Kamis, 26 September 2019

Sepasang Naga di Rumah Saya

"Ada kenyataan di balik setiap legenda."
Sir Edmund Burton


Di rumah saya ada dua guci besar, tingginya sekitar 1,5 meter. Saya membeli guci itu bertahun-tahun lalu, karena tertarik dengan hiasan naga di bagian luarnya. Hiasan naga itu bukan lukisan di badan guci seperti umumnya guci Cina, tapi benar-benar timbul, dari bagian kepala sampai ekor, lengkap dengan kaki-kaki yang seolah mencengkeram badan guci.

Pembuat guci itu pasti seorang maestro, karena bisa mewujudkan naga dengan begitu detail, lengkap dengan sungut-sungutnya yang menjulur panjang. Jika dipandang sekilas, guci itu seperti dililit naga, dari bawah sampai atas. Ekornya melingkari bagian bawah guci, sementara kepala naga mendongak di bagian atas, dengan mulut terbuka dan memamerkan taring-taringnya.

Saya meletakkan sepasang guci unik itu di ruang tamu, sebagai hiasan rumah. Selama bertahun-tahun, sepasang guci terbelit naga itu berdiri angkuh di kanan kiri pintu yang menuju ke ruang tengah.

Dulu, waktu pertama kali membelinya, saya sering mengagumi keindahan guci itu, menyentuh tonjolan tubuh naga yang membelit di sana, dan meraba sungut atau sisik-sisik di tubuhnya, yang dibuat dengan detail. Saya benar-benar mengagumi pembuat guci itu, siapa pun dia. Dibutuhkan seorang maestro untuk bisa membuat guci seindah itu, khususnya karena naga yang membelit guci benar-benar tampak realistis.

Teman-teman saya juga sama terpesona pada guci tersebut. Dulu, waktu mereka baru mendapati adanya guci itu, mereka pun sama kagum seperti saya, dan biasanya mereka menyentuh guci serta naga yang membelitnya, dan mengagumi pembuatnya.

Tapi kekaguman dan keterpesonaan biasanya tak abadi, khususnya kekaguman pada benda mati. Meski semula saya sangat kagum dan terpesona pada sepasang guci itu, tapi nyatanya itu benda mati. Seiring berlalunya waktu, karena makin terbiasa melihatnya, keterpesonaan saya pun perlahan-lahan pudar, dan menganggap sepasang guci indah itu hanya sebagai hiasan rumah.

Sejak itu, saya tidak pernah lagi meluangkan waktu untuk duduk dan memandangi guci tersebut, apalagi menyentuhnya dengan kekaguman, seperti yang biasa saya lakukan sebelumnya. Bagaimana pun, sepasang guci itu benda mati, hiasan biasa seperti umumnya penghias rumah, tak peduli seindah apa pun ia dibuat.

Seiring tahun-tahun berlalu, guci itu pun dilekati debu. Bisa dibilang saya tak terlalu peduli. Kalau pas ada waktu luang, saya kadang mengelapnya dengan kain. Tapi saya sangat jarang punya waktu luang. Karenanya, dari waktu ke waktu, debu-debu makin menumpuk pada guci-guci itu. Sekali lagi, bisa dibilang saya tak terlalu peduli. Urusan saya sudah sangat banyak, dan guci dibelit naga—seindah apa pun ia—sama sekali tidak penting.

Pikiran saya berubah, ketika suatu siang Miko datang ke rumah saya bersama temannya, bernama David. Saat mereka baru duduk, Miko berkata, “Dari luar, panasnya luar biasa. Masuk ke sini langsung berasa adem banget.”

Saya menyahut sambil tersenyum, “Sekarang kamu tahu kenapa aku lebih senang di rumah.”

Karena saya tidak mengenal David, Miko pun mengenalkan kami. Sama seperti orang-orang lain yang baru datang ke rumah saya, David tertarik pada sepasang guci terbelit naga, yang berdiri di dua sisi pintu menuju ruang tengah.

Dia mendekati sepasang guci itu, memandanginya dengan tertarik, lalu menyentuhnya dengan hati-hati. Waktu itu kondisi guci agak berdebu, karena tak pernah saya urusi. David bertanya pada saya, “Kenapa guci seindah ini bisa berdebu?”

Sambil nyengir, saya menyahut, “Aku tidak punya waktu membersihkannya.”

David menatap saya seolah saya telah berbuat dosa besar.

Buru-buru saya menjelaskan, “Yeah, dulu, waktu pertama kali membelinya, aku memang rajin membersihkan. Tapi lama-lama, aku makin tidak punya waktu. Guci itu sudah berdiri di sana sejak bertahun-tahun lalu...”

Lalu David mengajukan pertanyaan yang sama sekali tak terduga, “Bagaimana kalau ternyata naga yang membelit guci ini hidup?”

Saya tersenyum. “Kalau naga itu hidup, aku pasti sudah mati dimakannya.”

“Sebaliknya,” sahut David sambil balas tersenyum, “jika naga ini benar-benar hidup, dia tidak akan memakanmu.”

Lalu David berbicara panjang lebar mengenai fengshui, topik yang sejak lama ia gemari. Dalam fengshui, menurut David, naga melambangkan banyak hal positif, termasuk ketenangan dan kemakmuran. Karena itulah, masih menurut David, banyak orang Tionghoa yang memiliki gambar atau patung naga di rumah, untuk menarik energi positif.

Setengah jam kemudian, saya seperti sedang kuliah fengshui, dan David adalah guru yang tahu menjelaskan sesuatu dengan cara menarik.

“Apakah kamu merasakan ketenangan saat berada di rumah?” ia bertanya.

“Ya,” saya menjawab pasti.

“Menurutmu, berapa banyak orang yang bisa merasakan ketenangan di rumahnya?”

“Aku tidak tahu, tapi mungkin banyak. Yeah, sepertinya semua orang merasa tenang di rumahnya, kan?”

“Sayangnya tidak,” sahut David. “Ada banyak orang yang tidak tenang dan gelisah di rumahnya sendiri, padahal rumah mereka besar dan mewah. Karena ketidaktenangan itu, mereka pun sering keluar rumah, keluyuran, mendatangi banyak tempat demi memperoleh ketenangan. Banyak orang yang tidak betah di rumah, dan mereka mencari ketenangan di kafe, atau di tempat lain. Menurutmu, kenapa kamu betah dan tenang di rumah?”

“Mungkin karena aku memang senang menyendiri, dan kebetulan aku memang nyaman tinggal di rumah.”

“Mungkin, ya,” sahut David. “Tapi mungkin pula ketenanganmu datang dari energi positif, karena keberadaan naga di sini.”

“Aku belum pernah memikirkannya.”

David tersenyum. “Sekarang kamu bisa mulai memikirkannya.”

....
....

Terlepas benar atau tidak yang dikatakan David, sejak itu saya punya pandangan berbeda terhadap sepasang guci terbelit naga di rumah saya. Sejak itu, saya kembali meluangkan waktu untuk memandanginya, menyentuhnya, membersihkannya, bahkan belakangan sampai mencucinya. Ya, bagaimana kalau ternyata sepasang naga itu memang memancarkan aura positif seperti yang dikatakan David?

Hal-hal biasa sering kali jadi tak biasa ketika kita mulai menyadari arti di baliknya. Ada banyak patung yang berdiri di muka bumi, dan patung itu tampak biasa—sebegitu biasa hingga kita tidak menghiraukan. Tetapi, begitu menyadari arti di baliknya, kita mulai memperhatikan. Begitu pula lukisan, karya sastra, simbol dan gambar, hingga naga. Semuanya berubah, ketika perspektif kita berubah.

Meski naga sering dikaitkan dengan legenda Cina, namun ada banyak bangsa lain yang sama memuja naga, walau dengan penyebutan berbeda.

Naga adalah sebutan dalam bahasa Indonesia. Di Cina atau Tiongkok, namanya Long. Di Vietnam, naga disebut Rong. Di Jepang, disebut Ryu. Di Korea, disebut Yong, Yo, atau Kyo. Di Siberia, disebut Yilbegan. Di India, disebut Vyalee. Di Jerman dan Skandinavia, disebut Lindworm. Di Wales, disebut Y Ddraig Goch. Di Hungaria, disebut Zomok. Di Rumania, disebut Balaur. Di Brasil, disebut Boi-tata. Daftarnya masih panjang.

Bagaimana bisa banyak bangsa di dunia memuja makhluk yang sama, padahal mereka berada di tempat berjauhan dan tidak saling kenal?

Kadang-kadang, ada kenyataan di balik legenda. Kenyataan itu terkubur begitu dalam di dasar peradaban manusia, hingga yang tersisa tinggal legenda. Mungkin.

Bank dan Utang

Jika kita bertanya kepada Presiden Jokowi, "Secara pribadi, Pak Jokowi, apakah Anda setuju dengan IMF-World Bank?"

Aku membayangkan Presiden Jokowi akan menjawab, "Tidak."

Dulu, sebelum menjadi presiden, Jokowi bahkan punya rencana atau impian membubarkan World Bank.

Dalam ilustrasi sederhana, IMF tidak jauh beda dengan bank yang memberi kredit. Istilah "membantu" tidak tepat digunakan dalam pemberian utang yang mereka lakukan, karena lebih tepat jika menggunakan istilah "mencari untung".

Dulu, zaman masih kere, aku pernah berusaha meminjam uang ke bank, dan sikap mereka benar-benar menyebalkan. Belakangan, mereka yang datang dan menawari utang sambil menaburkan aneka pujian.

Ingin tahu apa yang kulakukan? Aku meminta mereka pergi ke neraka.

Bank adalah pihak yang meminjami payung ketika cuaca cerah, tapi memintanya kembali ketika hujan turun.

Kalau kau kere, bank tidak peduli kepadamu, apalagi sampai berniat membantumu. Sebaliknya, kalau kau kaya, bank akan mendekatimu, berharap kau mau berutang pada mereka.

Kita perlu berdoa, tidak saja agar dijauhkan dari kemiskinan dan kekurangan, tapi juga dijauhkan dari keinginan berutang. Tidak ada kedamaian dalam hidup yang dibelit utang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Oktober 2018.

