Senin, 26 November 2018

Soal Kerja, dan Beberapa Hal yang Perlu Kita Pikirkan

Sejak kecil sampai dewasa, tidak pernah ada 
yang mengatakan kepadaku bahwa hidup ini mudah. 
Tetapi, entah mengapa, aku (pernah) percaya 
bahwa hidup ini mudah, dan—tentu saja—aku keliru.


Di Twitter, saya suka ngoceh sendiri seperti orang gila. Kalau pas bengong—misal lagi antre di suatu tempat atau semacamnya—saya kadang iseng mengambil ponsel, membuka Twitter, dan menuliskan hal-hal yang kebetulan terlintas di pikiran. Karena memang ngoceh secara acak, isinya pun acak tak karuan. Kadang ngemeng A, kadang ngoceh B, lalu tiba-tiba membahas Z. Namanya juga orang iseng.

Kadang-kadang, ocehan saya di Twitter menjadi bahan percakapan antara saya dan teman ketika bertemu. Di Twitter, sebenarnya ada cukup banyak teman saya—yang benar-benar saling kenal di dunia nyata—tapi kami sangat jarang berinteraksi di media sosial. Percakapan secara langsung lebih nyaman bagi kami, karena bisa saling berkomunikasi sejelas-jelasnya.

Seperti tempo hari, di Twitter saya ngoceh soal kerja. Beberapa hari kemudian, ada teman yang datang, dan kami membicarakan ocehan tersebut. Kami mengobrol dengan santai sambil nyeruput teh dan udud.

Dia mengatakan, “Membaca tweet-mu soal kerja, kedengarannya memang ideal, bahkan mulia. Bahwa kita perlu mencintai pekerjaan yang kita miliki, dan mengerjakannya dengan baik, sebaik yang kita bisa. Aku mengenalmu, dan aku percaya kamu menjalani hal-hal yang kamu tulis. Yang menjadi masalah, kenyataan yang kamu hadapi mungkin berbeda dengan kenyataan yang dihadapi orang lain, setidaknya kenyataan yang kuhadapi.”

Lalu dia menceritakan. Saat ini, dia bekerja di sebuah perusahaan, dengan gaji Rp1,7 juta per bulan (UMP kota kami). Jam kerjanya dari pukul 09.00 pagi sampai 17.00 sore. Ada hari libur dalam seminggu, plus libur tanggal merah, plus kesempatan cuti.

Yang menjadi masalah, dia menganggap gajinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sebulan. Dari kebutuhan sehari-hari seperti makan dan minum, transportasi harian, beli pulsa, dan lain-lain. Karena itu, dia sering lembur. Namun, bahkan sudah lembur pun, penghasilannya tetap belum mencukupi, hingga kadang terpaksa gali lubang tutup lubang.

“Dalam kondisi semacam itu,” dia mengatakan, “bagaimana aku bisa mencintai pekerjaanku? Aku kerja siang malam, banting tulang sampai kurang istirahat, tapi penghasilan tidak mencukupi. Jadi, boro-boro mencintai pekerjaan yang kujalani, yang ada malah stres melulu!”

Dia terdiam, menunggu saya merespons. Jadi, saya pun berkata kepadanya, “Yang ada dalam pikiranmu, juga ada dalam pikiran jutaan orang lain. Kenyataan yang kamu hadapi, juga ada dalam kehidupan jutaan orang lain. Sebenarnya, aku pun pernah berpikir sepertimu, dan menghadapi kenyataan sepertimu. Kita memiliki pekerjaan yang hasilnya tidak mencukupi, tak peduli kita sudah lembur dan banting tulang sampai kepayahan sekali pun.”

Setelah itu, saya mengatakan sesuatu, yang isinya kira-kira seperti ini (siapa tahu berguna bagi orang lain yang kebetulan juga menghadapi realitas serupa):

Pertama, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah pekerjaanku sekarang adalah pekerjaan yang memang kuinginkan? Apakah pekerjaanku sekarang sesuai passion-ku?”

Lalu jawab pertanyaan itu, dan kemungkinan besar jawabannya, “Tidak!”

Diakui atau tidak, orang hanya “stuck” jika menghadapi pekerjaan yang bukan passion-nya. Kalau kau menghadapi pekerjaan yang sesuai passion-mu, kau pasti akan mencintai pekerjaan itu—tak peduli berapa pun penghasilan yang diperoleh—dan kau akan terus kreatif, tidak sampai mengalami “stuck”. Karena kau mencintai pekerjaanmu, kreativitasmu terus berkembang, dan—biasanya—penghasilanmu juga terus naik.

