Senin, 20 Maret 2023

3 Alasan Saya Malas Pesan Makanan via Aplikasi

Aku bukan vegetarian. Tapi saat makan sehari-hari,
aku lebih suka makan makanan yang alami
(sebisa mungkin tanpa daging). Jadi selalu suka
kalau lihat makanan/masakan ala lalapan.
@noffret


Pesan makanan via aplikasi (PMVA) adalah layanan pesan antar makanan, yang kini jadi bagian gaya hidup banyak orang. Saya tidak perlu menyebut nama atau merek, kalian pasti sudah tahu sendiri aplikasi-aplikasi apa yang saya maksud.

Dengan PMVA, kita bisa makan apa saja, tanpa harus keluar rumah. Cukup buka aplikasi di ponsel, memilih makanan/minuman/jajan yang diinginkan, lalu... voila, makanan yang kita pesan diantarkan ke rumah. Setelah itu, kita tinggal membayar petugas yang mengantar, dan menikmati makanan dengan nyaman.

Sekilas, menggunakan layanan PMVA begitu menyenangkan, seperti yang saya uraikan barusan. Tetapi, ketika saya mempraktikannya sendiri, menggunakan PMVA untuk layanan makan tidak seindah yang saya bayangkan. Sebaliknya, saya kini sudah sampai pada tahap malas pesan makanan lewat PMVA. Berikut ini di antara alasannya.

Pertama, [ternyata] tidak efektif

Kebanyakan kita, dan termasuk saya, membayangkan PMVA adalah layanan yang membantu kita lebih efektif, dalam hal ini bisa menikmati makanan dari rumah makan mana pun, tanpa harus keluar rumah. Kita tidak perlu buang waktu untuk keluar rumah, tidak perlu buang waktu lagi untuk antre di rumah makan, karena semua urusan itu di-handle orang lain (petugas PMVA).

Tetapi, ternyata, itu hanya teori. Praktiknya, menggunakan PMVA justru membuat saya merasa tidak efektif! Alih-alih praktis dan efektif, saya justru membuang-buang banyak waktu untuk urusan yang sebenarnya sepele!

Ketika kita akan menggunakan layanan PMVA, apa yang kita lakukan? Benar, kita membuka ponsel, masuk aplikasi PMVA, lalu mencari dan memilih makanan mana yang kita inginkan. Saya pun begitu. Saat membuka layanan PMVA, saya mendapati banyak sekali pilihan makanan. Dari nasi putih, nasi kuning, nasi kebuli, nasi tomat, sebut lainnya. Dari ayam goreng, ayam geprek, ayam bakar, sebut lainnya.

Menghadapi pilihan-pilihan itu, naluri kita umumnya ingin terus melihat-lihat, dan tidak langsung menentukan makanan mana yang akan kita pilih/pesan. Selain melihat-lihat pilihan makanan, kita juga kadang memperhatikan jarak tempat penyedia makanan itu dari rumah kita (jauh atau dekat), berapa bintang yang ada (terpercaya atau tidak), bahkan sampai harga, dan lain-lain. Belum lagi kadang ada keterangan “Bisa jadi ada keterlambatan” yang membuat kita mengurungkan niat pesan makanan yang diinginkan.

Berapa lama waktu yang kita habiskan untuk melihat-lihat foto makanan di aplikasi? Bisa beberapa menit, seperempat jam, bahkan lebih. Dari hal itu saja, saya menyadari bahwa ini bukan membantu saya lebih efektif, tapi justru membuang-buang waktu saya.

Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, punya kebiasaan terkenal, yaitu selalu memakai t-shirt yang sama. Kalau kita pelototi foto-foto Mark Zuckerberg di internet, kita akan mendapati dia selalu memakai t-shirt serupa—berwarna gelap, polos, dan tampak sederhana. Dan t-shirt polos itu ia pakai di berbagai kesempatan, hingga menarik perhatian.

Belakangan, Zuckerberg diwawancarai terkait t-shirt yang selalu dipakainya. Apa dia tidak punya pakaian lain untuk ganti?

Zuckerberg menjelaskan bahwa dia sebenarnya punya banyak t-shirt, tapi warnanya sama semua. “Jika saya memiliki pakaian beraneka model dan beraneka warna, saya harus menghabiskan banyak waktu hanya untuk memilih pakaian mana yang akan saya pakai hari itu, warna apa yang akan saya pakai, dan sebagainya. Saya tidak mau buang-buang waktu hanya untuk hal sepele semacam itu. Jadi, saya hanya membeli t-shirt dengan warna yang sama semua. Tiap kali membuka lemari, saya tidak perlu memilih bentuk atau warna. Saya tinggal ambil, pakai, selesai.”

