Selasa, 17 September 2019

Godaan dan Kesetiaan

"Temptation" adalah kata favoritku dalam bahasa Inggris.
Selama tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
@noffret


Karena rayuan godaan, kesetiaan bertahun-tahun bisa hilang. Kenyataan itu saya alami, dengan ponsel yang pernah bertahun-tahun menemani.

Dulu, saya memiliki ponsel berbentuk sliding. Ponsel itu memiliki layar tidak terlalu besar, namun fasilitas di dalamnya tergolong lengkap, khususnya untuk ukuran waktu itu, termasuk kemampuan dalam hal foto dan video. Waktu itu teknologi layar sentuh belum populer, jadi ponsel sliding saya juga belum menggunakan layar sentuh. Meski begitu, ponsel dilengkapi keypad tersembunyi, yang enak disentuh.

Sejak membeli ponsel itu, saya benar-benar nyaman memilikinya. Warnanya putih metalik. Tampak elegan, nyaman digenggam, juga nyaman dikantongi. Lebih dari itu, semua yang saya inginkan dari ponsel, bisa dipenuhi olehnya. Kemampuan suaranya saat memperdengarkan musik tergolong bagus, apalagi kalau menggunakan headset. Kemampuan kameranya juga bagus, khususnya untuk ukuran waktu itu.

Saat sliding-nya tertutup, ukuran ponsel itu relatif kecil, hanya sebesar bungkus rokok. Tebalnya juga kira-kira segitu. Jadi, saat dikantongi di celana, terasa pas dan tidak mengganjal. Intinya, saya benar-benar puas dengan ponsel tersebut, dan—selama bertahun-tahun—tak pernah tergoda dengan ponsel lain mana pun. Saya sudah nyaman dengan ponsel yang saya miliki, dan persetan dengan ponsel lain.

Hingga kemudian, ponsel layar sentuh mulai populer. Berbeda dengan ponsel saya yang berukuran relatif kecil, ponsel-ponsel layar sentuh memiliki ukuran lebih besar, karena menggunakan layar yang juga lebih luas. Semula, saya masih bertahan untuk tidak tergoda, dan tetap nyaman dengan ponsel yang saya miliki. Saya tidak ingin menggantikannya dengan ponsel lain.

Tetapi, namanya manusia, akhirnya saya tergoda juga. Bagaimana tidak? Nyaris ke mana pun saya mengarahkan pandangan, yang tampak di depan mata adalah ponsel-ponsel besar dengan teknologi layar sentuh. Teman-teman saya menggunakan ponsel semacam itu. Tetangga-tetangga juga menggunakan ponsel semacam itu. Bahkan di berbagai media—cetak maupun elektronik—mata saya terus digoda ponsel semacam itu. Sejak itu pula, entah kenapa, ponsel sliding saya tampak ketinggalan zaman.

Pertahanan saya pun jebol, dan suatu hari berpikir untuk juga memiliki ponsel layar sentuh. Waktu itu, sebenarnya, ponsel sliding yang saya miliki tidak mengalami masalah apa pun. Itu ponsel hebat yang diproduksi pabrikan terkenal, yang memiliki teknologi kelas satu. Karenanya, meski telah digunakan bertahun-tahun, ponsel itu tidak pernah mengalami masalah apa pun. Tetapi, gara-gara godaan yang ada di sekitar, saya pun terpikir membeli ponsel baru.

Itulah yang kemudian saya lakukan. Setelah sempat mencari dan mempelajari ponsel layar sentuh mana yang bagus, saya pergi ke toko ponsel, dan membeli ponsel baru. Waktu itu, kartu SIM yang ada di ponsel sliding saya dicabut, dan dipindah ke ponsel baru. Sejak itu pula, ponsel sliding saya tidak lagi menyala, karena tidak digunakan. Kelak, saya tahu, itu kesalahan yang mengerikan.

Semula, saya menyukai ponsel layar sentuh itu, karena namanya juga ponsel baru. Jadi, meski ponsel sliding kesayangan kini tak pernah lagi digunakan, saya tidak peduli. Saya masih asyik dengan ponsel baru. Meski begitu, sejak awal sebenarnya saya sudah tidak nyaman dengan ponsel baru tersebut, karena ukurannya yang relatif besar. Akibatnya, saat dikantongi di celana, ponsel itu terasa mengganjal.

Meski begitu, saya menghibur diri dengan mengatakan, “Ya maklumlah, karena layar ponsel itu memang lebar. Namanya juga layar sentuh.” Jadi, meski terasa mengganjal di celana, dan sering menimbulkan rasa tidak nyaman, saya mencoba bertahan.

Lama-lama, saya mulai menyadari, ponsel baru itu memiliki beberapa kekurangan. Selain ukurannya yang besar, hasil foto yang dibuat dengan ponsel itu juga kalah bagus dibanding foto yang dihasilkan ponsel lama. Begitu pula dalam kualitas suara, sama-sama kalah. Lebih dari itu, belakangan saya bertanya-tanya, “Sebenarnya, apa manfaat yang kuperoleh dari memiliki ponsel layar sentuh ini?”

Jika dibandingkan ponsel lama saya, satu-satunya kelebihan ponsel layar sentuh hanya memiliki teknologi layar sentuh. Sudah, hanya itu. Dalam hal lain, dari urusan menelepon, berkirim SMS, dan lain-lain, bisa dibilang semuanya sama. Bahkan, ponsel sliding saya memiliki beberapa keunggulan, seperti hasil foto lebih bagus, dan kualitas suara yang lebih bagus. Karenanya, satu-satunya manfaat—kalau memang bisa disebut manfaat—dari ponsel layar sentuh hanyalah layarnya.

