiri lebih menyenangkan, daripada mendengarkan orang waras ngoceh. Orang gila lebih jujur!

Orang gila tidak akan berbohong kepadamu, tidak akan berusaha membuatmu terkesan, tidak akan berpikir untuk memanipulasimu—mereka tidak punya pretensi atau tendensi apa pun—karena mereka bahkan tidak peduli kau mendengarkannya atau tidak. Aku suka orang gila!

Sayang, sekarang sulit menemukan orang gila yang ngomong sendiri seperti yang dulu sering kudapati di mana-mana. Aku curiga, ada gerakan diam-diam yang menyingkirkan mereka (orang-orang gila yang suka ngomong sendiri), dan entah dibawa ke mana orang-orang gila itu.

Kadang aku berpikir, masalah "gila" dan "waras" ini hanya soal statistik. Orang-orang waras—atau yang kepedean merasa dirinya waras—kebetulan mayoritas, jadi mereka yang gila pun tersingkir. Coba kalau yang gila lebih banyak, orang-orang sok waras itulah yang akan tersingkir.

Mayoritas orang menjalani kehidupan dengan tekanan demi tekanan, salah satunya tekanan dan nyinyiran orang-orang sekitar. Mereka pecicilan kawin dan beranak pinak demi membungkam mulut orang sekitar, meski untuk itu harus keblangsak. Dan mereka tidak malu menyebut diri waras!
Sementara ada orang-orang yang memilih menjalani kehidupan sesuai pilihannya, tanpa peduli nyinyiran orang-orang sekitar—termasuk tidak buru-buru kawin dan beranak pinak—dan mereka menjalani hidup damai, tenteram, bahagia. Tapi mereka malah dituduh gila karena dinilai berbeda!

Seperti yang dikatakan kebenaran kuno, "Akan tiba suatu masa, ketika kebenaran yang kaugenggam seperti nyala api yang akan membakar tanganmu." 

Dan orang-orang sok waras mengira bahkan meyakini bahwa merekalah yang menggenggam nyala api itu, hingga membakar hidupnya sendiri.

Oh, well.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 April 2019.

Berbukalah

Berbukalah dengan mbakyumu—kalau punya, tentu saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Juni 2019.

Butuh Dua Ribu Tahun untuk Sadar

Dua isu yang kencang bergulir di akhir 2022 kemarin adalah resesi ekonomi dan resesi seks. Resesi seks adalah keengganan orang untuk menikah, atau keengganan punya anak untuk pasangan yang menikah. Butuh dua ribu tahun untuk membawa manusia sampai ke titik itu.

Sebenarnya, dari dulu sudah ada orang-orang yang memutuskan untuk tidak menikah. Pertama, tentu saja, karena mereka menyadari bahwa menikah [atau tidak] adalah soal pilihan. Dan mereka memilih untuk tidak menikah karena hal-hal lain yang mereka anggap lebih penting.

Apa “hal lain yang lebih penting dari menikah”? Tolong maafkan jika jawaban saya terdengar kasar. Kalau kamu masih bertanya-tanya “apa hal lain yang lebih penting dari menikah”, artinya kamu “masih terbelakang”, yang meyakini bahwa menikah adalah keharusan mutlak.

Dua ribu tahun yang lalu, Homo sapiens menganggap bahwa menikah adalah tujuan terpenting sebagai manusia. Tapi sekarang, sebagian manusia mulai menyadari bahwa menikah hanyalah satu pilihan di antara pilihan-pilihan lain, dan siapa pun berhak untuk menikah atau tidak.

Tolong Katakan Pada Urepah

Tolong katakan pada urepah urepah urepah, bahwa urepah urepah urepah adalah urepah urepah urepah.

Asu!

Tradisi Tidak Terjamin Benar

Tanggal 31 Desember adalah kepastian. Begitu pun tanggal 1 Januari. Tapi merayakan tahun baru adalah soal tradisi. Artinya, meski kita sama-sama menjalani tanggal 31 Desember dan 1 Januari, kita bebas merayakannya atau tidak, karena itu hanya tradisi.

Dalam pengertian sederhana, tradisi adalah sesuatu yang dilakukan sebagian orang secara turun temurun. Karena dilakukan dari waktu ke waktu itulah, lalu disebut “tradisi”. Tapi tradisi bukan kewajiban. Lebih penting lagi, tradisi tidak terjamin pasti benar, hingga kadang direvisi.

Seperti tradisi merayakan tahun baru. Kita yang hidup di zaman sekarang merayakan tahun baru pada 1 Januari. Tapi 4.000 tahun yang lalu, ketika tradisi itu pertama kali muncul, tahun baru tidak dirayakan pada 1 Januari, melainkan pada pertengahan Maret, saat musim panen tiba.

Penjual Omong Kosong

Akhir-akhir ini ada fenomena munculnya para penjual omong kosong, yang berharap bisa mengkapitalisasi omong kosongnya. Kita tentu ingat seseorang yang disebut ustaz, di Depok, yang konon berhasil menangkap babi ngepet, tapi lalu terungkap kalau dia cuma ngibul, dan dia ditangkap polisi.

Setelah ditangkap polisi, ustaz di Depok itu akhirnya mengaku, babi ngepet yang ia tangkap sebenarnya babi yang ia beli sendiri. Dia juga mengaku, tujuannya bikin hoax itu agar mendapat pengaruh di masyarakatnya, yang bisa jadi ujung-ujungnya adalah upaya kapitalisasi. You know, lah.

Mencari popularitas adalah hak setiap orang, bahkan mengkapitalisasi (mendapatkan keuntungan materi) dari popularitas juga hak setiap orang. Tapi ketika popularitas dibangun dengan omong kosong sambil membawa-bawa simbol agama, masyarakatlah yang kelak dirugikan.

Fenomena ini mengingatkan saya pada fenomena sama, yang terjadi pada awal 2000-an. Di masa itu juga muncul “oknum-oknum ustaz” di berbagai daerah, berpenampilan layaknya orang-orang alim, dan menawarkan sesuatu yang mereka sebut “pengobatan alternatif” dan aneka praktik perdukunan.

“Oknum-oknum ustaz” itu bahkan mengiklankan bisnis mereka (pengobatan alternatif dan praktik perdukunan) melalui media-media cetak—itu era 2000-an, ketika media cetak di Indonesia masih berjaya, dan internet belum semasif sekarang. 

Berapa bujet iklan tahunan mereka? Miliaran!

Sebagai ilustrasi, iklan dengan lebar 10x10 cm di halaman tabloid—yang terbit seminggu sekali—mencapai Rp5 jutaan. Itu setara dengan iklan seperempat halaman majalah ukuran standar (di bagian dalam). Dan ingat, itu nilai uang pada awal 2000-an, yang tentunya jauh lebih besar dibanding Rp5 jutaan di masa sekarang.

Nah, para “oknum ustaz” itu biasa ngiklan seukuran itu, dan terus menerus, tanpa henti, di banyak media (khususnya tabloid dan majalah). Jika seminggu sekali mereka memasang di 10 media saja, artinya mereka harus mengeluarkan 50 juta per minggu, atau 200-an juta per bulan. 

Bisa membayangkan yang saya maksud? Para “ustaz” di masa itu bisa menghasilkan ratusan juta per bulan dari “praktik” yang mereka lakukan, terbukti bisa membayar iklan hingga ratusan juta. Dan dari mana uang yang jadi penghasilan mereka? Tentu saja dari masyarakat yang tergiur!

Tentu tidak masalah jika seorang ustaz memasang iklan besar-besaran, dan menarik tarif mahal dari masyarakat yang membutuhkan jasa mereka, dan terbukti jasa mereka memang memberikan manfaat. Tapi bagaimana jika “jasa” yang mereka berikan ternyata omong kosong?

Yang Bisa Kita Lakukan

Yang bisa kita lakukan bukan menentang perubahan. Tetapi merawat, menjaga, dan melestarikan milik kita agar tidak pudar dan menghilang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 April 2012

Bisa Berubah

Aku belajar bahwa pikiran manusia bisa berubah, sebagaimana hati yang bisa berubah, atau kehidupan yang juga bisa berubah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 April 2012

Pergi ke Hutan

“Mari kita pergi ke hutan,” kataku.

“Ya, mari kita pergi ke hutan,” jawabku.

Hari yang Sangat Biasa

Hari yang sangat biasa, dan aku tak tertarik untuk mendramatisirnya.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2019.

Bodo

Iyo.

Rabu, 20 Maret 2024

Keyboard Gila

Keyboard komputerku eror, sementara toko-toko komputer pada tutup hari ini (kalian tahu alasannya). Lalu nemu satu toko aksesoris komputer yang buka, dan ada keyboard merek V***e seharga Rp40 ribu. Karena tak punya pilihan, aku pun beli keyboard itu dengan perasaan waswas.

Sedari awal aku sudah waswas. Keyboard macam apa yang harganya Rp40 ribu? (Belakangan, aku search keyboard V***e di marketplace, harganya malah cuma Rp30 ribu). Lalu aku pasang keyboard itu di komputer, dan BENCANA YANG SANGAT MENJENGKELKAN terjadi.

Semula, semua tampak baik-baik saja. Semua tuts keyboard berfungsi sebagaimana mestinya, dan bisa digunakan untuk mengetik. Tapi kemudian muncul berbagai ketidakberesan. Pertama, keyboard itu seperti punya nyawa yang membuatnya BISA MENGETIK SENDIRI SECARA LIAR.

Mungkin akan sangat menyenangkan, kalau keyboard itu bisa mengetik sendiri secara akademis, dan menghasilkan kata serta kalimat-kalimat yang terstruktur. Kalau begitu sih, aku senang-senang saja—biar dia yang kerja, aku cukup ngopi sambil udud. SAYANGNYA TIDAK BEGITU, NABILAH!