Itulah efektivitas! Memilih pakaian, bagi Zuckerberg, bukan hal penting, jadi dia tidak mau buang-buang waktu untuk hal itu.

Hal serupa saya alami ketika membuka aplikasi PMVA. Alih-alih efektif, kegiatan melihat-lihat aneka makanan di aplikasi justru tidak efektif, karena membuang-buang waktu saya. 

Rumah makan langganan saya adalah RMP, yang menyediakan aneka masakan khas Indonesia. Jaraknya hanya sekitar 1 kilometer dari rumah saya. Rumah makan RMP juga ada di aplikasi PMVA.

Sekarang, umpamakan saya memesan makanan di RMP, melalui PMVA. Saya masukkan pesanan, lalu pesanan itu diteruskan oleh sistem PMVA ke petugas di wilayah terdekat. Si petugas lalu datang ke RMP, dan memesankan makanan yang saya pilih. Dalam hal itu, hampir selalu bisa dipastikan, petugas PMVA akan mengirim pesan via chat ke saya, “Sesuai aplikasi ya, Kak.” 

Tiap kali menerima chat semacam itu, saya selalu kebingungan. Apa maksudnya tanya “sesuai aplikasi”? Sudah jelas saya memesan makanan tertentu di RMP yang datanya ada di aplikasi. Sudah jelas makanan apa yang saya pesan, berapa jumlahnya, dan berapa harganya. Kenapa masih harus tanya-tanya “sesuai aplikasi”? Tentu saja sesuai aplikasi! Memangnya harus sesuai apa lagi?

Tapi saya kan tentu tidak boleh marah-marah pada petugas PMVA. Jadi, meski dongkol, saya berusaha meluangkan waktu untuk menjawab, “Iya, sesuai aplikasi.”

Setelah itu, saya harus menunggu sekitar setengah jam. Kadang malah lebih lama lagi, dengan berbagai alasan. Lalu petugas PMVA datang ke rumah, membawakan makanan, dan saya membayarnya. Total waktu yang saya habiskan untuk semua urusan itu—dari lihat-lihat foto makanan di aplikasi, menentukan, memesan, chat dengan petugas PMVA, sampai menunggu makanan diantarkan—sekitar satu jam! Waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama, jika petugas PMVA “kesasar” ketika mencari alamat saya.

Sekarang, umpama saya datang langsung ke RMP yang jaraknya hanya 1 KM dari rumah. Yang perlu saya lakukan hanya mengeluarkan motor, melaju ke sana, dan dalam beberapa menit saya sudah sampai. Saya tinggal duduk, memesan, dan beberapa menit kemudian pelayan datang membawakan pesanan. Sejak saya mengeluarkan motor sampai pelayan membawakan makanan, waktunya tidak sampai setengah jam!

Ketika menyadari hal itu, saya melihat bahwa pesan makanan lewat aplikasi bukan membantu saya makin efektif, tapi justru membuang-buang waktu saya. 

Kedua, biayanya bisa berkali-kali lipat

Ini konsekuensi yang tak bisa dihindari. Makanan-makanan yang tersedia di aplikasi dipatok dengan harga yang lebih mahal dibanding harga aslinya. Karena penyedia aplikasi harus mendapat keuntungan dari makanan yang dijual. Jadi, harga makanan yang kita beli via aplikasi pasti lebih mahal dari harga aslinya (jika kita langsung datang ke tempat penjual). 

Kalau kita datang langsung ke tempat penjual makanan, hanya ada satu pihak yang harus mendapat keuntungan penjualan, yaitu si penjual makanan. Tapi kalau kita beli makanan lewat aplikasi, ada dua pihak yang harus mendapat keuntungan penjualan, yaitu si penjual makanan dan penyedia aplikasi. Akibatnya, harga makanan jauh lebih mahal.

Selain itu, konsekuensi lain yang tak bisa dihindari, kita juga harus membayar petugas PMVA yang membantu pesanan kita. Biayanya tergantung pada jarak yang ditempuh. Dalam beberapa kasus, biaya yang kita keluarkan—terkait pesanan makanan lewat aplikasi—bisa berkali-kali lipat dibanding jika kita datang langsung ke penyedia makanan. 

Ketiga, foto tidak sama dengan aslinya

Di antara yang lain, ini yang paling parah. Foto-foto makanan yang saya lihat di aplikasi tampak cakep semua. Nasinya kelihatan putih dan akas, dengan butiran-butiran nasi tampak menawan. (Sekadar catatan, saya hanya doyan nasi yang akas!)

Sayangnya, sering kali foto tidak sesuai aslinya. Beberapa kali saya mengalami kejadian mengerikan ini. Saya pesan makanan yang fotonya tampak cakep, membayangkan sesaat lagi bakal makan nikmat. Tapi ketika makanan diantarkan, semua bayangan saya buyar. Satu yang tak termaafkan, nasinya lembek dan menggumpal!