Noffret’s Note: Harar

Di Etiopia, ada sebuah kota tua bernama Harar, yang merupakan kota suci umat Islam di negara tersebut. Kota ini penuh warna, dikelilingi tembok tua bersejarah. Layaknya kota “suci”, para penduduk di sana pun berpenampilan islami. Tapi ada sesuatu yang ironis di kota ini.

Selain menjadi kota suci, Harar juga menjadi penghasil bir. Pabrik bir di sana dibangun pemerintah, yang belakangan dijual kepada Heineken. Tapi ironinya bukan terletak di situ. Ironinya adalah... banyak penduduk Harar tidak tahu bahwa kota suci mereka diam-diam menghasilkan bir!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Februari 2019.

Sabtu, 21 September 2019

Saus yang Tertinggal

Aku selalu malas kalau diajak ke gerai ayam goreng atau
gerai makanan impor, apa pun. Alasannya sepele tapi fatal:
Tidak ada teh hangat!
@noffret


Di mana-mana, kita tentu sering menemukan penjual ayam goreng ala KFC di pinggir-pinggir jalan. Rasanya agak-agak mirip dengan ayam goreng KFC atau ayam goreng impor lain.

Kalau kebetulan sedang berkendara di jalan, dan menemukan penjual ayam goreng semacam itu, saya kadang mampir untuk membeli. Karena kebiasaan itu pula, saya pun akhirnya tahu kalau masing-masing ayam goreng di pinggir jalan kadang memiliki cita rasa berbeda. Ada yang sangat renyah, ada pula yang agak keras. Ada yang agak asin, ada pula yang pas di lidah.

Dari kesukaan membeli ayam goreng di pinggir jalan, akhirnya saya menemukan satu penjual yang menyediakan ayam goreng dengan cita rasa paling pas di lidah saya. Sejak itu pula, saya sering beli ayam goreng di tempat tersebut.

Sama seperti di tempat lain, penjual ayam goreng yang kerap saya datangi berupa gerobak di pinggir jalan. Ada wajan besar di sana yang digunakan untuk menggoreng, dan ayam-ayam yang telah matang ditaruh di bagian etalase gerobak. Serupa yang ada di gerai ayam goreng impor, penjaja ayam goreng pinggir jalan juga menyediakan saus, namun dalam kemasan kecil. Satu kemasan untuk sepotong ayam.

Karena sering datang ke sana, penjualnya pun mengenali saya, dan kami bercakap-cakap setiap kali saya membeli ayam goreng di sana. Dia seorang lelaki yang mungkin seumuran saya, tapi sudah memiliki istri dan anak. Kadang-kadang, saat ke sana, si lelaki tidak ada, dan saya hanya mendapati si istri yang melayani pembeli.

Perkenalan, percakapan, hingga keakraban saya dengan penjual ayam goreng itu mengalir perlahan-lahan dan alami. Mula-mula, dia hanya tersenyum ramah setiap saya ke sana. Karena saya biasa ke sana sore hari, dia kadang bertanya apakah saya baru pulang kerja, dan saya hanya mengangguk. Seiring dengan itu, dia mulai bertanya saya tinggal di mana. Dan saya mengajukan pertanyaan serupa.

Dari pertemuan yang terus menerus terjadi, lama-lama kami seperti kawan yang memang saling kenal. Dari pertemuan demi pertemuan yang sebenarnya relatif singkat, saya akhirnya tahu si penjual ayam goreng sudah menikah, dan punya dua anak.

Di tempat jualannya, saya memang kadang menjumpai dua anak laki-laki. Yang satu sudah cukup besar, mungkin sudah SD, sementara satunya lagi masih kecil dan belum sekolah. “Daripada mereka tinggal di rumah tanpa orang tua, saya bawa mereka ke sini,” ujarnya memberi tahu.

Belakangan, saya mendapati istri penjual ayam goreng hamil, dan tampaknya mereka akan punya anak lagi.

Suatu waktu, saya datang ke tempat ayam goreng, dan tidak mendapati gerobak yang biasa. Sepertinya hari itu sedang libur. Ketika saya datang lagi di lain waktu, si penjual ayam goreng bercerita, anak ketiganya sudah lahir. “Tempo hari tidak jualan, karena ribet ngurus kelahiran anak,” ceritanya.

Hari itu sepertinya dia ingin curhat. Waktu melayani saya membeli ayam goreng, dia tampak berlama-lama, sambil terus berbicara. Dia bercerita dirinya makin repot akhir-akhir ini, sejak anak ketiganya lahir. Biasanya, istrinya yang menangani urusan di rumah. Tapi karena baru memiliki bayi, istrinya masih repot mengurus si bayi. Karenanya, kini dia yang harus menangani semua hal—urusan rumah sampai belanja bahan-bahan untuk jualan.

“Padahal pemasukan dari hasil jualan tidak bertambah,” ujarnya. “Kini harus ada satu mulut lagi yang butuh makan.”

Kemampuan sosial saya tergolong minus, dan kurang mampu berbasa-basi. Karenanya, dalam interaksi dengan orang lain, saya biasanya lebih banyak diam dan hanya mendengarkan. Ketika penjual ayam goreng curhat panjang lebar tentang diri dan keluarganya, saya pun hanya diam dan mendengarkan, sambil sesekali mengangguk, menunjukkan bahwa saya bersimpati, dan memahami keluhannya.

Di pertemuan-pertemuan berikutnya, dia kadang kembali curhat, mengeluhkan sesuatu—“anak sakit”, “sedang stres”, “banyak masalah”, dan lain-lain. Kadang saya tergoda untuk menyarankan dia agar membuat blog, biar lebih leluasa ngoceh tentang apa pun—seperti yang saya lakukan—tapi sepertinya itu bukan ide yang bagus. Jadi, saya biarkan dia curhat, dan diam-diam berharap kehadiran saya—yang menjadi tempat curcolnya—dapat sedikit meringankan beban.

Suatu sore, seperti biasa, saya kembali datang ke tempat penjual ayam goreng tersebut. Saat sampai di sana, saya mendapati seorang lelaki sedang marah-marah pada si penjual. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Karena sudah sampai di sana, saya pun berhenti dan berdiam diri, menunggu cekcok mereka selesai.

Laki-laki yang marah itu terdengar mengatakan, “Tempo hari kamu cuma ngasih tiga saus, dan sekarang tidak ada saus sama sekali! Saya harus datang lagi ke sini, jauh-jauh, cuma untuk mengambil saus!”

Si penjual ayam goreng meminta maaf atas hal itu, dan mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Lalu si laki-laki yang marah-marah tampak pergi, setelah mendapatkan saus kemasan yang dimintanya.

Setelah laki-laki tadi pergi, saya mendekati gerobak, untuk membeli ayam goreng seperti biasa. Si penjual bercerita, laki-laki tadi salah satu pelanggan yang sering datang, dan biasa membeli lima potong ayam. Hari itu, si penjual khilaf, dan tidak menyertakan lima saus kemasan untuk ayam yang dibeli. Karena itulah, si pembeli kembali datang sambil marah-marah.

Yang agak mengejutkan, dia juga bercerita kalau pembeli yang marah-marah seperti itu bukan hanya satu orang. Sudah beberapa kali ada pembeli yang datang marah-marah kepadanya, karena dia lupa menyertakan saus untuk ayam yang dibeli. Kadang ada orang membeli tujuh potong ayam, tapi dia hanya menyertakan tiga saus kemasan. Kadang ada yang membeli dua potong ayam, dan dia sama sekali tidak memberi saus. Ada pula orang yang membeli empat potong ayam, dan dia hanya menyertakan dua saus kemasan.

Saya bertanya, kenapa dia melakukan hal seperti itu?

“Saya sering stres,” sahutnya sambil membungkus ayam untuk saya. “Di rumah banyak urusan, banyak masalah, harga-harga terus naik, kebutuhan anak semakin banyak, padahal pemasukan tidak bertambah.” Lalu sederet keluhan lain yang harus saya dengarkan sore itu. Dari istri yang rewel sampai anak yang rewel.

“Karena itulah,” lanjutnya dengan nada lelah, “saya sering tidak sadar saat melayani pembeli. Orang beli lima potong ayam, kadang saya hanya memasukkan tiga saus. Karena pikiran saya ambyar ke mana-mana.”

Untuk kesekian kali, saya hanya diam, mengangguk, dan menunjukkan sikap bersimpati untuknya. Kadang saya berpikir untuk juga punya istri dan anak-anak, agar bisa merespons semua keluhannya dengan tepat, bahwa saya juga sama stres seperti dirinya, bahwa saya juga pusing karena mikir istri dan anak-anak. Tapi saya tidak punya istri dan anak-anak, jadi saya bisa apa?

Dia menyerahkan bungkusan ayam yang saya beli, dan mengucap terima kasih seperti biasa. Saya pun pulang, dengan bayangan indah seperti biasa—menikmati ayam goreng istimewa dengan saus dan teh hangat, dan sebatang udud yang nikmat. Benar-benar sore yang sempurna.

Di rumah, saya membuka bungkusan ayam goreng dengan hati ringan. Hari itu, saya membeli tiga potong ayam. Tapi... sausnya cuma satu.

Kegilaan di Korea Utara

Ada banyak warga Korea Utara yang percaya bahwa Yang Mulia Kim Jong-un—karena saking mulianya—tidak pernah buang air besar. Mungkin konyol bagi kita, tapi masuk akal bagi mereka. Dan Jong-un bisa menempati “posisi mulia” itu dengan mengandalkan dua hal: Doktrinasi dan propaganda.

Pernah melihat orang (wisatawan) selfie di Korea Utara? Mungkin tidak. Kenapa? Untuk tahu jawabannya, kau harus masuk ke sana. Di Korea Utara, kita harus berfoto dengan sikap tegap dan serius—khususnya kalau berfoto di dekat simbol-simbol negara, yang sialnya ada di mana-mana.

Suasana keseharian di Korea Utara sangat tegang, karena tentara ada di mana-mana. Bagi wisatawan, masuk Korea Utara seperti memasuki medan perang. Pasukan pemerintah berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Dalam kondisi semacam itu, hidup di sana pasti sangat stres dan melelahkan.