Keyboard itu tampaknya punya bahasa sendiri, dan dia mengetik menggunakan bahasanya, yang bahkan lebih membingungkan dari bahasa Rusia. Berikut ini contohnya:

P[;’\/\0 0;’\/ 0 9dip[;’\/p[;’\/ fg0 cerr[;’\/\0 0[;’\/\0 0
9xcx\[;’\/\0 0=ncv3[;’\/\0 9dip[;’\/p 0[;’\/\0 0

WTH!

Yang lebih menjengkelkan, dia terus menerus “nyerimpung” tiap aku sedang mengetik. Saat aku sedang khusyuk menulis di MS Word, dia ikut menambahkan aneka kata/tanda di kalimat-kalimatku, hingga aku kebingungan dan frustrasi, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.

Akibatnya, aku terus menerus mengoreksi tulisanku. Dan sambil aku membetulkan kalimat-kalimat yang dibuat salah olehnya (nya: keyboard), ia (keyboard) kembali berbuat ulah dengan terus menambahkan aneka kata dan tanda pada kalimat-kalimat yang sudah kukoreksi, hingga salah lagi.

Jadi seharian ini aku tidak melakukan apa pun selain “bercanda” dengan keyboard itu, sambil misuh-misuh. Tapi ulah keyboard itu benar-benar brengsek. Selain terus berusaha mengacaukan tulisanku, ia juga terus menerus memunculkan aneka aplikasi di komputer tanpa henti.

Itu pun belum cukup. Ia juga seenaknya mengacaukan tab-tab yang terbuka di komputer, hingga aku sampai capek mengurusinya. Pendeknya, seharian ini aku benar-benar stres dan lelah gara-gara keyboard seharga Rp40 ribu. Mungkin keyboard itu dibuat dari peleburan ember bodol.

Agar kalian tidak mengalami hari buruk seperti yang kualami, sebaiknya hindari membeli keyboard yang murah(an). Kalau sewaktu-waktu keyboard komputer kalian perlu diganti, belilah yang “layak”. Mahal sedikit tidak apa-apa, asal bisa digunakan dengan baik dan melancarkan kerja.

Semoga besok toko-toko komputer sudah buka, agar aku bisa membeli keyboard baru yang benar-benar bagus.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Mei 2019.

Ayat-Ayat Patriarki

Pengin banget nulis tentang Ayat-Ayat Cinta di blog. Tapi khawatir kalau dikira gimana-gimana, atau bahkan—jangan-jangan—sampai dituduh ingin menjatuhkan. Jadi, aku ocehkan saja di timeline, sebagai katarsis. Lagi pula sudah banyak yang mengulas topik/kisah ini di blog.

Dulu, aku membaca novel Ayat-Ayat Cinta, semata-mata karena penasaran akibat hebohnya novel itu. Dan, terus terang, aku sangat kecewa dengan isinya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana novel itu bisa sedemikian heboh. Fenomena itu semacam anomali yang sulit dipahami.

Masalah terbesar pada novel Ayat-Ayat Cinta, menurutku, adalah glorifikasi tokoh utama yang berlebihan. Fahri, sang tokoh utama, digambarkan sangat sempurna, tanpa kekurangan sedikit pun. Pembaca novel (apalagi penulis novel) mana pun tahu, itu kesalahan yang sangat fatal.

Aturan penting terkait tokoh dalam novel: “Jangan pernah menciptakan tokoh yang sempurna!” Patuhi aturan itu, dan pembacamu akan tertarik, karena merasa menemukan “teman”. Sebaliknya, langgarlah aturan itu, dan pembacamu akan muak, karena merasa “dibohongi”. 

Fahri, tokoh utama Ayat-Ayat Cinta, melanggar aturan penting itu, dan dia menjadi tokoh sempurna dalam novel. Karena itulah aku benar-benar kebingungan, bagaimana novel itu bisa heboh dan [konon] disukai banyak orang. Selain terlalu sempurna, Fahri juga sangat seksis dan patriarkis.

Diakui atau tidak, Fahri merepresentasikan tokoh yang diagung-agungkan oleh para pemuja patriarki—ganteng (bukan ganteng yang nakal), kalem (tidak pecicilan), saleh (taat beragama), berpendidikan (sekolah di luar negeri), suka menolong, beristri salihah, dan... tentu saja, berpoligami.

Gambaran itu, sebenarnya, belum jadi masalah yang parah, meski penokohannya yang “terlalu sempurna” sebenarnya sudah bermasalah. Tetapi, masalah yang jauh lebih parah terjadi pada Ayat-Ayat Cinta 2. Kali ini, Fahri—sang tokoh utama, sang superhero—bukan hanya patriarki, tapi juga seksis.

Dalam Ayat-Ayat Cinta 2, Fahri digambarkan bukan hanya sempurna, tapi juga menjadi dewa penolong. Dan mayoritas yang ditolongnya adalah para wanita! Fahri, dengan naluri patriarkinya, seolah ingin mengatakan, “Kita lihat, hei para wanita. Kalian tidak bisa apa-apa tanpa pria.” Atau semacam itu.

Perhatikan, dalam Ayat-Ayat Cinta 2, tokoh-tokoh perempuan digambarkan lemah, rapuh, rentan, dan membutuhkan pertolongan. Ada satu tokoh wanita yang kuat, yaitu Brenda, yang menjadi pengacara sukses, dan tanpa suami. And you know what? Dia digambarkan menjalani hidup yang hampa!

Dan akhir kisah Ayat-Ayat Cinta 2 bisa ditebak—tak jauh beda dengan akhir kisah Ayat-Ayat Cinta 1. Semua wanita itu ingin Fahri menikahi mereka! Kecuali Oma Catarina yang sudah tua, tentu saja. Oh, well, benar-benar penutup yang sempurna untuk sebuah kisah yang seksis dan patriarkis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Desember 2017.

Ada yang Bisa Mengklarifikasi Ini?

Lagi baca jurnal ilmiah, dan dari tadi merasakan kepala mau pecah. Ini salah satu isinya:

Banyak ibu rumah tangga yang didiagnosis menderita HIV, khususnya saat mereka hamil, dan secara spontan kita pun menuduh si suami (yang mungkin jajan di luar) dan menularkannya ke si istri.

Tapi bagaimana jika si suami kenyataannya bersih dari HIV dan sama sekali tidak pernah melakukan hubungan seks selain dengan istrinya?

Jawabannya, menurut jurnal dan beberapa buku yang sedang kupelajari: Kehamilan bisa membuat seorang wanita didiagnosis HIV positif!

Ini sangat mengejutkan, khususnya bagiku. Selama ini aku berpikir seperti kebanyakan orang, bahwa ibu-ibu rumah tangga yang didiagnosis HIV itu tertular suaminya yang gak beres. Ternyata yang "gak beres" belum tentu si suami, tapi juga media yang digunakan untuk tes HIV.

Kenyataannya, masih berdasarkan jurnal dan buku-buku yang sedang kupelajari, media/sarana yang digunakan untuk tes HIV (termasuk Test ELISA dan Western Blot) ternyata sangat riskan. Siapa pun bisa dinyatakan HIV positif, meski sebenarnya tidak mengidap HIV sama sekali. Kok bisa?

Berikut kutipan yang kuterjemahkan, "Semua test antibodi HIV sangat tidak akurat. Satu alasan bagi ketidakakuratan tersebut adalah; berbagai jenis virus, bakteri, dan antigen lainnya, dapat menyebabkan sistem imun untuk membuat antibodi yang juga bereaksi sama dengan HIV."

Akibatnya, masih dari kutipan yang kuterjemahkan, "Kalau kau sedang menderita atau baru saja sembuh dari flu, cacar, hepatitis, TBC, pneumonia, herpes, kanker, diare, dan lupus, hasil test HIV bisa mendiagnosismu HIV positif!"

Termasuk kalau kau sedang hamil dan menjalani tes HIV.

Cukup itu saja. Kalau ocehan ini kuteruskan, nanti ada yang nuduh aku termakan teori konspirasi.

Kalau tertarik ingin tahu lebih lanjut, silakan baca uraian Profesor Jacob Segal, ahli biologi di Humboldt University Jerman, di Jurnal Science edisi 1985 (227: 173-177).

Selain menulis artikel-artikel di jurnal ilmiah, Jacob Segal juga menulis buku yang mencengangkan, "AIDS: USA Home-made Evil".

Ada juga buku lain yang mengupas HIV/AIDS dengan sama mencengangkan, "What if Everything You Knew About AIDS is Wrong" karya Christine Maggiore.

"Kok kamu rajin banget, ya. Sudah larut malam gini masih mempelajari jurnal dan membaca buku..."

Ya sebenarnya sih ingin ndusel sama mbakyu! Tapi karena tidak punya mbakyu ya terpaksa (memaksa diri) untuk ndusel sama buku. Mosok ngene wae ora paham?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 April 2019.

Di Malaysia Ada Group Musik Bernama Slam

Saya cuma mau ngomong itu.

Salah Masang Watu

Dulu, waktu merenovasi rumah, saya kadang menemani para tukang yang sedang bekerja, memperhatikan mereka mengaduk pasir dengan semen, memasang batu bata, memplester tembok, dan lain-lain.

Suatu waktu, para tukang itu membicarakan salah satu bagian dinding, dan salah satu dari mereka mengatakan pada temannya, “Kui salah masang watu (itu salah memasang batu).”

Istilah “salah masang watu” itu sampai sekarang masih saya ingat, karena menurut saya unik dan... ternyata mengandung pelajaran penting.

Minggu yang Biasa

Hari Minggu yang biasa-biasa saja.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 April 2019.

Pecel Seharga Rp458 Miliar, Cek!

Cek ndasmu.

Festival Konsumerisme

Begitu pula Ramadan dan Idul Fitri, kalau boleh kutambahkan. Sama-sama festival konsumerisme dengan semangat "keagamaan".

....
....

Orang kadang ngemeng, “Apa salahnya Natal dimanfaatkan untuk memperbanyak penjualan? Apa salahnya Ramadan dan Idul Fitri dimanfaatkan untuk menaikkan harga barang dagangan?”

