"Ada kenyataan di balik setiap legenda."
—Sir Edmund Burton
—Sir Edmund Burton
Di rumah saya ada dua guci besar, tingginya sekitar 1,5 meter. Saya membeli guci itu bertahun-tahun lalu, karena tertarik dengan hiasan naga di bagian luarnya. Hiasan naga itu bukan lukisan di badan guci seperti umumnya guci Cina, tapi benar-benar timbul, dari bagian kepala sampai ekor, lengkap dengan kaki-kaki yang seolah mencengkeram badan guci.
Pembuat guci itu pasti seorang maestro, karena bisa mewujudkan naga dengan begitu detail, lengkap dengan sungut-sungutnya yang menjulur panjang. Jika dipandang sekilas, guci itu seperti dililit naga, dari bawah sampai atas. Ekornya melingkari bagian bawah guci, sementara kepala naga mendongak di bagian atas, dengan mulut terbuka dan memamerkan taring-taringnya.
Saya meletakkan sepasang guci unik itu di ruang tamu, sebagai hiasan rumah. Selama bertahun-tahun, sepasang guci terbelit naga itu berdiri angkuh di kanan kiri pintu yang menuju ke ruang tengah.
Dulu, waktu pertama kali membelinya, saya sering mengagumi keindahan guci itu, menyentuh tonjolan tubuh naga yang membelit di sana, dan meraba sungut atau sisik-sisik di tubuhnya, yang dibuat dengan detail. Saya benar-benar mengagumi pembuat guci itu, siapa pun dia. Dibutuhkan seorang maestro untuk bisa membuat guci seindah itu, khususnya karena naga yang membelit guci benar-benar tampak realistis.
Teman-teman saya juga sama terpesona pada guci tersebut. Dulu, waktu mereka baru mendapati adanya guci itu, mereka pun sama kagum seperti saya, dan biasanya mereka menyentuh guci serta naga yang membelitnya, dan mengagumi pembuatnya.
Tapi kekaguman dan keterpesonaan biasanya tak abadi, khususnya kekaguman pada benda mati. Meski semula saya sangat kagum dan terpesona pada sepasang guci itu, tapi nyatanya itu benda mati. Seiring berlalunya waktu, karena makin terbiasa melihatnya, keterpesonaan saya pun perlahan-lahan pudar, dan menganggap sepasang guci indah itu hanya sebagai hiasan rumah.
Sejak itu, saya tidak pernah lagi meluangkan waktu untuk duduk dan memandangi guci tersebut, apalagi menyentuhnya dengan kekaguman, seperti yang biasa saya lakukan sebelumnya. Bagaimana pun, sepasang guci itu benda mati, hiasan biasa seperti umumnya penghias rumah, tak peduli seindah apa pun ia dibuat.
Seiring tahun-tahun berlalu, guci itu pun dilekati debu. Bisa dibilang saya tak terlalu peduli. Kalau pas ada waktu luang, saya kadang mengelapnya dengan kain. Tapi saya sangat jarang punya waktu luang. Karenanya, dari waktu ke waktu, debu-debu makin menumpuk pada guci-guci itu. Sekali lagi, bisa dibilang saya tak terlalu peduli. Urusan saya sudah sangat banyak, dan guci dibelit naga—seindah apa pun ia—sama sekali tidak penting.
Pikiran saya berubah, ketika suatu siang Miko datang ke rumah saya bersama temannya, bernama David. Saat mereka baru duduk, Miko berkata, “Dari luar, panasnya luar biasa. Masuk ke sini langsung berasa adem banget.”
Saya menyahut sambil tersenyum, “Sekarang kamu tahu kenapa aku lebih senang di rumah.”
Karena saya tidak mengenal David, Miko pun mengenalkan kami. Sama seperti orang-orang lain yang baru datang ke rumah saya, David tertarik pada sepasang guci terbelit naga, yang berdiri di dua sisi pintu menuju ruang tengah.
Dia mendekati sepasang guci itu, memandanginya dengan tertarik, lalu menyentuhnya dengan hati-hati. Waktu itu kondisi guci agak berdebu, karena tak pernah saya urusi. David bertanya pada saya, “Kenapa guci seindah ini bisa berdebu?”
Sambil nyengir, saya menyahut, “Aku tidak punya waktu membersihkannya.”
David menatap saya seolah saya telah berbuat dosa besar.