Seperti yang saya sebut tadi, saya hanya doyan nasi yang akas. Ketika mendapati nasi yang saya pesan lewat PMVA ternyata lembek dan menggumpal, saya tidak bisa memakannya. Terpaksa, akhirnya, saya harus keluar rumah untuk mencari makan!

Tidak Ingin Tahu

Barusan iseng buka tagar #OrangKayaGakTau yang lagi trending. Isinya, seperti yang sudah kuduga, upaya "ngadem-ngademi diri sendiri" dan "meromantisasi kemiskinan". Ya orang kaya memang gak tahu kesusahan/kesulitan yang kita alami, tapi mereka juga belum tentu ingin tahu.

Aku pernah mengalami masa-masa ketika ingin udud tapi tidak punya uang sama sekali. Bisa saja, sekarang, aku nulis tweet, "#OrangKayaGakTau gimana rasanya ingin udud tapi gak punya duit sama sekali." Tapi ya buat apa? Wong itu bukan prestasi yang layak dibangga-banggakan.

#OrangKayaGakTau gimana rasanya memasukkan air ke dalam botol sampo agar tak cepat habis.

Kemungkinan besar mereka memang tidak tahu, dan kemungkinan besar juga tidak ingin tahu. Kenapa kita berpikir mereka ingin tahu, hingga membangga-banggakannya, seolah itu prestasi?

Ada orang yang telah menikah, dan berusaha meromantisasi pernikahannya dengan menyuruh lajang cepat kawin, "Kamu pasti belum tau gimana rasanya gak punya duit sama sekali, sementara kamu dan pasanganmu belum makan seharian. Iya, kan?"

Oh, mohon maaf, aku memang tidak ingin tahu!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 November 2020.

Capek Ngomong Sama Orang

Kadang-kadang aku capek ngomong sama orang.

Ada jenis orang yang kalau ngomong seperti tidak bisa berhenti. Teruuuuuuuussss ngomong. Dan omongannya mutar-mutar tidak jelas, membahas hal-hal yang saling tidak nyambung, mengomentari hal-hal tidak penting, dan terus ngomooooong tanpa henti. 

Benar-benar capek melayaninya.

Sepertinya memang ada orang yang terlalu hobi ngomong, hingga kesulitan menutup mulutnya saat berinteraksi dengan orang lain. Orang jenis itu, bahkan meski sudah pamitan serta sudah keluar dari rumah kita, dia masih berusaha terus ngomoooong tanpa henti, seolah tak ada hari esok.

Susahnya, terkait orang yang terlalu doyan ngomong, sering kali omongannya tidak fokus, mutar-mutar tidak jelas dan tidak penting, serta suka mengulang-ulang omongannya sendiri. Baru semenit lalu diomongkan, sekarang diomongkan lagi, dan begitu seterusnya. Seperti kaset ngodol.

Kalau kebetulan berinteraksi dengan orang semacam itu, aku terang-terangan menunjukkan sikap bosan sambil memasang muka jutek. Tujuannya agar dia berhenti ngomong, dan berharap dia sadar sudah terlalu banyak omong-tidak-penting, sampai bikin orang lain bosan dan kelelahan.

Sejujurnya, aku benar-benar kelelahan kalau kebetulan berinteraksi dengan orang yang tak bisa berhenti ngomong. Mereka seperti tak punya jeda, untuk diam sejenak, untuk memberi kesempatan lawan bicara menanggapi, dan hanya terus ngomong tanpa henti, sambil merasa asyik sendiri.

Orang-orang yang terlalu doyan ngomong, sebaiknya bikin akun Twitter saja, lalu ngomonglah sebanyak-banyaknya, sepuas-puasnya, kapan pun dan di mana pun. Ngomong sendiri. Lebih baik begitu, karena setidaknya tak ada orang lain yang wajib menanggapi, dan tidak ada yang terganggu.

Kalau kita ngomong di Twitter, dan orang lain merasa terganggu, mereka bisa melakukan mute, unfollow, sampai block. Tidak apa-apa, karena memang begitu aturan mainnya. Tapi kalau ngomong di dunia nyata, tidak ada fitur-fitur semacam itu, dan orang lain bisa mati kebosanan.

Sekadar tip. Kalau sedang berkomunikasi dengan orang lain (di dunia nyata), perhatikan lawan bicaramu. Jika dia menunjukkan sikap tidak antusias, apalagi terang-terangan menunjukkan muka jutek, sikap bosan, dan semacamnya, sadarilah itu tanda kamu sudah terlalu banyak ngomong.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Desember 2020.

