Sabtu, 20 Februari 2021

Kita Semua Berubah

Kita lebih mudah melihat perubahan orang lain,
tapi sulit menyadari perubahan diri sendiri. 
Saat kita mulai sadar, segalanya telah berubah.


“Apa film paling sedih menurutmu?” Meski ditanyakan pada orang yang sama, pertanyaan itu bisa menghasilkan jawaban berbeda, tergantung kapan menanyakannya.

Pada tahun 2000, misalnya, orang hanya bisa menonton film-film yang memang telah rilis pada 2000 dan tahun-tahun sebelumnya. Ketika ditanya film apa yang membuatnya sedih, dia pun akan menjawab berdasar referensi film-film yang sudah ditontonnya. Misal jawabannya film A, yang dirilis pada 1998. Itu film yang menurutnya sangat sedih... untuk waktu sampai tahun 2000.

Dari 2000 sampai 2010, ada banyak film sedih lain yang dirilis, dan dia juga menontonnya. Bisa jadi, di antara banyak film sedih itu, ada film yang jauh lebih menyedihkan dari film A, yang dulu ia anggap film paling sedih. Karenanya, kalau sekarang dia ditanya film apa yang menurutnya paling sedih, jawabannya pasti sudah berbeda. Bukan lagi film A, tapi mungkin film B.

Begitu pula dari 2010 sampai 2020, ada banyak film lagi yang rilis dan yang ia tonton, dan bisa jadi ada lagi film yang jauh lebih sedih dibanding film A atau film B, dan jawabannya kembali berbeda saat ditanya film apa yang menurutnya paling sedih. Dan begitu seterusnya. 

Jawaban-jawaban yang berbeda itu bukan karena seseorang plin-plan atau tidak konsisten, tapi karena referensi atau pengalamannya bertambah. Dan itu sesuatu yang ilmiah sekaligus alamiah. Bagaimana pun, nyatanya, orang pasti akan berubah, cepat atau lambat, tergantung sebanyak apa referensi yang bisa dicakupnya. Dan jika ukuran “film paling sedih” saja bisa berubah seiring waktu, apalagi hal-hal lain yang mungkin lebih penting?

Cara berpikir orang per orang biasanya tidak berhenti di satu tempat lalu mandeg. Karena nyatanya kita terus hidup, bertambah pengalaman, bertambah wawasan dan pengetahuan, dan semua itu pasti akan mempengaruhi cara berpikir kita dalam banyak hal. Kalau cara berpikir kita tidak berubah—ajeg dan mandeg—justru menunjukkan kalau kita tidak berkembang. Karena perkembangan artinya perubahan, setidaknya perubahan cara kita berpikir dan menalar kehidupan. 

Kalau kita mengingat masa-masa ABG atau remaja dulu, kita akan menyadari kalau kita hari ini—yang sudah dewasa—pasti telah jauh berbeda dengan masa-masa itu. Baik berbeda dalam penampilan, berbeda dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sampai berbeda dalam cara berpikir dan menjalani hidup. Kalau tidak berbeda, artinya kita tidak berkembang.

Karena kehidupan nyatanya dinamis, dan begitu pula mestinya diri kita.

Saya menulis catatan di blog ini sejak 2009, dan itu artinya lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kalau saya membaca-baca kembali catatan-catatan yang pernah saya arsipkan di blog ini, kadang saya tersenyum sendiri, merasa konyol, dan membatin, “Kok bisa ya, aku berpikir begitu?”

Saat membaca catatan-catatan yang saya tulis sepuluh tahun lalu, misalnya, saya menyadari betapa pikiran saya hari ini telah jauh berubah, dan berbeda. Hal-hal yang dulu saya anggap “baik”, misalnya, bisa jadi sekarang malah saya anggap “buruk” (saya sengaja menggunakan tanda kutip pada “baik” dan “buruk”, karena yang saya maksud di sini adalah baik-buruk yang subjektif).

Dulu, misalnya, saya menganggap pertemanan itu penting, punya teman itu wajib, karena teman adalah “tongkat penuntun dalam gulita”, dan sebagainya, dan sebagainya, dan semacamnya, dan semacamnya. Kenapa saya berpikir seperti itu? Jawabannya sederhana, karena waktu itu saya belum pernah dikecewakan dalam pertemanan. Karenanya, ketika menulis tentang teman atau pertemanan, nadanya sangat positif.