Buru-buru saya menjelaskan, “Yeah, dulu, waktu pertama kali membelinya, aku memang rajin membersihkan. Tapi lama-lama, aku makin tidak punya waktu. Guci itu sudah berdiri di sana sejak bertahun-tahun lalu...”
Lalu David mengajukan pertanyaan yang sama sekali tak terduga, “Bagaimana kalau ternyata naga yang membelit guci ini hidup?”
Saya tersenyum. “Kalau naga itu hidup, aku pasti sudah mati dimakannya.”
“Sebaliknya,” sahut David sambil balas tersenyum, “jika naga ini benar-benar hidup, dia tidak akan memakanmu.”
Lalu David berbicara panjang lebar mengenai fengshui, topik yang sejak lama ia gemari. Dalam fengshui, menurut David, naga melambangkan banyak hal positif, termasuk ketenangan dan kemakmuran. Karena itulah, masih menurut David, banyak orang Tionghoa yang memiliki gambar atau patung naga di rumah, untuk menarik energi positif.
Setengah jam kemudian, saya seperti sedang kuliah fengshui, dan David adalah guru yang tahu menjelaskan sesuatu dengan cara menarik.
“Apakah kamu merasakan ketenangan saat berada di rumah?” ia bertanya.
“Ya,” saya menjawab pasti.
“Menurutmu, berapa banyak orang yang bisa merasakan ketenangan di rumahnya?”
“Aku tidak tahu, tapi mungkin banyak. Yeah, sepertinya semua orang merasa tenang di rumahnya, kan?”
“Sayangnya tidak,” sahut David. “Ada banyak orang yang tidak tenang dan gelisah di rumahnya sendiri, padahal rumah mereka besar dan mewah. Karena ketidaktenangan itu, mereka pun sering keluar rumah, keluyuran, mendatangi banyak tempat demi memperoleh ketenangan. Banyak orang yang tidak betah di rumah, dan mereka mencari ketenangan di kafe, atau di tempat lain. Menurutmu, kenapa kamu betah dan tenang di rumah?”
“Mungkin karena aku memang senang menyendiri, dan kebetulan aku memang nyaman tinggal di rumah.”
“Mungkin, ya,” sahut David. “Tapi mungkin pula ketenanganmu datang dari energi positif, karena keberadaan naga di sini.”
“Aku belum pernah memikirkannya.”
David tersenyum. “Sekarang kamu bisa mulai memikirkannya.”
....
....
Terlepas benar atau tidak yang dikatakan David, sejak itu saya punya pandangan berbeda terhadap sepasang guci terbelit naga di rumah saya. Sejak itu, saya kembali meluangkan waktu untuk memandanginya, menyentuhnya, membersihkannya, bahkan belakangan sampai mencucinya. Ya, bagaimana kalau ternyata sepasang naga itu memang memancarkan aura positif seperti yang dikatakan David?
Hal-hal biasa sering kali jadi tak biasa ketika kita mulai menyadari arti di baliknya. Ada banyak patung yang berdiri di muka bumi, dan patung itu tampak biasa—sebegitu biasa hingga kita tidak menghiraukan. Tetapi, begitu menyadari arti di baliknya, kita mulai memperhatikan. Begitu pula lukisan, karya sastra, simbol dan gambar, hingga naga. Semuanya berubah, ketika perspektif kita berubah.
Meski naga sering dikaitkan dengan legenda Cina, namun ada banyak bangsa lain yang sama memuja naga, walau dengan penyebutan berbeda.
Naga adalah sebutan dalam bahasa Indonesia. Di Cina atau Tiongkok, namanya Long. Di Vietnam, naga disebut Rong. Di Jepang, disebut Ryu. Di Korea, disebut Yong, Yo, atau Kyo. Di Siberia, disebut Yilbegan. Di India, disebut Vyalee. Di Jerman dan Skandinavia, disebut Lindworm. Di Wales, disebut Y Ddraig Goch. Di Hungaria, disebut Zomok. Di Rumania, disebut Balaur. Di Brasil, disebut Boi-tata. Daftarnya masih panjang.
Bagaimana bisa banyak bangsa di dunia memuja makhluk yang sama, padahal mereka berada di tempat berjauhan dan tidak saling kenal?
Kadang-kadang, ada kenyataan di balik legenda. Kenyataan itu terkubur begitu dalam di dasar peradaban manusia, hingga yang tersisa tinggal legenda. Mungkin.