Well, bukankah pertanyaan itu saja sudah bermasalah, karena hanya melihat dari satu sudut pandang?

Mari lihat lebih dekat, dan pahami lebih cermat.

Yang sedari dulu kupersoalkan adalah kapitalisme terkait lebaran atau Idul Fitri, karena inilah yang paling bermasalah, dan berdampak panjang pada masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah.

Lebaran (Idul Fitri) sering, bahkan pasti, dimanfaatkan untuk menaikkan harga-harga barang. Alasannya klise, “Maklumlah, lebaran.” 

Tapi “harga lebaran” itu tidak juga turun, meski lebaran sudah lama berlalu. Akibatnya, lebaran serupa inflasi yang menggerus nilai uang.

Kalau harga barang naik saat Natal, paling dampaknya cuma seminggu, setelah itu normal kembali. Tapi kalau harga barang naik saat lebaran, dampaknya akan sangat lama, bahkan sering tidak turun lagi, lalu bertambah naik di lebaran tahun berikutnya. Itu fenomena di mana-mana.

Jika harga suatu barang (khususnya makanan) naik pas lebaran, hampir bisa dipastikan tidak akan turun kembali, bahkan akan naik lagi di lebaran berikutnya, dan begitu seterusnya. Aku pernah menulisnya secara ringan di sini: Harga Capcay Naik Tiap Tahun » http://bit.ly/18TYhjk 

Akibat lebaran, harga berbagai barang terus naik, dan pengeluaran masyarakat terus bertambah. Siapakah yang jadi korban? Mereka yang hidupnya sudah kembang kempis!

Lebaran, yang esensinya adalah menggembirakan, justru berubah menjadi tali yang mencekik kehidupan mereka.

Kenapa Idul Fitri di sini justru mendatangkan masalah? Karena kita merayakannya secara salah!

Lebaran dan Maaf yang Tidak Jelas » http://bit.ly/29obO7Y 
Dilema di Hari Raya » http://bit.ly/29BzWYw 
Sebaiknya Kita Tidak Usah Maaf-maafan di Hari Lebaran » http://bit.ly/2sZrexm 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Mei 2019.

Pulang Dugem

Seseorang baru pulang dari dugem sambil sempoyongan. Masuk Twitter dan langsung ngoceh soal moral. Lalu muntah-muntah di sudut kamar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Maret 2012.

Sulit Percaya

JADI INI SUDAH JAM ENAM...??? #SulitPercaya


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 April 2012.

Noffret’s Note: Margaret Thatcher

Kenapa malam ini orang-orang pada ngomongin Margaret Thatcher ya? Ada ratusan orang yang masuk ke blog juga pakai keyword itu.

Oh, ya ampun. Ternyata Margaret Thatcher meninggal? Lhah kirain dia sudah meninggal dari dulu? Rest in peace, Ma'am.

Bagi yang mungkin belum tahu atau belum kenal siapa Margaret Thatcher, silakan baca profil singkatnya sini. » http://bit.ly/10HneJL 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 April 2012.

Ora Usum

Iyo.

Minggu, 10 Maret 2024

Omong-omong Soal Menulis...

Setiap penulis, setidaknya yang sata tahu, memiliki kemampuan menulis dengan berbagai cara atau latar belakang. Terlepas dari bakat, ada penulis yang punya kemampuan menulis dari otodidak, ada yang karena rajin ikut kursus atau workshop menulis, dan lain-lain.

Cara seseorang memiliki kemampuan menulis biasanya akan ikut mempengaruhi jawabannya ketika dia ditanya bagaimana cara untuk bisa menulis, atau ketika dia diminta mengajari orang lain terkait menulis. Ini sesuatu yang mungkin sepele, tapi kita perlu memahami.

Jika Penulis A, misalnya, mendapatkan ilmu/pengetahuan menulis dari mengikuti workshop, kemungkinan itu pula yang akan jadi jawabannya ketika ditanya orang lain tentang cara bisa menulis. Apakah salah? Ya tidak, wong memang itulah yang dialami Penulis A, dan dia jujur.

Jadi, jika kita, misalnya, minta diajari menulis oleh Penulis A, kemungkinan besar Penulis A akan mengatakan, “Sebaiknya kamu rajin ikut kursus atau workshop saja, karena aku dulunya juga begitu. Sebelum bisa menulis seperti sekarang, aku rajin ikut kursus menulis,” dan bla-bla-bla.

Dalam hal ini, saya memiliki kemampuan menulis semata-mata karena otodidak. Saya tidak pernah mengikuti pendidikan formal/nonformal menulis, tidak pernah ikut kursus/workshop menulis, dan semacamnya. Yang saya lakukan hanya membaca buku—maksud saya, banyak buku. 

Dari membaca banyak buku, selama bertahun-tahun sejak kecil, saya seperti mendapat pelajaran tentang menulis yang baik, bagaimana merangkai kata dan kalimat, bagaimana menyusun alinea dan paragraf, sampai akhirnya bisa menulis buku hingga terbit secara komersial.

Karena latar belakang saya otodidak (rajin membaca buku hingga akhirnya punya kemampuan menulis), maka itu pula jawaban saya setiap kali ada yang minta diajari menulis. Saya tidak bisa mengajari. Jadi, saya hanya bisa mengatakan, “Bacalah banyak buku, nanti kamu bisa menulis.”

Sayangnya, jawaban semacam itu ternyata disalahartikan sebagian orang. Dulu, zaman kuliah, sebagian teman saya mengira saya tidak mau berbagi ilmu, hanya karena jawaban saya seperti itu. Padahal, saya menjawab seperti itu karena memang itulah yang saya lakukan, yang saya alami.

Saya tidak mungkin bertingkah sok pintar dengan memberi resep macam-macam kalau saya sendiri tidak melakukannya, kan? Karena saya bisa menulis berdasarkan rajin membaca buku, maka itu pula yang saya katakan. Sayangnya, seperti saya bilang tadi, jawaban itu disalahpahami.

Karenanya, ketika bikin blog di internet, saya sengaja membuat satu kategori khusus, yaitu Tentang Menulis, dan saat ini telah terkumpul puluhan catatan terkait pembelajaran menulis. Semua hal yang saya tahu tentang cara untuk bisa menulis, saya tuliskan di situ.

Sejujurnya, saya bingung kalau ada orang menyatakan ingin bisa menulis, atau ingin jadi penulis, tapi tidak pernah membaca buku. Itu sebenarnya konyol, karena tugas utama seorang penulis sebenarnya bukan menulis... tapi membaca! Semua penulis pasti seorang pembaca.

Sebagai penulis, saya tidak akan percaya kalau ada orang bisa menulis sangat bagus, tapi tidak pernah membaca. Bahkan jika dia punya bakat adimanusiawi (di atas rata-rata manusia) sekalipun, dia tidak akan bisa menulis, jika tidak pernah membaca! 

Jadi, kalau, umpama, misalnya, kamu ingin bisa menulis—apalagi ingin dapat penghasilan besar dari menulis seperti Tere Liye, misalnya—coba tanya diri sendiri, “Apakah aku senang membaca?” 

Jika jawabannya “tidak”, sebaiknya cari pekerjaan lain saja.

Menyambut Ramadan

Menyambut Ramadan yang akan datang sebentar lagi, aku ingin merekomendasikan beberapa buku menarik yang bisa dibaca dan dipelajari untuk mengisi waktu yang mungkin kosong sehari-hari. Kalau tertarik, sila cari 5 buku berikut ini. Dijamin rasa lapar dan haus akan terlupa seketika.

1. Godfrey Higgins: Anacalypsis
2. Martin Haug PhD: The Sacred Language, Writings, and Religions of the Parsis
3. Tomas Doreste: Moises Y Los Extraterrestres
4. Maliti J Shendge: The Languages of Harappans
5. GD Pande: Ancient Geography of Ayodhya
Apa isi 5 buku itu? Semuanya membahas dunia kuno, namun memiliki satu benang merah yang sama, yaitu pencarian dan pelacakan mengenai siapa Nabi Ibrahim, dan memberi jawaban mengapa namanya lekat (dilekatkan) pada agama, sehingga muncul istilah "agama ibrahimi". Mencengangkan!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Mei 2019.

Berbukalah dengan yang Putih-putih

Berbukalah dengan yang putih-putiiiiiiihhhh... Apeuuuuh. Emessshh.

Misalnya... air putih.

Wong air putih aja kok emesh. Piye aku ini ya Allah?

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Mei 2019.

Ruwet Luar Biasa

Barusan keluar, dan nyeselnya gak ilang-ilang.

Belum juga ramadan, belum juga lebaran, jalan raya udah macet dan ruwet luar biasa, seperti isi pikiranku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Mei 2019.

Ada Benarnya

Ada temanku yang kaget waktu tahu kalau aku juga mendengarkan lagu-lagu Sabyan Gambus, atau Ayisha Abdul Basith. Pernah dengar lagu mereka? 

Aku berkata kepadanya, “Mendengarkan lagu-lagu kayak gini bisa bikin hati adem.” 

Temanku ‘ngamuk’. Dia menjawab, “Tergantung punya duit apa gak, sih. Kalau lagi pusing karena gak punya duit, mau dengar lagu apa pun tetap pusing!” 

Aku ngakak. Dipikir-pikir yo ono benere.

Manfaat Bangun Pagi

Kata teman yang biasa bangun pagi, "Manfaat paling jelas dari bangun pagi adalah memungkinkanku melihat hari lebih panjang, daripada kalau aku bangun siang."

Aku sangat setuju dengannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 April 2019.

Mi Ayam yang Enak Banget

Sambil nunggu ganti oli, menikmati mi ayam, dan mikir. Ada mi ayam yang enak, dan ada mi ayam yang enak banget. Saking enaknya, sampai kuahnya saja sangat enak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Mei 2019.

