Bedanya teman perempuan dengan teman lelaki:
Teman perempuan tahu cara “mendengarkan”.
Yaitu mendengarkan dengan hati, dengan empati.
—@noffret
Teman perempuan tahu cara “mendengarkan”.
Yaitu mendengarkan dengan hati, dengan empati.
—@noffret
Setelah tidak lagi kuliah, satu hal yang terasa hilang dari hidup saya adalah teman perempuan. Dan itu, bagi saya, kehilangan yang besar.
Dulu, waktu masih kuliah, saya punya banyak teman perempuan. Mereka terdiri dari teman sekelas, teman beda kelas, teman sefakultas, teman beda fakultas, teman sejurusan, teman beda jurusan, teman seangkatan, teman beda angkatan, pokoknya teman sekampus.
Kami kuliah di kampus sama, dan saling kenal, lalu berteman. Selama waktu-waktu itu, bisa dibilang saya tidak kekurangan teman perempuan. Bahkan waktu itu saya punya cukup banyak teman perempuan dari kampus lain.
Seperti ilustrasi tadi, teman perempuan saya merentang dari semua jurusan dan fakultas, bahkan lintas kampus. Jika teman perempuan saja segitu banyaknya, apalagi teman lelaki!
Dulu, kalau ada waktu luang, atau sedang iseng, atau lagi butuh ngobrol, atau sedang ingin curhat, saya akan datang ke teman perempuan. Khusus untuk urusan curhat, saya pasti datang ke teman perempuan. Urusan iseng, atau sekadar ingin ngobrol, saya bisa mendatangi teman lelaki. Tapi khusus urusan curhat, sekali lagi, saya hanya menemui teman perempuan!
Jadi, kadang suatu sore, atau suatu malam, saya kepengin curhat, dan berpikir, “Ke rumah Nisa’, ah!” Lalu saya datang ke rumah Nisa’. Lalu curhat.
Lain waktu, saya kepikiran ingin curhat lagi, dan berpikir, “Ke rumah Khusnul, ah!” Lalu saya datang ke rumah Khusnul.
Di lain waktu lagi, saya ingin kembali curhat, dan berpikir, “Ke rumah siapa, ya? Oh, ya, ke rumah Amelia aja!” Lalu saya datang ke rumah Amelia.
Sore hari, habis mandi, dan ingin curhat, saya kepikiran, “Kayaknya asyik nih, kalau ketemu Mbak Tasya.” Lalu saya pergi ke rumah Mbak Tasya.
Di waktu yang lain lagi, saat ingin curhat lagi, saya berpikir, “Ke tempat kosan Netty, ah!” Lalu saya datang ke kosan Netty. Lalu curhat sambil makan malam.
(Kok sering amat, curhatnya?)
YA SUKA-SUKA, LAAAH! WONG INI HIDUP SAYA, KOK!
Terus terang, satu hal yang membuat saya sangat menikmati masa kuliah adalah hal-hal itu. Maksud saya, teman perempuan yang bisa menjadi tempat curhat. Meski sering pula saya datang ke rumah mereka bukan untuk curhat, tapi sekadar ingin dolan. Senang rasanya menemui teman perempuan, lalu mengobrol berdua, kadang serius, kadang sambil cekikikan. Mengingat itu, membuat saya ingin kuliah lagi.
Seperti yang dibilang tadi, saya selalu datang ke teman perempuan, setiap kali ingin curhat. Kenapa? Karena perempuan adalah pendengar yang baik. Mereka lebih bisa berempati, dibandingkan teman lelaki.
Ketika kita datang ke teman perempuan, dan berkata, “Aku mau curhat,” mereka pun diam, dan menyediakan telinga untuk mendengar. Mereka benar-benar mendengarkan. Jika curhat kita terkait suatu masalah, mereka mungkin bisa memberi saran yang baik. Atau, kalau pun tidak, mereka dapat berempati dengan baik—setidaknya dalam bentuk sikap mendengarkan—sehingga kita merasa lega.
Hal itu berbeda dengan teman lelaki. Memang, teman lelaki adalah kawan yang asyik. Tapi mereka memiliki kekurangan khas—setidaknya teman lelaki yang saya kenal—yaitu ketidakmampuan “mendengarkan”. Lebih khusus, ketidakmampuan berempati.
Sebagai contoh, saya pernah sedih, waktu putus dengan pacar. Ketika saya curhat pada teman lelaki untuk menumpahkan kesedihan, mereka memang tampak mendengarkan, tapi berkali-kali menyela ucapan saya. Padahal, saya hanya butuh didengarkan—namanya juga orang curhat—tapi mereka menganggap saya sedang presentasi makalah! Bukannya mendengarkan, mereka menyela dan mendebat!
Dan ketika saya selesai curhat, bagaimana sikap atau respons mereka? Menunjukkan empati, dan memberi kata-kata menghibur? Tidak! Alih-alih meresapi curhat kesedihan saya, mereka malah berkata, “Bagaimana kalau kita ke pantai? Pasti kesedihanmu hilang, kalau sudah di pantai.”
Ketika mendapat respons semacam itu, rasanya saya ingin menjawab, “Begini, sialan. Aku tidak ingin pergi ke pantai keparat mana pun! Aku hanya ingin kau diam, tutup mulut, dan mendengarkanku!”
