Selasa, 24 Mei 2016

Dendam dan Kehormatan

“Bagaimana bila para pemerkosa itu tidak
berniat jahat?” | Logika yang kacau. Wong memperkosa
jelas-jelas kejahatan, apa pun niatnya.
@noffret 


Dua ratus tahun sebelum Masehi, ada suatu wilayah bernama Galatian (yang sekarang disebut Turki). Pada masa itu, di Galatian ada suku bernama Tectosagi, yang dipimpin seorang lelaki bernama Orgiagon. Sang pemimpin suku memiliki istri bernama Chiomara. Karenanya, pasangan Orgiagon dan Chiomara dianggap sebagai kaum bangsawan di Tectosagi.

Pada tahun 189 SM, terjadi peperangan antara bangsa Galatian dengan bangsa Romawi. Suku Tectosagi, yang masuk dalam wilayah Galatian, ikut terlibat dalam peperangan tersebut, termasuk Orgiagon sang kepala suku. Singkat cerita, Galatian kalah dalam peperangan, dan para prajurit Romawi menjarah apa saja yang bisa dijarah di wilayah yang mereka taklukkan.

Seorang prajurit Romawi menemukan Chiomara, dan mencoba merayu. Mendapati rayuannya ditolak, prajurit Romawi itu menyeret Chiomara ke Roma, dan memperkosanya. Chiomara tak berdaya menghadapi perkosaan itu. Ia jauh dari kampung halaman, dan posisinya saat itu menjadi tawanan. Tapi diam-diam ia menyimpan dendam.

Seusai memperkosa Chiomara, si prajurit Romawi merasa bersalah. Mungkin, karena ingin menebus rasa bersalahnya, dia menawari Chiomara untuk dikembalikan kepada sukunya. Chiomara setuju. Maka dia pun diantarkan oleh si prajurit yang memperkosanya, ke kampung halaman Chiomara di Tectosagi. Sesampai di Tectosagi, saat disambut orang-orang di sana, Chiomara memerintahkan orang-orang sukunya agar memenggal kepala prajurit Romawi yang telah memperkosanya.

Kemudian, Chiomara menenteng kepala yang terpenggal itu, dan berkata, “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menodai kehormatanku.”

Berabad-abad kemudian, wilayah Galatian telah terkubur menjadi puing-puing sejarah, dan wilayah itu berubah nama menjadi Turki, seperti yang kita kenal sekarang. Yang menarik, kisah dari masa lalu kembali terulang—kisah tentang seorang wanita yang membalas dendam demi kehormatannya, dengan cara yang sama.

Di barat daya Turki, ada sebuah desa kecil bernama Yalvac. Di desa itu hidup seorang wanita bernama Nevin Yildirim, berusia 26 tahun. Dia tinggal bersama suaminya, serta dua anak yang masih kecil (masing-masing berusia 6 dan 2 tahun). Mereka menjalani kehidupan yang damai dan tenteram, khas kehidupan desa kecil. Sebagian masyarakat di desa itu, khususnya yang pria, biasa mendapat pekerjaan musiman di kota, kadang sampai beberapa bulan. Begitu pula dengan suami Nevin Yildirim.

Pada Januari 2012, suami Nevin Yildirim berangkat ke kota untuk bekerja, dan Nevin Yildirim pun melepas kepergian suaminya seperti biasa. Tapi rupanya bencana mengintip seusai kepergian si suami.

Beberapa hari setelah kepergian suaminya, Nevin Yildirim diperkosa oleh seorang lelaki bernama Nurettin Gider. Lelaki itu menodongkan senjata api, dan memperkosa Nevin Yildirim yang ketakutan. Setelah itu, Nurettin Gider meninggalkan korbannya, dan mengancam akan membunuh anak-anak Nevin Yildirim jika wanita itu buka mulut atas perkosaan tersebut.

Merasa berhasil dengan aksinya, Nurettin Gider melanjutkan kejahatannya. Sejak itu, dia kerap memperkosa Nevin Yildirim, kapan saja dan di mana saja. Nevin Yildirim merasa tak berdaya, karena memikirkan nasib anak-anaknya.

Pada suatu siang, Nurettin Gider memasuki rumah Nevin Yildirim, dan kebetulan waktu itu Nevin Yildirim sedang tidur, dan pakaiannya tersingkap. Nurettin Gider—sang penjahat pemerkosa—memotret Nevin Yildirim yang nyaris telanjang, kemudian menggunakan foto itu untuk mengancam Nevin Yildirim. Kini, wanita itu semakin tak berdaya. Membayangkan anak-anaknya tercancam sudah membuatnya ketakutan, dan sekarang Nurettin Gider juga mengancam akan menyebarkan fotonya yang nyaris telanjang.

Selama berbulan-bulan kemudian, Nevin Yildirim terus ketakutan dan tak berdaya menghadapi kejahatan dan kekejian Nurettin Gider. Aksi perkosaan yang berawal pada Januari 2012 itu terus berlangsung hingga Agustus 2012. Selama waktu-waktu itu, Nevin Yildirim terus menerus dipaksa menerima perkosaan demi perkosaan yang dilakukan Nurettin Gider. Akibat perkosaan berulang-ulang itu, Nevin Yildirim pun hamil.

Tidak ada yang tahu kenyataan mengerikan itu, selain Nevin Yildirim, sang korban. Suaminya masih di luar kota untuk mencari nafkah. Anak-anaknya masih kecil. Semula, Nevin Yildirim berencana melaporkan kejahatan Nurettin Gider ke kepolisian, tapi dia menyadari bahwa wanita korban perkosaan menghadapi stigma mengerikan, yang kadang lebih mengerikan dari perkosaan yang dialami.

Jika dia melaporkan pemerkosanya, dan kasus itu kemudian diketahui masyarakat, dia akan menghadapi stigma sebagaimana yang dialami wanita-wanita lain yang menjadi korban perkosaan. Wanita-wanita yang menjadi korban perkosaan harus menanggung aib seumur hidup akibat kejahatan yang menimpa mereka, dan masyarakat menganggapnya sebagai perempuan hina. Sementara si pelaku perkosaan hanya menjalani hukuman beberapa tahun, lalu dapat melanjutkan hidup seolah tak terjadi apa-apa.

Lebih dari itu, Nevin Yildirim juga mengkhawatirkan nasib anak-anak serta keluarganya. Nurettin Gider, pemerkosanya, menyimpan foto Nevin Yildirim, dan ia takut jika foto yang tidak sopan itu sampai tersebar luas. Meski foto itu dibuat tanpa sepengetahuannya—karena dia masih tidur saat foto tersebut dibuat—namun Nevin Yildirim bisa membayangkan bagaimana reaksi orang-orang jika sampai melihat.

Kebingungan demi kebingungan itu terus menghantui Nevin Yildirim. Ia merasa ketakutan dan tak berdaya, sementara Nurettin Gider terus mendatanginya sewaktu-waktu, dan memperkosanya, sementara Nevin Yildirim tak memiliki keberanian untuk melawan. Puncaknya, dalam ketakutan dan kekalutan, Nevin Yildirim sempat memutuskan untuk bunuh diri, untuk mengakhiri semua penderitaan itu. Tetapi, lagi-lagi, dia memikirkan nasib anak-anaknya.

Sementara itu, kehamilan akibat perkosaan yang dialaminya semakin membesar.

Akhirnya, suatu hari, Nevin Yildirim menemukan cara untuk mengakhiri semua penderitaan yang dialaminya. Dia menemukan senjata api di rumah mertuanya, dan mendapati senjata api itu dilengkapi peluru serta bisa digunakan. Dia pun menyimpan senjata itu di dekat tempat tidurnya.

Suatu siang, pada 30 Agustus 2012, Nurettin Gider—seperti hari-hari sebelumnya—mendatangi rumah Nevin Yildirim untuk kembali memperkosa wanita itu. Kali ini, Nevin Yildirim sudah menguatkan tekad, dan dia telah bersiap menyambut kedatangan si bangsat pemerkosa. Begitu Nurettin Gider memasuki kamarnya, Nevin Yildirim meraih senjata api yang telah ia siapkan, lalu menembak dada Nurettin Gider.

Lelaki itu pun terjatuh, dengan dada berlubang. Tapi dia masih hidup. Bahkan, sambil menahan sakit akibat tertembak, Nurettin Gider memaki-maki Nevin Yildirim dengan begitu hina. Nevin Yildirim mendekati lelaki pemerkosanya, dan menembakkan serentetan peluru ke selangkangan Nurettin Gider. Total ada 8 peluru yang merobek selangkangan pemerkosa itu, dan 2 di dada. Belum puas, Nevin Yildirim mengambil pisau besar di dapur, lalu menghunjamkan pisau itu ke perut Nurettin Gider. Bajingan pemerkosa itu pun tewas bersimbah darah.

Setelah Nurettin Gider tewas, Nevin Yildirim memenggal leher Nurettin Gider, lalu menenteng kepala lelaki yang telah putus itu ke alun-alun desa, dengan darah segar menetes-netes.

Penduduk pun seketika gempar menyaksikan Nevin Yildirim menenteng kepala. Kepada orang-orang yang menyaksikannya dengan ngeri, Nevin Yildirim berkata, “Jangan berbicara di belakang punggungku, jangan pernah bermain-main dengan kehormatanku. Ini kepala orang yang mencoba mempermainkan kehormatanku.”

Setelah itu, Nevin Yildirim melemparkan kepala Nurettin Gider ke tanah.
 
Akibat aksinya yang mengerikan, Nevin Yildirim pun ditangkap polisi, dengan tuduhan pembunuhan.

Di pengadilan, Nevin Yildirim menyatakan, “Saya sempat berpikir untuk melaporkan dia (Nurettin Gider) ke polisi dan jaksa, tapi itu akan membuat saya sebagai seorang perempuan hina (akibat kasus perkosaan). Daripada saya akan mendapat aib, saya memutuskan untuk membersihkan kehormatan saya, dan membunuhnya. Saya sering berpikir untuk bunuh diri, tetapi saya tidak bisa melakukannya.”

Dia menambahkan, “Putri saya akan mulai sekolah tahun ini. Semua orang akan menghina anak-anak saya, jika saya diberitakan sebagai korban perkosaan. Sekarang tidak ada yang bisa menghina mereka. Saya menyelamatkan kehormatan saya. Mereka sekarang akan memanggil anak-anak ini sebagai anak-anak dari wanita yang menyelamatkan kehormatannya.”

Menyangkut kehamilan yang terjadi akibat perkosaan tersebut, Nevin Yildirim menuntut pemerintah agar mengizinkannya melakukan aborsi, meskipun usia kandungannya sudah lewat dari batas waktu yang ditentukan di Turki.

Kelompok-kelompok hak perempuan Turki memuji Nevin Yildirim sebagai pahlawan, meski mungkin pengadilan berkata lain. Bagaimana pun, wanita itu melakukan apa yang harus dilakukannya—mengakhiri kekejian dan perkosaan yang dialaminya—karena ia pikir itulah satu-satunya jalan.

Orang-orang—masyarakat—mungkin bisa saja mengatakan, “Seharusnya Nevin Yildirim tidak membunuh pemerkosanya.”

Kedengarannya mulia. Tapi bagaimana dengan si pelaku? Kenapa tidak ada yang berkata pada si pemerkosa, “Seharusnya Nurettin Gider tidak melakukan perkosaan.”

Lebih dari itu, jika si pemerkosa masih hidup, dan kasus perkosaan itu kemudian terungkap, kira-kira bagaimana sikap masyarakat terhadap Nevin Yildirim, si korban perkosaan?

Seperti umumnya wanita yang tinggal di pedesaan Turki, Nevin Yildirim biasa menjalani kehidupan sehari-hari dengan pakaian tertutup, plus kerudung. Artinya, perkosaan itu terjadi bukan karena dia memakai pakaian terbuka yang mungkin mengundang atau merangsang. Ketika perkosaan terjadi, Nurettin Gider juga dalam keadaan waras, dalam arti tidak sedang mabuk atau terpengaruh alkohol. Bahkan, Nurettin Gider melakukan kejahatan itu secara sadar, penuh perhitungan, hingga bisa terus melakukannya berbulan-bulan.

