Kita lebih mudah melihat perubahan orang lain,
tapi sulit menyadari perubahan diri sendiri.
Saat kita mulai sadar, segalanya telah berubah.
“Apa film paling sedih menurutmu?” Meski ditanyakan pada orang yang sama, pertanyaan itu bisa menghasilkan jawaban berbeda, tergantung kapan menanyakannya.
Pada tahun 2000, misalnya, orang hanya bisa menonton film-film yang memang telah rilis pada 2000 dan tahun-tahun sebelumnya. Ketika ditanya film apa yang membuatnya sedih, dia pun akan menjawab berdasar referensi film-film yang sudah ditontonnya. Misal jawabannya film A, yang dirilis pada 1998. Itu film yang menurutnya sangat sedih... untuk waktu sampai tahun 2000.
Dari 2000 sampai 2010, ada banyak film sedih lain yang dirilis, dan dia juga menontonnya. Bisa jadi, di antara banyak film sedih itu, ada film yang jauh lebih menyedihkan dari film A, yang dulu ia anggap film paling sedih. Karenanya, kalau sekarang dia ditanya film apa yang menurutnya paling sedih, jawabannya pasti sudah berbeda. Bukan lagi film A, tapi mungkin film B.
Begitu pula dari 2010 sampai 2020, ada banyak film lagi yang rilis dan yang ia tonton, dan bisa jadi ada lagi film yang jauh lebih sedih dibanding film A atau film B, dan jawabannya kembali berbeda saat ditanya film apa yang menurutnya paling sedih. Dan begitu seterusnya.
Jawaban-jawaban yang berbeda itu bukan karena seseorang plin-plan atau tidak konsisten, tapi karena referensi atau pengalamannya bertambah. Dan itu sesuatu yang ilmiah sekaligus alamiah. Bagaimana pun, nyatanya, orang pasti akan berubah, cepat atau lambat, tergantung sebanyak apa referensi yang bisa dicakupnya. Dan jika ukuran “film paling sedih” saja bisa berubah seiring waktu, apalagi hal-hal lain yang mungkin lebih penting?
Cara berpikir orang per orang biasanya tidak berhenti di satu tempat lalu mandeg. Karena nyatanya kita terus hidup, bertambah pengalaman, bertambah wawasan dan pengetahuan, dan semua itu pasti akan mempengaruhi cara berpikir kita dalam banyak hal. Kalau cara berpikir kita tidak berubah—ajeg dan mandeg—justru menunjukkan kalau kita tidak berkembang. Karena perkembangan artinya perubahan, setidaknya perubahan cara kita berpikir dan menalar kehidupan.
Kalau kita mengingat masa-masa ABG atau remaja dulu, kita akan menyadari kalau kita hari ini—yang sudah dewasa—pasti telah jauh berbeda dengan masa-masa itu. Baik berbeda dalam penampilan, berbeda dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sampai berbeda dalam cara berpikir dan menjalani hidup. Kalau tidak berbeda, artinya kita tidak berkembang.
Karena kehidupan nyatanya dinamis, dan begitu pula mestinya diri kita.
Saya menulis catatan di blog ini sejak 2009, dan itu artinya lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kalau saya membaca-baca kembali catatan-catatan yang pernah saya arsipkan di blog ini, kadang saya tersenyum sendiri, merasa konyol, dan membatin, “Kok bisa ya, aku berpikir begitu?”
Saat membaca catatan-catatan yang saya tulis sepuluh tahun lalu, misalnya, saya menyadari betapa pikiran saya hari ini telah jauh berubah, dan berbeda. Hal-hal yang dulu saya anggap “baik”, misalnya, bisa jadi sekarang malah saya anggap “buruk” (saya sengaja menggunakan tanda kutip pada “baik” dan “buruk”, karena yang saya maksud di sini adalah baik-buruk yang subjektif).
Dulu, misalnya, saya menganggap pertemanan itu penting, punya teman itu wajib, karena teman adalah “tongkat penuntun dalam gulita”, dan sebagainya, dan sebagainya, dan semacamnya, dan semacamnya. Kenapa saya berpikir seperti itu? Jawabannya sederhana, karena waktu itu saya belum pernah dikecewakan dalam pertemanan. Karenanya, ketika menulis tentang teman atau pertemanan, nadanya sangat positif.
Belakangan, saya mendapati kenyataan sangat pahit terkait teman dan pertemanan. Pengkhianatan, menusuk dari belakang, dan mereka lenyap ketika saya menghadapi masalah. Saya berpikir bahwa teman adalah dinding kokoh tempat kita bisa bersandar saat sendirian. Tapi yang saya dapati, teman-teman saya justru menghilang ketika saya menghadapi masalah, dan saya harus berdiri sendirian.