Belakangan, saya mendapati kenyataan sangat pahit terkait teman dan pertemanan. Pengkhianatan, menusuk dari belakang, dan mereka lenyap ketika saya menghadapi masalah. Saya berpikir bahwa teman adalah dinding kokoh tempat kita bisa bersandar saat sendirian. Tapi yang saya dapati, teman-teman saya justru menghilang ketika saya menghadapi masalah, dan saya harus berdiri sendirian.

Sejak itu, pikiran saya tentang teman dan pertemanan berubah. Jika dulu saya menganggap pertemanan itu penting, sekarang berubah sinis. Jika dulu saya terbuka pada siapa saja untuk menjalin pertemanan, kini sangat selektif. Cara berpikir saya sederhana, buat apa punya [banyak] teman kalau pada akhirnya mereka menghilang ketika dibutuhkan? Buat apa repot menjalin pertemanan, kalau pada akhirnya saya harus berdiri sendirian?

Itu contoh nyata sekaligus gamblang yang menunjukkan bagaimana pikiran kita bisa berubah, cara berpikir kita bisa berubah, karena kehidupan [beserta pengalaman dan wawasan yang mengiringinya] juga berubah. 

Sampai saat ini, saya benar-benar tidak tertarik dengan pertemanan, karena sudah terlalu kecewa, terluka, patah hati, dan trauma. Ini jelas berbeda dengan diri saya sepuluh tahun lalu, misalnya, yang justru sangat terbuka pada orang lain untuk menjalin pertemanan. 

Sepuluh tahun lalu, saya menyadari, saya orang hangat yang ramah. Kini, saya juga menyadari, saya orang yang dingin dan tertutup. Dulu, saya mudah percaya pada orang lain. Sekarang, saya sangat hati-hati berhubungan dengan orang lain. 

Begitu pun, tidak menutup kemungkinan, sepuluh tahun mendatang pikiran saya tentang pertemanan kembali berubah. Mungkin saya menemukan orang yang benar-benar baik, bisa menjadi teman setia, dan cara berpikir saya tentang pertemanan kembali berubah.

Nyatanya, begitulah hidup, dan begitulah diri kita, dari waktu ke waktu. Tak ada yang abadi, begitu pun isi pikiran kita, dan cara kita berpikir. Perbedaan cara kita dalam menghadapi sesuatu sering kali bukan karena plin-plan atau tidak konsisten, tapi karena “perubahan alami”, berdasarkan pengalaman hidup. 

Well, kalau kita membaca semua seri Harry Potter, kita pasti tahu kalau Dumbledore yang kita kenal—saat menjadi Kepala Sekolah Hogwarts—berbeda 180 derajat dibanding Dumbledore di masa mudanya. 

Saat menjadi guru di Hogwarts, Dumbledore begitu bijak, mampu memikirkan banyak hal dari berbagai sudut pandang, hingga kita pun percaya kepadanya sepenuh hati, sebagaimana Harry Potter percaya kepadanya. Nyatanya, Albus Dumbledore adalah tokoh paling bijaksana di dunia sihir.

Tetapi, di masa mudanya dulu, Dumbledore seorang rasis, yang bahkan bisa dibilang sebelas dua belas dengan Lord Voldemort. 

Apa yang diimpikan Voldemort dengan seluruh kesaktiannya? Memusnahkan muggle! Impian itu sudah dimiliki Dumbledore jauh-jauh hari sebelumnya, ketika ia mengumpulkan segala sumber daya dan kesaktian untuk tujuan yang sama! Bedanya, Dumbledore punya kesempatan lebih panjang untuk menyadari kekhilafannya, sementara Voldemort keburu mati!

Oh, tentu saja tidak sesederhana itu. Dumbledore juga punya Pensieve, benda yang ia gunakan untuk menyimpan—dan melihat kembali—pikiran serta kenangan-kenangannya. Di dunia kita, Pensieve mungkin mirip diary, atau blog, yang digunakan untuk menuliskan pikiran-pikiran dan pengalaman-pengalaman kita, dari waktu ke waktu.

Melalui Pensieve, Dumbledore tentu bisa menyelami pikiran-pikirannya sendiri, pengalaman-pengalamannya, dan bisa belajar dari sana. Dia bisa melihat dirinya yang dulu, beserta segala kenaifannya, untuk kemudian menyadari dan bertumbuh lebih baik. Hasilnya adalah sosok bijaksana yang kemudian kita kenal dalam kisah Harry Potter. 