Di Korea Utara, setiap rumah harus menyetel siaran radio pemerintah, dan tidak boleh dimatikan—bahkan jika penghuni rumah akan tidur. Suara radio boleh dilirihkan, tapi tidak boleh dimatikan. Jadi praktis, 24 jam setiap hari pemerintah bisa terus mendoktrin rakyatnya tanpa henti.

Di Korea Utara tidak ada internet seperti yang kita kenal. Karenanya, di sana masih banyak orang membaca koran/tabloid. Dan, boleh percaya boleh tidak, dari halaman awal sampai halaman akhir isinya cuma Kim Jong-un! Dan semua doktrin serta propaganda pemerintah, tentu saja.

Kalau radio dan koran isinya cuma doktrin Kim Jong-un dan propaganda pemerintah, bagaimana dengan televisi? Yo podo wae. Siaran televisi di Korea Utara sangat... sangat membosankan, mungkin sebelas-dua belas dengan siaran TVRI di zaman Orde Baru/Soeharto, bahkan lebih parah lagi.

Yang paling dilematis adalah warga yang tinggal di perbatasan Korea Utara/Selatan. Karena tinggal di perbatasan, televisi mereka bisa "terpapar" siaran dari Korea Selatan (yang isinya tentu jauh lebih asoy). Tapi mereka tidak berani nonton, karena risikonya jelas: Masuk penjara!

Puncak kengerian di Korea Utara adalah ini: Umpama kau tinggal di perbatasan, dan nekad menonton siaran televisi Korea Selatan (misal drakor), tentara pemerintah memang tidak tahu. Tapi keluarga serumahmu pasti tahu, dan mereka bisa menyeretmu ke pemerintah agar kau dihukum.

Di Korea Utara, orang tua bisa menyeret anaknya ke kantor polisi karena si anak menonton drama Korea Selatan. Atau kakak melaporkan adiknya karena alasan serupa. Atau tetangga ke tetangga. Bagaimana "kegilaan" semacam itu bisa terjadi? Jawabannya dua hal: Doktrin dan propaganda.

Bagi rakyat Korea Utara, Kim Jong-un adalah nabi, sementara aturan pemerintah (yang tentu dibuat Kim Jong-un) adalah ayat-ayat suci. Jadi mereka lebih rela anaknya masuk penjara dan dihukum mati, daripada menentang "ayat-ayat suci" pemerintah dan melawan nabi yang mereka patuhi.

Membahas kegilaan di Korea Utara bisa panjang sekali, dan ocehan ini bisa jadi akan selesai tahun depan kalau kuteruskan. Intinya, Korea Utara adalah bukti nyata bagaimana doktrin dan propaganda benar-benar menunjukkan hasilnya yang mengerikan: Kebodohan dan keterbelakangan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Januari 2019.

Selamat Mbuh

Di hari biasa yang mbuh ini, kami sekeluarga mengucapkan, “Yo mbuh kabeh, barang gaib.”

Selasa, 17 September 2019

Godaan dan Kesetiaan

"Temptation" adalah kata favoritku dalam bahasa Inggris.
Selama tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
@noffret


Karena rayuan godaan, kesetiaan bertahun-tahun bisa hilang. Kenyataan itu saya alami, dengan ponsel yang pernah bertahun-tahun menemani.

Dulu, saya memiliki ponsel berbentuk sliding. Ponsel itu memiliki layar tidak terlalu besar, namun fasilitas di dalamnya tergolong lengkap, khususnya untuk ukuran waktu itu, termasuk kemampuan dalam hal foto dan video. Waktu itu teknologi layar sentuh belum populer, jadi ponsel sliding saya juga belum menggunakan layar sentuh. Meski begitu, ponsel dilengkapi keypad tersembunyi, yang enak disentuh.

Sejak membeli ponsel itu, saya benar-benar nyaman memilikinya. Warnanya putih metalik. Tampak elegan, nyaman digenggam, juga nyaman dikantongi. Lebih dari itu, semua yang saya inginkan dari ponsel, bisa dipenuhi olehnya. Kemampuan suaranya saat memperdengarkan musik tergolong bagus, apalagi kalau menggunakan headset. Kemampuan kameranya juga bagus, khususnya untuk ukuran waktu itu.

Saat sliding-nya tertutup, ukuran ponsel itu relatif kecil, hanya sebesar bungkus rokok. Tebalnya juga kira-kira segitu. Jadi, saat dikantongi di celana, terasa pas dan tidak mengganjal. Intinya, saya benar-benar puas dengan ponsel tersebut, dan—selama bertahun-tahun—tak pernah tergoda dengan ponsel lain mana pun. Saya sudah nyaman dengan ponsel yang saya miliki, dan persetan dengan ponsel lain.

Hingga kemudian, ponsel layar sentuh mulai populer. Berbeda dengan ponsel saya yang berukuran relatif kecil, ponsel-ponsel layar sentuh memiliki ukuran lebih besar, karena menggunakan layar yang juga lebih luas. Semula, saya masih bertahan untuk tidak tergoda, dan tetap nyaman dengan ponsel yang saya miliki. Saya tidak ingin menggantikannya dengan ponsel lain.

Tetapi, namanya manusia, akhirnya saya tergoda juga. Bagaimana tidak? Nyaris ke mana pun saya mengarahkan pandangan, yang tampak di depan mata adalah ponsel-ponsel besar dengan teknologi layar sentuh. Teman-teman saya menggunakan ponsel semacam itu. Tetangga-tetangga juga menggunakan ponsel semacam itu. Bahkan di berbagai media—cetak maupun elektronik—mata saya terus digoda ponsel semacam itu. Sejak itu pula, entah kenapa, ponsel sliding saya tampak ketinggalan zaman.

Pertahanan saya pun jebol, dan suatu hari berpikir untuk juga memiliki ponsel layar sentuh. Waktu itu, sebenarnya, ponsel sliding yang saya miliki tidak mengalami masalah apa pun. Itu ponsel hebat yang diproduksi pabrikan terkenal, yang memiliki teknologi kelas satu. Karenanya, meski telah digunakan bertahun-tahun, ponsel itu tidak pernah mengalami masalah apa pun. Tetapi, gara-gara godaan yang ada di sekitar, saya pun terpikir membeli ponsel baru.

Itulah yang kemudian saya lakukan. Setelah sempat mencari dan mempelajari ponsel layar sentuh mana yang bagus, saya pergi ke toko ponsel, dan membeli ponsel baru. Waktu itu, kartu SIM yang ada di ponsel sliding saya dicabut, dan dipindah ke ponsel baru. Sejak itu pula, ponsel sliding saya tidak lagi menyala, karena tidak digunakan. Kelak, saya tahu, itu kesalahan yang mengerikan.

Semula, saya menyukai ponsel layar sentuh itu, karena namanya juga ponsel baru. Jadi, meski ponsel sliding kesayangan kini tak pernah lagi digunakan, saya tidak peduli. Saya masih asyik dengan ponsel baru. Meski begitu, sejak awal sebenarnya saya sudah tidak nyaman dengan ponsel baru tersebut, karena ukurannya yang relatif besar. Akibatnya, saat dikantongi di celana, ponsel itu terasa mengganjal.

Meski begitu, saya menghibur diri dengan mengatakan, “Ya maklumlah, karena layar ponsel itu memang lebar. Namanya juga layar sentuh.” Jadi, meski terasa mengganjal di celana, dan sering menimbulkan rasa tidak nyaman, saya mencoba bertahan.

Lama-lama, saya mulai menyadari, ponsel baru itu memiliki beberapa kekurangan. Selain ukurannya yang besar, hasil foto yang dibuat dengan ponsel itu juga kalah bagus dibanding foto yang dihasilkan ponsel lama. Begitu pula dalam kualitas suara, sama-sama kalah. Lebih dari itu, belakangan saya bertanya-tanya, “Sebenarnya, apa manfaat yang kuperoleh dari memiliki ponsel layar sentuh ini?”

Jika dibandingkan ponsel lama saya, satu-satunya kelebihan ponsel layar sentuh hanya memiliki teknologi layar sentuh. Sudah, hanya itu. Dalam hal lain, dari urusan menelepon, berkirim SMS, dan lain-lain, bisa dibilang semuanya sama. Bahkan, ponsel sliding saya memiliki beberapa keunggulan, seperti hasil foto lebih bagus, dan kualitas suara yang lebih bagus. Karenanya, satu-satunya manfaat—kalau memang bisa disebut manfaat—dari ponsel layar sentuh hanyalah layarnya.

Tetapi, kemudian saya berpikir, apakah memang saya membutuhkan ponsel layar sentuh? Sejujurnya, kalau dipikir-pikir, saya tidak peduli apakah ponsel yang saya gunakan menggunakan teknologi touchscreen atau tidak. Karena fungsi ponsel bagi saya cuma untuk menelepon, berkirim SMS, sesekali membuat foto kalau sedang iseng, atau mendengarkan musik kalau lagi santai, atau juga membuka internet kalau memang sedang jauh dari komputer. Semua kebutuhan itu bisa diberikan oleh ponsel lama, meski tidak menggunakan teknologi touchscreen.

Akhirnya, setelah sekitar dua tahun menggunakan ponsel layar sentuh, saya jadi kangen dengan ponsel sliding yang dulu. Untung, ponsel itu masih ada, karena masih saya simpan. Saya terpikir untuk kembali menggunakannya, karena rasanya lebih nyaman menggunakan ponsel tersebut, daripada ponsel layar sentuh yang sekarang saya gunakan.

Jadi, saya pun mengambil ponsel sliding itu dari tempat penyimpanan, dan saya mendapati ponsel itu kini telah berubah. Warnanya yang dulu bening dan mulus kini kusam, karena lama tak disentuh. Sliding-nya yang dulu lancar kini terasa seret, karena lama tak digunakan. Bahkan, ketika saya telah memasukkan kartu SIM ke dalamnya, ponsel itu tidak mau menyala. Saya tekan tombol power pada ponsel, tapi tetap saja gelap, layarnya tidak menyala.

Dengan perasaan galau, saya mulai menyadari apa yang mungkin terjadi. Ponsel sliding itu, seperti umumnya barang elektronik lain, bisa mengalami masalah jika lama tidak digunakan. Dan saya telah menyimpannya tanpa pernah dipakai selama dua tahunan. Tidak hanya tampilan fisiknya yang kini berubah kusam, bagian dalam ponsel itu pun mungkin telah mengalami masalah.