Aras-arasen

Orang Jawa punya istilah "aras-arasen" (antara mau melakukan dan tidak ingin melakukan). Inilah yang sedang kurasakan. Ingin keluar, mau ganti oli, tapi rasanya aras-arasen.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Mei 2019.

Banjir Lagi Naik Turun

Banjir kayaknya lagi naik turun. Sore tadi mulai surut, sekarang hujan deras dan banjir naik lagi. Semoga yang kebanjiran juga dinaikkan derajat dan rezekinya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Februari 2019.

Kirain

Kirain musim hujan udah berhenti. Ternyata malah ada yang kena banjir.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 April 2019.

Bimu

Ooohh... bimu.

Jumat, 01 Maret 2024

Ayune Koyo Sripah

Orang-orang di lingkunganku kalau memuji wanita cantik biasa menggunakan kalimat, “Ayune koyo Sripah” (Cantiknya seperti Sripah). 

Sejak kecil, aku penasaran setengah mati siapakah Sripah, dan secantik apa dia, sampai dijadikan parameter kecantikan wanita. 

Kenapa orang-orang di lingkunganku tidak memuji kecantikan wanita dengan kalimat, misalnya, “Ayune koyo Paramitha Rusady” atau “Desy Ratnasari” dan seterusnya? 

Mungkin karena Sripah lebih cantik dari mereka. Tapi siapakah Sripah yang mereka sebut-sebut?

Waktu beranjak remaja, aku mulai tahu kalau “Sripah” yang sering disebut orang-orang untuk memuji kecantikan wanita itu merujuk ke wanita Arab. Jadi, “ayune koyo Sripah” bisa diartikan “cantiknya seperti wanita Arab”. 

Tapi kenapa wanita Arab disebut Sripah?

Aku pernah menanyakan hal itu pada mereka; kenapa menyebut wanita Arab dengan Sripah? Tapi tidak ada yang bisa menjawab, tidak ada yang mampu menjelaskan. Intinya, mereka hanya mengatakan bahwa sejak zaman kuno biasa menyebut wanita Arab dengan Sripah.

Sampai bertahun-tahun aku memendam kebingungan atas pertanyaan itu, dari kecil sampai dewasa, dan penasaran setengah mati pada Sripah. 

Belakangan aku sadar, bahwa “Sripah” yang mereka sebut-sebut itu sebenarnya berasal dari lidah orang Jawa menyebut “Syarifah”.  

Kesadaran mengenai hal itu akhirnya menjawab pertanyaanku selama bertahun-tahun, dan sejak itu aku bisa tidur dengan tenang. Salah satu pertanyaan terbesar dalam hidupku akhirnya terjawab. 

Dan siapakah “Syarifah”, yang oleh lidah orang Jawa disebut Sripah? 

Syarif/Syarifah adalah sebutan untuk keturunan Nabi SAW dari jalur Hasan. Hasan adalah putra Ali bin Abi Thalib, yang menikah dengan Fatimah, putri Nabi. Saudara Hasan bernama Husein, dan keturunannya disebut Sayyid/Sayyidah. (Tolong ralat kalau aku keliru).

Jadi, “Ayune koyo Sripah” bermakna, “Cantiknya seperti wanita keturunan cucu Nabi.” Subhanallah.

Lalu aku ingin punya mbakyu yang ayune koyo Sripah. Appeuhhh...

Apakah Kamu Pernah ke Điện Biên Phủ?

Dua bocah bercakap-cakap. Bocah pertama bertanya, “Apakah kamu pernah ke Điện Biên Phủ?”

“Belum pernah,” jawab bocah kedua.

“Kalau begitu, hidupmu sungguh sia-sia.”

Bocah kedua kaget. “Kenapa hidupku sia-sia karena belum pernah ke Điện Biên Phủ?”

“Aku tidak tahu,” jawab bocah pertama, “aku hanya berpikir betapa hidup ini sungguh sia-sia jika kita belum pernah ke Điện Biên Phủ.”

Bocah kedua manggut-manggut. “Jadi, kamu pernah ke Điện Biên Phủ?”

“Belum,” jawab bocah pertama.

Lalu dua bocah itu sama-sama menyadari betapa hidup mereka sungguh sia-sia.

Siksa adalah Rindu

Siksa adalah rindu tak tersampaikan, kebingungan tanpa tahu jawaban, kegalauan tanpa pengetahuan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 April 2012.

Denting Terlirih dari Musik

Ada sepuluh lagu dari berbagai album Shima yang masuk playlist-ku sekarang, dan sering kudengarkan akhir-akhir ini, kapan pun sempat. 

Bagi yang mungkin belum tahu, Shima adalah penyanyi pop Malaysia era ’90-an. Nama lengkapnya Nazhatul Shima Kamaruzzaman. Pada masanya, Shima sama populer dengan Aishah, Ning Baizura, Ziana Zain, Fauziah Latif... sampai kemudian muncul Siti Nurhaliza.

Aku suka lagu-lagu mereka, tapi paling favorit adalah Shima dan Aishah, dalam arti yang paling sering aku dengarkan sampai sekarang. Di luar penyanyi pop wanita, tentu saja aku masih suka lagu-lagu yang dinyanyikan grup musik Malaysia, dari Exist, Uk’s, sampai Iklim.

Banyak temanku yang bilang, selera musikku sangat gado-gado, genre apa pun masuk. Ya memang, dan menurutku itu baik-baik saja. Musik itu kan selera, dan selera orang bisa berubah, sekaligus bisa beragam, dalam arti bisa menikmati genre [musik] apa pun.

Menurutku, dan ini mungkin tidak terpikir sebagian orang, hal penting untuk menikmati musik—selain selera—adalah audio/speaker yang kita gunakan. Musik sebagus apa pun bisa terdengar “biasa” atau malah buruk, jika kita dengarkan lewat audio berkualitas buruk. 

Sebaliknya, musik yang mungkin biasa-biasa saja, bisa terdengar bagus ketika didengarkan lewat audio yang bagus. Menurutku, keindahan musik itu ketika “denting terlirih”-nya terdengar. Dan itu hanya bisa kita dapatkan lewat penggunaan audio yang bagus.

Perangkat audio yang bagus tidak harus mahal-mahal amat. Altec atau Harman Kardon itu relatif bagus, dan sudah mampu memperdengarkan “denting terlirih” dari sebuah musik. Kalau ponselmu kebetulan pakai audio Harman Kardon, kamu pasti akan tahu. 

Jadi, kalau sewaktu-waktu mendengar lagu yang menurutmu jelek atau “biasa”, coba dengarkan lagu itu di perangkat yang memiliki audio bagus. Kemungkinan besar, penilaianmu pada lagu itu akan berubah. Kamu akan mendengar sesuatu yang tadinya tidak kamu dengar.

Ini bukan berarti semua lagu pasti bagus. Karena, seperti disebut tadi, musik adalah soal selera. Jadi kemampuan kita menerima suatu lagu juga dipengaruhi oleh selera kita. Mau lagunya bagus, pakai audio bagus, kalau bukan selera kita ya tetap akan terdengar biasa saja.

Satu Lagi

Satu lagi hari usai, satu lagi malam pergi. 
Dan keraguan masih menemani. 
Di sini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Juni 2014.

Tidak Ada Keabadian

Tidak ada keabadian dalam hidup. Pun cinta. Atau hati. Atau pikiran. Segalanya berubah. Yang tidak pernah berubah hanyalah perubahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 April 2012.

Pengetahuan Langit

Semua ini sebenarnya itu.

Hidup Tetap Soal Pilihan

Hidup adalah soal pilihan. Kenapa aku harus memilih yang sulit, jika aku punya pilihan lain yang lebih baik?

Hidup tetap soal pilihan. Kenapa harus memilih yang menyakitkan, jika ada pilihan lain yang lebih membahagiakan?

Hidup (masih) soal pilihan. Kenapa aku harus menyakiti diri sendiri jika aku punya pilihan yang lebih baik?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 April 2012.

Pada Akhirnya

“Pada akhirnya,” aku berkata pada tutup teko di dapur, “kita semua akan menjadi burung dodo.”

Kangen Dipendam

ORANG KANGEN JANGAN DIBIKIN BECANDAAN!

Kangen kalau dipendam jadinya begini. Meriang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 April 2012.

Lampu Es

Namanya juga lampu es.

Jongos Sutarto Gagal Poligami, Lalu Jadi Penjahat

Dulu, Jongos Sutarto pernah hampir poligami dengan seorang wanita, tapi “impian indah” itu buyar setelah istrinya menentang. Hal itu sepertinya menjadi salah satu penyebab Jongos Sutarto mengalami impotensi, dan stres berat, lalu jadi penjahat di internet. Dia bahkan sampai menawar-nawarkan istrinya ke orang-orang lain di internet.

....
....

Bagi yang ingin tahu siapa Jongos Sutarto, kisah lengkapnya, dan seperti apa orangnya, silakan DM saya di Twitter.  

Selasa, 20 Februari 2024

Bayi-bayi Perempuan di Zaman Jahiliyah

Di Twitter, beberapa kali saya mendapati lontaran pertanyaan dan perdebatan mengenai “bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup di zaman jahiliyah”. Kisah itu terkenal, bahkan menjadi bagian sejarah [pra]-Islam. Para ustaz atau penceramah, misalnya, kerap menceritakan bahwa seperti itulah kengerian peradaban jahiliyah, sebelum kedatangan Islam.

Yang jadi masalah, kisah itu menimbulkan tanda tanya... dan catatan ini akan menjawab pertanyaan mereka.

Kisah tentang “mengubur bayi perempuan hidup-hidup di masa jahiliyah” tampaknya membingungkan bagi sebagian orang, karena memang terkesan kontradiktif dengan kenyataan. Mudahnya, kalau bayi-bayi perempuan di zaman itu dibunuh, lalu bagaimana regenerasi mereka berkembang? Kasarnya, bagaimana mereka bisa beranak pinak, kalau para perempuannya dikubur hidup-hidup sejak masih bayi?

