Senin, 01 April 2024

Penjual Omong Kosong

Akhir-akhir ini ada fenomena munculnya para penjual omong kosong, yang berharap bisa mengkapitalisasi omong kosongnya. Kita tentu ingat seseorang yang disebut ustaz, di Depok, yang konon berhasil menangkap babi ngepet, tapi lalu terungkap kalau dia cuma ngibul, dan dia ditangkap polisi.

Setelah ditangkap polisi, ustaz di Depok itu akhirnya mengaku, babi ngepet yang ia tangkap sebenarnya babi yang ia beli sendiri. Dia juga mengaku, tujuannya bikin hoax itu agar mendapat pengaruh di masyarakatnya, yang bisa jadi ujung-ujungnya adalah upaya kapitalisasi. You know, lah.

Mencari popularitas adalah hak setiap orang, bahkan mengkapitalisasi (mendapatkan keuntungan materi) dari popularitas juga hak setiap orang. Tapi ketika popularitas dibangun dengan omong kosong sambil membawa-bawa simbol agama, masyarakatlah yang kelak dirugikan.

Fenomena ini mengingatkan saya pada fenomena sama, yang terjadi pada awal 2000-an. Di masa itu juga muncul “oknum-oknum ustaz” di berbagai daerah, berpenampilan layaknya orang-orang alim, dan menawarkan sesuatu yang mereka sebut “pengobatan alternatif” dan aneka praktik perdukunan.

“Oknum-oknum ustaz” itu bahkan mengiklankan bisnis mereka (pengobatan alternatif dan praktik perdukunan) melalui media-media cetak—itu era 2000-an, ketika media cetak di Indonesia masih berjaya, dan internet belum semasif sekarang. 

Berapa bujet iklan tahunan mereka? Miliaran!

Sebagai ilustrasi, iklan dengan lebar 10x10 cm di halaman tabloid—yang terbit seminggu sekali—mencapai Rp5 jutaan. Itu setara dengan iklan seperempat halaman majalah ukuran standar (di bagian dalam). Dan ingat, itu nilai uang pada awal 2000-an, yang tentunya jauh lebih besar dibanding Rp5 jutaan di masa sekarang.

Nah, para “oknum ustaz” itu biasa ngiklan seukuran itu, dan terus menerus, tanpa henti, di banyak media (khususnya tabloid dan majalah). Jika seminggu sekali mereka memasang di 10 media saja, artinya mereka harus mengeluarkan 50 juta per minggu, atau 200-an juta per bulan. 

Bisa membayangkan yang saya maksud? Para “ustaz” di masa itu bisa menghasilkan ratusan juta per bulan dari “praktik” yang mereka lakukan, terbukti bisa membayar iklan hingga ratusan juta. Dan dari mana uang yang jadi penghasilan mereka? Tentu saja dari masyarakat yang tergiur!

Tentu tidak masalah jika seorang ustaz memasang iklan besar-besaran, dan menarik tarif mahal dari masyarakat yang membutuhkan jasa mereka, dan terbukti jasa mereka memang memberikan manfaat. Tapi bagaimana jika “jasa” yang mereka berikan ternyata omong kosong?

 
;