Saya menjadikan blog ini sebagai semacam Pensieve, yaitu tempat saya menuangkan pikiran dan pengalaman. Karena tujuannya memang untuk merekam pikiran dan pengalaman, tentu—dan hampir bisa dipastikan—akan selalu ada perubahan. Baik pada pengalaman-pengalaman saya, maupun dalam cara berpikir saya. Dan itu, bagi saya, bukan masalah. Namanya orang hidup, pasti berubah.

Nyatanya kita memang tidak bisa menghentikan perubahan, termasuk perubahan pada diri kita sendiri. Kehidupan di luar sana terus berubah, peradaban terus berubah, begitu pula diri kita. Dalam perubahan yang paling primitif, setidaknya kita bertambah tua.

Ada hal-hal sejati di dalam diri kita yang memang tidak berubah, bahkan tidak akan berubah. Tetapi, di luar itu, kita semua berubah. 

Hidup saja Kadang Melelahkan

Kalau dipikir-pikir, hidup kita berjalan di antara tuntutan demi tuntutan. Ada tuntutan orang tua, tuntutan lingkungan, tuntutan pergaulan, tuntutan pasangan (bagi yang punya), tuntutan agama, sampai tuntutan pribadi. Bisa jadi ada jenis tuntutan lain yang bisa ditambahkan.

Orang tua ingin kita begini, lingkungan ingin kita begini, pergaulan ingin kita begini, orang lain ingin kita begini, agama ingin kita begini, sementara kita pribadi juga menuntut diri untuk begitu dan begini. Padahal, kalau juga dipikir-pikir, kita hanya manusia biasa.

Sebagai manusia biasa, jujur saja, saya tidak mampu memenuhi semua tuntutan itu. Saya tidak mungkin memenuhi tuntutan orang tua, sekaligus lingkungan, sekaligus orang lain, sementara saya juga punya tuntutan pribadi (visi, impian, dan hal-hal yang ingin saya capai).

Kenyataannnya kita tidak mungkin menyenangkan semua orang, dan itu—kalau dipikir-pikir—sebenarnya bukan masalah. Hidup saja kadang sudah terlalu melelahkan.

Perspektif Bisa Berubah

Dari dulu aku berpikir nasi goreng tidak enak. Ternyata karena memang belum menemukan yang enak. Sekarang, setelah nemu yang benar-benar enak, makan nasi goreng jadi sangat nikmat.

Perspektif bisa berubah, saat realitas yang kita hadapi berubah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Juli 2020.

Jokowi dan Mimpi Indah

Jika kita mengingat peristiwa-peristiwa sebelum Jokowi menjadi Presiden, juga awal-awal saat menjabat sebagai presiden, nada-nada yang kita dengar begitu indah. Begitu... penuh optimisme. Sebegitu indah dan optimis, sampai TIME memasang foto Jokowi, dan memberi judul A New Hope.

Di masa-masa itu, kita mendengar tekad pemberantasan korupsi, penguatan KPK, kesejahteraan rakyat, dan... oh, ya, tentu saja, revolusi mental, dan aneka slogan yang—dalam bayangkanku—mampu membuat bidadari di surga mengangguk-angguk percaya, karena saking indah janji terdengar.

Karenanya, tidak heran kalau di masa-masa itu para pendukung Jokowi akan ngamuk kalau mendengar sedikit saja kritik atau semacamnya. Karena mereka—para pendukung Jokowi—memang sedang ada di titik tertinggi kepercayaan, yang bahkan mirip fanatisme. Wajar dan manusiawi, tentu saja.

Maksudku, wajar kalau mereka mengamuk jika tokoh yang mereka percaya dicerca, karena—ya itu tadi—mereka sedang ada di titik tertinggi kepercayaan, yang bahkan menyerupai fanatisme. Wong bocah-bocah TIME saja percaya (A New Hope, remember?), apalagi orang-orang biasa seperti kita.

Lalu lima tahun berjalan, dan apa yang terjadi? Kita semua tahu jawabannya. Janji penuntasan kasus HAM menguap entah ke mana. Bukannya tuntas, pelanggaran HAM bahkan terjadi dengan banyak sebab. Sementara KPK tempo hari juga dirundung masalah. Dan revolusi mental? Mungkin lupa.