Sebenarnya, kisah itu tidak “sekolosal” yang mungkin kita bayangkan. Praktik membunuh bayi perempuan pada masa jahiliyah itu sebenarnya tak jauh beda dengan praktik kriminal pada anak/bayi di masa sekarang—ada orang yang melakukan, tapi tidak berarti semua melakukan. 

Bedanya, kalau membunuh anak di masa sekarang dianggap kejahatan dan dihukum, pelaku pembunuhan anak di masa jahiliyah tidak dituntut hukuman apa pun, karena praktik itu terkait dengan tradisi kabilah/suku setempat. Ini poin pentingnya: Praktik itu dilakukan secara eksklusif. Dengan kata lain, tidak semua orang di zaman itu mengubur bayi perempuan mereka hidup-hidup!

Bangsa Arab terdiri dari suku-suku atau kabilah, dan—khususnya di masa jahiliyah—masing-masing kabilah punya adat, tradisi, serta kebiasaan sendiri-sendiri. Ada kabilah yang kaya, ada pula kabilah yang miskin. Perbedaan ekonomi itu mempengaruhi tradisi dan kebiasaan mereka.

Kabilah yang kaya, misalnya, tidak terlalu masalah membiayai dan membesarkan anak, laki-laki ataupun perempuan. Tapi kabilah yang miskin sering kesulitan membesarkan anak, karena faktor ekonomi. Ditambah adat jahiliyah, mereka pun akhirnya main “hitung-hitungan primitif”.

Hitung-hitungan primitif itu sederhana: Kalau anakmu laki-laki, dia bisa membantumu bekerja mencari nafkah, untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Tapi kalau anakmu perempuan, dia tidak bisa apa-apa, dan hanya makin membebanimu. (Ingat, ini pola pikir orang miskin jahiliyah.)

Berawal dari pola pikir semacam itulah, lalu muncul adat mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Praktik ini lebih banyak dilakukan kabilah-kabilah miskin, karena alasan tadi. 

Selain alasan ekonomi, ada pula kabilah yang berpikir bahwa punya anak perempuan adalah aib.

Mengapa sampai muncul pemikiran bahwa anak perempuan adalah aib? Jawabannya sangat panjang, tapi dapat disingkat dengan meminjam istilah zaman sekarang: Stockholm syndrome. 

Pada masa jahiliyah, sering terjadi perang antarkabilah. Kabilah yang menang akan merampas harta benda kabilah yang kalah, dan menawan para wanitanya. Tawanan-tawanan wanita itu akan dibebaskan, jika ada tebusan dari pihak kabilah yang kalah, dan si tawanan bersedia.

Kalau kabilahmu kalah dalam perang jahiliyah, dan adik perempuanmu ditawan kabilah yang menang, misalnya, kamu bisa menebus adik perempuanmu untuk membawanya pulang—dengan catatan; uang tebusanmu cukup, dan adik perempuanmu bersedia diajak pulang. 

Dalam proses itu, ada kalanya tawanan-tawanan perempuan tidak mau diajak pulang, meski pihak keluarga/kabilahnya telah menyiapkan uang tebusan. Itulah yang disebut Stockholm syndrome, yaitu fenomena ketika pihak yang disandera justru bersimpati (tertarik, atau bahkan jatuh cinta) kepada pihak yang menyandera.

Fenomena itu pula yang lalu memunculkan adat “mengubur bayi perempuan karena alasan malu atau aib”. Pikir mereka, waktu itu, daripada perempuan-perempuan itu kelak menimbulkan aib—karena ditawan musuh tapi tak mau diajak pulang—jauh lebih baik dibunuh sejak bayi. Tradisi ini muncul, khususnya, pada kabilah-kabilah yang lemah atau yang memiliki anggota sedikit, sehingga rentan kalah dalam perang antarkabilah.

Berlatar fenomena itu pula, Qais bin ‘Ashim [yang kelak jadi sahabat Nabi] sampai membunuh 8 anak perempuannya di masa jahiliyah. Karena dia pernah dipermalukan oleh keponakan perempuannya, ketika si keponakan ditawan musuh, dan mengalami Stockholm syndrome.

Kisahnya, waktu itu, kabilah al-Misymaraj al-Yasykari menyerang kabilah Bani Sa’ad (kabilah Qais bin ‘Ashim), lalu merampas harta Bani Sa’ad dan menawan para wanitanya. Salah satu wanita yang ditawan kabilah al-Misymaraj adalah keponakan perempuan Qais bin ‘Ashim.

Setelah berdamai, Qais bin ‘Ashim mendatangi kabilah al-Misymaraj untuk mengambil pulang keponakannya, dengan sejumlah tebusan. Pada waktu itu, ternyata, keponakan Qais bin ‘Ashim telah—sebut saja—pacaran dengan ‘Amr bin Misymaraj. Ending-nya sangat tidak enak.

Qais bin ‘Ashim meminta ‘Amr bin Misymaraj agar menyerahkan keponakannya. ‘Amr bin Misymaraj mengatakan, “Aku serahkan urusan itu pada dia sendiri. Jika dia memilihmu, ambillah.” Tapi keponakan Qais bin ‘Ashim lebih memilih bersama ‘Amr bin Misymaraj.

Peristiwa itu membuat Qais bin ‘Ashim sangat marah sekaligus malu. Dia segera pulang ke kabilahnya, dan—dengan amarah yang masih membara—dia mengubur setiap anak perempuan dari kabilahnya, termasuk anak-anak perempuannya sendiri. 

Inilah asal usul tradisi mengerikan itu.

Sejak itu, tiap ada keluarga dari kabilah Bani Sa’ad punya anak perempuan, mereka akan menguburnya hidup-hidup, karena khawatir akan menimbulkan aib dan malu—merujuk pada kisah keponakan Qais bin ‘Ashim tadi. Kebiasaan itu lalu ditiru beberapa kabilah lain, dengan alasan serupa.

Jadi, praktik mengubur bayi perempuan itu memang ada di zaman jahiliyah, tapi bukan berarti semua orang di masa itu melakukannya. Ada banyak anak perempuan yang lahir di kabilah kaya, dan tumbuh besar hingga dewasa, bahkan juga kaya—yang paling terkenal, misalnya, Khadijah, yang belakangan jadi istri Nabi Muhammad.

Yang menjadikan kisah “mengubur bayi perempuan hidup-hidup di masa jahiliyah” sangat terkenal, sebenarnya, karena kisah itu disematkan pada Umar bin Khattab, yang belakangan menjadi salah satu khalifah. Ironisnya, kisah itu justru keliru, bahkan menjurus fitnah. 

Lebih ironis lagi, banyak orang Islam tidak tahu sejarah ini, dan ikut keliru—bahkan menelan mentah-mentah—sejarah yang ditulis secara keliru. Ada banyak guru/ustaz yang kerap mengisahkan Umar mengubur anak perempuannya, untuk mengilustrasikan zaman jahiliyah, padahal keliru.

Sedikit meluruskan soal ini. Ketika Muhammad menjadi Nabi, usia Umar bin Khattab waktu itu 27 tahun. Dia telah menikah, waktu itu, dan punya 3 anak, yaitu Hafsah, Abdullah, dan Abdurrahman. Dan semuanya masih hidup! Jadi, anak mana yang dibunuh Umar? 

[Hafsah, anak perempuan Umar, bahkan belakangan menjadi salah satu istri Nabi Muhammad. Padahal, ketika Hafsah masih bayi hingga beranjak remaja, ia dan keluarganya hidup di zaman jahiliyah—fakta tak terbantah bahwa Umar bin Khattab tidak membunuh anak perempuannya.]

Lebih lanjut soal ini. Umar bin Khattab berasal dari kabilah Bani ‘Ady, yang tidak punya tradisi mengubur anak. Umar juga memiliki hubungan sepupu dengan seorang aktivis penyelamat bayi, bernama Sha’sha’ah bin Najiyah Al-Tamim—dia semacam aktivis HAM di masa sekarang. 

Sha’sha’ah adalah pemimpin kabilah Bani Tamim yang kaya. Dia menggunakan hartanya untuk menebus bayi-bayi yang akan dibunuh orang tuanya. Satu bayi ditukar dengan dua unta. Kenapa dia mau melakukannya? Karena dia menentang pembunuhan bayi, dan itulah yang bisa dia lakukan. 

Dari masa jahiliyah sampai kemudian Islam datang, Sha’sha’ah telah menyelamatkan 300-an bayi yang nyaris dibunuh orang tuanya sendiri. Dan dia adalah sepupu Umar bin Khattab! Jadi sangat aneh dan tak masuk akal kalau Umar justru disebut membunuh anak perempuannya sendiri!

Lalu bagaimana bisa muncul kisah mengenai Umar bin Khattab mengubur bayi perempuannya? Berdasarkan sejarah, setidaknya ada dua hal yang menjadi kemungkinan mengapa kisah “Umar mengubur bayi perempuannya” sangat terkenal, bahkan sampai sekarang. Kemungkinan pertama adalah gara-gara salah dengar yang menimbulkan salah paham.

Jadi, ketika Umar telah masuk Islam, Nabi Muhammad suatu ketika menyampaikan QS. At-Takwir: 8-9, “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh...”

Mendengar ayat itu, Umar mengatakan, “Dulu, Qais bin Ashim pernah datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Aku telah mengubur 8 putriku hidup-hidup di zaman jahiliyah.’ Nabi lalu bersabda, ‘Merdekakanlah seorang budak perempuan untuk setiap orang dari mereka.’ Qais bin Ashim menyahut, ‘Aku hanya seorang peternak unta (tidak punya budak).’ Nabi menjawab, ‘Kalau begitu, sembelihlah seekor unta untuk masing-masing dari mereka’.” 

Kisah itu diriwayatkan Ath-Thabarani dalam al-Kabir, Al-Bazzar dalam al-Bahru az-Zakkhar, dan Al-Baihaqi dalam al-Kubra. 