Sejak itu, pikiran saya tentang teman dan pertemanan berubah. Jika dulu saya menganggap pertemanan itu penting, sekarang berubah sinis. Jika dulu saya terbuka pada siapa saja untuk menjalin pertemanan, kini sangat selektif. Cara berpikir saya sederhana, buat apa punya [banyak] teman kalau pada akhirnya mereka menghilang ketika dibutuhkan? Buat apa repot menjalin pertemanan, kalau pada akhirnya saya harus berdiri sendirian?
Itu contoh nyata sekaligus gamblang yang menunjukkan bagaimana pikiran kita bisa berubah, cara berpikir kita bisa berubah, karena kehidupan [beserta pengalaman dan wawasan yang mengiringinya] juga berubah.
Sampai saat ini, saya benar-benar tidak tertarik dengan pertemanan, karena sudah terlalu kecewa, terluka, patah hati, dan trauma. Ini jelas berbeda dengan diri saya sepuluh tahun lalu, misalnya, yang justru sangat terbuka pada orang lain untuk menjalin pertemanan.
Sepuluh tahun lalu, saya menyadari, saya orang hangat yang ramah. Kini, saya juga menyadari, saya orang yang dingin dan tertutup. Dulu, saya mudah percaya pada orang lain. Sekarang, saya sangat hati-hati berhubungan dengan orang lain.
Begitu pun, tidak menutup kemungkinan, sepuluh tahun mendatang pikiran saya tentang pertemanan kembali berubah. Mungkin saya menemukan orang yang benar-benar baik, bisa menjadi teman setia, dan cara berpikir saya tentang pertemanan kembali berubah.
Nyatanya, begitulah hidup, dan begitulah diri kita, dari waktu ke waktu. Tak ada yang abadi, begitu pun isi pikiran kita, dan cara kita berpikir. Perbedaan cara kita dalam menghadapi sesuatu sering kali bukan karena plin-plan atau tidak konsisten, tapi karena “perubahan alami”, berdasarkan pengalaman hidup.
Well, kalau kita membaca semua seri Harry Potter, kita pasti tahu kalau Dumbledore yang kita kenal—saat menjadi Kepala Sekolah Hogwarts—berbeda 180 derajat dibanding Dumbledore di masa mudanya.
Saat menjadi guru di Hogwarts, Dumbledore begitu bijak, mampu memikirkan banyak hal dari berbagai sudut pandang, hingga kita pun percaya kepadanya sepenuh hati, sebagaimana Harry Potter percaya kepadanya. Nyatanya, Albus Dumbledore adalah tokoh paling bijaksana di dunia sihir.
Tetapi, di masa mudanya dulu, Dumbledore seorang rasis, yang bahkan bisa dibilang sebelas dua belas dengan Lord Voldemort.
Apa yang diimpikan Voldemort dengan seluruh kesaktiannya? Memusnahkan muggle! Impian itu sudah dimiliki Dumbledore jauh-jauh hari sebelumnya, ketika ia mengumpulkan segala sumber daya dan kesaktian untuk tujuan yang sama! Bedanya, Dumbledore punya kesempatan lebih panjang untuk menyadari kekhilafannya, sementara Voldemort keburu mati!
Oh, tentu saja tidak sesederhana itu. Dumbledore juga punya Pensieve, benda yang ia gunakan untuk menyimpan—dan melihat kembali—pikiran serta kenangan-kenangannya. Di dunia kita, Pensieve mungkin mirip diary, atau blog, yang digunakan untuk menuliskan pikiran-pikiran dan pengalaman-pengalaman kita, dari waktu ke waktu.
Melalui Pensieve, Dumbledore tentu bisa menyelami pikiran-pikirannya sendiri, pengalaman-pengalamannya, dan bisa belajar dari sana. Dia bisa melihat dirinya yang dulu, beserta segala kenaifannya, untuk kemudian menyadari dan bertumbuh lebih baik. Hasilnya adalah sosok bijaksana yang kemudian kita kenal dalam kisah Harry Potter.
Saya menjadikan blog ini sebagai semacam Pensieve, yaitu tempat saya menuangkan pikiran dan pengalaman. Karena tujuannya memang untuk merekam pikiran dan pengalaman, tentu—dan hampir bisa dipastikan—akan selalu ada perubahan. Baik pada pengalaman-pengalaman saya, maupun dalam cara berpikir saya. Dan itu, bagi saya, bukan masalah. Namanya orang hidup, pasti berubah.
Nyatanya kita memang tidak bisa menghentikan perubahan, termasuk perubahan pada diri kita sendiri. Kehidupan di luar sana terus berubah, peradaban terus berubah, begitu pula diri kita. Dalam perubahan yang paling primitif, setidaknya kita bertambah tua.
Ada hal-hal sejati di dalam diri kita yang memang tidak berubah, bahkan tidak akan berubah. Tetapi, di luar itu, kita semua berubah.