Jadi, kenapa tidak ada yang berkata kepada Nurettin Gider—atau kepada lelaki-lelaki bejat lain—“Seharusnya kalian tidak melakukan perkosaan.”

Sebagai lelaki, sebagai manusia, terus terang saya sulit menyalahkan Nevin Yildirim, mengingat bagaimana sikap masyarakat terhadap kasus perkosaan, terhadap si pelaku, dan kepada si korban. Mungkin aksi pembalasan dendam yang dilakukan Nevin Yildirim tergolong sadis dan mengerikan, tetapi—saya pikir—dia layak melakukannya.

Seperti yang dikatakan Nevin Yildirim, “Jika saya membiarkan pemerkosa itu hidup, dan kasus perkosaan ini diketahui masyarakat, maka sayalah yang akan menanggung aib atas kejahatan ini, bukan si pelaku. Padahal dia pelaku kejahatan, dan saya korbannya.”

Dengan membunuh si pemerkosa, Nevin Yildirim melakukan sesuatu yang ia pikir dapat membalik keadaan. Orang-orang tidak akan lagi menatapnya sebagai wanita hina karena menjadi korban perkosaan. Sebaliknya, orang-orang akan menilainya sebagai wanita yang melakukan sesuatu demi kehormatannya.

Indonesia, Beberapa Waktu Lalu

Lagi ramai soal isu bela negara, ya? Jadi, bagaimana kelanjutannya? Apa kita harus latihan baris berbaris pakai seragam, gitu? Bah!
—Twitter, 15 Oktober 2015

Jika Indonesia benar-benar menerapkan kewajiban bela negara, terus kita disuruh latihan baris berbaris, mungkin aku akan pindah ke Jepang.
—Twitter, 16 Oktober 2015

Sebenarnya, aku sudah lama kepikiran ingin pindah ke Jepang. Di mataku, Jepang adalah negara beradab tapi tertib dan tidak munafik.
—Twitter, 16 Oktober 2015

Di Jepang, setahuku, tidak ada tetek bengek yang disebut bela negara. Tapi di sana, juga setahuku, negara yang bela rakyatnya.
—Twitter, 16 Oktober 2015

Jepang melegalkan pornografi. Tapi kalau kau nyolek cewek seenaknya, dan dia tidak diterima, kau akan masuk penjara. Itulah ketertiban.
—Twitter, 16 Oktober 2015

Sebagian orang tiba-tiba merasa hebat hanya karena pakai seragam dan baris berbaris. Mentalitas, adalah persoalan terbesar bangsa ini.
—Twitter, 16 Oktober 2015

Yang paling dibutuhkan di Indonesia sebenarnya bukan bela negara, tapi bela rakyat. Sudah terlalu lama negara ini bikin susah rakyat.
—Twitter, 16 Oktober 2015

....
....

Peristiwa: Bocah kecemplung sumur.
Rakyat: Ayo kita tolong segera!
DPR: Ntar dulu. Perlu dipikirkan apakah ini masalah nasional apa bukan.
—Twitter, 24 Oktober 2015

Negeri ini memang gila. Bukannya segera menangani bencana yang terjadi, tapi malah meributkan apakah itu bencana nasional atau bukan.
—Twitter, 24 Oktober 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Utah Huruf

Aku ingin sekali menulis sesuatu yang di dalamnya terdapat kata “utah huruf”. Tapi meski sudah memikirkannya hingga lama, aku tetap belum menemukan tulisan apa yang bisa kumasuki istilah “utah huruf”. Selain itu, kalau diingat-ingat, aku juga tidak tahu apa arti “utah huruf”.

Jumat, 20 Mei 2016

Utang dan Kehidupan yang Rusak

Sebagian orang anggap utang itu keren,
simbol kemakmuran & kepercayaan. Gue kok ngeri.
@MerryMp


Saya trauma dengan utang. Sebegitu trauma, hingga saya telah bersumpah pada diri sendiri untuk tidak akan pernah berutang lagi, kepada siapa pun, dengan alasan apa pun. Utang adalah hal yang tampak ringan, biasa, bahkan dilakukan banyak orang, tetapi—setidaknya bagi saya—itu merusak ketenteraman, merongrong kebahagiaan, dan merampas ketenangan hidup.

Ada beberapa utang kecil-kecilan yang pernah saya lakukan, pada teman atau keluarga. Namun, utang terbesar yang pernah saya lakukan sejumlah Rp. 14 juta, pada sebuah bank. Itu terjadi bertahun-tahun lalu, ketika saya tidak bisa bekerja hingga dua tahun, akibat kecelakaan parah yang pernah saya ceritakan di sini. Waktu itu, saya membutuhkan biaya untuk pengobatan, dan dari waktu ke waktu tabungan saya terus terkuras, sementara tidak ada uang masuk karena saya tidak bisa bekerja. Singkat cerita, saya kehabisan uang.

Itu masa-masa yang sangat buruk dalam kehidupan saya. Tubuh penuh luka, butuh biaya banyak, tabungan terus terkuras, sementara saya tidak bisa bekerja. Waktu itu saya sudah hidup sendiri—tidak tinggal bersama orangtua—jadi bisa dibilang saya menanggung kondisi itu sendirian.

Suatu malam, seorang teman datang ke rumah, dan kami pun bercakap-cakap. Percakapan itu kemudian sampai pada kondisi yang waktu itu saya alami. Teman saya bekerja di bank, dan—dengan maksud baik—dia menawari saya untuk berutang pada bank tempatnya bekerja.

“Berapa yang kamu butuhkan?” tanyanya waktu itu.

Saya menjawab, “Kalau kamu bertanya berapa yang kubutuhkan, jawabannya tentu cukup besar.”

“Sebutkan saja,” sahutnya. “Siapa tahu aku bisa membantu.”

Saya terdiam sesaat, memikirkan dan menghitung berapa yang saya butuhkan untuk bisa kembali menggerakkan kehidupan saya yang waktu itu berhenti. Saya menghitung berapa pengeluaran yang saya butuhkan, dan berapa jumlah uang yang kira-kira saya butuhkan untuk dapat menghasilkan uang. Akhirnya, saya mengatakan, “Aku butuh sekitar 14 juta.”

Dia mengangguk, dan bertanya, “Kalau aku bisa mengusahakan bank mengeluarkan pinjaman sejumlah itu, kira-kira berapa lama kamu bisa mengembalikan?”

“Satu tahun,” saya menjawab pasti. Dalam estimasi saya waktu itu, saya bisa menggunakan uang 14 juta untuk sesuatu yang produktif, dan saya bisa mengembalikannya dalam waktu singkat.

Sekali lagi, teman saya mengangguk.

Tetapi, buru-buru saya memberitahu, bahwa saya tidak punya jaminan apa pun yang bisa dijadikan agunan.

Dia menjawab, “Aku percaya kepadamu. Kita telah berteman sangat lama, dan aku tahu siapa kamu. Mungkin aku bisa mengusahakan bank memberi pinjaman untukmu, tanpa harus pakai jaminan apa pun.”

Semula saya skeptis, mengingat bank sangat hati-hati dalam memberi piutang. Bank, kita tahu, adalah sosok yang meminjamkan payung saat cuaca cerah, lalu meminta payung yang mereka pinjamkan saat hujan turun. Bank sangat murah hati memberimu pinjaman kalau uangmu berlimpah. Sebaliknya, bank akan menjadi monster pelit, saat kau benar-benar butuh pinjaman.

Tetapi, seminggu kemudian, datang kabar menggembirakan. Mungkin, karena teman saya memiliki posisi yang strategis, dia bisa mempengaruhi bank untuk memberi pinjaman kepada saya, sejumlah Rp. 14 juta sebagaimana yang saya minta. Singkat cerita, uang sejumlah itu masuk ke rekening saya.

Dan selanjutnya adalah bencana.

Estimasi saya meleset, prediksi saya berantakan. Uang sejumlah Rp. 14 juta yang semula saya pikir bisa digunakan untuk menghasilkan sejumlah uang lain, ternyata gagal total. Utang pada bank itu harus saya angsur per bulan, dengan sejumlah bunga. Pada waktu memasuki angsuran ke-5, saya tidak bisa lagi membayar. Utang itu menjadi kredit macet. Dan saya tidak tahu bagaimana cara mencari uang lain untuk mengatasi masalah tersebut.

Sejak itulah, kehidupan saya benar-benar terjun ke lembah kebingungan dan keputusasaan. Luka-luka bekas kecelakaan belum pulih. Kondisi tubuh dan hidup saya masih memprihatinkan. Uang terus keluar tapi tidak ada penghasilan yang masuk. Sementara itu, saya punya sejumlah utang ke bank.

Teman saya, yang membantu mencairkan utang tersebut, semula tidak terlalu mempermasalahkan. Dia percaya saya sepenuhnya. Tetapi, lama-lama, bagaimana pun dia tidak enak pada bank tempatnya bekerja. Pihak bank mungkin terus menanyakan kepadanya, dan dia mulai menanyakan utang tersebut pada saya. Selama waktu-waktu itu, saya benar-benar dilanda kebingungan. Bukan hanya bingung karena memiliki sejumlah utang, tapi juga bingung menghadapi teman baik saya.

Singkat cerita, hubungan kami jadi tidak sebaik sebelumnya.

Bulan demi bulan terus berjalan, dan saya seperti merangkak dalam kegelapan. Dengan segala keterbatasan yang saya alami waktu itu, saya memaksa diri untuk berpikir dan bekerja, berpikir dan bekerja, berpikir dan bekerja, serta mencari cara untuk segera melunasi utang keparat yang waktu itu masih saya miliki. Selama waktu-waktu itu, saya sering dihinggapi ketakutan saat ada orang datang ke rumah.

Sebelumnya, teman saya memberitahu bahwa dia masih berupaya “menenangkan” pihak bank, dan meyakinkan bank bahwa saya benar-benar belum bisa melunasi utang, dan lain-lain. Intinya, teman saya masih percaya kepada saya, dan berharap saya bisa melunasi utang secepatnya. Tetapi, saat saya ternyata tidak juga bisa mengembalikan utang, teman saya pun tidak bisa apa-apa lagi. Sejak itu, dia tidak bisa menghalang-halangi pihak bank yang datang untuk menagih.

Sejak itulah, saya kehilangan ketenangan dan ketenteraman. Utang di bank terus bertambah karena adanya bunga. Itu saja sudah bikin makan tidak enak, tidur tidak nyenyak. Sementara itu, saya juga tidak enak setengah mati pada teman saya. Bagaimana pun, dia telah berbaik hati membantu, mempercayai saya sepenuhnya, dan kini saya mengecewakannya. Oh, well, waktu itu saya merasa benar-benar hina.

Setelah hampir dua tahun berpikir dan bekerja keras dengan susah-payah, sambil menjalani kehidupan yang tidak tenang gara-gara utang, akhirnya saya bisa melunasi utang pada bank, berikut bunganya. Utang yang sebenarnya seupil itu akhirnya lunas!

Sejak itulah, saya bersumpah tidak akan pernah utang lagi pada siapa pun, dengan alasan apa pun. Saya telah merasakan bagaimana tidak enaknya hidup dan rusaknya ketenteraman gara-gara utang!

“Walau makan sederhana, walau baju sederhana, asal sehat jiwa raga, dan hutang juga tak punya, itulah orang yang kaya.”

Itu yang ngomong bukan saya, tapi Rhoma Irama, dalam lagu “Gali Lobang Tutup Lobang”. Omong-omong, itu salah satu lagu favorit saya, meski ada banyak kata dalam lagu itu yang salah. Bahkan judul lagu itu pun sebenarnya salah, karena yang benar “Gali Lubang Tutup Lubang”. Tapi persetan, lagu itu enak didengarkan.

Well, masa-masa gelap dan suram itu telah jauh berlalu, tapi pelajaran yang saya dapat waktu itu masih membekas dalam ingatan. Kini, saya tidak pernah lagi tertarik pada tawaran utang apa pun, dalam bentuk apa pun, karena menyadari bagaimana rusaknya kehidupan gara-gara utang. Prinsip saya saat ini: Jika ingin sesuatu, saya akan membelinya secara cash. Jika tidak bisa, maka saya akan menunda keinginan, sambil mengumpulkan uang. Sederhana, dan tidak bikin pusing.