Bisa Tidur Siang

Bisa tidur siang 1 jam itu nikmat sekali.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Desember 2020.

Probocah

Makin ke sini, layanan jasa makin macam-macam, ya. Seperti Prodekap. Aku jadi kepikiran menunggu ada jasa bernama Probocah. Apppeeeeuuuhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 November 2020.

Awkwafina dan Kang Daniel

Dulu, waktu pertama kali dengar nama Awkwafina, aku kira dia orang Indonesia. Ternyata orang Amerika. Dan waktu pertama kali dengar nama Kang Daniel, aku kira dia orang Sunda. Ternyata bocah Korea.

Senang

Senang melihat wanita-wanita yang malam Minggu bisa asyik ngetwit.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Juni 2020.

Gancet dan Edukasi Ngawur

"Kan sudah jelas, dalam disclaimer. Untuk edukasi adanya konten itu," kata Gus Idris. https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5726544/ini-kata-gus-idris-soal-video-gancet-buatannya-yang-bikin-heboh-masyarakat —@detikcom

Yang disebut "edukasi" oleh Gus Idris itu sebenarnya berbahaya, karena rawan menjadi "pembodohan publik". 

Jadi ingin ngoceh, dah.

Dalam video gancet yang disebut "edukasi" itu, Gus Idris berceramah dengan menekankan bahwa gancet terjadi karena pasangan tersebut berzina.

Faktanya, gancet disebabkan vaginismus, dan bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, termasuk pasangan suami istri sah.

Ocehan tentang itu sangat panjang, tapi ududku hampir habis. Jadi langsung ke pokok yang paling berbahaya, yang berpotensi jadi pembodohan publik.

Dalam video diperlihatkan bahwa pasangan yang gancet itu bisa "terlepas" setelah "didoakan" oleh Gus Idris dan teman-temannya.

Adegan itu berbahaya, karena rawan menyesatkan publik. Karena kasus gancet tidak bisa serta-merta "selesai" hanya karena doa. Sementara pasangan gancet bisa tewas jika tidak segera mendapat penangangan medis yang benar. Menunggu doa bisa sangat berbahaya bagi si pasangan.

Kalau kau dan pasanganmu mengalami gancet, dan kau menunggu ada ustaz datang untuk mendoakanmu, kau dan pasanganmu bisa tewas! Yang kaubutuhkan adalah dokter yang punya pengetahuan tentang itu, bukan ustaz untuk mendoakanmu. Gancet bisa jadi urusan hidup dan mati.

Gus Idris mungkin tidak sempat memikirkan kenyataan itu, hingga enteng saja membuat "video edukasi" tentang gancet dan penanganannya. Kemungkinan besar, dia tidak memikirkan dampaknya pada orang-orang yang tidak tahu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 September 2021.

Sabtu, 11 Maret 2023

Wirda Mansur dan Cita-citanya yang Ndakik-ndakik

Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnnya.

Omong-omong soal Wirda Mansur dan cita-citanya yang ndakik-ndakik... 

Sambil nunggu udud habis.

Secara objektif, terlepas Wirda anak Yusuf Mansur, sebenarnya dia berhak punya impian segila atau semustahil apa pun. 

Punya impian itu kan hak masing-masing orang, terlepas sendakik-ndakik apa pun. Persoalan dia berhasil mencapainya atau tidak, itu urusan dia.

Soal Wirda, bisa jadi dia mengumbar impiannya yang gila itu semata-mata dengan tujuan agar viral, atau menjaga popularitasnya agar terus dibicarakan orang—terlepas viralnya positif atau negatif. Dan karena dia melemparnya ke publik, maka publik juga berhak bersuara.

Tiga impian Wirda yang menarik perhatianku adalah jadi tamu kehormatan (orang penting) di White House, jadi orang penting di Indonesia, dan jadi orang penting di universitas terbaik dunia. Oh, well.

Menjadi orang penting! Istimewa! Sepertinya itu impian banyak orang, ya.

Rata-rata kita mungkin membayangkan “orang penting” adalah sosok yang tampak kaya atau istimewa, dengan penampilan meyakinkan yang berbeda dengan orang lain umumnya. 

Nyatanya kita memang cenderung menghormati orang semacam itu, karena menganggapnya “tinggi” atau "terhormat".

Orang yang tampak kaya selalu dihormati di mana-mana, dan karena itulah banyak orang mati-matian ingin tampak kaya, hingga berusaha pamer apa saja. 

Orang yang tampak mewah selalu dihormati di mana saja, dan karena itulah banyak orang yang sampai ngutang demi bisa tampil mewah.

And then... itulah kelemahan dasar manusia!