Sebaliknya, kalau kau menghadapi pekerjaan yang bukan passion-mu, sehingga kau tidak bisa mencintai pekerjaan itu, kau akan tetap stres, meski mungkin mendapat penghasilan besar. Sama-sama “stuck”, dan sama-sama tidak berkembang—kecuali kau mau belajar mencintai pekerjaanmu.

(Omong-omong, saya kesulitan menemukan padanan kata yang tepat untuk “stuck”, terkait konteks yang kita bicarakan.)

Kedua, setelah kau mau menyadari bahwa pekerjaanmu sekarang bukan passion-mu, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku bersedia mengejar passion-ku?”

Lalu jawab pertanyaan itu. Kalau kau memang bersedia mengejar passion-mu—betapa pun sulitnya—pikirkan rencana dan langkahmu menuju ke sana.

Tetapi, sebelum melangkah ke sana, kau perlu memahami bahwa mengejar passion sering kali bukan urusan mudah, karena membutuhkan perjuangan, pengorbanan, jatuh bangun, penuh keringat, darah, dan air mata. Kalau kau menganggap pekerjaanmu yang sekarang sudah sulit, proses mengejar passion seribu kali lebih sulit! Saya tahu betul soal ini, karena sudah mengalami.

Jadi, tanyakan sekali lagi pada dirimu sendiri, apakah kau benar-benar bersedia mengejar sesuatu yang menjadi passion-mu, betapa pun sulitnya, betapa pun beratnya, dan siap mengorbankan kehidupanmu untuknya?

Mengeluh itu mudah—siapa pun bisa mengeluh. Yang menjadi soal kemudian, apakah kita bersedia menghapus keluhan kita dengan berjuang ke arah lebih baik dan kehidupan lebih baik... ataukah akan terus mengeluh sampai mati?

Jadi, siapa pun kita, di mana pun dirimu berada, kita semua menghadapi hal yang sama. Kita menghadapi dua pilihan hidup yang sama-sama sulit, dan pilihannya ada di tangan kita sendiri.

Pilihan pertama; mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai passion kita, dan mungkin kita akan sering stres, mengeluhkan gaji yang kurang, serta tetek bengek yang lain.

Pilihan kedua; mengejar sesuatu yang menjadi passion kita, dan mungkin kita akan menjalani kehidupan lebih baik, dengan pekerjaan yang benar-benar kita cintai.

Sekali lagi, cuma ada dua pilihan itu. Dan pilihannya tergantung pada masing-masing kita. Dan masing-masing pilihan memiliki kesulitan, masalah, serta konsekuensi. Persetan, siapa yang mengatakan hidup ini mudah?

Kalau kita memilih yang pertama, mungkin kita akan terus stres, dan mengeluhkan penghasilan yang kita anggap kecil. Tetapi, setidaknya, itu pilihan mudah, karena kita tinggal mengerjakan sesuatu yang sudah ada, yaitu pekerjaan kita sekarang. Tidak perlu repot. Tinggal berangkat pagi, kerjakan tugas, lalu pulang sore, dan gajian di akhir bulan. Soal penghasilan yang tidak cukup, itu urusan lain.

Sebaliknya, kalau kita memilih yang kedua, yakni mengejar passion, kedengarannya memang menjanjikan. Kita bahkan mungkin bisa membayangkan menikmati hari-hari ceria karena bisa mengerjakan sesuatu yang kita cintai, lalu mendapatkan penghasilan besar, dan bla-bla-bla. Apa yang lebih menyenangkan dibanding mengerjakan sesuatu yang benar-benar passion kita?

Tapi ingat dan sadarilah fakta ini; mengejar passion tidak semudah kedengarannya! Akan ada perjalanan panjang, perjuangan dan kerja keras, jatuh bangun tanpa henti, malam-malam tanpa tidur, stres berkepanjangan, sampai akhirnya... ketika keringat nyaris habis dan air mata nyaris kering, mungkin kita baru bisa mencapai passion yang kita impikan. Itu pun kalau kita berhasil... atau mau kembali berjuang setelah jatuh dan gagal.

Orang-orang sukses—atau setidaknya orang-orang yang saat ini menikmati pekerjaannya—telah menjalani perjuangan dan kerja keras yang tidak kita lihat. Mereka tidak ujug-ujug mendapat nasib baik yang dijatuhkan dari langit. Mereka telah mengalami perjalanan berat, perjuangan penuh frustrasi, hingga akhirnya mencapai yang sekarang mereka capai. Kita hanya melihat hasilnya, tapi tidak melihat perjuangan dan pengorbanan mereka!