Di masa sekarang, kadang ada orang bank yang menawari kartu kredit. Saya tidak perlu waktu untuk berpikir—saya langsung menolak! Kartu kredit itu kartu utang. Seseorang dipinjami kartu oleh bank, yang bisa digunakan untuk berutang. Dengan kartu kredit, orang bisa membeli baju dengan utang, membeli aneka barang dengan utang, bahkan makan dan minum dengan utang. Saya tidak tertarik menjalani gaya hidup semacam itu.

Jangankan membayar sesuatu yang harganya paling ribuan, bahkan membayar sesuatu yang nilainya jutaan pun, saya membayarnya secara cash! Saya sudah sampai pada tahap membenci utang, kredit, cicilan, atau apa pun sebutannya. Praktik itu benar-benar najis dalam hidup saya.

Kenyataannya, membeli sesuatu jauh lebih mudah dan tidak ribet jika dibayar secara kontan. Membeli kendaraan secara utang atau kredit, misalnya, ribetnya minta ampun—dari survei rumah, survei tempat kerja, survei slip gaji atau buku rekening, tanda tangan ini itu, sampai tetek bengek lain yang sangat memuakkan. Dengan membayar secara kontan, kita cukup membawa uang, dan kendaraan bisa langsung dibawa pulang. Sederhana, mudah, tidak ribet—dan saya suka hal-hal mudah yang sederhana.

Jadi, bagi saya, persetan dengan utang! Karena alih-alih memudahkan, utang sebenarnya justru mempersulit diri, dan menjauhkan kita dari ketenangan serta ketenteraman hidup. Lebih dari itu, utang juga bisa seperti candu, dan itu salah satu candu yang merusak sekaligus berbahaya.

Meski mungkin terdengar berlebihan, ada orang-orang yang kecanduan utang. Orang semacam itu bisa ditandai dengan banyaknya utang yang dimiliki pada banyak pihak—biasanya perorangan—dan orang semacam itu umumnya menjalani hidup dengan praktik gali lubang tutup lubang, meski sebenarnya tidak miskin.

Susahnya, sekali orang kecanduan utang, biasanya dia akan kesulitan untuk dapat melepaskan “kecanduan” tersebut. Meski sebenarnya sudah punya uang untuk membayar, dia menunda-nunda pembayaran utang, bahkan menggunakan uangnya untuk hal-hal konsumtif. Setelah itu, dia berutang lagi, mencari “korban” lain untuk diutangi, dan begitu seterusnya. Ada orang-orang yang biasa makan di restoran mewah, memamerkan parabola di depan rumah, menjalani gaya hidup seperti orang kaya-raya, tapi utangnya tersebar di mana-mana.

Hidup adalah soal pilihan. Dan dalam urusan utang, saya memilih untuk tidak akan pernah lagi bersentuhan. Utang adalah sesuatu yang tampak sepele, remeh, bahkan manusiawi, tapi sangat... sangat merusak. Karenanya, saya berdoa kepada Tuhan yang Maha Kaya, semoga hari ini dan selamanya, saya dijauhkan dari urusan utang piutang kepada sesama manusia.

Saat menulis catatan ini, saya tidak memiliki utang serupiah pun kepada siapa pun. Semoga saja ingatan saya benar. Namun, jika ternyata ingatan saya keliru, dan ternyata saya masih memiliki utang kepada siapa pun, tolong temui saya, dan saya akan membayar sekarang juga.

Karena itu—kepada teman-teman di dunia nyata—jika kalian pernah merasa memberi piutang kepada saya, entah di waktu kapan pun, dan entah sekecil apa pun, tapi saya lupa mengembalikan, tolong... tolong temui saya, dan beritahu hal itu. Saya akan membayar segera, tak peduli meski jumlahnya paling beberapa rupiah.

Saya tidak pernah takut atau risau jika harus meninggal dunia kapan pun. Bahkan umpama besok saya mati pun tidak masalah. Tetapi, yang jelas, saya tidak ingin meninggal dalam keadaan masih memiliki utang.

Noffret’s Note: Masyarakat

Ternyata, yang namanya “masyarakat” selalu sama, tak peduli di mana pun tempatnya.
—Twitter, 27 November 2015

Yang paling dibutuhkan masyarakat bukan kebenaran, juga bukan apa pun. Yang paling dibutuhkan masyarakat hanyalah kau sama dengan mereka.
—Twitter, 27 November 2015

Kalau kau hidup di lingkungan masyarakat buta, mereka akan memaksamu mencungkil mata. Pilihannya cuma dua; pergi, atau buta seperti mereka.
—Twitter, 27 November 2015

Masyarakat tidak bisa tidur tenang jika ada satu saja anggotanya dianggap berbeda. Bukti berapa rapuhnya fondasi pikir dan kehidupan mereka.
—Twitter, 27 November 2015

Ada yang lebih mengerikan dari kebodohan. Yaitu masyarakat yang melembagakan kebodohan sebagai kebiasaan, kelaziman, bahkan kewajiban.
—Twitter, 27 November 2015

Hal yang paling sulit ditoleransi masyarakat bukan apa pun... selain perbedaan.
—Twitter, 27 November 2015

Yang lajang dituntut menikah, yang sudah menikah dituntut punya anak, yang sudah punya anak masih dituntut lagi ini itu. Masyarakat!
—Twitter, 27 November 2015

Satu kampung menikah semua, cuma satu yang memilih tidak menikah. Dan masyarakat tidak bisa tidur tenang. Ironis... dan sangat menyedihkan.
—Twitter, 27 November 2015

Ada hal-hal yang merupakan hak pribadi (pilihan) dan hak kolektif (kebersamaan). Yang menjadi masalah, masyarakat ingin semuanya sama.
—Twitter, 27 November 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Twitter Suka Lebay

Twitter tuh suka lebay. Kalau tweet kita di-retweet atau difavoritkan seseorang, Twitter sampai bela-belain kirim e-mail, cuma ngasih tahu, “Tweet Anda di-retweet si Anu!”

Ya ampuuun, pakai tanda seru segala!

Duh, Twitter. Paling tweet di-retweet seseorang aja hebohnya kayak gitu. Biasa aja napa?

Sabtu, 14 Mei 2016

Pekalongan: Romansa Lalu

Selamat pagi, Pekalongan.
Gerimis membasahi tanahmu sekarang.
@noffret


Saya termasuk generasi yang menyaksikan peralihan Pekalongan dari “tradisional” ke “modern”, dari Pekalongan masa lalu ke Pekalongan masa kini.

Di masa kini, Pekalongan telah menjadi kota modern, dengan segala fasilitas, sarana dan prasarana, yang memungkinkan orang-orang di kota ini menjalani kehidupan modern sebagaimana kota-kota lain. Masyarakat Pekalongan pun—khususnya yang tinggal di daerah perkotaan—perlahan-lahan menjelma menjadi masyarakat modern, meski dalam skala kota kecil.

Kini, saya menulis catatan ini karena tiba-tiba terbayang pada romansa masa lalu, saat saya masih bisa menikmati Pekalongan yang jauh berbeda dengan Pekalongan yang sekarang saya kenal.

Dulu, di Pekalongan ada cukup banyak bioskop, dari yang bertarif murah sampai yang bertarif mahal—Merdeka, Gajah Mada, Atrium, Fajar, Rahayu, Mataram, hingga Garuda. (Semua bioskop itu sekarang sudah tidak ada). Bioskop Fajar termasuk bioskop bertarif murah ketika saya masih awal remaja, dan saya kerap menonton film di bioskop tersebut, khususnya kalau pas ada uang berlebih.

Karena tarifnya sangat murah, Fajar bukan bioskop yang “menyenangkan”. Tidak ada AC di dalam ruangan, kursinya berupa kayu keras yang kadang didiami kutu, dan jadwal putar filmnya sering molor sampai seperempat jam. Selain itu, film-film yang diputar di Bioskop Fajar juga hanya film-film Indonesia. Biasanya, film-film di sana adalah “sisa” dari bioskop-bioskop lain, dan film yang diputar juga hanya itu-itu saja. Artinya, bulan ini Film X diputar, bisa jadi tiga bulan ke depan diputar lagi, dan begitu seterusnya. Hiburan murah meriah, itulah Bioskop Fajar!

Meski sederhana, bioskop itu telah menjadi bagian hidup saya, setidaknya saat saya awal remaja. Melalui Bioskop Fajar, saya mulai memiliki ketertarikan pada film, meski film yang diputar di sana juga itu-itu saja. Saya menjadikan Bioskop Fajar sebagai bioskop favorit waktu itu, terutama karena tarifnya murah. Selain itu, bioskop tersebut juga mengizinkan pengunjung untuk merokok.

Pada masa itu, ada dua bioskop kelas atas di Pekalongan, yang memutar film-film terbaru, dengan tarif puluhan kali lipat lebih mahal dari tarif masuk Bioskop Fajar. Dua bioskop kelas atas itu adalah Gajah Mada dan Atrium. Berbeda dengan Fajar, Gajah Mada dan Atrium menyediakan kursi yang sangat empuk, dengan AC dalam ruangan. Tetapi saya malas masuk ke dua bioskop itu, karena harga tiketnya mahal... dan tidak bisa merokok!

Oh, well, saya masuk ke bioskop dengan tujuan untuk mendapat hiburan. Selama duduk dua jam dalam bioskop dan menyaksikan film, tujuan saya agar terhibur. Kalau selama duduk dua jam itu saya dilarang merokok, itu bukan hiburan. Lebih tepat, itu penyiksaan! Hiburan keparat macam apa yang melarang orang merokok?

Jadi, saya suka Bioskop Fajar. Karena di sana boleh merokok. Juga karena tarifnya terjangkau bagi bocah miskin seperti saya waktu itu.

Melalui Bioskop Fajar pulalah, saya pertama kali mengenal Barry Prima, Advent Bangun, Joseph Hungan, George Rudy, Suzana, Yurike Prastika, Willy Dozan, Johan Saimima, dan aktor-aktris Indonesia lain. Film-film yang sering diputar di Bioskop Fajar adalah film-film “sisa” era 80-an yang pernah berjaya, semacam Jaka Sembung, Si Buta dari Goa Hantu, Pancasona, Warkop DKI, hingga film-film horor Suzana.

Tepat di samping Bioskop Fajar ada bioskop lain, bernama Rahayu. Jika Fajar hanya memutar film-film Indonesia jadul, Rahayu agak “modern”—mereka juga memutar film-film terbaru, Indonesia maupun luar negeri. Tentu saja tarifnya lebih mahal dibanding biaya masuk Bioskop Fajar, meski lebih murah dibanding rata-rata bioskop lain. Sama seperti Fajar, Rahayu juga membolehkan penonton merokok di dalam gedung.

Kalau pas ada uang berlebih, saya juga masuk Rahayu, khususnya kalau film yang diputar tergolong film-film yang saya suka. Misalnya film action Hollywood, atau film-film hot Indonesia masa itu. Heuheuheu....

Dua bioskop itu—Rahayu dan Fajar—menyimpan banyak kenangan masa remaja saya. Sebagai bocah introver yang kurang bisa bergaul, saya sangat menikmati saat-saat datang ke bioskop sendirian, lalu duduk di bagian yang kosong (yang kanan kirinya tidak ditempati orang lain), kemudian khusyuk menyaksikan film sambil merokok. Biasanya, saya pergi dari rumah naik sepeda, lalu menitipkan sepeda di tempat penitipan yang ada di depan Bioskop Fajar.

Ya, tepat di hadapan Bioskop Fajar ada tempat penitipan sepeda, yang dijaga seorang wanita ramah. Karena saya sering menitipkan sepeda di sana, wanita itu pun mengenal saya. Di samping kiri tempat penitipan, ada tempat hiburan dingdong (video game zaman dulu), bernama Majapahit. Jadi, bisa dibilang, kawasan itu merupakan salah satu pusat hiburan di Pekalongan masa lalu. Ketika lebaran, biasanya di seputar tempat itu sangat ramai oleh remaja dan anak-anak muda.