Kita cenderung meletakkan rasa hormat kita pada wujud luar yang mewah, dan, seiring itu, menatap rendah orang yang tampak biasa. Karenanya, cara paling mudah untuk tahu kepribadian seseorang, tampillah sebagai bukan siapa-siapa.

Maksudku begini. Kalau kamu menaiki mobil mahal, berpenampilan mewah seperti orang kaya, orang-orang akan menghormatimu. Itu biasa.

Tapi kalau kamu naik motor butut, berpenampilan sederhana, kamu akan tahu mana orang berkepribadian baik dan mana yang buruk. 

Ini "bug" pada Homo sapiens.

Orang berkepribadian baik akan menghormatimu, terlepas seperti apa tampilan atau wujud luarmu. Orang baik semacam itu tidak peduli kamu tampak seperti miliuner atau berpenampilan seperti gembel. Dia menghormatimu karena dia orang berkepribadian baik dan terhormat. Hormatilah dia!

Sebaliknya, orang berkepribadian buruk akan menghormatimu kalau kamu tampak kaya/mewah, dan akan menyepelekan atau bahkan merendahkanmu kalau kamu tampak seperti jelata. Orang semacam itu berkepribadian buruk, sekaligus tak punya kehormatan. Aku menertawakan orang semacam itu.

Ah, ya, aku telah melakukan “eksperimen sosial” ini di mana-mana, bahkan sampai bertahun-tahun, dan akhirnya aku bisa mengenali mana orang yang benar-benar baik, dan mana yang sebenarnya buruk. 

Penampilan bisa menipu. Tapi sikapmu dalam menilai penampilan... itulah dirimu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14-15 April 2022.

Pikiran Lain

“The truth is, unless you let go, unless you forgive yourself, unless you forgive the situation, unless you realize that the situation is over, you cannot move forward.” ―Steve Maraboli

Aku paham soal ini... tapi aku punya pikiran lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 April 2022.

Merasa Mbuh

Makin hari aku makin merasa mbuh. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Oktober 2020.

Hujan dan Kelaparan

Dari tadi mau keluar, tapi hujan gak juga berhenti. Aku selalu merasa "stuck" kalau di kondisi gini.

Masih hujan, tapi perut sudah kelaparan. It's okay, waktunya keluyuran nyari makan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12-13 Desember 2020.

B

B aja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 April 2020.

Seminggu Gak Lihat Twitter

Seminggu gak lihat Twitter. Kayaknya aku ketinggalan banyak hal. Mungkin beberapa hari ke depan juga belum tentu bisa masuk Twitter lagi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 September 2020.

Kangen

Aku kangen kamu, kamu kangen dia, dia kangen aku. Oh, well, selamat malam Minggu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Januari 2012.

Kaget

Mau leyeh-leyeh atau mau sibuk kerja, kayaknya kita sering kaget saat sadar, "Kok tahu-tahu udah jam segini?"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Agustus 2021.

Rabu, 01 Maret 2023

Menatap Gerimis

Gerimis di sini.
@noffret


Saya sampai di rumahnya, bertepatan dengan gerimis yang mulai turun. Dia sedang duduk di kursi depan rumah, dan menyambut saya dengan senyum lebar.

“Mau ke dalam, atau di sini?” dia menawari.

“Di sini aja,” saya menyahut, “kayaknya enak ngobrol sambil lihat gerimis.”

Kami lalu duduk di kursi depan rumah, dan saya mulai menyalakan rokok. Setelah mengisap rokok sesaat, saya berkata kepadanya, “Dapat salam dari Awan.”

“Awan siapa?”

“Awan, Himawan. Mekanik Honda.”

“Ooh...” dia mengangguk. “Ketemu Awan di mana?”

“Barusan, pas makan siang. Aku ajak ke sini, dia sebenarnya mau ikut, tapi ada janji sama adiknya.”

“Eh, ini kan hari Selasa, ya. Emang Awan nggak kerja?”

“Lagi libur, katanya. Tempat servis [tempat dia bekerja] lagi sepi.”

“Kok bisa?”

Saya tersenyum. “Aku juga tadi nanya gitu. Kata Awan, para pemilik kendaraan kayaknya lagi nggak kepikiran nyervis kendaraannya, karena bisnis lagi pada sepi. Orang-orang yang biasanya rutin membawa motor atau mobil ke tempat servis, sekarang mungkin pada menahan diri, dan memakai uang mereka untuk keperluan lain yang lebih mendesak.” 

Dia menganggu-angguk. “Baru ngerti. Bahkan tempat servis kendaraan pun ikut terdampak resesi...”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menyahut, “Hari gini, kayaknya semua usaha memang pada sepi. Dan hasilnya terjadi dampak berantai, sampai tempat servis kendaraan kena imbasnya.”
 