Bisa jadi, ketika Umar mengisahkan cerita tadi, ada orang-orang yang salah dengar, lalu salah paham, dan mengira bahwa Umar dulu pernah mengubur bayi perempuannya di zaman jahiliyah. Padahal, yang dimaksud Umar dalam cerita itu adalah Qais bin Ashim. Sayangnya, orang-orang yang salah dengar dan salah paham tadi tidak melakukan verifikasi, lalu menyebarkannya ke orang-orang lain, sampai belakangan kisah keliru itu terwariskan ke zaman kita.

Kemungkinan kedua yang menyebabkan kisah “Umar mengubur bayi perempuanya” sangat terkenal, karena kisah itu sengaja dimunculkan sebagian pihak, terkait intrik politik ketika Umar akan diangkat menjadi Khalifah. Karenanya, semua kisah terkait hal itu tidak ada yang memiliki sanad jelas.

Akhirnya, kesimpulannya, praktik membunuh bayi perempuan di masa jahiliyah benar-benar ada, tapi bukan berarti semua orang di masa itu melakukannya. Karenanya, regenerasi tetap terjadi, bahkan dari zaman itu, karena populasi perempuan juga masih banyak.


Postscript:

Jika ingin mempelajari topik ini lebih lanjut, silakan lihat kisah Fatkhu Makkah. Sementara catatan ini merujuk pada: 
  • Al Mu’jamu Al Kabir (Ath Thabarani)
  • Al Mufashshal fi Târîkh Arab Qabla al Islâm (Jawad Ali)
  • Al Qabasu Al Waddha’ (Mohd Tayyib An Najjar)
  • Ar Rasul Shallallahu Alaihi Wassalam (Syeikh Said Hawa bin Muhammad Hawwa)
  • Al-Tahrir wa Al-Tanwir (Muhammad Al-Tahir bin Asyur)
  • Shahih Bukhari
  • Shahih Muslim
  • Tafsir Al Misbah (Prof. M. Quraish Shihab)
  • The Meccan Crucible (Zakaria Bashier)

Transfer 100 Juta, dan Aku Akan Menemuimu

Transfer 100 Juta, dan Aku Akan Menemuimu

Postscript-nya ketinggalan:

Transfer 100 juta, dan aku akan duduk di depanmu, membicarakan apa pun yang kamu mau.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Januari 2023.

Yang Mengagumkan

Yang mengagumkan dari yang paling mengagumkan adalah hati yang tak pernah tua.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Mei 2014.

Orang Paling Merdeka

Orang paling merdeka di dunia adalah yang bukan siapa-siapa. Tak perlu merendah kepada siapa pun, tak perlu berharap ditinggikan siapa pun.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Juni 2014.

Cara Terbaik Jatuh Cinta

Cara terbaik jatuh cinta kepada bunga adalah membiarkannya tumbuh mekar.

Memetik bunga dengan alasan tertarik kepadanya adalah tindakan keliru. Begitu dipetik, bunga segera layu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Mei 2014.

Tidak Ada

Tidak ada satu obat untuk semua penyakit, tidak ada satu jawaban untuk semua pertanyaan. 

Hal Tersulit di Dunia

Hal tersulit di dunia ini adalah tetap menjadi dirimu sendiri, sementara seluruh dunia berusaha mengubahmu menjadi orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2012.

Keyakinan Konyol

Satu dekade yang lalu, ada semacam keyakinan bahwa perut buncit—khususnya pada laki-laki—adalah tanda kemakmuran. Mungkin karena banyak orang kaya yang perutnya buncit. Keyakinan itu benar-benar diyakini banyak orang, hingga mereka senang atau bangga dengan perutnya yang membuncit.

Sampai kemudian, sekian tahun lalu, para pakar kesehatan mulai memberitahu bahwa perut buncit bisa berbahaya bagi kesehatan, karena orang berperut buncit rentan terkena aneka penyakit, dari kolesterol, diabetes, penyakit jantung, sampai kanker. Perut buncit bisa jadi sumber penyakit.

Sayangnya, woro-woro dari para pakar kesehatan itu tidak sampai ke segenap lapisan masyarakat. Akibatnya, masih banyak orang yang meyakini kalau punya perut buncit itu hebat. Sampai-sampai mereka terkesan ingin memamerkan perut buncitnya, agar dianggap orang kaya.

Tidak Doyan Gorengan Adem

Aku tidak doyan gorengan adem.

Kamu bisa menembak kepalaku, dan persetan denganmu.

Iya

Capek banget.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juni 2019.

Jongos Sutarto Impoten

Jongos Sutarto menderita impotensi, dan hal itu membuat hidupnya hampa. Tampaknya, latar belakang itu menjadikan dia melakukan hal-hal tertentu yang mungkin bisa membuatnya punya gairah hidup, meski jahat dan merugikan orang lain. Beberapa kali dia ketahuan mengirimkan virus dan trojan ke komputer orang-orang lain, khususnya orang-orang yang ia kenal di dunia maya. 

Bagi yang ingin tahu siapa Jongos Sutarto, silakan DM saya di Twitter.

Semuh

Oooh...

Sabtu, 10 Februari 2024

Bocah Terluka

Zaman SMA dulu, saya biasa ke sekolah naik sepeda. Jarak sekolah dari rumah lumayan jauh. Tapi yang jadi masalah bukan jaraknya, melainkan ketika hujan turun. Kalau saya tetap bersepeda ke sekolah, tubuh akan basah kuyup kena hujan. Tak peduli secepat apa pun melaju.

Suatu pagi, hujan turun cukup lebat. Saya tidak mungkin menerobos hujan selebat itu dengan naik sepeda. Jadi, saya terpikir untuk naik becak saja, agar terlindung dari hujan. Ketika mencoba minta uang ke ibu untuk naik becak, dia marah, “Tidak usah bertingkah seperti orang kaya!”

Akhirnya saya berangkat ke sekolah dengan jalan kaki, agar bisa “meripit” (lewat pinggir-pinggir jalan yang terlindung atap), hingga tidak terlalu kena air hujan—meski nyatanya tubuh saya tetap basah. Tapi “meripit” lebih baik daripada nekat naik sepeda di bawah hujan.

Seperti yang saya bilang tadi, jarak rumah ke sekolah lumayan jauh. Dengan sepeda, kira-kira butuh seperempat jam. Dengan jalan kaki—apalagi dengan cara meripit seperti tadi—saya butuh waktu lebih lama. Dan tentu saja saya terlambat masuk sekolah. Gerbang telah tutup.

Di SMA saya dulu, kalau kamu datang terlambat, kamu tidak boleh masuk. Untungnya, saya punya “privilese”. Semua guru mengenali saya sebagai murid berprestasi, dan saya mengumpulkan banyak piala untuk sekolah. Jadi, mereka selalu “punya maaf untuk kesalahan yang saya lakukan”.

Sekarang bayangkan, andai saya dibelit kemiskinan—sebegitu miskin, hingga “tidak usah bertingkah seperti orang kaya!”—dan saya tidak punya prestasi apa pun di sekolah. Di rumah, saya mendapati kepahitan. Sementara masuk sekolah, saya akan diusir karena terlambat.

Dan itulah yang terjadi pada jutaan anak miskin di negara ini, juga di negara-negara lain. Kemiskinan tidak hanya melemparkan mereka dalam kepahitan, tapi juga melukai jiwa mereka; sebentuk luka yang mungkin tak pernah mereka katakan, karena dunia tak pernah memahami.

Karenanya, saya setuju saat seseorang mengatakan, “Dalam kemiskinan struktural, para orang tua tidak berani menyuruh anaknya untuk bermimpi setinggi langit.” 

Yang terjadi pada saya, tepat seperti itu. Tiap kali saya mengatakan impian atau cita-cita saya, orang tua akan mematahkannya.

Kemiskinan struktural bisa merusak manusia—bahkan kemanusiaan—hingga begitu parah. Karena kemiskinan struktural tidak hanya memiskinkan orang secara ekonomi, tapi juga sampai tataran ideologi. 

....
....

Sudah saatnya kita sudahi segala macam omong kosong berbau romantisasi, karena nyatanya kemiskinan tidak romantis sama sekali. Dan tak perlu mengglorifikasi kemiskinan—yang hanya membohongi diri sendiri—karena nyatanya hanya berisi trauma, luka, dan air mata.

Kemiskinan struktural hanya akan melahirkan tiga kemungkinan: Satu, orang miskin lain. Dua, sosok yang mungkin terlihat sukses [secara sosial] tapi sebenarnya menyimpan bekas keperihan. Dan tiga, bocah terluka yang berambisi meruntuhkan peradaban. 

Jongos Sutarto Menawar-nawarkan Istrinya

Jongos Sutarto adalah penjahat licik sekaligus menjijikkan. Dia berteman dengan orang-orang di internet—khususnya para blogger yang dulu aktif—tapi diam-diam mengirim virus dan trojan ke e-mail teman-temannya sendiri. Saya termasuk yang dikirimi trojan oleh Jongos Sutarto.

Dalam upaya memperdaya orang-orang yang ia kirimi virus/trojan, Jongos Sutarto menggunakan istrinya sebagai umpan. Jadi, di badan e-mail, dia menawarkan istrinya sendiri untuk “dipakai” orang-orang. 

Bagaimana bisa ada orang sebejat itu? Ceritanya cukup panjang. Dari potongan-potongan catatan yang telah saya tulis—dan yang akan saya tulis—seputar Jongos Sutarto di blog ini, kalian bisa merangkainya sendiri hingga menjadi sebuah kisah yang utuh. 

Bagi yang ingin tahu siapa Jongos Sutarto, dan ingin tahu seperti apa orangnya, silakan DM saya di Twitter.

Dianggap Baik Si Pemberi, tapi Dianggap Buruk Si Penerima

Dalam pergaulan sehari-hari, mungkin ada teman kita yang terkenal "suka menasihati", dan biasanya kita pun menjauh dari orang semacam itu. Masalahnya bukan nasihatnya yang salah, tapi karena dia membuat kita tidak nyaman (khususnya dalam berteman).