Sementara itu, di samping tempat dingdong, ada toko-toko sederhana yang berderet memanjang—dari toko sembako, rokok, hingga pangkas rambut—dan di depan beberapa toko terdapat penjual jajan tradisional. Saya masih bisa mengingat semua itu, meski pemandangan tersebut telah saya saksikan bertahun-tahun lalu, ketika saya masih awal remaja.

Lalu, suatu hari, Pekalongan mengalami modernisasi.

Mungkin, selama waktu-waktu itu, modernisasi telah mulai merayap di Pekalongan, meski perlahan-lahan. Tetapi, dalam bayangan saya, modernisasi yang paling jelas tampak adalah ketika sebuah gedung mal besar dibangun menghadap alun-alun Pekalongan.

Sebelumnya, di tempat itu terdapat banyak toko sederhana, berderet, bersama penjual es batu, warung bakso, dan lain-lain. Ketika gedung mal akan dibangun di sana, semua toko dan berbagai hal yang menempati wilayah itu pun tergusur—termasuk tempat hiburan dingdong dan tempat titipan sepeda yang pernah menjadi langganan saya. Saya tidak tahu ke mana orang-orang yang tergusur dari sana. Yang saya tahu, sebuah bangunan gedung megah kini berdiri di tempat tersebut.

Ketika gedung mal itu telah berdiri megah, keberadaannya seperti mengejek bioskop Rahayu dan Fajar yang letaknya tepat berhadapan. Itu seperti orang super kaya yang bertetangga dengan gembel. Gedung mal yang sangat megah itu berhadapan dengan Fajar dan Rahayu yang sangat sederhana. Akhirnya bisa ditebak—Rahayu dan Fajar tutup. Dua gedung bioskop yang semula ada di sana lalu dirubuhkan, dan sekarang berganti menjadi gedung pertokoan modern.

Saat pertama kali mengetahui Rahayu dan Fajar ditutup (atau menutup diri), saya sedih setengah mati. Dua bioskop sederhana itu telah ikut membesarkan saya, menemani masa-masa remaja saya yang sepi, memberi banyak pengalaman. Saya sangat kehilangan, ketika akhirnya dua bioskop penuh kenangan itu tutup dan dihancurkan. Lokasi dua bioskop itu kini digantikan bangunan-bangunan modern.

Dalam ingatan saya, peristiwa munculnya bangunan mal megah itulah yang menandai awal modernisasi Pekalongan secara besar-besaran, dan sejak itu Pekalongan berubah dari kota kecil yang bersahaja menjadi kota kecil yang modern.

Tidak lama setelah berdirinya mal megah di tempat itu, muncul mal lain yang tak kalah megah di bagian selatan Pekalongan, dan modernisasi di kota ini pun makin terlihat. Sejak itu, berbagai fasilitas baru dibangun—rata-rata modern dan mewah—yang makin menandai peralihan Pekalongan untuk semakin meninggalkan kesederhanaannya. 

Kini, tempat-tempat yang menyimpan memori masa kecil dan masa remaja saya telah hilang—menjadi puing dan reruntuhan—yang terkubur di balik bangunan-bangunan megah yang menggantikan. Tidak ada lagi Rahayu dan Fajar yang pernah menjadi tempat hiburan murah meriah, tidak ada lagi tempat dingdong yang bersahaja, tidak ada lagi tempat penitipan sepeda yang dijaga seorang wanita ramah, tidak ada lagi toko-toko bersahaja yang bagian depannya dihiasi para penjual jajan tradisional. Tidak ada lagi....

Saya menyadari, kita tak bisa menolak perubahan, tak bisa menghadang modernisasi. Perubahan dan modernisasi yang terjadi di Pekalongan juga terjadi di kota-kota lain. Tetapi, bersama hiruk-pikuk perubahan dan laju modernisasi itu, kadang-kadang hati saya terasa perih saat melewati tempat-tempat yang dulu pernah menemani masa kecil saya, menjadi teman masa remaja... tempat-tempat yang kini telah tak ada lagi.

Semewah apa pun bangunan-bangunan modern yang kini berdiri menggantikan tempat-tempat sederhana di masa lalu, keberadaannya tak pernah mampu menggantikan kenangan yang pernah saya miliki. Di lubuk terdalam hati seorang bocah, selalu ada kenangan-kenangan yang tak pernah bisa diubah. Termasuk kenangan-kenangan sederhana, yang kini diganti bangunan-bangunan megah.

Gara-gara Cium Ketek Pasangan

Cium ketek pasangan adalah hak setiap orang. Tapi mengekspos dan menjadikannya tren adalah sebentuk kebodohan yang menjijikkan.
—Twitter, 5 April 2016

Ada apa dengan generasi masa kini? Hal-hal baik diubah menjadi buruk, dan hal-hal privat yang memalukan diumbar secara terbuka.
—Twitter, 5 April 2016

Peduli disebut kepo. Berusaha ramah dianggap caper. Ingin berteman dituduh social climbing. Hal-hal baik di masa lalu rusak di masa kini.
—Twitter, 5 April 2016

Remaja-remaja di masa lalu merasa malu ketika kepergok pacaran. Remaja-remaja sekarang malu justru karena kepergok tidak pacaran.
—Twitter, 5 April 2016

Siklus hidup orang zaman sekarang: Lahir, sekolah sambil malas-malasan, pacaran, pacaran, pacaran, kawin, ribut, beranak-pinak, tua, mati.
—Twitter, 5 April 2016

Kesibukan sehari-hari remaja sekarang: Bangun pagi, sekolah/kuliah, pacaran, pamer, melakukan hal-hal tolol, tolol, tolol, tolol, tidur.
—Twitter, 5 April 2016

Mungkin ada remaja-remaja zaman sekarang yang otaknya masih waras. Tapi mereka hidup di tengah gempuran dunia dan kultur sosial tak waras.
—Twitter, 5 April 2016

Yang waras selalu minoritas. Dan minoritas, dari waktu ke waktu, semakin minoritas. Dunia makin gila, manusia semakin tak seperti manusia.
—Twitter, 5 April 2016

Dunia masa kini adalah tempat orang-orang terlalu sibuk memikirkan kesan yang tampak di luar, dan tak peduli hal-hal yang ada di dalam.
—Twitter, 5 April 2016

Peradaban masa kini adalah tempat manusia bersuka ria di selokan dangkal, tanpa menyadari bahwa dunia memiliki samudera yang amat dalam.
—Twitter, 5 April 2016

Baru tadi sore posting blog. Gara-gara trending-idiot-topic soal cium ketek ini bikin aku ingin nulis post lagi. Sambil marah-marah.
—Twitter, 5 April 2016

Twitter, dan beberapa ketololan di dalamnya, tampaknya kurang baik bagi kesehatanku.
—Twitter, 5 April 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Cantik di Mataku

Kapan wanita terlihat paling cantik? Di mataku, saat dia terlihat biasa-biasa saja. Kesederhanaan yang bersahaja adalah puncak kecantikan.
—Twitter, 10 Maret 2015

Banyak wanita yang aslinya cantik. Tapi begitu mereka “mengacak-acak” mukanya, kecantikan itu, entah kenapa, hilang dan lenyap.
—Twitter, 10 Maret 2015

Banyak teman wanitaku yang punya kecantikan alami. Tetapi, saat jadi pengantin, dan mukanya “diacak-acak”, kecantikannya hilang sama sekali.
—Twitter, 10 Maret 2015

Kebanyakan wanita di mataku terlihat cantik, justru saat mereka apa adanya, bersahaja, sederhana, dan “mengacak-acak” muka sekadarnya.
—Twitter, 10 Maret 2015

Selera dan definisi cantik bagi pria dan wanita mungkin berbeda, entahlah. Tapi bagiku, cantik adalah saat seorang wanita tampil bersahaja.
—Twitter, 10 Maret 2015

Aku pernah melihat Manohara memakai t-shirt sederhana dan tanpa make up. Dan, percaya atau tidak, dia tampak sepuluh tahun lebih muda!
—Twitter, 10 Maret 2015

Wanita mungkin mempersepsikan cantik dengan bedak dan kosmetik. Sementara pria mempersepsikan cantik dengan sikap, senyum, dan keramahan.
—Twitter, 10 Maret 2015

Cantik saja tak pernah cukup, sebagaimana pintar saja tak pernah cukup. Bagaimana pun, ada hal-hal tak terlihat yang selalu lebih penting.
—Twitter, 10 Maret 2015

Kecantikan, bagiku, adalah perpaduan antara kesederhanaan, sikap bersahaja, senyum dan keramahan, serta hati yang indah.
—Twitter, 10 Maret 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Selasa, 10 Mei 2016

Alergi

L’homme est condamné à être libre.
Sartre


Di rumah, ada beberapa buku saya yang kembar (dobel), karena saya membeli dua kali tanpa sengaja. Buku-buku yang kembar itu tidak terlalu banyak—sebagian tipis, sebagian tebal. Meski jumlahnya tidak banyak, tapi buku-buku itu mubazir, karena saya tentu tidak membaca dua buku yang judulnya sama, penulisnya sama, isinya sama.

Nah, sekitar sebulan lalu, ada orang di Twitter yang berencana mengumpulkan buku untuk disumbangkan. Tweet berisi ajakan menyumbang buku itu di-retweet oleh wanita ini, hingga sampai di timeline saya. Saat mendapati retweet tersebut, saya teringat pada buku-buku dobel di rumah, dan terpikir untuk menyumbangkan.

Maka, suatu hari, saya pergi ke tempat pengiriman barang, dengan sebuah bungkusan berisi buku-buku yang akan saya sumbangkan.

Di tempat pengiriman, tampak beberapa orang sedang antre. Karena tempat duduk terbatas, beberapa orang terpaksa berdiri, termasuk saya. Di depan petugas pengiriman, tampak seorang laki-laki berjenggot, mungkin usianya 35-an atau menjelang 40. Karena saya tidak tahu namanya, kita sebut saja Si Jenggot. Dia duduk di depan seorang petugas wanita yang sedang melayani pengiriman.

Di belakang Si Jenggot, ada seorang wanita, mungkin usianya sekitar 30-an. Wajahnya lembut, dan sepertinya tipe mbakyu. Jadi, kita sebut saja dia Si Mbakyu.

Tepat di belakang Si Mbakyu, ada dua laki-laki, usianya mungkin sekitar 35-an. Dua laki-laki itu berdiri, menunggu antrean. Yang satu berambut klimis, yang satu berambut agak gondrong. Karena saya juga tidak tahu siapa nama mereka, kita sebut saja Si Klimis dan Si Gondrong. Dua laki-laki itu tampaknya berteman, atau setidaknya saling kenal, karena mereka tampak ngemeng-ngemeng sesuatu layaknya dua orang yang saling kenal.

Tepat di belakang Si Klimis dan Si Gondrong, saya berdiri sendirian. Sebut saja saya Si Bocah.

Si Klimis di depan saya menyulut rokok. Baru beberapa isapan, Si Jenggot menengok ke arah Si Klimis, dan menegur, “Mas, tolong rokoknya.”

Si Klimis tampaknya tidak paham maksud Si Jenggot. Dia mungkin mengira Si Jenggot bermaksud meminjam korek api. Jadi, Si Klimis merogoh saku, lalu menyodorkan korek api pada Si Jenggot dengan sikap sopan.

Disodori korek api, Si Jenggot menatap Si Klimis. “Maksud saya, itu asap rokoknya jangan sampai ke sini,” ujar Si Jenggot sambil menampakkan sikap seolah alergi.

Si Klimis kembali memasukkan korek api ke dalam saku. Tapi dia tetap merokok di tempatnya semula, meski tampak berusaha agar asap rokoknya tidak sampai mengganggu Si Jenggot.

Selama beberapa saat, tidak ada kejadian apa-apa. Si Jenggot masih duduk di depan petugas wanita yang mengetik di komputer. Si Mbakyu masih berdiri di belakang Si Jenggot. Si Klimis masih mengisap rokok. Si Gondrong masih berdiri di samping Si Klimis. Dan saya, Si Bocah, masih bernapas dengan baik di belakang mereka.