Di luar masalah HAM dan penuntasan korupsi, ada banyak masalah lain yang timbul dan membelit selama lima lahun kemarin Jokowi memimpin. Tapi ocehan ini tidak dimaksudkan untuk menuliskannya satu per satu, dan kalian bisa mencari/mempelajarinya sendiri, toh mudah ditemukan.

Intinya, ada banyak kekecewaan yang muncul selama Jokowi menjadi presiden. Sebegitu banyak, hingga para pendukungnya perlahan-lahan menyadari bahwa pujaan mereka bukan tanpa cela sebagaimana yang dulu mereka percaya. Bagaimana pun, nyatanya, Jokowi tetap manusia biasa.

Antiklimaks benar-benar terjadi, ketika Jokowi kembali terpilih sebagai Presiden, dan sejak itu kita seperti dibangunkan dari mimpi indah, untuk menatap dan menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi janji sorga, tidak ada lagi optimisme... hanya realitas. Dan realitas sering pahit.

Ekonomi akan meningkat, katanya. Tapi Asian Development Bank menemukan 22 juta orang Indonesia kelaparan selama pemerintahan Jokowi. Dan janji-janji, yang dulu terdengar indah bahkan ndakik-ndakik, kini berubah menjadi, "Kondisi ekonomi memang sedang berat." Terdengar familier?

Cukup untuk hal itu. Kalau ocehan ini kuteruskan, aku khawatir akan melantur dan mengatakan hal-hal yang mestinya tidak kukatakan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Desember 2019.

Kejutan Tak Terduga

Kemarin masuk warung mi ayam, dan agak terkejut karena kuahnya... dipisah. Sekarang masuk warung mi ayam lain, dan terkejut lagi, karena ada tambahan... telur ayam! Aku khawatir besok masuk warung mi ayam lain, dan dikasih kurungan ayam.

Hidup kadang penuh kejutan tak terduga.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Oktober 2019.

Rabu, 10 Februari 2021

Resolusi untuk 2021

Kalau cuacanya gini terus, resolusiku tahun ini 
kayaknya bakal tercapai; rutin tidur sore.


Sudah masuk Februari, baru ngomong resolusi. Ya soalnya baru ingat sekarang. Di tahun-tahun sebelumnya, saya rutin menulis resolusi untuk tahun yang baru, tapi entah kenapa tahun ini kok terlewat—tak kepikiran. Mungkin karena resolusi-resolusi sebelumnya gagal.

Soal resolusi, saya belakangan menyadari bahwa tingkat keberhasilan resolusi semakin tinggi jika hanya melibatkan diri sendiri. 

Kalau saya punya resolusi nonton film dengan seseorang, misalnya, resolusi itu akan punya kemungkinan gagal, karena orang yang ingin saya ajak nonton bisa saja berhalangan, menolak, atau karena alasan apa pun, yang pada akhirnya tidak memungkinkan saya untuk menonton film bersamanya.

Sebaliknya, kalau saya punya resolusi nonton film sendirian, resolusi itu akan punya kemungkinan berhasil lebih besar, karena hanya melibatkan diri sendiri. Saya hanya berurusan dengan diri sendiri, dan saya tentu bisa memaksa diri sendiri untuk mewujudkan resolusi tadi. 

Nyatanya, beberapa resolusi yang saya bayangkan bersama orang lain memang gagal. Sementara resolusi yang hanya melibatkan diri sendiri terbukti berhasil. Salah satu resolusi yang berhasil itu adalah rutin minum air putih.

Sebelumnya, saya termasuk orang yang “tidak doyan” air putih—ya doyan, sih, tapi sangat malas meminumnya. Karena rasanya tawar, tidak enak. Daripada minum air putih, saya lebih suka minum teh, cokelat hangat, atau minuman lain yang lebih enak. Belakangan, saya menyadari minum air putih adalah kebiasaan yang baik dan sehat, dan saya perlu membiasakan diri.

Kesadaran itu lalu mencetuskan resolusi di tahun kemarin, dan saya berjanji untuk rutin minum air putih. 

Untuk ukuran orang yang tidak doyan air putih, itu bukan resolusi mudah. Tapi saya belajar perlahan-lahan, membiasakannya sedikit demi sedikit, hingga akhirnya benar-benar rutin minum air putih setiap hari. Belum banyak, sih, tapi setidaknya sekarang sudah mulai akrab dengan air putih. Semoga, seiring waktu, saya bisa memenuhi takaran ideal minum air putih yang baik dan sehat.