Sekali lagi, hidup memang tidak mudah, dan mau tidak mau kita perlu menyadari serta menerima kenyataan itu.

Kita yang saat ini telah bekerja, atau memiliki pekerjaan yang memberi penghidupan, masih lebih baik dibanding orang-orang lain yang frustrasi karena belum juga mendapat pekerjaan, yang ditikam nelangsa karena menganggur dan kesulitan makan.

Kita memiliki nasib lebih baik dibanding mereka. Karenanya, jika kita memang tidak menyukai yang sekarang kita kerjakan, kita hanya punya dua pilihan: Tinggalkan pekerjaan itu, atau belajarlah mencintai pekerjaanmu.

Sekarang, saya ingin mengatakan sesuatu yang mungkin penting.

Kita perlu mencintai pekerjaan yang kita lakukan, karena dengan itulah kita bisa menopang kehidupan yang kita jalani, sekaligus memikirkan kehidupan yang kita inginkan. Penghasilanmu terasa kurang? Berpikirlah, kreatiflah, cari cara agar penghasilanmu berkembang—jangan cuma mengeluh! Lagi pula, kalau mau bicara soal kekurangan, yang penghasilannya puluhan juta pun akan tetap terasa kurang.

Terakhir, pikirkan kenyataan ini: Kalau kau tidak bisa mencintai pekerjaanmu, bagaimana pekerjaan itu bisa mencintaimu?

Noffret’s Note: Media Sosial

Hal buruk yang ditumbuhkan kultur media sosial—terlepas kita sadar atau tidak—adalah kebiasaan reaktif. Kita gatal ingin mengomentari apa saja, siapa saja, dan topik apa saja. Akibatnya, kita lebih banyak berkomentar, tapi sedikit berpikir (atau bahkan tak berpikir sama sekali).

Di media sosial, ada banyak orang yang tampaknya hobi menyambar atau mengomentari apa pun tanpa benar-benar memahami apa yang disambar/dikomentari. Akibatnya, komentarnya bisa keliru, tidak nyambung, tidak relevan, atau bahkan melenceng jauh. Dan itu buruk, tentu saja.

Sebelum mengomentari sesuatu, atau sebelum menyambar tweet seseorang, pastikan terlebih dulu kita memahami apa yang akan kita sambar/komentari. Cermati kalimatnya secara utuh, kata per kata, hingga benar-benar paham. Setelah itu, baru berkomentar, atau cukuplah diam.

Media sosial, kenyataannya, telah menjauhkan kita dari aktivitas berpikir dan berkontemplasi. Semua ingin ngomong, semua ingin berkomentar, semua ingin viral, dan itu menjadikan kita buru-buru ngomong apa saja, mengomentari apa saja, meski isinya kadang dangkal dan tak relevan.

Sangat jarang kita menemukan ocehan di media sosial yang reflektif dan kontemplatif—yang membantu menumbuhkan kearifan dan kesadaran—karena semuanya ingin cepat ngomong, ingin cepat berkomentar, ingin cepat viral. Tidak ada lagi proses berpikir, refleksi, dan kontemplasi.

Sekarang kalian paham kenapa aku sangat jarang menulis hal-hal kekinian yang sedang viral. Karena aku sengaja menjaga jarak dengan topik-topik semacam itu, agar benar-benar memahami lebih dulu. Aku baru akan ngoceh dan menulis sesuatu, jika benar-benar telah memahami secara utuh.

Omong-omong, tidak usah repot menyambar atau me-reply rangkaian tweet ini. Pertama, aku tidak butuh. Kedua, daripada sibuk menyambar tweet orang, lebih baik gunakan waktumu untuk belajar dan berpikir... atau menyapu rumah, atau mencuci piring, atau apa pun yang lebih bermanfaat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 November 2018.

Bocah yang Butuh Terapi

Setelah membicarakan panjang lebar mengenai aneka macam terapi—dari terapi aroma sampai terapi seiukufujutsu—seorang bocah berkata sungguh-sungguh, “Sepertinya aku butuh terapi.”

Saya bertanya, “Maksudmu, kamu butuh terapi seiukufujutsu?”

“Bukan,” dia menyahut. “Yang kubutuhkan adalah terapi sentuhan mbakyu.”

....
....