Beberapa menit kemudian, urusan Si Jenggot selesai. Dia bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah pergi. Si Mbakyu, yang semula ada di belakang Si Jenggot, kini menduduki kursi, dan menghadapi petugas pengiriman barang. Maka, kini tinggallah Si Klimis, Si Gondrong, dan Si Bocah, yang masih berdiri.

Si Klimis berkata pada Si Gondrong, “Laki-laki muda yang sehat tapi alergi dengan asap rokok, seharusnya tinggal saja di rumah... atau di rumah sakit!” Tentu saja yang dia maksud adalah Si Jenggot, yang tadi meminta menjauhkan asap rokoknya.

Si Gondrong tersenyum, memahami maksud Si Klimis. Dia juga berujar, “Mbak ini saja tidak sampai segitunya, ya.” Sambil menunjuk Si Mbakyu yang masih duduk di kursi di hadapan petugas pengiriman barang.

“Kalau orang tadi alergi dengan asap rokokku,” ujar Si Klimis, “sebenarnya aku juga alergi dengan jenggotnya. Tapi aku kan tidak mungkin memintanya memotong jenggot hanya karena aku tidak suka melihat jenggotnya!”

Mungkin analogi itu tidak seratus persen tepat, tapi Si Klimis tampaknya sedang emosi, jadi mungkin tidak sempat memikirkan analogi yang lebih intelek.

Si Gondrong berkata pada Si Klimis, “Kenapa tadi kamu tidak bilang begitu sama orangnya?”

“Karena aku berusaha bersikap sopan,” sahut Si Klimis. Kemudian, setelah mengisap rokoknya, dia melanjutkan, “Kita manusia punya kesukaan dan punya ketidaksukaan. Yang disukai seseorang, belum tentu disukai orang lain. Yang tidak disukai seseorang, bisa jadi disukai orang lain. Seperti asap rokok, atau jenggot. Mungkin dia tidak suka rokok, tapi aku suka. Sebaliknya, dia mungkin suka jenggot, tapi aku tidak suka.”

Si Bocah—maksudnya, saya—diam-diam mendengarkan.

Si Klimis melanjutkan, “Kesadaran dan pengertian semacam itu seharusnya membuat kita saling menghormati. Karena yang tidak kita suka bisa jadi merupakan kesukaan orang lain. Jarakku dengan dia tadi agak jauh, jadi kupikir agak keterlaluan kalau dia mempersoalkan asap rokokku. Wong mbak ini, yang tadi tepat di sebelahku, juga tidak ribut, kok.” Sambil menunjuk Si Mbakyu yang masih duduk di depan petugas pengiriman.

Si Gondrong menyahut, “Iya, orang tadi memang agak keterlaluan.”

Si Klimis melanjutkan ceramah, “Kalau mau bicara soal tidak suka, aku juga punya banyak ketidaksukaan. Aku tidak suka melihat ibu-ibu naik motor matic, karena mereka suka seenaknya sendiri. Aku tidak suka melihat ABG-ABG naik motor, karena mereka pecicilan tapi tidak hati-hati. Dua contoh itu bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Tapi, apa aku harus menghentikan ibu-ibu atau para ABG yang naik motor, hanya karena aku tidak suka pada mereka? Apa iya, aku harus bilang pada mereka, ‘Bu, tolong motornya.’ Atau ‘Dik, tolong motornya.’ Apa iya, aku harus begitu?”

Si Gondrong manggut-manggut, entah paham atau tidak.

Saya masih diam, dan—mau tidak mau—terus mendengarkan.

Si Klimis menampakkan muka mengerut, dan kembali berkata, “Orang kadang terlalu memikirkan diri sendiri, sampai menganggap di dunia ini cuma ada diri sendiri. Semua orang harus sama seperti dirinya, semua orang harus menyukai yang disukainya, semua orang harus tidak suka pada yang tidak dia suka. Semua orang harus sesuai seleranya, dan berharap semua orang menjalani hidup seperti dirinya. Seperti Si Jenggot tadi. Dia mungkin alergi dengan asap rokok, tapi dia mungkin tidak pernah berpikir bahwa orang lain bisa jadi alergi dengan jenggot!”

Si Gondrong menyahut, “Tapi, uhm... jenggot dan asap rokok kan beda?”

“Tentu saja beda!” sahut Si Klimis. “Sungguh aneh kalau kamu berpikir rokok dan jenggot adalah hal sama.”

Diam-diam saya mulai bingung dengan alur logika percakapan itu. Tapi siapalah saya ini, wong saya cuma bocah.

Si Gondrong bertanya, “Jadi, maksudnya gimana? Uhm, maksudku, dua benda itu kan beda? Rokok dan jenggot?”

“Lha iya, beda,” jawab Si Klimis. “Jenggot, rokok, motor, ibu-ibu, ABG, semuanya beda. Karena masing-masing kita memang beda. Itulah kenapa aku bingung campur jengkel, setiap mendapati orang berpikir semua orang harus sama seperti dirinya.”

Si Klimis ini mungkin genius, pikir saya diam-diam.

“Jadi, maksudnya gimana?” tanya Si Gondrong lagi.

“Sederhana,” jawab Si Klimis. “Bahwa kalau dia alergi dengan asap rokokku, aku juga alergi dengan jenggotnya.”

Sebenarnya, Si Klimis mungkin akan melanjutkan ceramah, tapi Si Mbakyu sudah bangkit dari tempat duduk, dan kini giliran Si Klimis yang duduk di kursi, menghadapi petugas pengiriman. Percakapan tingkat tinggi yang saya dengarkan itu pun selesai sampai di situ.

Si Gondrong masih berdiri. Diam.

Saya masih berdiri di dekatnya. Juga diam.

Dalam diam itu, saya terus memikirkan ucapan Si Klimis. Bahwa kalau kita alergi pada seseorang, bisa jadi orang lain sebenarnya juga alergi kepada kita. Mungkin orang lain tidak mengatakan terus terang, karena ingin menjaga sopan santun, khususnya di depan kita. Sebagai bocah, diam-diam saya merasa telah menemukan pelajaran yang sangat berharga.

Bocah yang Mbuh

Dengan nada bangga, seorang bocah berkata pada ibunya, “Mama! Aku ini mbuh!”

Si ibu menatap anaknya dengan bingung, “Kamu mbuh, kok bangga?”

“Soalnya Hoeda Manis juga mbuh, Ma. Makanya aku ingin mbuh.”

“Lhah!” ujar si ibu. “Hoeda Manis kok ditiru! Kayak tidak ada teladan lain yang lebih waras!”

Noffret’s Note: Heran Lagi

Jangan-jangan yang namanya Gunung Galunggung tuh sebenarnya nggak ada, karena aku belum pernah melihat. Jangan-jangan itu cuma “katanya”.
—Twitter, 20 Desember 2015

Heran sama orang-orang yang suka berdebat soal-soal remeh di Twitter. Apa saja diperdebatkan. Nggak sayang waktu dan energi dibuang-buang.
—Twitter, 20 Desember 2015

Kalau ada yang bilang bahwa Amerika sebenarnya tidak ada, ya tidak apa-apa. Wong umpama ada yang bilang aku tidak ada, ya juga tidak apa-apa.
—Twitter, 20 Desember 2015

Prinsipku sederhana. Setiap orang dewasa yang waras bertanggung jawab pada pikiran, ucapan, dan perbuatannya. Soal berbeda, itu hal biasa.
—Twitter, 20 Desember 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Noffret’s Note: Heran

Tidak lama lagi, orang-orang kurang kerjaan akan saling berdebat soal Natal. Tiap tahun saling ribut hal sama, dengan cara yang sama. Heran.
—Twitter, 13 Desember 2015

Waktu datang puasa Ramadan, ribut. Waktu datang hari Natal, ribut. Waktu tahun baru, ribut. Dipahami aja napa? Diam bukan pertanda goblok.
—Twitter, 13 Desember 2015

Kalau ingin tampak pintar, mbok cari hal-hal lain yang lebih segar dan elegan. Bukan meributkan hal-hal usang yang semua orang sudah paham.
—Twitter, 13 Desember 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 08 Mei 2016

Aturan Paling Penting di Dunia

Filosofi hidupku sangat sederhana dan selalu berhasil:
Jangan persulit hal-hal mudah, dan lakukan segalanya
dengan cara paling sederhana.
@noffret


Ketika NASA (badan antariksa Amerika) pertama kali mengirim astronot ke luar angkasa, mereka menghadapi masalah yang sepele tapi tak terbayangkan sebelumnya. Misi pengiriman astronot ke luar angkasa di antaranya adalah mendokumentasikan apa saja yang mereka temukan di luar Bumi. Untuk tujuan itu, para astronot dibekali berbagai sarana dokumentasi, dari kamera canggih sampai kertas dan pulpen untuk corat-coret.

Saat pesawat keluar dari orbit Bumi, para astronot pun melakukan tugasnya. Pada waktu itulah terjadi masalah yang sebelumnya tak terpikir oleh NASA. Pulpen-pulpen yang dibawa para astronot tidak bisa digunakan, karena ketiadaan gravitasi! Dalam keadaan gravitasi nol, tinta dalam pulpen tidak turun mengalir ke mata pena, tapi mengambang ke atas. Akibatnya, semua pulpen yang dibawa tidak bisa digunakan untuk menulis!

Ketika para astronot pulang kembali ke Bumi, masalah itu pun dibicarakan, dan NASA baru menyadari pengaruh gravitasi terhadap pulpen. Fakta penting yang menjadikan pulpen bisa kita gunakan untuk menulis, karena adanya gravitasi Bumi. Karena adanya gravitasi, tinta pulpen mengalir ke bawah—ke mata pena—sehingga pulpen bisa digunakan untuk menulis. Dalam kondisi gravitasi nol, atau tidak ada gravitasi, barang-barang akan melayang atau mengambang ke atas, termasuk tinta dalam pulpen.

Masalah pulpen itu pun sempat membuat para ilmuwan NASA mengalami stres berkepanjangan. Bocah-bocah pintar yang bekerja di NASA membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk memecahkan masalah itu, dan menghabiskan anggaran mencapai 12 juta dollar. Setelah memeras otak, menghabiskan banyak waktu serta biaya, NASA akhirnya berhasil menciptakan pulpen yang dapat digunakan dalam keadaan nol gravitasi.

Pulpen itu sangat canggih, bisa digunakan untuk menulis dalam kondisi apa pun, semisal gravitasi nol. Itulah pulpen yang membutuhkan waktu sepuluh tahun dalam pembuatannya, dan menghabiskan biaya 12 juta dollar, serta melibatkan bocah-bocah paling pintar di NASA untuk proses penciptaannya. Suatu pemborosan sumber daya besar-besaran!

Padahal... ada cara yang jauh lebih sederhana daripada membuang waktu sepuluh tahun dan menghabiskan biaya jutaan dollar.

Ketika Rusia mengirim astronot (kosmonot) mereka  ke luar angkasa, mereka juga mengalami masalah yang sama, seperti yang dialami para astronot Amerika. Pulpen yang mereka bawa tidak bisa digunakan untuk menulis dalam keadaan tanpa gravitasi. Tetapi, berbeda dengan bocah-bocah Amerika yang biasa berpikir rumit, bocah-bocah Rusia berpikir sederhana. Bukannya menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk menciptakan pulpen yang sangat canggih, bocah-bocah Rusia mengganti pulpen dengan pensil!

Dengan mengganti pulpen dengan pensil, para astronot Rusia tetap bisa menulis di luar angkasa, karena pensil tidak menggunakan tinta, sehingga tidak terpengaruh gravitasi. Suatu solusi yang sangat mudah, murah, sederhana, yang seharusnya gampang ditemukan karena sangat mencolok mata. Tapi NASA sampai membutuhkan waktu sepuluh tahun, dan menghabiskan biaya 12 juta dollar untuk mengatasi masalah yang sama!

Apa yang membedakan di sini? Apa perbedaan paling prinsip antara bocah-bocah Amerika dan bocah-bocah Rusia? Pikiran mereka. Cara mereka berpikir.