Kami terdiam, menatap gerimis yang masih turun. Penjual keliling terlihat lewat beberapa kali, menjajakan aneka makanan. Entah para penjual keliling itu terkena dampak resesi atau tidak, saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya maupun teman-teman yang saya kenal saat ini sedang terkena dampak resesi—semua usaha/bisnis lagi sepi, yang jadi karyawan kadang diliburkan atau malah dirumahkan.

Sekitar seminggu sebelumnya, saya dolan ke tempat teman lain yang punya usaha konter pulsa/kuota. Dia merintis usaha konternya sejak bertahun-tahun lalu, dan belakangan terbilang sukses. Jika sebelumnya dia sendirian yang melayani pembeli/pelanggan saat isi pulsa/kuota, belakangan dia bisa mempekerjakan orang-orang lain. Terakhir yang saya tahu, karyawan di konter miliknya mencapai 8 orang, yang bekerja shift siang dan malam.

Namun, usaha konternya ternyata ikut terdampak resesi yang belakangan terjadi. Seiring waktu, sejak beberapa bulan terakhir, konternya makin sepi. Dia terpaksa meliburkan karyawannya satu per satu, seiring pembeli makin sedikit, dan belakangan semua karyawan terpaksa diliburkan. Seminggu kemarin, ketika saya main ke konternya, dia sendiri yang melayani pembeli, karena, “Pembeli makin sepi, jadi aku udah nggak mampu menggaji karyawan.” 

Saya turut sedih atas hal itu, tapi resesi memang sedang terjadi. Bukan hanya teman-teman saya yang terdampak resesi, saya sendiri juga ikut terdampak. Dan sekarang, teman yang saya datangi juga sedang prihatin akibat hal yang sama; resesi. Dia punya usaha batik, dan sekarang sedang mandek, nyaris mandek total, karena tidak ada permintaan. Hampir semua karyawannya terpaksa diliburkan, dan dia sendiri sekarang duduk di samping saya, di depan rumahnya, menatap gerimis yang turun.

Dia menyulut rokok, lalu berkata, “Tempo hari Zahir main ke sini.”

Zahir yang dia maksud adalah teman kami yang juga pengusaha batik. 

Dia melanjutkan sambil tertawa getir, “Aku udah senang banget, karena mengira dia butuh pasokan barang. Eh, ternyata dia malah lagi bingung karena barang di rumahnya menumpuk, belum terjual. Dia nawarin, siapa tahu aku butuh tambahan barang. Lha barang di rumahku juga lagi numpuk, bingung mau jual ke mana...”

Saya menyahut, “Kirain Zahir masih lancar-lancar aja...”

“Aku juga ngiranya gitu. Yang lucu, Zahir juga ngira aku masih lancar-lancar aja. Hahaha...”

Saya ikut tertawa. “Kayaknya emang benar kata orang, urip mung sawang sinawang. Kita mengira orang lain lebih beruntung, sementara orang lain mengira kita lebih beruntung. Padahal ya sama-sama pusing!”

“Eh, sampai kelupaan. Kamu mau minum apa?”

“Teh anget aja, kalau ada.”

Dia masuk rumah beberapa saat, lalu keluar lagi dengan membawa dua gelas teh di atas nampan. 

Saya menyeruput teh hangat di gelas, dan kembali mengisap rokok.

Dia juga melakukan hal sama, lalu berkata perlahan, “Resesi yang saat ini terjadi, kayaknya merayap diam-diam, ya. Terlihat nggak ada gejolak, tapi diam-diam banyak orang terkena atau terdampak.”

“Kayaknya gitu,” saya menyahut. “Teman-teman kita yang kayaknya baik-baik aja—yang aku kira nggak terdampak resesi—ternyata ya sama-sama lagi bingung. Keluhannya sama semua. Usaha sepi, kerjaan sepi, nyari duit makin susah.”

“Tapi kalau lihat di media sosial, kayaknya orang-orang pada baik-baik aja, ya. Mereka tetap posting makanan-makanan enak, liburan ke luar kota atau luar negeri, beli barang-barang mahal, atau tetap cengengesan kayak nggak ada masalah...”

Saya tertawa. “Ya semoga mereka memang baik-baik aja. Tapi kalau ternyata mereka juga lagi pusing, entah pusing karena resesi atau pusing karena masalah pribadi, kita kan nggak tahu. Wong kita cuma lihat mereka sebatas di media sosial.”

Dia menyeruput teh di gelas, lalu bertanya, “Menurutmu, usaha atau pekerjaan apa yang saat ini nggak terdampak resesi?”

“Entahlah, aku nggak tahu. PNS, mungkin?”

Dia tertawa. “Kenapa larinya ke PNS?”

