Gerimis di sini.
—@noffret
Saya sampai di rumahnya, bertepatan dengan gerimis yang mulai turun. Dia sedang duduk di kursi depan rumah, dan menyambut saya dengan senyum lebar.
“Mau ke dalam, atau di sini?” dia menawari.
“Di sini aja,” saya menyahut, “kayaknya enak ngobrol sambil lihat gerimis.”
Kami lalu duduk di kursi depan rumah, dan saya mulai menyalakan rokok. Setelah mengisap rokok sesaat, saya berkata kepadanya, “Dapat salam dari Awan.”
“Awan siapa?”
“Awan, Himawan. Mekanik Honda.”
“Ooh...” dia mengangguk. “Ketemu Awan di mana?”
“Barusan, pas makan siang. Aku ajak ke sini, dia sebenarnya mau ikut, tapi ada janji sama adiknya.”
“Eh, ini kan hari Selasa, ya. Emang Awan nggak kerja?”
“Lagi libur, katanya. Tempat servis [tempat dia bekerja] lagi sepi.”
“Kok bisa?”
Saya tersenyum. “Aku juga tadi nanya gitu. Kata Awan, para pemilik kendaraan kayaknya lagi nggak kepikiran nyervis kendaraannya, karena bisnis lagi pada sepi. Orang-orang yang biasanya rutin membawa motor atau mobil ke tempat servis, sekarang mungkin pada menahan diri, dan memakai uang mereka untuk keperluan lain yang lebih mendesak.”
Dia menganggu-angguk. “Baru ngerti. Bahkan tempat servis kendaraan pun ikut terdampak resesi...”
Saya mengisap rokok sesaat, lalu menyahut, “Hari gini, kayaknya semua usaha memang pada sepi. Dan hasilnya terjadi dampak berantai, sampai tempat servis kendaraan kena imbasnya.”
Kami terdiam, menatap gerimis yang masih turun. Penjual keliling terlihat lewat beberapa kali, menjajakan aneka makanan. Entah para penjual keliling itu terkena dampak resesi atau tidak, saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya maupun teman-teman yang saya kenal saat ini sedang terkena dampak resesi—semua usaha/bisnis lagi sepi, yang jadi karyawan kadang diliburkan atau malah dirumahkan.
Sekitar seminggu sebelumnya, saya dolan ke tempat teman lain yang punya usaha konter pulsa/kuota. Dia merintis usaha konternya sejak bertahun-tahun lalu, dan belakangan terbilang sukses. Jika sebelumnya dia sendirian yang melayani pembeli/pelanggan saat isi pulsa/kuota, belakangan dia bisa mempekerjakan orang-orang lain. Terakhir yang saya tahu, karyawan di konter miliknya mencapai 8 orang, yang bekerja shift siang dan malam.
Namun, usaha konternya ternyata ikut terdampak resesi yang belakangan terjadi. Seiring waktu, sejak beberapa bulan terakhir, konternya makin sepi. Dia terpaksa meliburkan karyawannya satu per satu, seiring pembeli makin sedikit, dan belakangan semua karyawan terpaksa diliburkan. Seminggu kemarin, ketika saya main ke konternya, dia sendiri yang melayani pembeli, karena, “Pembeli makin sepi, jadi aku udah nggak mampu menggaji karyawan.”
Saya turut sedih atas hal itu, tapi resesi memang sedang terjadi. Bukan hanya teman-teman saya yang terdampak resesi, saya sendiri juga ikut terdampak. Dan sekarang, teman yang saya datangi juga sedang prihatin akibat hal yang sama; resesi. Dia punya usaha batik, dan sekarang sedang mandek, nyaris mandek total, karena tidak ada permintaan. Hampir semua karyawannya terpaksa diliburkan, dan dia sendiri sekarang duduk di samping saya, di depan rumahnya, menatap gerimis yang turun.
Dia menyulut rokok, lalu berkata, “Tempo hari Zahir main ke sini.”
Zahir yang dia maksud adalah teman kami yang juga pengusaha batik.