Sekarang, tahun ini, saya ingin menambah satu lagi kebiasaan baik yang sehat, yaitu tidur sore. Jadi, inilah resolusi saya untuk 2021; rutin tidur sore!

Sama seperti rutin minum air putih, tidur sore bukan hal mudah bagi saya. Selama ini, saya biasa tidur larut malam, atau bahkan dini hari. Di tahun-tahun sebelumnya, saya bahkan biasa tidur di pagi hari. Makin ke sini, saya terus mengusahakan agar tidur maksimal jam satu dini hari, dan itulah yang saya lakukan beberapa tahun terakhir.

Sebenarnya, meski tidur larut malam, saya selalu bangun pukul 04.00 pagi. Waktu bangun memang segar. Tapi seiring jam berjalan, tubuh saya terasa lelah, dan akibatnya tidak bisa bekerja dengan baik. Konsekuensinya, saya harus tidur siang, untuk menebus tidur malam yang kurang. Ini, saya pikir, sama saja bohong. 

Kini, saya ingin tidur maksimal pukul 22.00 atau jam sepuluh malam, dan bangun pukul 04.00 pagi. Sepertinya itu cukup ideal, dan saya sudah mulai membiasakan diri, meski terasa berat, dan kadang juga masih gagal. Untung, akhir-akhir ini sering turun hujan, dan suasana dingin membantu saya mewujudkan keinginan tidur sore.

Dalam bayangan ideal saya—dan namanya “bayangan ideal” biasanya sulit diwujudkan—bangun pukul 04.00 pagi memungkinkan kita beraktivitas cukup leluasa di pagi hari, termasuk rutin berolahraga, tanpa diburu-buru waktu (khususnya bagi yang berangkat kerja ke kantor).

Setelah semua aktivitas pagi dilaksanakan, kita bisa memulai kerja dengan tenang. Tengah hari, jika memungkinkan, kita bisa tidur siang sejenak—cukup 1 jam sajalah, untuk menyegarkan tubuh—lalu meneruskan aktivitas dan pekerjaan sampai sore. Masuk sore, kita bisa melakukan aneka hal yang harus dilakukan, sampai malam, atau sampai kapan pun, lalu mulai bersiap tidur pukul 22.00. Well, kedengarannya sangat baik dan sehat.

Sampai saat ini, dan ini sudah masuk Februari, saya belum mampu rutin melakukan kebiasaan baru itu. Kadang tidur sore, kadang masih tidur larut malam. Tapi saya berusaha untuk terus membiasakannya, agar bisa jadi kebiasaan baru, dan karena itulah saya menjadikan tidur sore sebagai resolusi.

Well, itu resolusi saya. Bagaimana denganmu?

Bayanganku Tentangmu, Bayanganmu Tentangku

Dari dulu aku juga heran sama orang-orang yang cuma kenal di dunia maya, belum pernah ketemu, tapi sudah jadian... atau berharap jadian. Ya suka-suka mereka, sih. Tapi aku benar-benar tak paham dengan hubungan semacam itu, dan sama sekali tak tertarik mencoba.

Mungkin pikiranku yang terlalu ruwet. Tapi aku menganggap "jadian" adalah "komitmen", dan komitmen butuh pengenalan dalam arti sesungguhnya, yang tentu tidak bisa diwakili hanya sekadar "kenal" di dunia maya. Menurutku, sangat riskan menjalin komitmen hanya berdasar hal itu.

Tanpa bermaksud membandingkan manusia dengan benda, aku pernah beberapa kali "jatuh cinta" pada motor baru yang foto-fotonya muncul di internet. Lalu aku datang ke dealer, untuk beli. Sesampai di dealer, aku kecewa, dan berpikir, "Kok gini? Kok gak sebagus foto-fotonya?"

Untung itu cuma motor. Bagaimana absurdnya kalau ilustrasi semacam itu terjadi pada manusia lain yang sekadar kukenal di dunia maya? Bisa jadi, aku merasa "jatuh cinta" pada seseorang yang cuma kulihat di dunia maya, lalu jadian dengannya, lalu kami bertemu... dan saling kecewa.

Bahkan baru membayangkannya saja, aku sudah ngeri. Aku takut mengecewakan ekspektasi orang lain, sebagaimana aku takut kecewa karena ekspektasiku keliru. Menjalin hubungan dengan seseorang hanya berdasar tahu atau kenal di dunia maya adalah hal terakhir yang mungkin kulakukan.