Akhirnya, dengan perasaan risau, saya membawa ponsel itu ke tempat servis, untuk menanyakan apa yang terjadi pada ponsel tersebut. Penjelasan tukang servis tepat seperti yang saya bayangkan. Mesin ponsel itu mati, karena lama tidak digunakan. Bahkan baterainya sudah aus, karena lama tak difungsikan.

Tukang servis menyatakan, “Ponsel ini masih bisa diperbaiki, tapi mungkin biayanya cukup mahal, karena harus mengganti beberapa bagian mesin, juga mengganti baterai.” Setelah itu, sambil menyentuh bagian luar ponsel yang kini tampak kusam, dia berkata perlahan, “Biaya perbaikannya bisa digunakan untuk membeli ponsel baru, yang lebih bagus dari ini.”

Penjelasan itu terasa menampar saya. Melihat kondisi ponsel sliding itu—yang dulu telah menemani bertahun-tahun—membuat saya sedih. Dulu, ponsel itu tampak bagus, elegan, dengan warna yang cemerlang. Saat ini, bentuknya masih bagus dan elegan, tapi warnanya yang cemerlang telah memudar, sementara bagian-bagian dalamnya mengalami masalah serta kerusakan akibat lama tak terpakai.

Saya membawa pulang ponsel sliding itu, dan tidak jadi memperbaikinya. Di rumah, saya memegangi ponsel itu, menatapnya, dan berpikir, “Apa salah ponsel ini, hingga aku sampai menggantikannya dengan ponsel baru?”

Ponsel sliding itu tidak memiliki masalah atau kekurangan apa pun. Selama menemani saya bertahun-tahun, ia tidak pernah rewel, dan semua kebutuhan saya menyangkut ponsel bisa diberikan olehnya. Saat dikantongi di celana, ia juga tidak mengganggu, karena ukurannya relatif kecil. Sebenarnya, ia sudah sempurna bagi saya.

Tetapi manusia selalu menghadapi godaan, termasuk dalam urusan ponsel. Bahkan meski telah nyaman dengan ponsel yang saya miliki pun, saya masih tergoda pada ponsel baru. Kenyataannya, ponsel yang baru tidak lebih baik dari ponsel yang lama, bahkan memiliki beberapa kekurangan yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Dan saat saya ingin kembali ke ponsel lama, ia telah berubah. Waktu telah menggerogoti sosoknya, luar dan dalam.

Tiba-tiba saya merasa kehilangan. Saat menggenggam ponsel itu di tangan, merasakan kelembutannya, saya membayangkan kenangan demi kenangan yang pernah kami lalui, saat-saat saya sangat jatuh cinta kepadanya. Sebenarnya, sampai kini pun saya tetap jatuh cinta kepadanya. Tetapi, bagaimana pun, ia telah hilang. Bahkan saat saya mencoba ke toko ponsel untuk mencari ponsel yang sama seperti itu, tidak ada lagi toko yang menyediakan.

Ponsel sliding itu masih saya miliki, sampai sekarang. Tapi layarnya kini selalu gelap. Dan setiap kali menatapnya, saya seperti diingatkan pada pentingnya kesetiaan... serta tidak pentingnya godaan.

Namanya juga Hidup

Tadi dolan ke rumah teman, disuguhi sepiring gorengan panas yang enak, dan kami ngobrol sambil nyeruput teh hangat dan udud. Pulang dari rumah teman, nemu penjual durian, dan duriannya wangi dan nikmat.

Subhanallah... tidak menikah membuatku bahagia dan lancar rezeki.

"Kamu pasti belum tahu gimana rasanya bingung bareng pasangan, mau makan tapi duit benar-benar gak ada. Kami sangat kebingungan, sampai saku-saku celana di ember cucian dirogoh, siapa tahu ada duit. Kamu pasti belum tahu gimana rasanya, kan?"

TERUS TERANG AKU TIDAK INGIN TAHU!

Kayak gitu dibangga-banggakan, sementara di lain waktu ngibul dan koar-koar menikah membuat bahagia dan lancar rezeki. Kalau mau ngibul mbok yang konsisten. Kalau bahagia ya konsisten ngomong bahagia, kalau keblangsak ya konsisten ngomong keblangsak. Ngibul wae masih plin-plan!

"Ya namanya orang hidup, ada seneng dan ada susahnya..."

LHA ITU TAHU!

Semua orang juga tahu kalau hidup ada senang dan ada susahnya. Jadi kenapa selama ini kamu menyuruh-nyuruh orang cepat kawin dengan mengatakan menikah pasti bahagia dan lancar rezeki? Mikir sebelum ndoktrin!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 April 2019.

Noffret’s Note: Ribet

Harbolnas apaan? Baru buka laman, barang-barangnya sudah habis semua.

Sepertinya aku memang tidak berjodoh dengan "ribut-ribut" semacam Harbolnas, obral, gebyar, diskonan, sale party, dan semacamnya. Lebih enak beli secara normal. Tenang, santai, dan tidak ribut juga tidak ribet.

Aku malas dengan ribut-ribut, benci dengan hal-hal ribet.

....
....

"Diskon 50%, syarat dan ketentuan berlaku."

Aku lebih suka membeli dengan harga normal, tanpa syarat dan ketentuan yang ribet.

"Cashback 50%, tapi..."

Aku lebih suka bayar penuh, tanpa ada tapi-tapian!

"Beli pakai kartu X, bisa dicicil 3 bulan."

Ribet! Aku bayar cash.

....
....

"Lu sombong amat, tong."

Bukan. Aku hanya benci hal-hal ribet! Segala sesuatu bisa dibuat mudah dan sederhana. Dan jika aku bisa mendapatkan dengan cara mudah, kenapa harus mempersulit diri dengan hal-hal ribet?

....
....

Apa kunci keberhasilan Gojek? Mereka memudahkan dan menyederhanakan hal-hal ribet!

Catatan ini kutulis jauh-jauh hari sebelum Gojek sepopuler sekarang. Siapa pun yang mampu melakukannya, dunia akan ada di tangannya: Aturan Paling Penting di Dunia » http://bit.ly/21IGl6h


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Desember 2018.

Selasa, 10 September 2019

Dunia yang Melukai

Kalian telah kehilangan arah. Tapi aku telah kembali.
Hari pembalasan telah tiba. Semua gedung kalian, semua bangunan dan
kuil-kuil kalian, akan hancur. Kebangkitan era baru akan muncul.
En Sabah Nur


Manusia dibentuk oleh kehidupannya. Dan ketika punya kekuatan, yang ia inginkan adalah membentuk kehidupan—dunia ideal sebagaimana yang mereka bayangkan. Semua pahlawan, dan semua fasis, hidup dalam kerangka seperti itu. Semua superhero, dan semua villain, hidup dalam pola pikir seperti itu.

Thanos, Magneto, dan Apocalypse, adalah tiga orang berbeda, hidup di dunia berbeda, menjalani kehidupan di zaman berbeda. Tapi mereka memiliki pola pikir yang sama, punya impian dan ambisi yang sama, karena dibentuk kehidupan mereka sebelumnya. Tiga orang itu sama-sama ingin meruntuhkan peradaban, dan memusnahkan manusia!

Sebagian orang mungkin mengira Magneto dan Apocalypse hidup di zaman yang sama, karena mereka bertemu—bahkan bersekutu—sebagaimana terlihat dalam X-Men: Apocalypse. Tapi mereka sebenarnya berasal dari dunia yang berbeda. Apocalypse hidup ribuan tahun sebelum Magneto lahir.

Ribuan tahun sebelum Magneto lahir, Apocalypse telah memiliki pola pikir bahkan misi yang sama seperti yang ada dalam pikiran Magneto. Sementara Thanos, kita tahu, hidup di semesta berbeda. Meski begitu, Thanos juga memiliki pola pikir dan ambisi seperti Magneto dan Apocalypse. Selain misi yang sama, tiga orang itu memiliki kekuatan yang sama-sama menakjubkan.

Bagaimana bisa tiga orang yang hidup di dunia berbeda, di zaman berbeda, tapi memiliki cara berpikir bahkan misi yang sama?

Jawabannya adalah luka.

Dunia telah melukai mereka.

Dan mereka ingin balik melukai dunia.

Thanos, sebagaimana kita tahu, punya misi memusnahkan separo populasi semesta, dan untuk itu dia rela melakukan serta mengorbankan apa pun. Misi Thanos bisa dibilang mulia, karena ia melakukannya bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk “menyelamatkan kehidupan secara luas”.

Jika populasi tak terkendali, menurut Thanos, kita semua akan punah. Untuk itu, sebelum kepunahan massal terjadi, sebagian populasi harus musnah. Untuk tujuan itu, dia mengumpulkan Infinity Stones, dan dengan kekuatan batu-batu itu dia memusnahkan separo populasi hanya dengan jentikan jari. Mereka yang musnah tidak menderita, karena hanya berubah menjadi debu.

“Aku menyebutnya belas kasihan,” kata Thanos.

Sebelumnya, dia sudah berupaya mengajak kaumnya—di planet Titan—agar mengendalikan populasi, demi keselamatan hidup bersama, tapi ajakannya tidak dipedulikan. Populasi di planet Titan akhirnya meledak, dan “tempat yang dulu serupa surga, kini berubah menjadi padang gersang.”

Hancurnya planet Titan akibat ledakan populasi, akhirnya membawa Thanos untuk menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Jadi dia pun mengumpulkan Infinity Stones, dan menjalankan misinya.

Magneto juga punya misi yang sama. Dia ingin memusnahkan Homo sapiens (nonmutan), karena menurutnya Homo sapiens adalah makhluk tolol egois yang tidak bisa menerima perbedaan (mutan).

Dalam kisah X-Men, Homo sapiens (nonmutan) digambarkan khawatir dengan keberadaan mutan, meski mereka sebenarnya tidak yakin pada apa yang mereka takutkan. Dalam pandangan Homo sapiens, mutan berbeda dengan mereka. Bukan lebih lemah, tapi lebih unggul. Mutan memiliki kekuatan dan kemampuan yang tidak dimiliki Homo sapiens, dan karena itulah mereka merasa terancam—bahkan ketika mutan tidak melukai mereka.

