Senin, 02 September 2019

Hidup Terlalu Singkat, Urusan Terlalu Banyak

Alangkah banyak yang harus kukerjakan.
Makin sedikit waktu yang kumiliki.
@noffret


Jika diukur menggunakan skala gaya hidup orang-orang modern—khususnya dalam penggunaan teknologi untuk komunikasi—bisa dibilang saya “masih terbelakang”. Sampai saat ini, saya belum pernah menggunakan BBM, WA, Line, atau semacamnya. Jika butuh komunikasi, saya menelepon secara “konvensional”, atau menggunakan SMS.

Dari dulu, terus terang, saya memang tidak tertarik menggunakan sarana komunikasi semacam BBM, WA, atau semacamnya. Jika ada teman ingin menghubungi saya, mereka harus menelepon, atau mengirim SMS. Ketika ada orang yang tanya berapa nomor WA atau PIN BBB, saya pun menjawab, “Maaf, aku tidak pakai WA dan BBM.”

Ketidaktertarikan saya pada sarana komunikasi semacam BBM atau WA, karena sarana-sarana itu memungkinkan kita untuk “melakukan hal-hal tidak penting yang membuang-buang waktu”. Sudah biasa saya mendapati teman atau orang lain yang bilang (dengan nada mengeluh) kalau pesan di WA-nya bertumpuk-tumpuk. Bangun tidur, mengecek ponsel, dan mendapati ada ratusan pesan di WA. Saban hari begitu.

Tak jauh beda dengan BBM, dan sarana “komunikasi modern” lain. Semua memungkinkan penggunanya untuk melakukan hal-hal tidak penting, remeh-temeh, yang hanya menghabiskan waktu dan usia secara sia-sia.

Tentu saja tidak masalah, kalau orang memang punya waktu untuk hal-hal semacam itu, wong itu pilihan mereka. Saya pikir, UUD ’45 dan Pancasila juga tidak melarang orang menggunakan WA dan semacamnya. Menggunakan WA dan BBM atau tidak, hanya soal pilihan. Dalam hal ini, saya memilih untuk tidak menggunakan. Alasannya sepele, karena tidak punya waktu untuk dibuang-buang!

Jika ada sesuatu yang sangat... sangat saya sesali dalam hidup, itu adalah waktu saya di masa lalu yang terbuang sia-sia. Dulu, sejak remaja sampai masa kuliah, saya sering membuang dan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang—jika dipikir sekarang—tidak bermanfaat. Malam Tahun Baru, misal, saya nongkrong semalaman bersama teman-teman. Begitu pula pas hari-hari besar lain. Di lain waktu, saya jalan-jalan tanpa tujuan, keluyuran tanpa tujuan, dan semacamnya.

Jika mengingatnya sekarang, saya benar-benar menyesali yang telah saya lakukan. Sebegitu menyesal, hingga tidak ingin mengulang. Karena penyesalan itu pula, saya pun kini sangat hati-hati dalam menggunakan waktu. Saya sudah tidak punya waktu sedikit pun untuk acara tidak jelas di malam Tahun Baru, atau jalan-jalan tidak jelas ke mana pun, atau menghadiri acara-acara yang sama tidak jelas. Usia terus bertambah—dan itu artinya waktu saya makin sempit—sementara urusan hidup makin banyak.

Setiap hari, saya hanya berdiam di rumah. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, saya hanya berkutat mengurusi urusan dan kesibukan saya sendiri. Karena tidak ada orang lain di rumah, saya memiliki waktu sepenuhnya tanpa terganggu apa pun atau siapa pun. Tujuan saya hanya menyelesaikan tugas, urusan, dan pekerjaan yang menggunung.

Tetapi bahkan telah habis-habisan menggunakan waktu untuk bekerja, saya terus kekurangan waktu, sementara urusan yang harus saya tangani tak pernah habis. Padahal, saya bekerja sampai 14 jam setiap hari, tanpa libur, tanpa cuti, apalagi liburan panjang. Oh, well, saya bahkan benci hari libur, apalagi liburan panjang, karena hanya menghambat urusan saya!

Karena itulah, saya tidak berminat sama sekali menggunakan WA, BBM, atau sarana komunikasi semacamnya, karena hanya akan menyita waktu untuk hal-hal yang belum tentu penting. Bahkan, di dunia maya, saya tidak terlalu berminat menggunakan media sosial, meski memiliki akun di Twitter. Omong-omong, itu satu-satunya akun media sosial yang saya miliki.

Saya tidak terlalu tertarik menggunakan media sosial di internet, karena latar belakang yang sama. Twitter, Facebook, dan semacamnya, hanya menyita waktu untuk hal-hal tidak jelas, yang—bisa jadi—kelak akan saya sesali. Jika butuh komunikasi di internet, saya menggunakan e-mail. Di e-mail, setidaknya, orang tidak menulis sesuatu yang sia-sia (meski ada pula yang begitu). Terkait hal itu, saya tidak pernah tertarik mengurusi e-mail yang isinya tidak jelas!

Omong-omong soal ini, saya jadi perlu menjelaskan hal lain. Di internet, bisa jadi ada orang-orang yang mengira atau menganggap saya angkuh atau bahkan antisosial, karena bisa dibilang tidak pernah—atau jarang—berkomunikasi dengan siapa pun, dan tidak pernah bertemu dengan siapa pun. Urusan itu terlalu kompleks penjelasannya.

Well, saya ada di internet—menulis di blog dan sesekali mencuit di Twitter—memang tidak bertujuan untuk eksis! Saya aktif menulis di blog bukan karena ingin terkenal, tapi karena butuh tempat untuk menuang (atau membuang) kegelisahan dalam pikiran. Saya punya akun di Twitter, terus terang, juga karena alasan serupa. Bukan karena ingin terkenal atau jadi selebtwit, atau ingin punya pacar, atau ingin punya banyak teman, dan semacamnya.

Latar belakang itulah yang menjadikan saya tidak terlalu aktif berkomunikasi dengan orang lain. Karena saya memang tidak punya tujuan untuk eksis! Orang mau mengenal saya, ya silakan, tidak mengenal juga tidak apa-apa.

Jika memang ada sesuatu yang ingin saya tanyakan atau katakan pada seseorang di Twitter, misalnya, saya akan melakukannya. Kalau dia membalas, ya syukur, kalau tidak ya tidak apa-apa. Yang jelas, saya tidak melakukannya untuk basa-basi. Karena saya memang tidak bisa (dan bingung) kalau harus berbasa-basi.

Sebaliknya, kalau ada orang di Twitter menyapa atau menanyakan sesuatu pada saya, sebisa mungkin saya akan membalas atau menjawab. Kalau tidak bisa menjawab, juga tidak apa-apa. Kadang-kadang saya memang bingung saat harus merespons sapaan yang sifatnya basa-basi.

Mungkin orang-orang lain aktif di dunia maya untuk tujuan eksis, tapi saya tidak punya tujuan semacam itu. Saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan... di sela-sela waktu yang saya miliki. Orang lain menganggap saya ada atau tidak ada, sama sekali tidak pernah merisaukan saya.

 
;