Ada temanku yang semula suka jajan siomay yang lewat di depan rumahnya. Tapi belakangan dia bersumpah tidak akan pernah membeli siomay orang itu lagi. Alasannya, penjual siomay itu suka nyinyir menanyakan kapan menikah, kenapa belum menikah, dan semacamnya.

Aku pernah mendapati seorang anak yang marah pada ibunya karena terus diingatkan. Mungkin niat si ibu memang baik (mengingatkan anaknya), tapi si anak juga punya hak untuk hidup tenteram tanpa terus menerus mendengar nyinyiran ibunya.

Kebiasaan "mengingatkan", "menasihati" (dalam hal ini yang dilakukan secara langsung pada orang per orang, apalagi berulang-ulang), sering dianggap sebagai hal baik oleh si pelaku (pemberi nasihat), tapi dianggap hal buruk oleh si penerima nasihat.

Dulu ada kasus viral, mengenai orang yang mendatangi warnet-warnet, lalu berceramah pada orang-orang di warnet. Mungkin maksudnya baik. Yang dia lupa, apakah orang-orang di warnet memang butuh ceramahnya? Alih-alih senang, orang-orang di warnet malah muak.

Salah satu temanku bernama Adit. Orang tua Adit pernah berkata kepadaku, "Tolong sering nasihati Adit. Dia lebih mendengarkanmu daripada mendengarkan kami."

Aku menjawab, "Justru karena dia lebih mendengarkanku, aku tidak akan pernah menasihatinya, kecuali dia yang meminta."

Temanku yang lain pernah berkata, "Kadang aku berpikir hidup ini sungguh terkutuk! Aku menyesal telah lahir ke dunia ini."

Aku bilang kepadanya, "Tentu saja kamu berhak berpikir seperti itu."

Dia kaget. "Kenapa kamu malah ngomong begitu?"

"Aku temanmu, bukan orang tuamu."

Hubungan yang paling erat sekali pun bisa rusak dan merenggang, ketika ada salah satu pihak yang punya hobi "mengingatkan" atau suka nyinyir "menceramahi". Dari hubungan keluarga, persaudaraan, suami istri, sampai hubungan pertemanan. 

Jangan menasihati jika tidak diminta!

Bahkan perasaan cinta pun bisa pudar, dan berganti kemuakan, ketika orang yang membuat kita jatuh cinta ternyata suka "mengingatkan" atau doyan "menceramahi", hingga membuat kita tidak nyaman. Jika tidak percaya, sila buktikan. Dan "I love you" bisa berubah menjadi "Fuck you!"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Oktober 2019.

Tidak Suka Konten

Sukanya kontan.

Survival dan Kemiskinan

Kemiskinan bisa disebabkan berbagai hal, dari sistem yang rusak, SDM yang rendah, sampai takdir, dan lain-lain. Dalam hal ini, aku percaya kemiskinan adalah hasil kombinasi dari sistem yang rusak dan SDM yang rendah. 

Terlepas bagaimana asal usul kemiskinan, orang per orang menghadapi kemiskinan dengan cara berbeda. Ada yang sadar dirinya miskin, dan tidak buru-buru menikah, karena sadar diri, “Wong aku menghidupi diri sendiri saja masih susah, apalagi menghidupi keluarga?”

Sebaliknya, ada orang menghadapi kemiskinan dengan pola pikir sebaliknya, yaitu dengan segera menikah, lalu punya anak-anak, yang ia harapkan jadi semacam “upaya survival” menghadapi kehidupan yang miskin. 

Srok, Usrok

Ooh, namanya Usrok.

Pamer yang Diterima

Mengapa banyak orang memamerkan barang-barang yang bersifat materi, seperti mobil, tas, sepatu, bahkan rumah? 

Karena rata-rata kita, kenyataannya, lebih bisa menerima orang yang pamer benda-benda materiil, bahkan jika benda-benda yang dipamerkan itu “tak masuk akal”.

Ada orang yang pamer mobil sport miliknya, yang jumlahnya “tak masuk akal”—misalnya selusin. Itu tak masuk akal, karena selusin mobil sport butuh uang puluhan/ratusan miliar, yang tak terjangkau kebanyakan kita. Tapi rata-rata kita bisa menerima pameran semacam itu.

Sekarang andaikan ada orang pamer sesuatu yang tidak bersifat materi (kebendaan). Misalnya ada orang mirip Magneto, yang bisa memanipulasi logam dengan kekuatan pikirannya. Kira-kira, apa reaksi kita? Mungkin tak percaya, mungkin ketakutan, atau mungkin pula membencinya. Itu jenis pamer yang tidak bisa kita terima.

Pemilu Kemarin

Hidup adalah soal pilihan. Pemilu kemarin aku tidak memilih apa pun atau siapa pun. Kupikir, itu pilihan terbaik yang bisa kulakukan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2012.

Tau

Iya.

Memilih

Memilih adalah soal pilihan. Memilih untuk tidak memilih juga termasuk pilihan. Aku tidak akan memilih, karena aku punya pilihan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Kamis, 01 Februari 2024

Orang Tidak Pernah Berubah

“Mungkin dia telah berubah.” Itu salah satu kalimat populer yang kerap kita dengar, bahkan mungkin sering kita ucapkan. Saya telah belajar bahwa itu kalimat yang bisa berbahaya bagi kita... karena, nyatanya, orang tidak pernah berubah.

Di suatu waktu, kita mungkin mengenal seseorang, percaya kepadanya, lalu dia berkhianat, dan kita terluka, kehilangan kepercayaan kepadanya. Kita pun menjauh darinya. Lalu, di suatu waktu kemudian, kita kembali dekat, dan berpikir, “Mungkin dia telah berubah.”

Sekali lagi, saya telah belajar kenyataan pahit ini: Faktanya, [kebanyakan] orang tidak pernah berubah! Sekali seseorang berkhianat kepadamu, selalu ada kemungkinan dia akan kembali mengkhianatimu. Kamu pikir kenapa para mafia tidak punya maaf untuk para pengkhianat?

Kepribadian kita umumnya terpahat dari kecil, lingkungan, pengalaman, dan itulah yang membentuk kita. Ada orang yang mudah memaafkan, misalnya, ada pula yang tidak. Ada yang pendendam, ada pula yang tidak. Semua itu terkait kepribadian orang per orang. 

Dan hal-hal yang terkait dengan watak dasar, biasanya sulit—atau bahkan tidak pernah—berubah. Karenanya, di dunia perkawinan, sebagian psikolog sampai mengatakan, “Sekali seseorang berselingkuh, selalu ada kemungkinan dia akan kembali selingkuh.” 

Jadi, saya tidak percaya dengan kalimat manis ini, “Mungkin dia telah berubah.” Karena faktanya orang tidak pernah berubah. Kamu, saya, kita semua, sebenarnya masih orang yang sama seperti kita sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Cuma fisik kita yang berubah.

Kalau kamu orang yang mudah memaafkan, misalnya, sampai saat ini pun kamu tetap mudah memaafkan, bahkan umpama kamu telah dilukai sampai sakit hati. Sebaliknya, kalau kamu orang pendendam, saya juga berani bertaruh; sampai saat ini pun kamu masih pendendam. 

Itu pula alasan saya menjauh dari orang-orang manipulatif. Manipulatif, sama seperti kepribadian lain, biasanya tidak [akan] pernah berubah. 

“Mungkin dia telah berubah.” Tidak. Dia masih orang yang sama. Pikiran memang bisa berubah. Tapi kepribadian... tidak.

Sudahlah Jongos Sutarto, Obati Saja Impotenmu

Sudahlah, Jongos Sutarto. Kamu mau klak-klik artikel apapun di blogku, mau pakai VPN dari negara mana pun, sudah ketahuan kamulah pelakunya, kamulah penjahatnya. Bahkan aku tahu kamulah yang mengutak-atik akunku di X atau Twitter. Kamu pikir tidak akan ketahuan?

Guys, inilah orang yang mengutak-atik akunku di X. Namanya Jongos Sutarto. Jika ingin tahu siapa dia dan seperti apa orangnya, silakan DM ke akunku.

Yang mengutak-atik akunku di X bukan kubu 01 atau kubu 02, tapi seorang penjahat internet bernama Jongos Sutarto. Selama ini dia sangat khawatir karena aku terus membongkar kejahatannya di internet, khususnya kejahatannya mengirim virus/trojan ke email orang-orang. Hanya nasib baik yang membuatnya saat ini belum masuk penjara.

Aku sudah sangat mengenali taktik liciknya yang suka adu domba. Jadi, Jongos Sutarto sengaja mengutak-atik akunku di X, agar aku mencurigai kubu 01 atau kubu 02. Busuk sekali ya, orang ini? Kalian akan muntah kalau tahu seperti apa orangnya.

Jadi, sudahlah Jongos Sutarto. Masalah hidupmu adalah penismu yang impoten. Kamu akan terus stres sebelum membereskan masalah penismu. Daripada buang-buang waktu klak-klik artikel di blogku atau mengutak-atik akunku untuk tujuan adu domba, lebih baik temui dokter untuk mengobati impotenmu. Setidaknya, sebelum kamu masuk penjara.

Kejahatan Paling Menyakitkan

Segala macam kesalahan selalu bisa dimaafkan, tapi ada satu yang sulit dimaafkan, bahkan sering kali tidak bisa dimaafkan; pengkhianatan. Karena itu kejahatan paling menyakitkan, sekaligus paling berbahaya, karena merusak kepercayaan sekaligus kedamaian hidup antarmanusia.

Kita percaya pada seseorang, dan dia berkhianat. Itu bukan hanya menyakitkan bagi pihak yang dikhianati kepercayaannya, tapi juga merusak kepercayaan orang secara luas. Karena jika orang mengkhianati seseorang, selalu ada kemungkinan dia akan mengkhianati orang-orang lainnya.