Sebenarnya, kekhawatiran Homo sapiens terhadap keberadaan mutan adalah cermin sejarah mereka sendiri. Di masa lalu, Homo sapiens menjadi makhluk lebih unggul atas Neanderthal. Karena kenyataan itulah lalu Neanderthal punah, dan Homo sapiens eksis sampai sekarang. Ketika kemudian Homo sapiens berhadapan dengan mutan, mereka pun khawatir mengalami kepunahan, sebagaimana dulu mereka memusnahkan Neanderthal.

Dan upaya Homo sapiens untuk memusnahkan mutan telah dilakukan dengan berbagai cara. Sebagaimana yang digambarkan dalam serial X-Men, ada ilmuwan-ilmuwan yang merancang mutan buatan, yang mereka kendalikan untuk membasmi para mutan lain. Ketika upaya itu dianggap tidak efektif, mereka merancang robot-robot Sentinel untuk menghancurkan mutan di mana pun, bahkan membunuh mutan yang masih ada dalam kandungan.

Betapa kejinya Homo sapiens, kalau dipikir-pikir. Yang mereka lakukan persis kaum rasis di mana pun, yang melakukan genosida atas suatu kaum, hanya karena dianggap berbeda. Mutan yang melakukan kejahatan tentu layak disalahkan. Tapi bagaimana dengan mutan yang tidak melakukan kesalahan apa pun? Kenapa pula mereka harus memastikan setiap bayi yang lahir benar-benar Homo sapiens, sehingga janin mutan yang masih dalam kandungan pun harus dibunuh?

Kenyataan itulah yang menjadikan Magneto muak. “Manusia,” katanya, “selalu ketakutan pada hal-hal yang tidak mereka pahami.”

Kalimat itu mendeskripsikan secara tepat sifat manusia, karakter Homo sapiens. Mereka selalu takut pada hal-hal yang berbeda, dan ingin semua orang sama. Sebegitu besar ketakutan manusia pada perbedaan, hingga mereka menggunakan senjata paling mematikan dalam sejarah umat manusia: Doktrinasi.

Tidak ada satu pun senjata lain yang lebih efektif dibanding doktrinasi, karena senjata itu tidak terlihat, tidak melukai, tapi (pikiran) korbannya akan mati.

Manusia hidup tapi pikirannya mati itu seperti zombie—mereka tampak hidup, tapi sebenarnya mati, karena hanya mengikuti insting atau naluri. Dan apa naluri zombie? Oh, well, benar sekali, mereka akan membunuh dan memakan siapa pun yang tampak hidup!

Kalau kau menyampaikan pikiran-pikiranmu yang berbeda dengan masyarakatmu, mereka akan menatapmu dengan aneh dan mungkin mengucilkanmu. Kalau kau menjalani kehidupan yang berbeda dengan masyarakatmu, mereka akan menganggapmu salah, dan bisa jadi mereka akan menajiskanmu. Pendeknya, kalau kau tampak berbeda dengan masyarakatmu, bahkan kau tidak melakukan apa pun, mereka akan membencimu.

Dan kalau kau menempati posisi semacam itu, sekaligus memiliki kekuatan seperti yang dimiliki Magneto, apa yang mungkin akan kaulakukan? Kemungkinan besar, kau akan melakukan seperti yang ingin dilakukan Magneto; memusnahkan mereka!

Jika tidak ada yang menghalangi, Magneto akan benar-benar bisa memusnahkan manusia, bahkan dengan mudah. Dia mampu memanipulasi dan mengendalikan logam dengan kekuatan pikirannya, dan itu artinya dia bisa menggerakkan rudal-rudal nuklir di mana pun untuk meledak di mana pun, dan miliaran manusia akan musnah... beserta peradaban mereka.

Dalam hal itu, Magneto “beruntung” karena bersahabat dengan Charles Xavier a.k.a. Profesor X. Berbeda dengan Magneto yang penuh kebencian, Profesor X berusaha menghadapi Homo sapiens dengan cara yang lebih bijaksana. Bukan ingin menghancurkan, tapi ingin mereka sadar. Bukan dengan membenci, tapi berusaha memahami.

Profesor X bisa memiliki jiwa besar semacam itu, kenapa? Karena dia tidak mengalami luka seperti yang dialami Magneto. Masa kecil Profesor X begitu damai, hingga dia mengenal arti cinta kepada sesama. Berbeda dengan Magneto yang mengalami masa kecil traumatis, hingga yang ia kenal hanyalah kemarahan, luka, dan kebencian.

Profesor X tumbuh di lingkungan yang menerimanya. Sementara Magneto tumbuh di lingkungan yang merusaknya. Latar belakang serupa Magneto juga dialami oleh Thanos, yang telah mengalami luka dan trauma sejak kecil, hingga cara berpikir Thanos pun sama dengan Magneto!

Selain Thanos dan Magneto, orang lain yang sama-sama mengalami kehidupan penuh luka dan trauma adalah Apocalypse. Dan Apocalypse—sebagaimana umumnya bocah terluka—memiliki cara berpikir seperti Thanos dan Magneto!

Nama asli Apocalypse adalah En Sabah Nur. Nama itu, secara harfiah, artinya Cahaya Pagi. Nama yang indah. Sayangnya, kehidupan En Sabah Nur sama sekali tidak indah. Ketika masih anak-anak, ia dibuang orang tuanya, karena dianggap “berbeda”.

Merangkak sendirian di padang pasir Mesir yang terik, bocah En Sabah Nur ditemukan sebuah suku, yang lalu memeliharanya. Ia tumbuh besar tanpa kenal orang tua, tanpa diakui keluarga, tanpa cinta kasih yang seharusnya ia terima. Dan ketika menyadari dia dibuang orang tuanya ketika masih kecil, yang ada dalam pikiran En Sabah Nur hanyalah luka dan kebencian. Sejak itulah, dia menjadi Apocalypse.

Apocalypse, di masa dewasanya, memiliki kekuatan mahadahsyat. Dia bisa membunuh siapa pun tanpa menyentuh, bisa pergi ke mana pun dalam sekejap mata, dan bisa mewujudkan apa pun yang ada dalam pikirannya. Sebagai ilustrasi, Piramida di Mesir dibangun ribuan orang, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Apocalypse bisa membangun Piramida serupa, dan dia melakukannya sendirian, dalam waktu singkat.

Di atas semuanya, Apocalypse bisa berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain, sekaligus menyerap kekuatan tubuh yang didiaminya. Saat satu tubuh hampir mati, dia bisa pindah ke tubuh lain, dan begitu seterusnya, hingga bisa menjalani kehidupan beribu-ribu tahun, sekaligus semakin kuat. Dengan kata lain, Apocalypse, secara harfiah, hidup abadi, karena tak bisa mati.

Kalau kau memiliki kekuatan mahadahsyat seperti yang dimiliki Apocalypse, dan kau menjalani kehidupan pahit seperti yang dialaminya—dengan luka dan trauma, dengan kebencian dan kepedihan—kira-kira apa yang akan kaulakukan?

Ya, kau akan melakukan sesuatu yang tepat sama seperti yang dilakukan Apocalypse! Kau akan memusnahkan dunia yang telah menyakiti dan melukaimu, dan membangun dunia baru seperti yang kauinginkan. Dan itulah yang dilakukan Apocalypse, sebagaimana yang kita saksikan dalam X-Men: Apocalypse. 

Seperti yang dikatakannya, saat ia memulai kehancuran bumi, dan mengubah peradaban manusia menjadi debu, “Tidak ada lagi batu-batu (tidak ada lagi peradaban). Tidak ada lagi tombak-tombak (tidak ada lagi ideologi). Tidak ada lagi tali-tali (tidak ada lagi negara). Tidak ada lagi pedang-pedang (tidak ada lagi penguasa). Tidak ada lagi senjata! Tidak ada lagi aturan! Tidak akan ada lagi!

“Semua yang mereka bangun akan hancur. Dan dari abu kehancuran dunia mereka, kita akan membangun dunia baru yang lebih baik!”

Hanya dibutuhkan seorang bocah terluka, untuk mendatangkan petaka pada dunia.

Takdir Akhir Zaman

Ada orang-orang yang bertanya, "Kalaupun Thanos benar-benar berhasil memusnahkan separo populasi, apakah ada jaminan kehidupan akan lebih baik?"

Memang tidak ada jaminan kehidupan akan lebih baik. Tetapi, setidaknya, beban bumi akan lebih ringan. Itu intinya.

Tokoh seperti Thanos sebenarnya telah muncul berkali-kali dalam banyak film Hollywood. Ingat Kurt Hendricks dalam Mission Impossible: Ghost Protocol? Dia diceritakan sebagai sosok genius dengan IQ 190, dan... apa misinya? Benar, melenyapkan separo populasi dengan kekuatan nuklir.

Setelah Kurt Hendricks dalam MI: Ghost Protocol, muncul tokoh lain dengan misi serupa; Solomon Lane, sosok di balik organisasi bayangan yang berkuasa di dunia. Ia muncul dalam MI: Rogue Nation dan MI: Fallout. Dan misinya? Sama, melenyapkan separo populasi. Did you see that?

Dalam hal ini, Hollywood sangat menyadari untuk menempatkan siapa di tempat mana. Thanos, Kurt Hendricks, maupun Solomon Lane, sengaja diposisikan sebagai antagonis. Karena bagaimana pun mereka butuh jualannya laris. Jika Thanos dan yang lain jadi protagonis, filmnya takkan laku.

Meski menempatkan Thanos dan yang lain sebagai antagonis, Hollywood sudah menyampaikan yang ingin mereka sampaikan. Bahwa kalau kau memiliki kekuatan seperti Thanos, atau kecerdasan seperti Kurt Hendricks, atau kekuasaan seperti Solomon Lane... kau tahu apa yang akan kaulakukan.

"Ada kenyataan di balik setiap legenda," kata Sir Edmund Burton dalam Transformer: The Last Knight. Dalam kalimat lain, aku bersepakat dengannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 November 2018.