Tapi saya tidak mungkin ngomong begitu. Karena, bagaimana pun, akhirnya saya menyadari bahwa teman lelaki memang bukan partner curhat yang baik. Mereka hanya teman bermain yang asyik. Dalam urusan curhat, teman lelaki benar-benar bangsat!
Berbeda dengan teman perempuan. Saat saya datang pada mereka, dan menumpahkan curahan hati, semisal kesedihan, mereka benar-benar mendengarkan. Mereka diam selama saya berbicara, dan membiarkan saya menumpahkan semua yang ingin saya curahkan. Setelah itu, mereka tidak menawari pergi ke pantai keparat atau tempat-tempat keparat lain. Sebaliknya, mereka menunjukkan empati dengan kata-kata yang baik, yang menghibur, sehingga saya merasa dapat mengurangi beban kesedihan.
Itulah perbedaan teman lelaki dan teman perempuan, setidaknya dalam urusan curhat. Juga setidaknya menurut yang saya alami.
Kenyataan itu sebenarnya juga dilatari otak kita. Otak perempuan memang—kenyatannya—lebih kecil dibanding otak lelaki. Tapi otak perempuan mengandung area sensitivitas yang jauh lebih besar dibanding otak lelaki. Sebagian psikolog menyebut area sensitivitas itu dengan istilah “area biru” (blue area), yaitu area yang membuat si pemilik otak memiliki kepekaan dan sensitivitas.
Karena area biru pada otak perempuan jauh lebih besar, mereka pun lebih tahu bagaimana menghadapi orang lain dengan empati, sekaligus sensitivitas yang lebih baik, khususnya dibandingkan laki-laki. Karena itu pula, dalam urusan mendengarkan curhat, teman perempuan jauh lebih baik!
Dulu, ketika masih kuliah, saya tidak mengalami kesulitan setiap kali ingin curhat, karena waktu itu teman perempuan saya sangat banyak. Tetapi, kini, setelah tidak lagi kuliah, dan teman-teman perempuan satu per satu menikah—lagu pindah ke tempat jauh bersama suami mereka—saya merasa kehilangan. Tidak ada lagi teman yang bisa saya datangi ketika ingin curhat, tidak ada lagi teman perempuan yang benar-benar tahu cara mendengarkan.
Lebih dari itu, setelah tidak kuliah, mendapat teman perempuan rasanya sulit sekali. Setidaknya bagi saya.
Kalau di masa kuliah dulu, saya memiliki banyak teman perempuan, karena kampus mempertemukan kami. Di luar kampus, beberapa acara tertentu juga sering mempertemukan saya dengan kawan baru (lelaki atau pun perempuan) dari kampus lain, lalu kami akrab dan berteman. Jadi, selama masa kuliah, mendapatkan teman perempuan bisa dibilang sangat mudah.
Tetapi, setelah tidak lagi kuliah, saya kesulitan mendapat teman perempuan. Mau mencari teman perempuan di mana?
Kalau saya bekerja di suatu kantor atau perusahaan tertentu, mungkin ada kesempatan yang mempertemukan saya dengan teman-teman perempuan, yang juga bekerja di tempat sama. Susahnya, dalam hal ini, saya tidak bekerja di kantor atau perusahaan mana pun, tapi bekerja di rumah sendiri. Akibatnya, saya tidak punya teman blas! Sekalinya curhat, saya curhat pada termos!
Di lingkungan sekitar—khususnya lingkungan pertemanan—kadang saya menemukan perempuan yang asyik, dan berharap bisa berteman dekat dengannya, sebagai pengobat kerinduan pada teman perempuan. Tetapi, sial, setiap kali saya ingin dekat, selalu disangka sedang pedekate! Ending-nya benar-benar tidak enak. Saya bermaksud berteman, dia berharap jadian.
Peristiwa semacam itu bukan terjadi satu dua kali. Tapi berkali-kali. Sebegitu sering, hingga saya sampai trauma. Ketemu perempuan yang asyik, saya dekati dengan harapan bisa berteman... eh, dia mengira saya pedekate. Selalu begitu. Dan selalu begitu yang terjadi. Jika saya teruskan, dia akan berharap jadian. Jika saya berhenti, dia menuduh saya PHP. Jadinya serbasalah.
Kenyataan itu jelas berbeda ketika masa kuliah dulu. Di kampus, pertemanan bisa terjadi secara alami, termasuk dengan teman perempuan. Saat kami perlahan makin akrab, semuanya berlangsung secara alami, sehingga tidak ada satu pihak yang salah sangka. Saya murni bermaksud berteman, mereka juga menyadari kalau hubungan kami memang berteman.
Hal semacam itu sulit terjadi di luar kampus, setidaknya yang saya alami. Setelah tidak lagi kuliah, menemukan teman perempuan rasanya sulit sekali.
Kini, sudah bertahun-tahun saya tidak lagi berteman dengan perempuan, hingga kadang saya lupa bagaimana menghadapi perempuan.
Sekarang, kalau sedang ingin curhat, atau ingin ngobrol mendalam, saya pun mencurahkannya dalam tulisan. Sebagian dari hasil curhat itu ada yang saya unggah ke blog ini, sebagian lagi hanya saya baca sendiri. Kalau sedang malas menulis, saya curhat ke termos. Setidaknya, termos tidak akan menyangka saya pedekate, apalagi berharap jadian.