Berurusan dengan pengkhianat artinya berurusan dengan orang yang tak bisa dipercaya. Dan jika kita berurusan dengan orang yang tak bisa dipercaya, sebaiknya tidak usah berurusan dengannya sama sekali. Jauh lebih baik sendirian, daripada berteman/berurusan dengan pengkhianat.

Beda

Tiba-tiba teringat ucapan teman, "Aku telah lama mengenalnya, dan aku tahu dia beda." 

Oh, berarti dia belum lama mengenalnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Lama Gak Berteman dengan Cewek

Sudah bertahun-tahun aku gak berteman dengan cewek. Jangankan berteman, wong sekadar berinteraksi saja sangat, sangat jarang. Sampai kadang aku khawatir kalau-kalau aku “lupa” gimana cara berinteraksi dengan cewek.

Belum lama, aku menghadiri pertemuan, dan harus berinteraksi cukup lama dengan seorang cewek. Aku bilang kepadanya, “Mungkin ini aneh. Tapi kalau ada sikapku yang bikin kamu nggak nyaman, tolong tegur. Aku udah lama sekali nggak berinteraksi dengan perempuan.”

Dia menatapku dengan bingung. Lalu, mungkin karena terpikir ingin menguji apakah aku jujur, dia bertanya, “Kamu punya FB?” 

Aku menggeleng. 

“IG?” 

Aku kembali menggeleng. 

“Twitter?” 

Aku mengangguk, dan membuka ponsel untuk menunjukkan akunku di Twitter.

Beberapa saat dia memperhatikan layar ponsel yang memperlihatkan akunku di Twitter, lalu tersenyum dan menatapku, “Oke, aku percaya.” 

Aku benar-benar ingin tahu bagaimana dia bisa percaya begitu saja hanya dengan melihat akunku. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.

Stalking

Yang stalking hati-hati, jangan sampai kepencet favorit. #Euh


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Maret 2012.

Seperti Kupu-kupu

Keheningan seperti kupu-kupu. Mengepakkan sayap dalam diam, menebarkan keindahan tanpa teriakan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 April 2012.

Kegalauan di Sudut Hati

Segelas kopi, sebatang rokok, dan setumpuk kebingungan hari ini. Juga sedikit kegalauan di sudut hati.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 April 2012.

Pengetahuan yang Ternyata Bukan Pengetahuan

Siapa orang terkaya di dunia? 

Elon Musk? Salah. 

Bill Gates? Salah. 

Jack Ma? Apalagi itu! 

Orang terkaya di dunia adalah Vladimir Putin. Kekayaan Elon Musk, atau Bill Gates, yang saat ini menduduki peringkat atas Forbes, tidak ada apa-apanya dibanding kekayaan Putin.

Kalau memang orang terkaya di dunia adalah Vladimir Putin, kenapa dia tidak pernah muncul di daftar orang terkaya versi Forbes? 

Pertanyaan bagus! Dan itu menarik untuk dipikirkan, eh? 

Apakah Forbes tidak tahu? Jelas tahu! Wong aku aja tahu, mosok Forbes tidak tahu?

Inilah yang menjadikan dunia, dan manusia di dalamnya, sangat “menarik”. Orang-orang merasa mendapat pengetahuan, yang mereka yakini sebagai pengetahuan, tapi ternyata tidak lengkap. Ada pengetahuan yang sengaja dibuka, dan ada pengetahuan yang tersimpan atau tertutup.

Dan jika pengetahuan saja ternyata bisa jadi bukan pengetahuan, apalagi yang lain? Keyakinan, misalnya. 

“Hidup yang tidak diperiksa,” kata Socrates, “adalah hidup yang tidak layak dijalani.” 

Sekarang ganti “hidup” dengan yang kita yakini.

Hidup Tak Sebatas Cangkangmu

Sebagian orang dilahirkan oleh orang tua yang baik, dan mereka sungguh anak-anak beruntung. Karena mereka dibesarkan dengan baik, dididik dengan baik, hingga percaya orang tuanya sangat baik. Yang kadang jadi masalah, mereka mengira semua orang tua sama seperti orang tuanya.

Banyak orang yang hidup di dalam cangkangnya sendiri, mengira semua orang seperti dirinya, percaya kehidupan semua orang sama seperti hidupnya. Sering kali, mereka juga memaksakan nilai-nilai dan kepercayaan pada orang lain, hanya karena berpikir orang-orang lain sama seperti dirinya.

Ood

Iyo.

Ora Ndolor

Wis tuwo, tapi gaweane gemboran.

Selasa, 23 Januari 2024

Sampah Plastik dan Pemanasan Global

Kecurigaanku soal sampah plastik ini akhirnya terjawab, tepat seperti yang kuperkirakan. Modusnya sama seperti isu pemanasan global; melempar isu besar, dan menempatkan pihak lain (dalam hal ini negara berkembang) di bawah tudingan.

Banyak orang yang masih "gelagapan" dalam menghadapi "umpan" lemparan isu-isu global, termasuk isu sampah plastik yang saat ini mengemuka. Tanpa bermaksud mengajari, mari kita lihat bagaimana "permainan berbiaya besar" ini dimainkan dan menipu orang sedunia.

Mayoritas orang pasti akan langsung mengajukan berita mengenai tumpukan kantong plastik di perut hiu mati, atau video yang merekam hidung kura-kura kemasukan sedotan.

Kita mulai dari pertanyaan sederhana: Kenapa sedotan dan kantong plastik menjadi isu krusial akhir-akhir ini?

Dan itulah yang mereka inginkan! Mereka ingin kita semua mendukung kampanye "remeh-temeh" soal sedotan dan kantong plastik itu, karena ada hiu mati dengan perut penuh plastik, dan ada kura-kura berdarah karena hidungnya kemasukan sedotan. Sangat wajar!

Yang jadi masalah adalah... siapakah sebenarnya yang melakukan kesalahan terbesar? Benar sekali, si pelempar isu!

Sudah melihat bagaimana permainan ini dijalankan? Lemparkan isu, buat dokumentasinya, sodorkan pada dunia, dan biarkan mereka kalang kabut karena merasa bersalah!

Modus ini benar-benar persis dengan isu pemanasan global. Negara-negara maju sadar mereka telah mencemari bumi dengan sangat parah. Karenanya, sebelum dunia menyadari, mereka gembar-gembor duluan sembari menuding pihak lain, sambil pura-pura tak melihat kesalahannya sendiri.

Muara dari semua ini (isu pemanasan global sampai isu sampah plastik) sebenarnya tidak hanya menuding negara-negara berkembang sebagai biang masalah, tapi juga menciptakan ketergantungan negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju. Ini sebenarnya persoalan bisnis!

Yang menjadikan isu-isu ini tampak-gawat-seolah-besok-akan-kiamat, karena orang-orang awam—seperti biasa—hanya melihat lewat permukaan, tanpa mau menyelami APA YANG SEBENARNYA TERJADI. 

Omong-omong, dokumen soal isu pemanasan global saja tebalnya lebih dari 10 ribu halaman!

Kalau kita mau tekun membaca dan mempelajari lembar-lembar dokumen itu hingga paham apa yang sebenarnya terjadi, kita pun akan sadar sedang dikibuli. Tapi orang-awam-keparat mana yang mau membaca dokumen setebal 10 ribu halaman? Mereka lebih suka ngoceh sambil sok pintar!

Ocehan ini pun sebenarnya baru menyentuh permukaan—namanya juga ocehan. Kalau mau diuraikan secara mendalam sampai detail, mungkin sampai lebaran mendatang belum juga selesai, karena panjang sekali.

Intinya, isu-isu global perlu dipahami secara global, dengan kaca pembesar.

Oh, ya, tentu saja kita perlu peduli kelestarian bumi, dan perlu memperbaiki perilaku terkait penggunaan plastik serta sampahnya. Tapi jangan bermimpi bahwa dengan itu saja masalah ini akan selesai. Karena itu seperti mengepel lantai akibat genteng bocor. Masalahnya di genteng!

Menyadari untuk melestarikan bumi, termasuk memperhatikan sampah plastik kita, itu upaya kita mengepel lantai akibat genteng bocor. Perlu dilakukan, tapi genteng yang bocor juga perlu diperbaiki—itulah inti masalahnya!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 April.

Pesona yang Mematikan

Fakta Socrates yang [mungkin] masih jarang diketahui; dia suka nyangkruk di kompleks prostitusi.

Di zaman Yunani kuno, prostitusi sudah ada, dan wanita pelakunya disebut hetaera. Socrates suka nyangkruk dengan hetaera, khususnya yang bernama Aspasia.

Aspasia tidak hanya cantik, tapi juga cerdas dan mampu berbicara secara memukau. Sebegitu memukau wanita ini, sampai para filsuf—yang salah satunya Socrates—suka ngobrol dengannya. Bahkan dua negawaran di masa itu, Pericles dan Lysicles, senang mendengarkan Aspasia berbicara.

Jika filsuf semacam Socrates dan para negarawan terkemuka saja senang mendengarkan Aspasia berbicara, apalagi orang-orang kebanyakan? Karenanya, di masa itu, kediaman Aspasia menjadi tempat berkumpulnya para intelektual Yunani—mereka biasa berdiskusi berhari-hari, bermalam-malam.

Menurut Plutarch (sejarawan Yunani), beberapa ajaran Socrates bahkan merupakan hasil diskusi panjangnya dengan Aspasia, sang hetaera. Sementara Aristophanes, dalam The Acharnians, menyebut Aspasia sebagai dalang di balik terjadinya Perang Peloponnesian yang menjatuhkan Pericles.

Wanita cantik memang berbahaya, dari dulu sampai sekarang. Dan wanita cantik yang cerdas adalah pesona yang mematikan—terlepas bagaimana kau mengartikannya. Apalagi wanita cantik yang cerdas dan emesssshhhh. Appeeeeuuhh...

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Mei 2019.

 
;