Kerusakan Manusia dan Awal Kehancuran Dunia

Kenyataannya, di dunia ini memang banyak orang yang ingin semua sama seperti dirinya, dan yang tidak sama dianggap salah bahkan berdosa.

Sebagian orang berusaha melawan orang-orang yang tak punya toleransi semacam itu, sebagian lain hanya diam... karena sudah sangat lelah.

"Kelelahan" akibat menghadapi orang-orang tanpa toleransi dan tanpa empati itulah, yang kemudian melahirkan Thanos, Magneto, atau bahkan Kurt Hendricks. Mereka sudah sampai pada kesimpulan, "Sudah cukup. Mereka sudah tidak bisa lagi diajak bicara. Sekarang waktunya bertindak."

Thanos menyebut dirinya "penyintas"—perhatikan kata itu saat dia berdialog dalam Infinity War. Sintas atas apa? Kebodohan, keterbelakangan, ketiadaan empati dan toleransi, serta orang-orang yang mau benar sendiri. Dia sudah berusaha menyadarkan sesamanya, tapi gagal... dan lelah.

Hal serupa yang melahirkan Magneto. Orang-orang (Homo sapiens) sulit menerima orang lain yang dianggap berbeda (mutan), dan mereka menuntut agar semua mutan diisolasi, atau "dimanusiakan". Magneto pun berpikir, "Kenapa kami harus sama sepertimu, kalau kami bisa menghancurkanmu?"

Memang, di dunia ini ada orang-orang mulia seperti para superhero Avengers atau para pahlawan X-Men, yang memiliki maaf dan empati dalam jumlah tak terbatas. Tapi dunia juga selalu melahirkan Thanos atau Magneto yang sudah lelah menyaksikan kebodohan dan kerusakan tanpa batas.

Dan kerusakan dunia, ironisnya... dibuat oleh orang-orang yang merasa dirinya suci hingga menganggap orang lain rendah, yang merasa dirinya paling benar hingga sulit menerima perbedaan, yang merasa dirinya sempurna hingga memaksa siapa pun agar sama seperti dirinya.

I am no hero. Merely a man who has seen and done and endured what can never be forgotten or forgiven. —Magneto, Uncanny X-Men 1

I finally rest, and watch the sunrise on an grateful universe. The hardest choices require the strongest wills. —Thanos, Avengers: Infinity War


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Desember 2018.

Kamis, 05 September 2019

Teman Perempuan

Bedanya teman perempuan dengan teman lelaki:
Teman perempuan tahu cara “mendengarkan”.
Yaitu mendengarkan dengan hati, dengan empati.
@noffret


Setelah tidak lagi kuliah, satu hal yang terasa hilang dari hidup saya adalah teman perempuan. Dan itu, bagi saya, kehilangan yang besar.

Dulu, waktu masih kuliah, saya punya banyak teman perempuan. Mereka terdiri dari teman sekelas, teman beda kelas, teman sefakultas, teman beda fakultas, teman sejurusan, teman beda jurusan, teman seangkatan, teman beda angkatan, pokoknya teman sekampus.

Kami kuliah di kampus sama, dan saling kenal, lalu berteman. Selama waktu-waktu itu, bisa dibilang saya tidak kekurangan teman perempuan. Bahkan waktu itu saya punya cukup banyak teman perempuan dari kampus lain.

Seperti ilustrasi tadi, teman perempuan saya merentang dari semua jurusan dan fakultas, bahkan lintas kampus. Jika teman perempuan saja segitu banyaknya, apalagi teman lelaki!

Dulu, kalau ada waktu luang, atau sedang iseng, atau lagi butuh ngobrol, atau sedang ingin curhat, saya akan datang ke teman perempuan. Khusus untuk urusan curhat, saya pasti datang ke teman perempuan. Urusan iseng, atau sekadar ingin ngobrol, saya bisa mendatangi teman lelaki. Tapi khusus urusan curhat, sekali lagi, saya hanya menemui teman perempuan!

Jadi, kadang suatu sore, atau suatu malam, saya kepengin curhat, dan berpikir, “Ke rumah Nisa’, ah!” Lalu saya datang ke rumah Nisa’. Lalu curhat.

Lain waktu, saya kepikiran ingin curhat lagi, dan berpikir, “Ke rumah Khusnul, ah!” Lalu saya datang ke rumah Khusnul.

Di lain waktu lagi, saya ingin kembali curhat, dan berpikir, “Ke rumah siapa, ya? Oh, ya, ke rumah Amelia aja!” Lalu saya datang ke rumah Amelia.

Sore hari, habis mandi, dan ingin curhat, saya kepikiran, “Kayaknya asyik nih, kalau ketemu Mbak Tasya.” Lalu saya pergi ke rumah Mbak Tasya.

Di waktu yang lain lagi, saat ingin curhat lagi, saya berpikir, “Ke tempat kosan Netty, ah!” Lalu saya datang ke kosan Netty. Lalu curhat sambil makan malam.

(Kok sering amat, curhatnya?)

YA SUKA-SUKA, LAAAH! WONG INI HIDUP SAYA, KOK!

Terus terang, satu hal yang membuat saya sangat menikmati masa kuliah adalah hal-hal itu. Maksud saya, teman perempuan yang bisa menjadi tempat curhat. Meski sering pula saya datang ke rumah mereka bukan untuk curhat, tapi sekadar ingin dolan. Senang rasanya menemui teman perempuan, lalu mengobrol berdua, kadang serius, kadang sambil cekikikan. Mengingat itu, membuat saya ingin kuliah lagi.

Seperti yang dibilang tadi, saya selalu datang ke teman perempuan, setiap kali ingin curhat. Kenapa? Karena perempuan adalah pendengar yang baik. Mereka lebih bisa berempati, dibandingkan teman lelaki.

Ketika kita datang ke teman perempuan, dan berkata, “Aku mau curhat,” mereka pun diam, dan menyediakan telinga untuk mendengar. Mereka benar-benar mendengarkan. Jika curhat kita terkait suatu masalah, mereka mungkin bisa memberi saran yang baik. Atau, kalau pun tidak, mereka dapat berempati dengan baik—setidaknya dalam bentuk sikap mendengarkan—sehingga kita merasa lega.

Hal itu berbeda dengan teman lelaki. Memang, teman lelaki adalah kawan yang asyik. Tapi mereka memiliki kekurangan khas—setidaknya teman lelaki yang saya kenal—yaitu ketidakmampuan “mendengarkan”. Lebih khusus, ketidakmampuan berempati.

Sebagai contoh, saya pernah sedih, waktu putus dengan pacar. Ketika saya curhat pada teman lelaki untuk menumpahkan kesedihan, mereka memang tampak mendengarkan, tapi berkali-kali menyela ucapan saya. Padahal, saya hanya butuh didengarkan—namanya juga orang curhat—tapi mereka menganggap saya sedang presentasi makalah! Bukannya mendengarkan, mereka menyela dan mendebat!

Dan ketika saya selesai curhat, bagaimana sikap atau respons mereka? Menunjukkan empati, dan memberi kata-kata menghibur? Tidak! Alih-alih meresapi curhat kesedihan saya, mereka malah berkata, “Bagaimana kalau kita ke pantai? Pasti kesedihanmu hilang, kalau sudah di pantai.”

Ketika mendapat respons semacam itu, rasanya saya ingin menjawab, “Begini, sialan. Aku tidak ingin pergi ke pantai keparat mana pun! Aku hanya ingin kau diam, tutup mulut, dan mendengarkanku!”

Tapi saya tidak mungkin ngomong begitu. Karena, bagaimana pun, akhirnya saya menyadari bahwa teman lelaki memang bukan partner curhat yang baik. Mereka hanya teman bermain yang asyik. Dalam urusan curhat, teman lelaki benar-benar bangsat!

Berbeda dengan teman perempuan. Saat saya datang pada mereka, dan menumpahkan curahan hati, semisal kesedihan, mereka benar-benar mendengarkan. Mereka diam selama saya berbicara, dan membiarkan saya menumpahkan semua yang ingin saya curahkan. Setelah itu, mereka tidak menawari pergi ke pantai keparat atau tempat-tempat keparat lain. Sebaliknya, mereka menunjukkan empati dengan kata-kata yang baik, yang menghibur, sehingga saya merasa dapat mengurangi beban kesedihan.

Itulah perbedaan teman lelaki dan teman perempuan, setidaknya dalam urusan curhat. Juga setidaknya menurut yang saya alami.

Kenyataan itu sebenarnya juga dilatari otak kita. Otak perempuan memang—kenyatannya—lebih kecil dibanding otak lelaki. Tapi otak perempuan mengandung area sensitivitas yang jauh lebih besar dibanding otak lelaki. Sebagian psikolog menyebut area sensitivitas itu dengan istilah “area biru” (blue area), yaitu area yang membuat si pemilik otak memiliki kepekaan dan sensitivitas.

Karena area biru pada otak perempuan jauh lebih besar, mereka pun lebih tahu bagaimana menghadapi orang lain dengan empati, sekaligus sensitivitas yang lebih baik, khususnya dibandingkan laki-laki. Karena itu pula, dalam urusan mendengarkan curhat, teman perempuan jauh lebih baik!

Dulu, ketika masih kuliah, saya tidak mengalami kesulitan setiap kali ingin curhat, karena waktu itu teman perempuan saya sangat banyak. Tetapi, kini, setelah tidak lagi kuliah, dan teman-teman perempuan satu per satu menikah—lagu pindah ke tempat jauh bersama suami mereka—saya merasa kehilangan. Tidak ada lagi teman yang bisa saya datangi ketika ingin curhat, tidak ada lagi teman perempuan yang benar-benar tahu cara mendengarkan.

Lebih dari itu, setelah tidak kuliah, mendapat teman perempuan rasanya sulit sekali. Setidaknya bagi saya.

Kalau di masa kuliah dulu, saya memiliki banyak teman perempuan, karena kampus mempertemukan kami. Di luar kampus, beberapa acara tertentu juga sering mempertemukan saya dengan kawan baru (lelaki atau pun perempuan) dari kampus lain, lalu kami akrab dan berteman. Jadi, selama masa kuliah, mendapatkan teman perempuan bisa dibilang sangat mudah.

Tetapi, setelah tidak lagi kuliah, saya kesulitan mendapat teman perempuan. Mau mencari teman perempuan di mana?