Dia melanjutkan sambil tertawa getir, “Aku udah senang banget, karena mengira dia butuh pasokan barang. Eh, ternyata dia malah lagi bingung karena barang di rumahnya menumpuk, belum terjual. Dia nawarin, siapa tahu aku butuh tambahan barang. Lha barang di rumahku juga lagi numpuk, bingung mau jual ke mana...”
Saya menyahut, “Kirain Zahir masih lancar-lancar aja...”
“Aku juga ngiranya gitu. Yang lucu, Zahir juga ngira aku masih lancar-lancar aja. Hahaha...”
Saya ikut tertawa. “Kayaknya emang benar kata orang, urip mung sawang sinawang. Kita mengira orang lain lebih beruntung, sementara orang lain mengira kita lebih beruntung. Padahal ya sama-sama pusing!”
“Eh, sampai kelupaan. Kamu mau minum apa?”
“Teh anget aja, kalau ada.”
Dia masuk rumah beberapa saat, lalu keluar lagi dengan membawa dua gelas teh di atas nampan.
Saya menyeruput teh hangat di gelas, dan kembali mengisap rokok.
Dia juga melakukan hal sama, lalu berkata perlahan, “Resesi yang saat ini terjadi, kayaknya merayap diam-diam, ya. Terlihat nggak ada gejolak, tapi diam-diam banyak orang terkena atau terdampak.”
“Kayaknya gitu,” saya menyahut. “Teman-teman kita yang kayaknya baik-baik aja—yang aku kira nggak terdampak resesi—ternyata ya sama-sama lagi bingung. Keluhannya sama semua. Usaha sepi, kerjaan sepi, nyari duit makin susah.”
“Tapi kalau lihat di media sosial, kayaknya orang-orang pada baik-baik aja, ya. Mereka tetap posting makanan-makanan enak, liburan ke luar kota atau luar negeri, beli barang-barang mahal, atau tetap cengengesan kayak nggak ada masalah...”
Saya tertawa. “Ya semoga mereka memang baik-baik aja. Tapi kalau ternyata mereka juga lagi pusing, entah pusing karena resesi atau pusing karena masalah pribadi, kita kan nggak tahu. Wong kita cuma lihat mereka sebatas di media sosial.”
Dia menyeruput teh di gelas, lalu bertanya, “Menurutmu, usaha atau pekerjaan apa yang saat ini nggak terdampak resesi?”
“Entahlah, aku nggak tahu. PNS, mungkin?”
Dia tertawa. “Kenapa larinya ke PNS?”
Saya ikut tertawa. “Ya aku kan nggak tahu. Setahuku, nggak ada PNS yang diliburkan karena kerjaan lagi sepi. Jadi ya mungkin mereka nggak terdampak resesi.”
Dia lalu berkata serius, “Omong-omong soal PNS, sepupuku kan PNS, tuh. Dia emang masih lancar kerja, dan tentunya juga lancar gajian. Tapi dia juga ngeluh. Katanya, gaji nggak naik, tapi harga-harga kebutuhan sekarang pada naik. Sementara cicilan belum juga lunas.”
“Lhah, PNS aja ngeluh...”
“Makanya, kayak kamu bilang tadi, urip mung sawang sinawang. Kita ngira orang lain lebih beruntung, sementara orang lain ngira kita yang lebih beruntung.”
Kami terdiam, menatap gerimis yang masih turun. Saya mengisap rokok, dia melakukan hal sama.
Seorang penjual bakso lewat di depan rumah, penjualnya mengenakan plastik mirip jas hujan, mendorong gerobaknya perlahan-lahan. Dia sempat menengok ke arah kami yang lagi duduk di depan rumah, dan membunyikan mangkuknya beberapa kali. Sesaat kemudian ia berlalu di bawah gerimis.
“Penjual bakso tadi mungkin berpikir betapa beruntungnya kita, karena bisa duduk santai di depan rumah, sambil merokok dan menikmati gerimis. Tanpa tahu kita sedang pusing saat ini...”
“Dan begitulah hidup,” saya menyahut.
Gerimis masih turun.