Saya ikut tertawa. “Ya aku kan nggak tahu. Setahuku, nggak ada PNS yang diliburkan karena kerjaan lagi sepi. Jadi ya mungkin mereka nggak terdampak resesi.”

Dia lalu berkata serius, “Omong-omong soal PNS, sepupuku kan PNS, tuh. Dia emang masih lancar kerja, dan tentunya juga lancar gajian. Tapi dia juga ngeluh. Katanya, gaji nggak naik, tapi harga-harga kebutuhan sekarang pada naik. Sementara cicilan belum juga lunas.”

“Lhah, PNS aja ngeluh...”

“Makanya, kayak kamu bilang tadi, urip mung sawang sinawang. Kita ngira orang lain lebih beruntung, sementara orang lain ngira kita yang lebih beruntung.”

Kami terdiam, menatap gerimis yang masih turun. Saya mengisap rokok, dia melakukan hal sama.

Seorang penjual bakso lewat di depan rumah, penjualnya mengenakan plastik mirip jas hujan, mendorong gerobaknya perlahan-lahan. Dia sempat menengok ke arah kami yang lagi duduk di depan rumah, dan membunyikan mangkuknya beberapa kali. Sesaat kemudian ia berlalu di bawah gerimis.

“Penjual bakso tadi mungkin berpikir betapa beruntungnya kita, karena bisa duduk santai di depan rumah, sambil merokok dan menikmati gerimis. Tanpa tahu kita sedang pusing saat ini...”

“Dan begitulah hidup,” saya menyahut. 

Gerimis masih turun.

Asu Kabeh Kecuali Mbakyuku

Saya lagi duduk sendirian di pinggir jalan yang sepi sambil udud, ketika seorang bocah melangkah sendirian di jalanan yang sepi, dan tiba-tiba berkata sendiri, “Pancen asu kabeh, kecuali mbakyuku.”

Mendengar itu, saya penasaran, dan bertanya spontan, “Mbakyumu sopo?”

Bocah itu menjawab, “Yo mbuh, wong aku ora nduwe mbakyu.”

Setelah bocah itu berlalu, dan udud saya habis, saya bangkit dari duduk, dan melangkah perlahan seperti bocah tadi. Dan, seperti bocah tadi, saya bicara sendiri, “Pancen asu kabeh, kecuali mbakyuku.”

Tiang listrik di pinggir jalan tiba-tiba bertanya, “Mbakyumu sopo?”

Seperti bocah tadi, saya menjawab, “Yo mbuh, wong aku ora nduwe mbakyu.”

Yang Paling Penting

“Aku berpikir bertahun-tahun,” kata seorang teman, “dan akhirnya aku menemukan apa yang paling penting dalam hidup ini.”

Aku bertanya penasaran, “Apa yang paling penting?”

“Uang.”

Yo ngono wae aku ngerti!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Desember 2019.

Umur Kalian Tidak Akan Cukup

Pada 2014 silam, Perdana Menteri India, Narendra Modi, mengatakan kepada para dokter dan staf medis di sebuah rumah sakit di Mumbai, bahwa bedah kosmetik sudah ada di zaman India kuno. Jadi, ribuan tahun lalu, menurutnya, orang-orang India kuno sudah operasi plastik!

Pada 2017, Satyapal Singh, menteri muda bidang pendidikan India, mengatakan bahwa pesawat terbang sudah ada sejak zaman Ramayana. Ia juga mengklaim, pesawat diciptakan pertama kali oleh orang India bernama Shivakar Babuji Talpade, delapan tahun sebelum Wright Brother membuatnya.

Setahun kemudian, pada 2018, Biplab Deb, menteri negara bagian Tripur, India, mengatakan—dan dia benar-benar serius saat mengatakannya—bahwa internet sudah ditemukan ribuan tahun lalu oleh orang-orang India kuno, dan digunakan dalam perang Bharata Yudha antara Pandawa dan Astina.

Bukan hanya mengklaim, dia bahkan bisa “menjelaskan” dengan begitu meyakinkan bahwa ribuan tahun lalu, orang-orang India kuno telah menggunakan internet, e-mail, telah menciptakan satelit, dan telah akrab dengan teknologi-teknologi canggih. Siapa itu Albert Einstein?

Ashu Khosla, ahli geologi India, menyatakan bahwa dewa Brahma menemukan dinosaurus, sekian miliar tahun lalu, dan mendokumentasikannya dalam naskah suci India kuno. Ashu Khosla menyatakan hal itu saat menyajikan makalahnya dalam Kongres Sains India ke-106 pada 2019 silam.