Tiba-tiba saya juga butuh terapi.

Selasa, 20 November 2018

Meniti Bianglala

Aku tidak pernah peduli berapa IQ yang mungkin kupunya. 
Aku hanya peduli seberapa keras aku belajar dan bekerja.


Kalau kau bisa menikmati masa kecil—setidaknya masa SD—dengan tawa ceria, kau sungguh orang beruntung. Kalau kau bisa menjalani masa SMP dan SMA dengan kebahagiaan, kau benar-benar patut bersyukur. Dan kalau kau bisa langsung kuliah selepas SMA, lalu mendapat kerja yang layak sebagaimana orang lain umumnya, kau sungguh orang terberkati.

Saya berani mengatakan semua itu, karena tidak mengalaminya.

Saya tidak memiliki yang kaumiliki. Saya tidak memiliki masa kecil yang penuh tawa ceria, saya tidak memiliki kebahagiaan seperti umumnya remaja, dan—sementara kau kuliah selepas SMA—saya justru terdampar dalam kebingungan, keputusasaan, dan menatap hidup begitu gelap, suram, tanpa cahaya.

Sejujurnya, kadang-kadang saya takjub pada diri sendiri, karena mampu bertahan hingga sekarang. Kini, saya menulis catatan ini sebagai retrospeksi, yang bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun, yang mungkin saat ini mengalami hidup seperti yang saya alami.

Bagi yang sudah bertahun-tahun membaca blog ini, tentu tahu kalau saya lahir dari keluarga miskin. Kemiskinan yang saya alami bisa diilustrasikan dengan mudah. Sejak kelas 3 SD, saya harus belajar mencari uang sendiri demi bisa jajan seperti umumnya anak-anak lain. Sepulang sekolah, saya bekerja sampai larut malam, dan hasilnya bisa dipakai untuk jajan di sekolah. Ya, hasilnya memang sekecil itu. Mengenai apa yang saya kerjakan saat itu, silakan baca di sini.

(Jadi, kalau kau merasa miskin tapi masih bisa jajan tanpa harus kerja keras mencari duit sendiri, kemiskinanmu belum seberapa).

Dua tahun kemudian, saat kelas 5 SD, ada teman sepermainan yang mengajak saya kerja di alun-alun. Kerjanya apa? Malakin orang.

Di alun-alun kota saya, ada banyak penjual makanan, dan tentu banyak pula yang datang membeli. Pada masa itu, di sekitar alun-alun belum ada tukang parkir resmi. Jadi, teman saya mengajak untuk menjadi tukang parkir liar di sana. Omong-omong, teman saya tahu “peluang” itu juga karena diajak temannya, yang lebih dulu bekerja di sana.

Sejak itu, saya pun bekerja di alun-alun, “memalak” tiap motor yang parkir di sana. Tiap sore saya berangkat ke alun-alun, dan biasanya baru pulang menjelang tengah malam. Hasilnya tidak banyak, tapi setidaknya saya bisa jajan seperti umumnya anak-anak lain di sekolah. Kelak, pekerjaan di jalanan itu terus saya jalani, sampai akhirnya saya SMA.

Sekitar tujuh tahun di jalanan, saya mengenal banyak hal—jauh lebih banyak yang bisa dikenal teman-teman sekolah saya. Bagaimana tidak? Sementara mereka bisa santai sepulang sekolah, saya harus pergi ke jalanan, dan bertarung dengan takdir. Sementara mereka duduk asoy di depan televisi, saya harus mengumpulkan receh. Sementara mereka mulai kenal acara kencan, saya harus menghadapi kekerasan demi kekerasan. Dan sementara mereka meringkuk damai dalam dekapan tidur, saya masih bercucuran keringat, berselimut debu.

Kalau kau berpikir saya begitu tegar, kau keliru. Di masa-masa itu, saya sering merasa getir, merasakan tikaman nasib yang begitu menyakitkan, tepat di jantung kehidupan saya. Di masa-masa itu pula, bersama keputusasaan dan malam yang gelap, kadang saya duduk di bawah pohon di alun-alun, lalu menangis sendirian. Meratapi nasib, mengutuk takdir, memaki hidup, mengasihani diri sendiri.

Menjelang tengah malam, saat saya melangkah gontai menuju pulang, kadang saya merasa getir karena hanya mendapat sedikit uang. Dalam kondisi semacam itulah, kadang saya berhenti sejenak di trotoar alun-alun, duduk di bawah pohon beringin, lalu berpikir, “Kenapa aku harus dilahirkan, jika hanya untuk menghadapi kegetiran nasib seperti ini?”