Memang ada orang-orang yang berjodoh hingga menjalin komitmen, karena kenal di dunia maya. Tapi tentu butuh proses—atau setidaknya, itulah yang kupikirkan. Karena komitmen, mestinya, dibangun dari ketertarikan yang sama, kedekatan yang menyenangkan, dan kenyamanan yang seimbang.

"Ayo kita ketemu, siapa tahu bisa jadian."

Tidak! Ekspektasi semacam itu akan rentan saling mengecewakan. Jika aku bersedia menemui seseorang yang kukenal di dunia maya, pertemuan itu tidak boleh ada ekspektasi semacam itu. Aku tidak ingin kecewa, dan tidak ingin mengecewakanmu.

Bayanganku tentangmu bisa saja keliru, sebagaimana bayanganmu tentangku bisa keliru. Karenanya, aku sering bertanya-tanya, bagaimana orang bisa "jatuh cinta" pada seseorang yang cuma ia tahu di dunia maya, yang bahkan fotonya saja tak pernah ia lihat? Itu mengerikan, bagiku.

Well, ocehan ini adalah refleksi pikiran orang yang memang tidak ngebet pacaran, tidak kepikiran punya pacar, apalagi ingin buru-buru kawin. Ya mungkin beda dengan isi pikiran orang yang ngebet pacaran, atau gatal ingin punya pacar, apalagi memang ingin segera kawin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Juli 2020.

Ass U Me

Apa asumsi salah orang lain yang paling sering kamu terima? misalnya, kamu sering dikira galak, sering dikira kaya, sering dikira males, dll —@dwikaputra

Ada sebagian orang yang mengira bahkan menuduhku tidak mau berkomunikasi, padahal mereka tidak pernah mengajakku komunikasi. Lucu, ya? —@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 September 2020.

Corona Pancen Asu

Suwi-suwi, dirasak-rasakke, corona ini pancen asu. Banyak urusan terhambat gara-gara corona. Banyak hal terpaksa mandeg gara-gara corona. Sampai aku mau cek ke dokter aja harus batal gara-gara corona.

Dua hari sakit gigi. Tadi ke dokter karena sudah tak tahan. Di pintu masuk, suhu tubuh diperiksa, lalu aku diminta pulang karena, "Badan Anda panas sekali."

Lha badanku panas sebab meriang, karena sakit gigi gak karuan! Lha piye?

....
....

Air hangat dan garam adalah teman terbaik yang bisa ditemukan orang sakit gigi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Juli 2020.

Penyakit Mbuh

Kelihatan sibuk, kelihatan lelah, tapi sebenarnya tidak melakukan apa pun.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Juli 2020.

Senin, 01 Februari 2021

Dari Dinda Hauw dan Rey Mbayang, Kita Tidak Belajar Apa-Apa

Sambil nunggu udud habis.

Setiap kali ada artis menikah, entah mereka pacaran atau tidak, anak-anak Twitter selalu ramai, "Dari Si Anu kita bisa belajar bla-bla-bla", dan biasanya cuma menyebut hal-hal yang abstrak (berakhlak baik, agamis, tanggung jawab, berwawasan, dll).

Berakhlak baik, paham agama, bertanggung jawab, berwawasan, dan semacamnya, adalah hal-hal abstrak—bagaimana cara kita mengukurnya? Pertanyaan itu makin penting diajukan, jika kita kebetulan pro-taaruf; menjalin hubungan sekadarnya untuk kemudian menikah, tanpa pendalaman.

Untuk tahu apakah seseorang berakhlak baik, paham agama, bertanggung jawab, berwawasan, dan semacamnya, kita harus bersamanya secara intens. Itu sesuatu yang bahkan pacarnya (atau calon pasangannya) sendiri belum tentu tahu. Jadi, bagaimana kita bisa tahu, bahkan yakin, soal itu?

Setiap kali ada artis menikah, lalu orang-orang ngetwit "Dari Artis Anu kita bisa belajar bla-bla-bla", yang kutangkap hanyalah sebentuk romantisasi atau bahkan glorifikasi terkait hubungan dua manusia lawan jenis, tapi sekadar artifisial—khas remaja yang masih bau popok.

Kenyataannya, Homo sapiens memang punya kecenderungan semacam itu; senang mengkhayalkan hubungan yang indah sambil menafikan kemungkinan sebaliknya. Karenanya, saat ada artis cerai, tidak ada yang mengatakan, "Dari perceraian Artis Anu kita bisa belajar bla-bla-bla..."