Daftar ini, kalau kuteruskan, masih sangat panjang, dan melibatkan nama-nama terkenal—mereka yang dihormati karena jabatan atau posisinya. Seperti presiden, menteri, ilmuwan, atau mereka yang disebut ahli di bidangnya. Jadi tidak aneh kalau orang-orang awam juga melakukannya.

Manusia sepertinya punya kecenderungan untuk mengklaim sesuatu, atau membangga-banggakan masa lalu leluhurnya, keyakinannya, dan semacamnya. Bahkan jika sesuatu yang dibanggakan itu—jika memang ada—kini telah lenyap. Dan jika tidak ada, mereka akan menciptakannya.

Memang sangat mudah mengatakan bahwa “ribuan tahun lalu, leluhurku melakukan ini dan itu”, daripada mengatakan “kita melakukannya sekarang”. Tapi kalau dipikir-pikir, setidaknya dalam pikiranku sebagai bocah, buat apa melakukan hal semacam itu? Wong hal-hal itu sudah berlalu.

Aku lebih setuju dengan Kaushik Basu, ekonom India, “Lebih penting menghabiskan waktu untuk sains, matematika, dan sastra, daripada menghabiskan waktu untuk menunjukkan bahwa 5.000 tahun yang lalu nenek moyang kita telah melakukan pencapaian sains, matematika, dan sastra."

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan umur kalian tidak akan cukup untuk menyimaknya. Jadi buat apa kulanjutkan? Lagian ududku sudah habis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Oktober 2021.

OnlyFans dan Krisis Mbakyu

Manajemen OnlyFans mengklaim semua konten seksual
tidak lagi bisa tayang mulai Oktober 2021.
Tapi, kabarnya foto telanjang masih boleh diunggah.
@VICE_ID

OnlyFans melarang konten seksual, itu mungkin mirip
Twitter melarang kita ngoceh. Lhah, mau ngapain kita di sini?
@noffret


Ah, ya, OnlyFans sebenarnya masih mengizinkan konten seksual, tapi—berdasarkan yang kubaca di VICE tadi—tidak boleh eksplisit. Kasarnya, pengguna masih boleh mengunggah foto telanjang, tapi tidak boleh mengunggah konten ngewe. Kira-kira begitu, lah.

*Udud tinggal setengah*

Omong-omong soal OnlyFans, aku jadi ingat The Connel Twins. Dulu, ketika nama mereka ramai disebut-sebut di Indonesia, karena foto-foto yang bocor, aku sempat bingung dan bertanya-tanya, “Siapa itu The Connel Twins?” 

Waktu itu aku benar-benar tidak tahu siapa mereka.

Kalau ada kabar tentang “foto bocor”, kita pasti mikirnya yang “enggak-enggak”, kan? Begitu pun aku, waktu itu. Jadi, dengan penasaran—bercampur “ekspektasi tinggi”—aku pun googling untuk tahu siapa mereka, dan hasilnya... aku tidak tertarik melihat “foto-foto bocor” mereka!

Mohon maaf sebelumnya. Di mataku, dua cewek The Connel Twins itu masih anak-anak, dan—mohon maaf sekali lagi—aku tidak punya ketertarikan [seksual] pada anak-anak! Bahkan umpama diberi akses untuk melihat foto-foto mereka di OnlyFans, aku tidak akan tertarik melihat!

Aku tidak tahu berapa usia The Connel Twins, dan terus terang aku tidak tertarik untuk tahu berapa umur dua cewek itu. Yang jelas, mereka masih terlihat sebagai anak-anak di mataku. Dari wajahnya, gaya penampilannya, cara berbicaranya, semuanya masih tampak seperti anak-anak.

Jadi, aku berpikir, kenapa anak-anak itu diizinkan mengunggah foto-foto telanjang mereka di OnlyFans? Lebih penting lagi, kenapa sepertinya banyak orang yang senang melihat foto telanjang mereka? 

Sebagai bocah, aku khawatir dunia sedang mengalami krisis mbakyu. Apppeeuu...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Agustus 2021.

Semoga Klaus Meine Masuk Surga

Seharian tadi, di sela-sela kerja, aku terus menikmati musik yang indah ini, dan tak usai terpesona pada suara Klaus Meine yang magis.


Dalam bayanganku sebagai bocah, Klaus Meine adalah orang yang apabila berdoa, doanya akan terkabul. Karena suaranya mampu menggetarkan kisi-kisi langit, meretakkan rembulan, dan meruntuhkan bintang-bintang. 

Semoga Klaus Meine masuk surga.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 September 2021.

Ngajak Turu

Howone ngajak turu gasik.
(Cuacanya ngajak tidur sore).


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 September 2021.

Nur

Kau tidak tahu kekuatanmu yang sebenarnya. Tapi aku tahu. —En Sabah Nur


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Desember 2019.

 
;