Tetapi, kemudian saya berpikir, apakah memang saya membutuhkan ponsel layar sentuh? Sejujurnya, kalau dipikir-pikir, saya tidak peduli apakah ponsel yang saya gunakan menggunakan teknologi touchscreen atau tidak. Karena fungsi ponsel bagi saya cuma untuk menelepon, berkirim SMS, sesekali membuat foto kalau sedang iseng, atau mendengarkan musik kalau lagi santai, atau juga membuka internet kalau memang sedang jauh dari komputer. Semua kebutuhan itu bisa diberikan oleh ponsel lama, meski tidak menggunakan teknologi touchscreen.

Akhirnya, setelah sekitar dua tahun menggunakan ponsel layar sentuh, saya jadi kangen dengan ponsel sliding yang dulu. Untung, ponsel itu masih ada, karena masih saya simpan. Saya terpikir untuk kembali menggunakannya, karena rasanya lebih nyaman menggunakan ponsel tersebut, daripada ponsel layar sentuh yang sekarang saya gunakan.

Jadi, saya pun mengambil ponsel sliding itu dari tempat penyimpanan, dan saya mendapati ponsel itu kini telah berubah. Warnanya yang dulu bening dan mulus kini kusam, karena lama tak disentuh. Sliding-nya yang dulu lancar kini terasa seret, karena lama tak digunakan. Bahkan, ketika saya telah memasukkan kartu SIM ke dalamnya, ponsel itu tidak mau menyala. Saya tekan tombol power pada ponsel, tapi tetap saja gelap, layarnya tidak menyala.

Dengan perasaan galau, saya mulai menyadari apa yang mungkin terjadi. Ponsel sliding itu, seperti umumnya barang elektronik lain, bisa mengalami masalah jika lama tidak digunakan. Dan saya telah menyimpannya tanpa pernah dipakai selama dua tahunan. Tidak hanya tampilan fisiknya yang kini berubah kusam, bagian dalam ponsel itu pun mungkin telah mengalami masalah.

Akhirnya, dengan perasaan risau, saya membawa ponsel itu ke tempat servis, untuk menanyakan apa yang terjadi pada ponsel tersebut. Penjelasan tukang servis tepat seperti yang saya bayangkan. Mesin ponsel itu mati, karena lama tidak digunakan. Bahkan baterainya sudah aus, karena lama tak difungsikan.

Tukang servis menyatakan, “Ponsel ini masih bisa diperbaiki, tapi mungkin biayanya cukup mahal, karena harus mengganti beberapa bagian mesin, juga mengganti baterai.” Setelah itu, sambil menyentuh bagian luar ponsel yang kini tampak kusam, dia berkata perlahan, “Biaya perbaikannya bisa digunakan untuk membeli ponsel baru, yang lebih bagus dari ini.”

Penjelasan itu terasa menampar saya. Melihat kondisi ponsel sliding itu—yang dulu telah menemani bertahun-tahun—membuat saya sedih. Dulu, ponsel itu tampak bagus, elegan, dengan warna yang cemerlang. Saat ini, bentuknya masih bagus dan elegan, tapi warnanya yang cemerlang telah memudar, sementara bagian-bagian dalamnya mengalami masalah serta kerusakan akibat lama tak terpakai.

Saya membawa pulang ponsel sliding itu, dan tidak jadi memperbaikinya. Di rumah, saya memegangi ponsel itu, menatapnya, dan berpikir, “Apa salah ponsel ini, hingga aku sampai menggantikannya dengan ponsel baru?”

Ponsel sliding itu tidak memiliki masalah atau kekurangan apa pun. Selama menemani saya bertahun-tahun, ia tidak pernah rewel, dan semua kebutuhan saya menyangkut ponsel bisa diberikan olehnya. Saat dikantongi di celana, ia juga tidak mengganggu, karena ukurannya relatif kecil. Sebenarnya, ia sudah sempurna bagi saya.

Tetapi manusia selalu menghadapi godaan, termasuk dalam urusan ponsel. Bahkan meski telah nyaman dengan ponsel yang saya miliki pun, saya masih tergoda pada ponsel baru. Kenyataannya, ponsel yang baru tidak lebih baik dari ponsel yang lama, bahkan memiliki beberapa kekurangan yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Dan saat saya ingin kembali ke ponsel lama, ia telah berubah. Waktu telah menggerogoti sosoknya, luar dan dalam.

Tiba-tiba saya merasa kehilangan. Saat menggenggam ponsel itu di tangan, merasakan kelembutannya, saya membayangkan kenangan demi kenangan yang pernah kami lalui, saat-saat saya sangat jatuh cinta kepadanya. Sebenarnya, sampai kini pun saya tetap jatuh cinta kepadanya. Tetapi, bagaimana pun, ia telah hilang. Bahkan saat saya mencoba ke toko ponsel untuk mencari ponsel yang sama seperti itu, tidak ada lagi toko yang menyediakan.

Ponsel sliding itu masih saya miliki, sampai sekarang. Tapi layarnya kini selalu gelap. Dan setiap kali menatapnya, saya seperti diingatkan pada pentingnya kesetiaan... serta tidak pentingnya godaan.

 
;