Kalau saya bekerja di suatu kantor atau perusahaan tertentu, mungkin ada kesempatan yang mempertemukan saya dengan teman-teman perempuan, yang juga bekerja di tempat sama. Susahnya, dalam hal ini, saya tidak bekerja di kantor atau perusahaan mana pun, tapi bekerja di rumah sendiri. Akibatnya, saya tidak punya teman blas! Sekalinya curhat, saya curhat pada termos!

Di lingkungan sekitar—khususnya lingkungan pertemanan—kadang saya menemukan perempuan yang asyik, dan berharap bisa berteman dekat dengannya, sebagai pengobat kerinduan pada teman perempuan. Tetapi, sial, setiap kali saya ingin dekat, selalu disangka sedang pedekate! Ending-nya benar-benar tidak enak. Saya bermaksud berteman, dia berharap jadian.

Peristiwa semacam itu bukan terjadi satu dua kali. Tapi berkali-kali. Sebegitu sering, hingga saya sampai trauma. Ketemu perempuan yang asyik, saya dekati dengan harapan bisa berteman... eh, dia mengira saya pedekate. Selalu begitu. Dan selalu begitu yang terjadi. Jika saya teruskan, dia akan berharap jadian. Jika saya berhenti, dia menuduh saya PHP. Jadinya serbasalah.

Kenyataan itu jelas berbeda ketika masa kuliah dulu. Di kampus, pertemanan bisa terjadi secara alami, termasuk dengan teman perempuan. Saat kami perlahan makin akrab, semuanya berlangsung secara alami, sehingga tidak ada satu pihak yang salah sangka. Saya murni bermaksud berteman, mereka juga menyadari kalau hubungan kami memang berteman.

Hal semacam itu sulit terjadi di luar kampus, setidaknya yang saya alami. Setelah tidak lagi kuliah, menemukan teman perempuan rasanya sulit sekali.

Kini, sudah bertahun-tahun saya tidak lagi berteman dengan perempuan, hingga kadang saya lupa bagaimana menghadapi perempuan.

Sekarang, kalau sedang ingin curhat, atau ingin ngobrol mendalam, saya pun mencurahkannya dalam tulisan. Sebagian dari hasil curhat itu ada yang saya unggah ke blog ini, sebagian lagi hanya saya baca sendiri. Kalau sedang malas menulis, saya curhat ke termos. Setidaknya, termos tidak akan menyangka saya pedekate, apalagi berharap jadian.

Indahnya Pernikahan Dini yang Ngapusi

"Menikah dini sungguh indah, karena memungkinkanmu pacaran secara halal, dan kau bisa bersama orang yang kaucintai siang malam, tanpa khawatir ada penggerebekan."

Oh, well, betapa indahnya pernikahan dini.

Prahara rumah tangga Taqy dan Salma tidak hanya menunjukkan realitas dari pernikahan dini, tapi juga menunjukkan betapa riskan hubungan cinta yang hanya berdasar kesan di dunia maya. Mereka hanya saling kenal di dunia maya, lalu merasa "cinta", dan... well, kau tahu lanjutannya.

Sebagian orang memuja pernikahan dini, tanpa menyadari bahwa hal-hal yang bersifat "dini" rentan mengandung masalah. Salah satunya... perceraian dini. Mohon maaf sebelumnya, menikah tiga bulan lalu cerai, itu apa namanya kalau bukan perceraian dini?

Dalam video, Awkarin bertanya pada Salma, bagaimana dia bisa menikah dengan Taqy. Salma bercerita, dia sampai istikharah berkali-kali, memastikan Taqy adalah jodohnya, dan takdir pun menjodohkan mereka hingga bisa menikah dini. Cerita yang indah... kalau saja mereka tak bercerai.

Mungkin, jumlah perceraian dapat berkurang drastis, kalau saja setiap orang diberitahu sulit dan beratnya membangun rumah tangga. Yang jadi masalah, mereka tidak pernah diberitahu, tapi justru dikibuli. Akibatnya, begitu menikah, mereka pun kecewa karena sadar telah dibohongi.

Orang-orang mengiming-imingi indahnya pernikahan, tentang kebahagiaan, dan taik kucing lainnya, yang terdengar seperti angin sorga. Kelak, kalau kau menikah, buktikan apakah semua bualan itu benar... dan kemungkinan besar kau akan kecewa, karena ternyata bualan belaka.

Kalau dipikir-pikir, pernikahan jadi seperti MLM. Yang belum mengalami, diiming-imingi aneka macam bualan, dari kebahagiaan sampai lancar rezeki. Begitu sudah mengalami, dan menyadari beratnya beban, mereka hanya bisa diam, karena malu kalau harus berterus terang. Karena tertipu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Desember 2017.

Jualan Angin Sorga Bernama Perkawinan

Yang selama ini gembar-gembor "menikah akan membuatmu tenteram, bahagia, dan melancarkan rezeki", mana suaranya...? » Faktor Finansial yang Memicu Perceraian dan Pembunuhan

"Mereka yang bercerai, atau mengalami masalah KDRT, itu cuma kasuistis."

Kasuistis ndasmu! Kasuistis itu kalau hanya terjadi satu dua kali. Sudah ratusan sampai ribuan kasus, masih bilang kasuistis.

"Masalah rumah tangga sebaiknya tidak diomongkan ke orang lain."

Kedengarannya bagus. Yang jadi masalah, mereka terus ngibul dan membohongi orang-orang tentang indahnya berumah tangga, seolah menikah adalah kunci pasti hidup bahagia. Benar-benar standar ganda yang menjijikkan.

Orang-orang jujur di zaman dulu kerap menasihati, "Carilah pasangan yang mau diajak hidup susah." Nasihat itu dengan jelas memberitahu bahwa pernikahan akan menghadapi banyak masalah, cobaan, dan kadang penderitaan... tidak hanya berisi "bahagia, tenteram, dan lancar rezeki".

Hanya ada dua orang di dunia ini yang mengatakan "menikah itu indah". Satu, orang yang ingin menutupi realitas pernikahannya yang menyedihkan sambil ingin merendahkanmu. Dua, orang yang ingin menjual sesuatu atau berharap kau menyukainya sehingga mau membeli sesuatu yang ia jual.

Pernikahan di zaman sekarang telah mengalami komodifikasi, dan dijual sebagai bagian dari industri. Akibatnya, sebagaimana para penjual yang ingin dagangannya laku, para pembual itu pun ngibul tentang "indahnya pernikahan" sembari menutupi borok dan masalah yang mungkin terjadi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Desember 2017.

Senin, 02 September 2019

Hidup Terlalu Singkat, Urusan Terlalu Banyak

Alangkah banyak yang harus kukerjakan.
Makin sedikit waktu yang kumiliki.
@noffret


Jika diukur menggunakan skala gaya hidup orang-orang modern—khususnya dalam penggunaan teknologi untuk komunikasi—bisa dibilang saya “masih terbelakang”. Sampai saat ini, saya belum pernah menggunakan BBM, WA, Line, atau semacamnya. Jika butuh komunikasi, saya menelepon secara “konvensional”, atau menggunakan SMS.

Dari dulu, terus terang, saya memang tidak tertarik menggunakan sarana komunikasi semacam BBM, WA, atau semacamnya. Jika ada teman ingin menghubungi saya, mereka harus menelepon, atau mengirim SMS. Ketika ada orang yang tanya berapa nomor WA atau PIN BBB, saya pun menjawab, “Maaf, aku tidak pakai WA dan BBM.”

Ketidaktertarikan saya pada sarana komunikasi semacam BBM atau WA, karena sarana-sarana itu memungkinkan kita untuk “melakukan hal-hal tidak penting yang membuang-buang waktu”. Sudah biasa saya mendapati teman atau orang lain yang bilang (dengan nada mengeluh) kalau pesan di WA-nya bertumpuk-tumpuk. Bangun tidur, mengecek ponsel, dan mendapati ada ratusan pesan di WA. Saban hari begitu.

Tak jauh beda dengan BBM, dan sarana “komunikasi modern” lain. Semua memungkinkan penggunanya untuk melakukan hal-hal tidak penting, remeh-temeh, yang hanya menghabiskan waktu dan usia secara sia-sia.

Tentu saja tidak masalah, kalau orang memang punya waktu untuk hal-hal semacam itu, wong itu pilihan mereka. Saya pikir, UUD ’45 dan Pancasila juga tidak melarang orang menggunakan WA dan semacamnya. Menggunakan WA dan BBM atau tidak, hanya soal pilihan. Dalam hal ini, saya memilih untuk tidak menggunakan. Alasannya sepele, karena tidak punya waktu untuk dibuang-buang!

Jika ada sesuatu yang sangat... sangat saya sesali dalam hidup, itu adalah waktu saya di masa lalu yang terbuang sia-sia. Dulu, sejak remaja sampai masa kuliah, saya sering membuang dan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang—jika dipikir sekarang—tidak bermanfaat. Malam Tahun Baru, misal, saya nongkrong semalaman bersama teman-teman. Begitu pula pas hari-hari besar lain. Di lain waktu, saya jalan-jalan tanpa tujuan, keluyuran tanpa tujuan, dan semacamnya.

Jika mengingatnya sekarang, saya benar-benar menyesali yang telah saya lakukan. Sebegitu menyesal, hingga tidak ingin mengulang. Karena penyesalan itu pula, saya pun kini sangat hati-hati dalam menggunakan waktu. Saya sudah tidak punya waktu sedikit pun untuk acara tidak jelas di malam Tahun Baru, atau jalan-jalan tidak jelas ke mana pun, atau menghadiri acara-acara yang sama tidak jelas. Usia terus bertambah—dan itu artinya waktu saya makin sempit—sementara urusan hidup makin banyak.

Setiap hari, saya hanya berdiam di rumah. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, saya hanya berkutat mengurusi urusan dan kesibukan saya sendiri. Karena tidak ada orang lain di rumah, saya memiliki waktu sepenuhnya tanpa terganggu apa pun atau siapa pun. Tujuan saya hanya menyelesaikan tugas, urusan, dan pekerjaan yang menggunung.