Orang-orang "belajar" ketika ada artis menikah, tapi tidak belajar ketika ada artis bercerai. Padahal perkawinan dan perceraian adalah 2 hal yang seiring sejalan; orang yang menikah selalu punya kemungkinan untuk cerai. Tapi kita hanya melihat yang satu, sambil menafikan lainnya.

Jadi, inilah masalah kita. Yang remaja terbuai khayalan indah tentang sepasang manusia yang menjalin hubungan (dan model yang mereka gunakan adalah artis yang ganteng dan cantik), sementara yang sudah dewasa terbuai doktrin "menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki."

Di Twitter, ocehan ala-ala "Dari perkawinan artis anu kita bisa belajar bla-bla-bla" hampir selalu viral. Sebelas dua belas dengan ocehan ala-ala "Menikah akan membuatmu bahagia dan bla-bla-bla". 

Apa artinya itu? Khayalan dan keyakinan kita menumpulkan akal sehat dan kesadaran.

Tanpa disadari, manusia lebih sering (dan lebih senang) melihat bayangannya, atau khayalannya, atau refleksinya, dan bukan kenyataan yang jelas ada di depan matanya. Itulah kenapa mereka tetap percaya menikah akan membuat bahagia, meski tetangganya bercerai atau jadi korban KDRT.

Manusia tidak percaya pada kebenaran. Bahkan, dalam skala ekstrem, mereka tidak percaya pada kenyataan. Mereka hanya percaya pada yang ingin mereka percaya!

Kutipan klasik, "Jangan merasa (sok) kenal seseorang, sebelum tidur dengannya tiga malam."

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, mungkin baru selesai pas subuh... tahun 8735. Tapi karena ududku sudah habis, yo wis, cukup sampai di sini. 

Akhirnya, dari Dinda Hauw dan Rey Mbayang, kita (sebenarnya) tidak belajar apa-apa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Juli 2020.

Are You Afraid of the Dark?

Dari tadi siang asyik membaca kembali, untuk kesekian kali, novel terakhir Sidney Sheldon, "Are You Afraid of the Dark?"

Judul novel itu seperti mengilustrasikan kondisi kita saat ini, yang tidak tahu pasti kapan pandemi akan berakhir.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Juli 2020.

Meriang, Lalu Kehilangan Fokus

Ingin ngoceh banyak hal, sebenarnya. Tapi sekarang lagi meriang, dan waktu serta pikiran lagi fokus pada sesuatu. Dan aku selalu percaya hukum efektivitas; selesaikan satu per satu.

Dulu, kalau kena flu atau meriang, rasanya biasa saja. Paling dua tiga hari sudah sembuh. Sekarang, kalau kena flu atau meriang, entah kenapa jadi khawatir. Jangan-jangan kena Covid (meski juga berharap kekhawatiran itu keliru).

Omong-omong, trending topic malam ini, hadeeeeh... membuatku kehilangan fokus. Apppeeeuuuhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 September 2020.

Tak Pasti

Baca-baca berita, rata-rata isu besarnya sama; resesi. Sepertinya resesi global memang sudah di depan mata, bahkan sudah terjadi di sebagian negara. Entah sampai kapan kondisi tak pasti ini bakal berlangsung.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Juli 2020.

Covid-19 yang Ajaib

Peretasan akun Dr. Pandu Riono sepertinya bukan karena twit-twitnya yang kritis terkait penanganan Covid-19 di Indonesia, tapi karena yang bersangkutan akan menggugat obat Covid-19 Unair jika obat itu sampai terdaftar di BPOM.

Jangan terkecoh pada peretasan akun Twitter.

Dr. Pandu biasa menulis menggunakan huruf kapital di awal tweet. Peretasnya terbawa kebiasaan menulis dengan huruf kecil di awal. Kesalahan umum para penjahat; abai pada detail-detail kecil, dan karena itulah mereka mudah ketahuan.

Jerinx ngomong ngawur soal Covid-19, dan dia ditangkap. Dr. Pandu ngomong soal Covid-19 secara ilmiah, sebagaimana seharusnya seorang akademisi, dan akun Twittter-nya diretas. Ajaib bener soal Covid-19 ini.

Jadi kita semua diminta diam saja, atau bagaimana?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19-20 Agustus 2020.

 
;