Bocah-bocah Amerika berpikir rumit. Mungkin karena merasa memiliki sumber daya tak terbatas, mereka pun menginginkan segalanya hebat dan istimewa. Tapi hasilnya adalah pemborosan luar biasa. Sebaliknya, bocah-bocah Rusia berpikir sederhana. Daripada membuang banyak waktu dan biaya, mereka mencari benda lain yang mirip pulpen, tetapi dapat digunakan menulis dalam kondisi nol gravitasi. Ketika mereka berpikir sederhana, mereka pun menemukan jawabannya. Pensil. Sangat mudah.

Kita lihat, suatu masalah bisa dipandang dan dipahami secara rumit, bisa pula dipandang dan dipahami secara sederhana. Suatu masalah bisa diselesaikan secara rumit, bisa pula diselesaikan secara sederhana. Kerumitan membutuhkan banyak sumber daya yang sering kali sangat besar, sementara kesederhanaan membutuhkan sumber daya yang jauh lebih kecil.

Masih ingat catatan saya tentang Membunuh Diri Sendiri? Dalam catatan itu, saya tidak habis pikir bagaimana sesuatu yang seharusnya dapat dilakukan dengan mudah dan sederhana justru dibikin rumit sekaligus sulit. Institusi yang semula ramping berubah menjadi institusi sok birokratis yang bertele-tele, sementara proses perpanjangan STNK yang seharusnya bisa dilakukan dengan sangat mudah justru dibikin rumit dan melelahkan.

Itu contoh-contoh nyata di dunia kita yang sebenarnya konyol sekaligus ironis, karena tampaknya masih banyak orang yang lebih suka berpikir rumit daripada berpikir sederhana. Padahal, kerumitan tidak selamanya terjadi karena sesuatu memang harus rumit. Sering kali, kerumitan terjadi karena kita berpikir rumit! Padahal, seperti yang disebut tadi, kebiasaan berpikir rumit membutuhkan sumber daya yang sangat besar, dan itu pemborosan yang sia-sia.

Pada pertengahan 2015, ada sebuah teka-teki yang viral di internet, yang telah membuat pusing jutaan orang di dunia. Teka-tekinya seperti ini: Berapakah angka yang terdapat pada bagian yang kosong berikut: 16, 06, 68, 88, ..., 98.

Seperti yang kita lihat, teka-teki itu sederhana. Tetapi teka-teki itu telah membuat pusing jutaan orang di dunia, dari orang awam sampai para pakar matematika! Siang malam jutaan orang berpikir mencari-cari jawabannya, dan teka-teki itu semakin viral, tapi belum juga ada yang bisa menemukan jawabannya. Oh, well, kalian juga boleh ikut menebak angka berapakah yang seharusnya ada pada bagian kosong (yang ditandai titik-titik itu). Ada yang tahu?

Teka-teki tersebut benar-benar membuktikan bahwa sebagian besar orang memang terbiasa berpikir rumit. Karena mereka berpikir rumit, mereka pun menghadapi teka-teki itu dengan sistem perhitungan yang sama rumit. Sekilas, deretan angka pada teka-teki tersebut mirip logika matematika atau aljabar yang membutuhkan perhitungan kompleks atau sangat rumit, dan mereka pun terus menghitung, mencari, menghitung, mencari, menghitung, mencari, dan begitu terus sampai goblok.

Padahal, jawabannya sangat sederhana.

Untuk mengetahui angka berapa yang seharusnya ada pada titik-titik di deretan angka di atas, yang harus kita lakukan pertama-tama adalah membalik deretan angka tersebut. Mari kita ulangi teka-teki di atas: Berapakah angka yang terdapat pada bagian yang kosong berikut: 16, 06, 68, 88, ..., 98.

Deretan angka di atas adalah 16, 06, 68, 88, ..., 98. Percaya atau tidak, sampai kiamat pun angka yang dicari tidak akan ketemu! Agar angka yang dicari bisa ditemukan, kita harus membalik deretan angka itu menjadi: 86, ..., 88, 89, 90, 91.

See...? Begitu deretan angka itu dibalik, seketika jawabannya muncul di depan mata. Yaitu 87. Sangat mudah, dan sederhana. Tapi karena kebanyakan orang terbiasa berpikir rumit, mereka pun tidak juga menemukan jawabannya. Padahal, sekali lagi, kebiasaan berpikir rumit memboroskan banyak sumber daya. Sebaliknya, berpikir sederhana akan menghemat banyak sumber daya. Dalam bisnis atau dalam pekerjaan, kesederhanaan bahkan menjadi salah satu faktor kesuksesan!

Ingatlah selalu aturan penting ini: Manusia selalu menjauhi kesulitan, dan membutuhkan kemudahan. Untuk dapat memberikan kemudahan, kita harus menyederhanakan hal-hal yang sebelumnya mungkin sulit. Untuk dapat menyederhanakan hal-hal sulit, pertama-tama kita harus berpikir sederhana.

Gojek adalah salah satu contoh nyata—sekaligus berhasil—dalam menerapkan aturan penting ini. Sebelumnya, saat membutuhkan ojek, orang harus pergi ke pangkalan ojek, lalu tawar menawar harga terkait jarak tempuh. Kadang-kadang, ojek sulit ditemukan, karena kebetulan para pengojek sedang mengantar orang lain, sehingga orang yang membutuhkan jadi kebingungan.

Masalah itu dipecahkan oleh Gojek dengan menggunakan rumus di atas—pecahkan masalah dengan cara sederhana! Hasilnya, dengan Gojek, orang cukup menggunakan ponsel saat membutuhkan ojek, dan ojek yang dibutuhkan pun datang ke rumah. Mudah, sederhana, menyenangkan. Dan apakah Gojek berhasil? Kita tahu jawabannya! Kesederhanaan selalu menang!

Di AS, ada usaha rintisan (start up) bernama Magic. Perusahaan itu memberi layanan bagi penggunanya untuk dapat memesan apa pun, dari makanan, belanja harian, tiket pesawat, booking hotel, sebut apa pun. Dalam waktu singkat, start up itu meroket, karena keberadaannya memecahkan masalah dengan cara sederhana. Orang-orang tinggal menggunakan ponsel, menyampaikan keinginan, dan yang diinginkan segera terpenuhi.

Di Indonesia, sistem tersebut diadopsi oleh beberapa start up lokal, yang salah satunya YesBoss. Mereka memberi layanan mirip asisten pribadi virtual yang bisa memproses apa pun yang diinginkan pengguna. Cukup sebutkan keinginanmu lewat SMS, dan mereka akan membereskannya. Untuk mendapatkan apa pun, orang tidak lagi perlu keluar rumah dan kelayapan sambil pusing. Cukup SMS, dan keinginan terpenuhi. Mudah, simpel, sederhana. Dan bisnis itu berhasil, karena orang-orang selalu menyukai hal-hal mudah yang sederhana!

Bernard Baruch, bocah yang dikenang sebagai pemikir cemerlang di Amerika, pernah mengatakan, “Kunci sukses di dunia ini adalah memberikan yang dibutuhkan orang lain.” Sekarang, saya ingin menambahkan, “Kunci sukses di dunia ini adalah memberikan sesuatu yang dibutuhkan orang lain... dengan cara sederhana!”

Itulah aturan penting sekaligus faktor utama dalam meraih kesuksesan dalam bidang apa pun. Cari dan temukan hal-hal yang dibutuhkan banyak orang... lalu berikan itu dengan cara sederhana! Semakin sederhana, semakin baik. Semakin mudah orang-orang menggunakan layanan kita, semakin baik. Karenanya, para pemikir hebat bukan mereka yang senang mempersulit sesuatu, melainkan yang mampu mengubah hal-hal sulit menjadi sederhana.

Kesederhanaan, itulah aturan paling penting di dunia. Kesederhanaan menjadikan hal-hal sulit menjadi mudah, dan orang selalu menyukai kemudahan. Jika kunci keberhasilan dalam bisnis apa pun adalah memberikan yang disukai banyak orang, maka berikanlah kesederhanaan. Mudahkan, jangan persulit. Sederhanakan, jangan dibikin rumit!

Jika Bisa Dilakukan dengan Mudah, Kenapa Harus Dipersulit?

Ada yang lelah, capek, stres, gagal, dan frustrasi, karena dibuat sendiri. Sudah diberi cara yang mudah, tapi memilih cara yang sulit.
—Twitter, 24 Desember 2015

Ada teman ngajak pergi dari Semarang ke Jakarta naik motor. Mungkin itu menyenangkan, tapi juga pasti melelahkan. Aku memilih naik travel.
—Twitter, 8 Februari 2016

Ada orang mati-matian naik genteng demi membetulkan genteng bocor, padahal takut ketinggian. Kok susah amat? Aku lebih suka manggil tukang.
—Twitter, 8 Februari 2016

Ada orang mau memberi sesuatu, tapi dengan aneka syarat sulit. Ngapain? Di rumah pun, aku bisa mendapatkan yang semacam itu dengan mudah.
—Twitter, 8 Februari 2016

Ada cewek bilang, “Aku mau jadi pacarmu, tapi kamu harus lakukan hal-hal sulit ini.” | Dia tidak mikir, apakah aku memang mau jadi pacarnya.
—Twitter, 8 Februari 2016

Bahkan untuk hal-hal yang jelas mudah pun aku kadang masih mikir untuk melakukan, apalagi untuk hal mudah yang dibikin sulit dan rumit?
—Twitter, 8 Februari 2016

Di dunia ini ada banyak hal yang memang benar-benar sulit. Karenanya, sungguh tolol jika kita mengubah hal-hal mudah menjadi sulit.
—Twitter, 8 Februari 2016

Orang mau bekerja keras dengan harapan hidup bisa lebih mudah. Kalau bisa lebih mudah, kenapa harus mempersulit diri untuk hal-hal mudah?
—Twitter, 8 Februari 2016

Jangan pernah mempersulit sesuatu yang bisa didapatkan orang dengan mudah. Karena itu sungguh tolol sekaligus konyol.
—Twitter, 8 Februari 2016

Prinsip hidupku sangat mudah dan sederhana: Jangan persulit hal-hal mudah, dan lakukan segalanya dengan sederhana.
—Twitter, 8 Februari 2016

Waktu luangku sangat... sangat sedikit. Karena itu aku sangat... sangat membenci hal-hal mudah yang dibikin sulit.
—Twitter, 17 Oktober 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Perbedaan Cowok Biasa, Cowok Gentle, dan Bocah

Cowok biasa: “Besok, kamu ada acara?”

Cowok gentle: “Besok kita kencan, ya.”

Bocah: “Aku tidak punya waktu untuk hal-hal tolol kayak gitu!”

Rabu, 04 Mei 2016

Usia 30

Doa hari ini: 
“Tuhan, kalau bisa, tolong jadikanlah aku Magneto.”


Kemarin saya ultah, dan—sungguh menyedihkan—saya justru terbaring sakit. Bukan sakit berat, sih. Cuma meriang, kepala pening, perut melilit, badan panas dingin, mungkin efek kurang istirahat dan makan yang tidak teratur. Seminggu terakhir saya memang tidak makan nasi sama sekali, gara-gara sulit menemukan nasi keras. Oh, well, Indonesia tampaknya sedang mengalami darurat nasi keras!

Karena sakit itu pula, saya pun hanya berbaring-baring di tempat tidur. Sesekali bangun untuk bikin minum. Namanya orang sakit, mau makan apa pun rasanya pahit. Karena tidak makan, badan pun rasanya lemas, dan malas mau ngapa-ngapain. Jadi, seharian kemarin saya hanya malas-malasan di tempat tidur, sesekali buka ponsel untuk membalas pesan, sesekali menerima telepon yang masuk, sesekali juga iseng baca timeline Twitter.

Setelah capek main ponsel, saya hanya berbaring diam sambil merasakan kondisi tubuh yang tak karuan. Sempat terpikir untuk pulang ke rumah orangtua, biar ada nyokap yang ngurusin. Tapi kemudian saya berpikir, “Kok cemen amat!”