Tetapi bahkan telah habis-habisan menggunakan waktu untuk bekerja, saya terus kekurangan waktu, sementara urusan yang harus saya tangani tak pernah habis. Padahal, saya bekerja sampai 14 jam setiap hari, tanpa libur, tanpa cuti, apalagi liburan panjang. Oh, well, saya bahkan benci hari libur, apalagi liburan panjang, karena hanya menghambat urusan saya!

Karena itulah, saya tidak berminat sama sekali menggunakan WA, BBM, atau sarana komunikasi semacamnya, karena hanya akan menyita waktu untuk hal-hal yang belum tentu penting. Bahkan, di dunia maya, saya tidak terlalu berminat menggunakan media sosial, meski memiliki akun di Twitter. Omong-omong, itu satu-satunya akun media sosial yang saya miliki.

Saya tidak terlalu tertarik menggunakan media sosial di internet, karena latar belakang yang sama. Twitter, Facebook, dan semacamnya, hanya menyita waktu untuk hal-hal tidak jelas, yang—bisa jadi—kelak akan saya sesali. Jika butuh komunikasi di internet, saya menggunakan e-mail. Di e-mail, setidaknya, orang tidak menulis sesuatu yang sia-sia (meski ada pula yang begitu). Terkait hal itu, saya tidak pernah tertarik mengurusi e-mail yang isinya tidak jelas!

Omong-omong soal ini, saya jadi perlu menjelaskan hal lain. Di internet, bisa jadi ada orang-orang yang mengira atau menganggap saya angkuh atau bahkan antisosial, karena bisa dibilang tidak pernah—atau jarang—berkomunikasi dengan siapa pun, dan tidak pernah bertemu dengan siapa pun. Urusan itu terlalu kompleks penjelasannya.

Well, saya ada di internet—menulis di blog dan sesekali mencuit di Twitter—memang tidak bertujuan untuk eksis! Saya aktif menulis di blog bukan karena ingin terkenal, tapi karena butuh tempat untuk menuang (atau membuang) kegelisahan dalam pikiran. Saya punya akun di Twitter, terus terang, juga karena alasan serupa. Bukan karena ingin terkenal atau jadi selebtwit, atau ingin punya pacar, atau ingin punya banyak teman, dan semacamnya.

Latar belakang itulah yang menjadikan saya tidak terlalu aktif berkomunikasi dengan orang lain. Karena saya memang tidak punya tujuan untuk eksis! Orang mau mengenal saya, ya silakan, tidak mengenal juga tidak apa-apa.

Jika memang ada sesuatu yang ingin saya tanyakan atau katakan pada seseorang di Twitter, misalnya, saya akan melakukannya. Kalau dia membalas, ya syukur, kalau tidak ya tidak apa-apa. Yang jelas, saya tidak melakukannya untuk basa-basi. Karena saya memang tidak bisa (dan bingung) kalau harus berbasa-basi.

Sebaliknya, kalau ada orang di Twitter menyapa atau menanyakan sesuatu pada saya, sebisa mungkin saya akan membalas atau menjawab. Kalau tidak bisa menjawab, juga tidak apa-apa. Kadang-kadang saya memang bingung saat harus merespons sapaan yang sifatnya basa-basi.

Mungkin orang-orang lain aktif di dunia maya untuk tujuan eksis, tapi saya tidak punya tujuan semacam itu. Saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan... di sela-sela waktu yang saya miliki. Orang lain menganggap saya ada atau tidak ada, sama sekali tidak pernah merisaukan saya.

Noffret’s Note: IPCC

Rasanya frustrasi setiap kali membaca uraian ilmiah mengenai perubahan iklim, tapi sumbernya IPCC. Meski berada di bawah PBB, IPCC adalah organisasi bermasalah, dan sarat kepentingan. Segelintir ilmuwan yang benar-benar "netral" lebih memilih tidak bergabung dengan mereka.

Dalam deskripsi formal, "Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim adalah panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia."

Tambahan informal, "Yang bisa dikendalikan". Itu sebenarnya sudah rahasia umum.

Karenanya, membaca "penelitian terkait iklim" yang dirilis IPCC tak jauh beda kalau kita membaca artikel/berita yang sumbernya Dailymail. Antara bisa dipercaya dan tidak. Dailymail sering ngawur dan "mengarang bebas" demi bisnis. IPCC? Sebelas dua belas, meski terdengar ilmiah.

....
....

Sambil nunggu ngantuk, aku mau ngoceh.

Ada yang heran, "IPCC itu kan organisasi para ilmuwan dari seluruh dunia. Mosok ilmuwan segitu banyaknya bisa dikendalikan?"

Biar kuluruskan. Meski disebut "dari seluruh dunia", tapi ilmuwan yang jadi anggota IPCC hanya 3.000-an.

Dari 3.000-an anggota IPCC, semuanya juga bukan dari kalangan ilmuwan/peneliti, tapi juga terdiri dari para birokrat!

Sekadar FYI, jumlah ilmuwan (terakreditasi) di seluruh dunia mencapai ratusan ribu. Dari ratusan ribu itu, jumlah 3.000 anggota IPCC tentu sangat kecil.

Sekadar ilustrasi atau perbandingan, anggota Mensa mencapai 100.000-an, yang berasal dari berbagai negara di dunia.

Bagi yang mungkin belum tahu, Mensa adalah organisasi yang mewadahi orang-orang yang memiliki IQ tertinggi di dunia (yang populasinya hanya 2% di planet ini).

Kembali ke IPCC. Organisasi ini dibentuk PBB pada akhir '80-an, dengan tujuan untuk mempelajari riset-riset terkait iklim bumi, dan melakukan pemetaan yang akan diterbitkan beberapa tahun sekali. Tujuannya baik. Tapi IPCC lalu berubah jadi organisasi penuh skandal dan kebohongan.

Pada 1990, IPCC telah mengumpulkan berbagai riset dari para ilmuwan di seluruh dunia, terkait iklim bumi. Waktu itu, mayoritas ilmuwan telah menyatakan bahwa mereka tidak bisa mendeteksi pengaruh manusia terhadap iklim, meski banyak pihak meyakini keduanya memiliki keterkaitan.

Mestinya, IPCC menyampaikan hal itu secara jujur kepada PBB, karena memang untuk tujuan itulah mereka dibentuk. Tapi tidak. Alih-alih menyampaikan laporan apa adanya, IPCC justru melakukan sesuatu yang sangat fatal sekaligus memalukan, yang belakangan menjadi skandal kebohongan.

Pada 1995, IPCC mengadakan sidang dengan para ilmuwan dari seluruh dunia, yang menghasilkan kesimpulan tetap bahwa mereka SULIT MENDETEKSI PENGARUH MANUSIA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM. Waktu itu, para ilmuwan yang hadir dalam sidang dengan tegas menyatakan, "Kami tidak tahu."

Kesimpulan mengenai sidang itu pun kemudian ditulis, yang akan diserahkan sebagai laporan untuk PBB. Berkas dokumen itu dengan jelas dan gamblang menyatakan bahwa para ilmuwan tidak bisa mendeteksi pengaruh manusia terhadap iklim. Semua yang hadir menjadi saksi dokumen tersebut.

Tetapi, ketika para ilmuwan dalam sidang telah pulang semua, IPCC menghapus dan mengubah isi laporan tersebut dengan menyatakan bahwa mereka telah menemukan bukti-bukti pengaruh nyata manusia terhadap iklim!

Itu penyelewengan besar sekaligus skandal pertama yang dilakukan IPCC.

Dalam laporan yang diserahkan kepada PBB, IPCC menyatakan bahwa mereka telah menemukan bukti-bukti pengaruh nyata manusia terhadap perubahan iklim, yang dibuktikan dengan berkas laporan yang mereka klaim sebagai kesimpulan para ilmuwan yang ikut bersidang.

Akibatnya? Geger!

Kebohongan yang dilakukan IPCC menghasilkan skandal luar biasa besar dalam dunia ilmu pengetahuan, sekaligus awal sejarah dusta paling terkenal. Perubahan isi dokumen yang dilakukan IPCC seenaknya itu kemudian memicu konflik antarilmuwan, dan konflik itu benar-benar panas.

Waktu itu, di depan sidang PBB, para ilmuwan terpecah. Yang pro dan kontra saling berhadapan, dalam arti sebenarnya. Mereka bertengkar, saling ribut, bahkan nyaris adu hantam. Para ilmuwan yang jujur merasa telah difitnah dan dimanfaatkan oleh IPCC dalam kesimpulan ngawur itu.

Inilah asal usul munculnya isu pemanasan global—sesuatu yang, sayangnya, jarang diketahui masyarakat umum.

Jadi, sejak awal, IPCC memang telah siap meluncurkan isu itu, dan mereka membangun legalitas dengan cara bersidang dengan para ilmuwan, yang belakangan mereka manipulasi.

Setelah melakukan skandal dan kebohongan tadi, apakah IPCC berhenti melakukan kebohongan? Tidak! Setelah itu, mereka masih terus melakukan serangkaian skandal lain (kalian bisa googling sendiri). Para ilmuwan pun akhirnya sadar, IPCC bukan lembaga ilmiah, tapi organisasi politik.

Yang menjadi masalah di sini, IPCC adalah lembaga di bawah PBB. Akibatnya, mereka memiliki kekuatan untuk memaksakan opininya, sengawur apa pun. Dan siapa yang tidak percaya? Menuduh mereka berbohong, sama absurdnya dengan menuduh WHO atau FAO atau UNICEF atau UNESCO berbohong.

Itulah kenapa, di awal ocehan ini aku mengatakan, aku frustrasi kalau membaca uraian ilmiah mengenai perubahan iklim, tapi sumbernya IPCC. Kalau sumbernya "hasil penelitian" bocah-bocah IPCC, yo kesimpulannya mesti begitu, wong mereka memang maunya begitu. Lha piye maneh?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2-3 Maret 2018.

Akhir Pekan yang Sempurna

Minggu siang, kepala berat berdenyut-denyut, dan tumpukan pekerjaan yang menggunung. Akhir pekan yang sempurna.

"Kamu stres? Mungkin kurang liburan, tuh. Bagaimana kalau kita piknik?"

"Piknik? Oh, tolong tawarkan hal lain yang lebih menarik bagiku."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Oktober 2018.

 
;