Jadi, dengan sok gagah, saya pun memaksakan diri untuk tetap bertahan di rumah sendirian. Meski hanya bisa berbaring-baring dengan tubuh tak karuan. Untuk melupakan rasa tak enak badan, saya menyibukkan diri untuk berpikir. Saat pikiran sangat aktif, saya bisa melupakan banyak hal, termasuk kondisi tubuh yang tidak fit. Ketika sedang berpikir itulah, saya teringat pada seseorang....

Bertahun yang lalu, saya bercakap-cakap dengan seseorang yang saya hormati. Dia lelaki yang usianya jauh di atas saya, namun kami saling kenal karena dipertemukan dalam suatu proyek yang kebetulan kami kerjakan bersama. Waktu itu dia berulang tahun ke-34, dan saya kebetulan datang ke rumahnya. Saya sebut “kebetulan”, karena waktu itu saya tidak tahu dia ultah. Lagi pula, dia juga tidak pernah memberitahukan tanggal ultahnya pada siapa pun.

Yang jelas, dia senang mendapati saya datang. Lalu kami bercakap-cakap di rumahnya yang sepi, sambil minum teh dan merokok. Sewaktu bercakap-cakap itulah, dia baru menceritakan kalau waktu itu kebetulan pas hari ultahnya.

Topik percakapan kami pun lalu bergeser ke topik ulang tahun. Waktu itu, saya memberanikan diri bertanya, kenapa dia belum mikir perkawinan, mengingat usianya sudah 34 tahun. Saya tahu dia lelaki normal, dalam arti menyukai lawan jenis. Tetapi, sejauh yang saya lihat—waktu itu—dia tidak pernah dekat dengan wanita, bahkan sepertinya tidak menunjukkan minat pada perkawinan. Biasanya, dia hanya tersenyum saat ada yang menanyakan hal itu.

Ketika saya bertanya kepadanya mengenai hal itu, dia juga tersenyum. Lalu bertanya kepada saya, “Berapa umurmu saat ini?”

Waktu itu usia saya 24 tahun. Jadi, itulah yang saya katakan kepadanya.

“Dua puluh empat tahun,” ujarnya mengangguk-angguk. “Wajar...”

“Wajar bagaimana?” tanya saya bingung.

“Ya wajar, kalau kau bertanya seperti itu kepadaku.” Setelah terdiam sesaat, dia melanjutkan, “Kelak, setelah usiamu melewati 30 tahun, dan kau telah menyadari arti hidup seutuhnya, dan telah menemukan visi hidupmu yang sejati, kau tidak akan heran mengapa aku tidak tertarik pada perkawinan.”

“Kau mau menjelaskan?”

Dia tersenyum. “Tentu saja aku mau menjelaskan. Yang masih jadi persoalan, apakah kau siap mendengarkan sesuatu yang mungkin akan menyakiti perasaanmu?”

“Well, sepertinya aku tak punya pilihan.” Setelah menyeruput minuman dalam gelas, saya menatapnya, dan berkata, “Aku mendengarkan.”

Dia menyulut rokok baru, mengisapnya sesaat, kemudian berkata perlahan-lahan, “Dulu, saat usiaku masih dua puluhan, aku tak jauh beda denganmu, atau dengan orang-orang lain. Masih berpikir bahwa perkawinan adalah hal penting dalam hidup, bahkan paling penting. Karena itulah, waktu itu pikiranku juga sangat tersita oleh bayangan perkawinan dan tetek bengeknya. Tetapi, puji Tuhan, aku diselamatkan oleh berbagai kesibukan, hingga selama waktu-waktu itu aku tidak sempat menjalin hubungan dengan wanita mana pun, meski ada banyak kesempatan untuk itu. Saat aku akhirnya memasuki usia 30, dan melewatinya, aku mulai menyadari sesuatu yang sebelumnya tak kusadari... bahwa perkawinan, ternyata, tak sepenting yang kubayangkan sebelumnya.”

Dia mengisap rokoknya kembali, lalu melanjutkan, “Setelah aku melewati usia 30, dan pikiran serta jiwaku benar-benar dewasa—hingga aku bisa menatap kehidupanku seutuhnya—aku seperti disadarkan bahwa ada hal lain yang lebih penting dibanding sekadar kawin. Saat aku melewati usia 30, dan aku telah menemukan tujuan hidupku yang sebenarnya, aku pun bersyukur bahwa aku tidak sempat menikah, hingga aku bisa mencurahkan semua energi dan hidupku untuk sesuatu yang benar-benar kuanggap penting dalam hidup. Well, sekarang, seperti yang kaulihat, aku belum atau tidak menikah. Tetapi, Tuhan tahu, aku justru mensyukuri kenyataan ini. Aku bahkan sering membayangkan akan jadi apa sekarang kalau dulu aku menikah.”

Saya menyahut, “Artinya, kau sekarang memilih untuk tetap tidak menikah.”

“Ya,” dia menjawab. “Aku memilih tidak menikah, karena kini aku menyadari bahwa hidup tidak sekadar kawin dan beranak pinak. Itu kesadaran yang baru kuperoleh setelah usiaku melewati 30 tahun. Sebelumnya, aku sama sekali tidak menyadari kenyataan itu. Seperti yang kubilang tadi, saat usiaku masih 20-an, aku juga tak jauh beda dengan kebanyakan orang lain—berharap menemukan pasangan, lalu menikah, dan semacamnya. Bahkan saat usiaku hampir 30 tahun, aku tetap belum menyadari kenyataan penting itu. Karenanya, ketika akhirnya aku melewati usia 30, dan mulai menyadari semua ini, aku merasa seperti orang buta yang tiba-tiba bisa melihat. Seluruh perspektifku berubah, semua yang kuyakini tiba-tiba bergeser, dan dunia yang semula kukira sempit tiba-tiba kudapati begitu luas. Lalu, dengan kesadaran baru itu, aku seperti berpikir, ‘kenapa dulu aku tidak menyadari kenyataan penting ini?’”

“Dan kau telah menemukan jawabannya?” tanya saya penasaran.

“Ya,” dia mengangguk. “Saat aku berusia 20-an, bahkan saat menjelang usia 30, aku masih terbutakan oleh keyakinan bahwa perkawinan adalah hal paling penting dalam hidup. Pikiranku baru terbuka seutuhnya setelah aku melewati usia 30. Kau tanya, kenapa? Jawabannya sederhana, karena tuntutan evolusi—kalau kau paham maksudku. Saat berusia 20-an, kita belum bisa berpikir seutuhnya menggunakan otak dan akal sehat, karena masih dipengaruhi oleh tuntutan evolusi, terkait keberadaan kita sebagai makhluk hidup. Karena itu pula, orang sedang dalam keadaan panas-panasnya ketika berusia 20-an. Dalam kondisi semacam itu, kita tidak bisa mengklaim berpikir secara sehat dengan akal waras. Kenyataannya, kebanyakan kita juga menikah pada usia 20-an, atau setidaknya akhir 20-an. Dan ketika itu terjadi, tuntutan evolusi menang. Karena ada yang menang, tentu ada yang kalah. Apa atau siapa yang kalah? Akal sehat.”

Saya terdiam sesaat, lalu berujar, “Pemaparanmu terdengar muram.”

Dia tersenyum. “Itulah kenapa, sejak awal aku sudah mengingatkanmu, bahwa yang akan kukatakan bisa menyinggung perasaanmu. Kau, seperti kebanyakan orang lain yang berusia 20-an, kemungkinan besar belum berpikir sejauh itu. Tetapi, aku yakin—atau setidaknya berharap—kau akan tiba pada pemikiran itu saat kau sampai pada usiaku.”

“Aku tidak yakin...”

Senyumnya makin lebar. “Aku tahu siapa dirimu, aku mengenalmu seutuhnya. Kau pembelajar yang tekun, dan kau berani menentang dominasi mayoritas. Mari kita buat permainan kecil-kecilan. Jika kelak kau bermaksud menikah, cobalah tunggu sampai usiamu 30 tahun. Setelah kau melewati usia krisis itu, lihat dirimu sendiri, dan tanyakan pada akal sehatmu, apakah perkawinan benar-benar penting bagimu. Jika waktu itu kau benar-benar menganggap perkawinan penting dilakukan, maka menikahlah. Aku akan datang ke acara perkawinanmu, dan aku akan ikut senang untuk kebahagiaanmu. Tetapi...”

Setelah hening sejenak, dia melanjutkan, “Tetapi, aku yakin, saat itu—setelah usiamu melewati 30 tahun—kau telah menemukan sesuatu yang jauh lebih penting dari perkawinan, dan tiba-tiba menyadari perkawinan tidak penting lagi. Saat itu, bersama visi baru dalam hidupmu, kau akan tahu—benar-benar tahu—apa yang kauinginkan dalam hidupmu.”

Kalimat itu benar-benar tepat seperti ramalan.

Ketika percakapan itu terjadi, usia saya 24 tahun. Tiga tahun kemudian, ketika memasuki usia 27, saya mulai menemukan sesuatu yang sangat penting dalam hidup, dan sejak itu pikiran saya mulai terlena dari urusan pacaran dan perkawinan. Saat saya akhirnya memasuki usia 30 tahun, seluruh pikiran, jiwa, dan hidup saya benar-benar sudah terlupa pada urusan perkawinan, karena saya telah menemukan sesuatu yang jauh... jauh lebih penting dari sekadar perkawinan.

Sejak itulah, saya kehilangan minat pada perkawinan, dan tidak lagi menganggapnya penting, karena saya telah menemukan sesuatu yang jauh lebih penting. Kini, saat usia saya telah mencapai 30 tahun, saya pun tahu apa yang sebenarnya paling saya inginkan dalam hidup, dan itu... oh, well, bukan perkawinan.

Twitter, Satu Tahun yang Lalu

Ini malam sempurna yang telah kuangankan sejak setahun lalu, waktu seharusnya sedang berbincang denganmu.

Noffret’s Note: Tua

Yang masih muda kadang tak sadar kelak akan menua. Yang sudah tua kadang lupa mereka dulu pernah muda. Manusia.
—Twitter, 5 November 2015

Saat masih muda, menghabiskan hidup untuk bersenang-senang. Ketika sudah tua, sibuk memunguti remah-remah egonya yang hilang. Menyedihkan.
—Twitter, 5 November 2015

Banyak orang tua yang telah lama mati, selagi mereka masih sibuk membangga-banggakan usianya.
—Twitter, 3 Desember 2015

Aku lebih menghormati bocah yang jujur mengakui kebodohannya, daripada orang tua yang merasa bijaksana hanya karena berusia tua.
—Twitter, 3 Desember 2015

Orang-orang tua yang hanya bisa membanggakan usianya, sama menyedihkan dengan anak-anak muda yang hanya membanggakan kemudaannya.
—Twitter, 3 Desember 2015

Banyak orang tua yang kecewa pada masa mudanya sendiri. Mereka menebus kekecewaannya dengan menjadi sok bijak yang suka menasihati.
—Twitter, 3 Desember 2015

Tak ada yang lebih menyedihkan di dunia ini, selain orang-orang tua yang sibuk memberi nasihat yang tak bisa dilakukannya sendiri.
—Twitter, 2 Desember 2015

Mungkin memang benar, orang-orang baik mati muda. Sebagian orang yang hidup sampai usia tua tak punya apa-apa selain ego karena merasa tua.
—Twitter, 26 Juni 2015

Usia tidak menjamin seseorang menjadi manusia. Anak-anakmu kadang lebih tua darimu, dan kau kadang lebih kekanakan dari anak-anakmu.
—Twitter, 4 November 2015

Dua hal paling menyedihkan: Anak-anak muda yang merasa diri paling benar, dan orang-orang tua yang mengais remah-remah egonya yang hilang.
—Twitter, 4 November 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 01 Mei 2016

Rangga, Cinta, dan Persoalan Manusia

Benci dan cinta itu kacamata. Cara kita melihat segalanya.
Bahkan cara menilai, menafsir, serta menggunakan prasangka.
@noffret


Empat belas tahun yang lalu, pada 2002, film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) dirilis, dan menjadi salah satu tonggak penting kebangkitan film Indonesia yang sedang lesu. Film itu mengisahkan Cinta (Dian Sastro) yang awalnya bermusuhan dengan Rangga (Nicholas Saputra), dan diakhiri saling jatuh cinta.

Secara keseluruhan, film itu bisa dibilang biasa-biasa saja, setidaknya menurut saya yang lebih suka nonton film action. Tetapi, ada sesuatu di film AADC yang sampai saat ini terus mengusik-usik pikiran. Saya telah menonton AADC bertahun-tahun lalu, tapi sesuatu dalam film itu terus mengusik pikiran hingga sekarang. Karenanya pula, sekarang saya ingin menuliskannya di sini.

Rangga dalam AADC adalah sosok introver yang kurang bisa berinteraksi dengan orang lain. Dia lebih akrab dengan buku (dan penjual buku) daripada dengan teman-temannya di sekolah. Itu tak bisa dilepaskan dari latar belakangnya yang hanya hidup bersama sang ayah, tanpa ibu. (Latar belakang keseluruhan Rangga dan ayahnya bisa kalian tonton sendiri di AADC).

Sementara itu, Cinta dalam AADC adalah cewek cantik dan gaul yang dipuja banyak cowok. Dia juga aktif di majalah dinding sekolah bersama teman-teman ceweknya. Dia berasal dari keluarga kaya, dan—kalau tak keliru—juga anak tunggal. Kita bisa membayangkan, Cinta adalah tipe cewek populer di sekolah, yang dikagumi (juga dicemburui) sesama cewek, sekaligus membuat banyak cowok tergila-gila.

Dua orang itu—Rangga dan Cinta—dipertemukan di sekolah, dengan segala latar belakang yang berbeda, gaya berbeda, dan cara berpikir yang berbeda. Apa hasilnya? Tepat seperti yang digambarkan dalam AADC!

Tanpa harus menonton ulang, saya masih ingat ucapan-ucapan Cinta yang dimaksudkan untuk Rangga, saat ia bersama teman-temannya di markas majalah sekolah. Ada banyak tuduhan Cinta terhadap Rangga, dari sok tua, sok pintar, sombong, merasa tinggi, dan lain-lain. Gara-garanya sepele, Rangga menolak diwawancarai majalah yang dikelola Cinta, berkaitan dengan kemenangannya dalam lomba puisi di sekolah.

Sikap Rangga yang dingin, dan penolakannya terhadap wawancara yang ditawarkan Cinta kepadanya, membuat Cinta membenci Rangga. Itu crucial point dari AADC yang terus mengusik-usik pikiran saya.

Jadi, Cinta membenci Rangga. Mari kita bertanya, kenapa Cinta membenci Rangga? Kita tahu jawabannya, karena Cinta tidak memahami Rangga.

Puisi milik Rangga, yang memenangkan perlombaan di sekolah, tidak pernah dikirim oleh Rangga. Puisi itu dikirim oleh tukang sapu di sekolah yang kebetulan akrab dengan Rangga, dan pengiriman puisi itu tanpa sepengetahuan Rangga. Dengan kata lain, Rangga tidak pernah berpikir untuk mengirimkan puisinya untuk lomba, apalagi sampai berharap menjadi pemenang dalam lomba tersebut. 

Ketika akhirnya puisi Rangga menjadi juara, Rangga pun sama sekali tidak bangga. Ingat, dia seorang introver, bukan tipe anak muda yang suka menjadi pusat perhatian dan ingin populer. Jadi, ketika Cinta bermaksud mewawancarainya, Rangga menolak. Karena Rangga lebih suka jujur pada diri sendiri, daripada menjadi munafik. Dia tahu kemenangan itu bukan keinginannya, bahwa dia tidak pernah mengirimkan puisinya untuk lomba, dan dia sama sekali tidak bangga dengan kemenangan itu.

Sikap Rangga dengan jelas menunjukkan kepribadiannya, dan cara serta alur pikirannya. Tetapi, sayang, Cinta tidak memahami hal itu. Sebagai cewek gaul yang populer di sekolah, Cinta berpikir menggunakan perspektif dirinya sendiri, dan hasilnya pun sangat keliru. Bukannya berusaha memahami, yang dilakukan Cinta justru menghakimi. Karena itulah, kemudian, Cinta sempat memaki-maki Rangga di depan teman-temannya di markas majalah sekolah.

Yang dilakukan Cinta, sebenarnya, juga dilakukan banyak orang, termasuk kita. Sebagai manusia, kita lebih tahu cara menghakimi daripada memahami. Tentu saja yang dilakukan Cinta sangat dangkal, karena hanya menilai Rangga dari permukaan. Tetapi, begitu pula yang dilakukan kebanyakan kita yang suka menghakimi. Sama-sama dangkal, karena kita lebih suka menilai hanya dari melihat permukaan.

Orang lain melakukan sesuatu yang kita nilai berbeda dengan kita, dan kita pun langsung bereaksi. Orang lain menyatakan sesuatu yang kita anggap berbeda dengan kita, dan kita pun langsung menghakimi. Bahkan, orang lain tidak melakukan apa-apa, dan kita anggap “tidak melakukan apa-apa” sebagai hal berbeda dengan kita, lalu kita pun melancarkan berbagai tuduhan karena dia tidak melakukan apa-apa.

Betapa mudah menghakimi orang lain, dan betapa sulit memahami orang lain. Kita lebih tahu cara menumbuhkan sikap curiga, prasangka, dan melahirkan asumsi, daripada mencoba memahami sebelum menghakimi. Padahal, setiap orang memiliki latar belakang berbeda, cara berpikir berbeda, pengalaman berbeda, perjalanan hidup berbeda. Tetapi, saat menghadapi perbedaan, kita tak pernah siap, bahkan ketika perbedaan yang dihadapi hanya sekadar perbedaan sikap dan pikiran.

Ada seorang blogger, kita sebut saja Si A. Selama bertahun-tahun, Si A hanya menulis pengalaman hidupnya sendiri. Dia tidak pernah mengurusi masalah politik, sosial, budaya, agama, atau apa pun. Dia murni menggunakan blognya untuk menuangkan perjalanan hidupnya sendiri. Hanya karena itu, ada orang yang menuduh Si A “individualis” yang tidak pernah memikirkan apa pun selain diri sendiri.

Ada blogger lain, kita sebut saja Si B. Jika Si A lebih suka menulis pengalaman hidupnya, Si B aktif menulis banyak hal di luar diri sendiri. Jadi, Si B menulis tentang politik, budaya, pendidikan, isu-isu sosial, dan lain-lain. Si B menulis di blognya sendiri, mencoba memahami berbagai isu yang ada dengan perspektifnya sendiri. Dan, karena itu, ada orang menuduh Si B “suka ngurusin hal-hal yang bukan urusannya”.

Betapa sulit menjadi manusia, kalau dipikir-pikir. Dan betapa mudah menghakimi orang lain. Yang menulis tentang diri sendiri dituduh individualis, sementara yang aktif menulis banyak hal dituduh mencampuri urusan orang lain. Oh, well, betapa sulit menjalani kehidupan sebagai manusia. Dan betapa sulit menghindarkan diri dari prasangka serta tuduhan dangkal, karena banyaknya orang yang menghakimi tanpa memahami.

Seperti Cinta dalam AADC, banyak orang di sekitar kita yang sangat tahu menilai orang lain hanya sekadar dari permukaan. Seperti Cinta dalam AADC, kita hidup di tengah banyak orang yang lebih tahu cara menciptakan prasangka, tuduhan, dan kecurigaan. Seperti Cinta dalam AADC, kebanyakan kita adalah makhluk-makhluk yang lebih tahu cara menghakimi daripada memahami.

Padahal, penghakiman tanpa pemahaman selalu melahirkan vonis kepagian. Bahkan ketika seorang terdakwa diajukan ke muka pengadilan karena tuduhan pembunuhan, dan perbuatan itu telah disaksikan banyak orang, serta terbukti kuat, si terdakwa tetap memiliki hak untuk menjelaskan, dan hakim di pengadilan juga memiliki kewajiban untuk mendengarkan. Hakim di pengadilan tidak bisa—dan tidak akan pernah bisa—memutuskan keadilan, jika tidak tahu keseluruhan masalah yang dihadapinya.

Ketika Cinta mulai mengenal Rangga dalam AADC, memahami latar belakang hidupnya, mencoba mengerti alur pikirannya, dan berhenti menghakimi, Cinta pun mulai bisa memahami Rangga seutuhnya. Bahwa sosok yang ia tuduh sombong itu hanyalah bocah terluka yang kesepian dalam kesendirian, bahwa orang yang ia benci karena bersikap dingin itu adalah sosok baik yang kurang bisa berinteraksi dengan orang lain. Ketika pemahaman terbentuk, penghakiman hilang, kebencian pun berubah menjadi cinta.

Oh, well, kita tahu, Cinta kemudian jatuh cinta pada Rangga. Dia jatuh cinta pada Rangga, setelah berhenti menghakimi, dan mulai belajar memahami. Bahwa Rangga berbeda dengan dirinya, dan itu—ternyata—bukan masalah yang layak dihakimi. Bahwa Rangga memiliki latar belakang berbeda dengan dirinya, dan itu—ternyata—bisa dipahami.

Ada banyak dari kita yang seperti Rangga, pria maupun wanita. Juga banyak dari kita yang seperti Cinta, pria maupun wanita. Yang masih jadi persoalan, berapa banyakkah dari kita yang mau belajar memahami sebelum menghakimi?

Hitam dan Putih

“Da’.”

“Apeu?”

“Kenapa kamu suka pakai baju hitam?”

Saya tersenyum. “Karena aku lebih nyaman pakai baju hitam atau gelap.”

Dia ikut tersenyum. “Kalau tak perhatiin, kamu suka yang hitam-hitam, ya?”

“Jadi, kamu suka merhatiin aku?”

Sekarang dia ngikik. “Jadi, bener kamu suka yang hitam-hitam?”

“Kenapa kamu nyimpulin gitu?”

“Aku sering lihat kamu pakai t-shirt hitam. Sepatu dan tas yang kadang kamu bawa juga berwarna hitam. Tempo hari, waktu kita beli es krim, kamu pilih Magnum Black. Terus, aku lihat kamu suka karamel hitam, dan sering makan dark chocolate. Di rumah, kamu selalu minum teh hitam. Bahkan, saat kita ngobrol sekarang, kulihat bungkus rokokmu berwarna hitam. Jadi, bener kamu suka yang hitam-hitam?”

“Hmm... nggak juga. Sebenarnya, aku juga suka yang putih-putih.”

....
....

Lalu ingin terjerumus.

Klaus Meine dan Scorpions

Suara Klaus Meine tuh magic.
—Twitter, 31 Desember 2015

Lagu apa pun jadi terdengar bagus kalau dinyanyikan Klaus Meine.
Mungkin dia wali.
—Twitter, 31 Desember 2015

Dari begitu banyak lagu Scorpions, kayaknya nggak ada yang buruk.
Cakep semua. Dan evergreen. Well, itu ajaib.
—Twitter, 31 Desember 2015

Pemilik suara magic seperti Klaus Meine mungkin hanya lahir di Bumi
dua ratus tahun sekali. Aku bersyukur hidup sezaman dengannya.
—Twitter, 31 Desember 2015

Separuh penduduk Bumi mungkin hafal lagu Wind of Change.
Untuk ukuran anak band, itu sangat menakjubkan.
—Twitter, 31 Desember 2015

Dunia pasti kurang lengkap jika tidak ada Scorpions dan Klaus Meine.
—Twitter, 31 Desember 2015

Menyanyikan lagu-lagu keras maupun lembut, suara Klaus Meine tetap enak didengar.
—Twitter, 31 Desember 2015

Dari semua lagu Scorpions, paling suka Send Me An Angel.
Liriknya sangat indah, puitis, dan melodius. Itu seperti puisi yang dinyanyikan.
—Twitter, 31 Desember 2015

Here I am / Will you send me an angel / Here I am / In the land of the morning star.
—Scorpions, Send Me An Angel
—Twitter, 31 Desember 2015

The wise man said just find your place / In the eye of the storm /
Seek the roses along the way / Just beware of the thorns.
—Send Me An Angel
—Twitter, 31 Desember 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 
 
;