Lalu saya membayangkan teman-teman sebaya. Mereka bisa menikmati masa kanak-kanak dengan baik, dengan kemanjaan seperti umumnya anak-anak. Mereka juga tumbuh menjadi remaja yang ceria, seperti umumnya remaja. Mereka tidak mengalami nasib buruk yang saya alami. Jadi, dengan segala kepolosan waktu itu, saya bertanya-tanya, kenapa saya harus dilahirkan, jika tidak bisa seperti mereka?

(Kelak, “perenungan” di masa-masa itu memiliki pengaruh besar dalam membentuk pemikiran saya di masa dewasa, seperti yang kemudian kalian baca pada banyak catatan saya).

Lulus SMA, saya adalah bocah tanpa senyum, tanpa masa depan. Bahkan sebelum lulus, saya sudah tahu bahwa saya tidak akan bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Jadi, ketika akhirnya lulus SMA, saya pun harus menghadapi kenyataan mengerikan—kehidupan sesungguhnya—tanpa arah, tanpa tujuan, bahkan tanpa peta.

Seorang teman mengajak saya kerja di PPNP (tempat pelelangan ikan), sebagai tukang jaga titipan kendaraan. Saya menganggap itu peluang kerja yang bagus, dan saya pun langsung setuju.

Kapal-kapal ikan berlabuh di pantai tengah malam, lalu bongkar muatan di pelabuhan. Usai subuh, pelelangan dimulai, dan orang-orang telah berdatangan di sana. Kendaraan milik orang-orang itu dititipkan di tempat khusus penitipan, dan saya bersama teman bekerja di tempat penitipan itu. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini.

Karena kerja di tempat pelelangan ikan, jam kerja kami pun agak “aneh”. Kami harus berangkat habis subuh, lalu biasanya pulang sekitar pukul dua atau tiga siang.

Jadi, bertahun-tahun lalu, setiap hari saya mengayuh sepeda dari rumah menuju pantai, saat pagi masih gelap. Jarak dari rumah ke pantai sangat jauh, setidaknya 1,5 jam perjalanan dengan sepeda. Kalau pas hujan, saya harus mengayuh sepeda sambil menahan gigil. Bahkan tanpa hujan pun sebenarnya sudah sangat dingin. Pagi berangkat kedinginan, siang pulang kepanasan. Hasil kerja di sana juga tidak seberapa, tapi itu satu-satunya pekerjaan yang bisa saya dapatkan.

Suasana kerja di pelabuhan tidak jauh beda dengan suasana kerja di jalanan, sama-sama keras dan penuh tantangan—orang-orang mabuk, keparat-keparat yang sok jagoan, dan semacamnya—dan saya mulai terbiasa menghadapi hal-hal semacam itu. Semula, saya pikir akan kerja di sana selamanya, tapi ternyata tidak. Perlahan-lahan, kapal pengangkut ikan makin sedikit, dan pelelangan semakin sepi. Imbasnya, kendaraan yang dititipkan juga makin sedikit, dan hasil yang saya peroleh makin secuil.

Akhirnya, pelelangan ikan benar-benar sepi, dan saya tidak lagi bekerja di sana.

Beberapa waktu, saya luntang-lantung tanpa pekerjaan, tanpa uang, tanpa arah. Mencoba melamar kerja di berbagai tempat, dan tak pernah mendapat panggilan.

Lalu ada seorang teman yang menawari kerja di pabrik batik. Pekerjaannya menggambar batik di kain sutra. Saya langsung meraih tawaran itu, dan sejak itu pula saya bekerja sebagai tukang gambar batik. Upahnya harian, dan upah sehari kerja hanya bisa dipakai untuk makan satu kali. Tidak usah tanya berapa nominalnya, kalian bisa mengira-ngira sendiri. Lagi pula, saya malu menyebutkannya.

Karena upah harian sangat sedikit, saya—dan teman pekerja lain—harus lembur untuk bisa mendapat tambahan pemasukan. Lembur kerja dimulai pukul 5 sore, dan baru selesai pukul 2 atau 3 dini hari. Jadi, selama waktu-waktu itu, saya praktis hanya tidur 3 jam setiap hari, dan hal itu terus berlangsung beberapa tahun. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini.

Sampai di sini, saya ingin mengatakan sesuatu yang penting.

Pekerjaan pertama saya, yang dimulai pada waktu kelas 3 SD, lalu menjadi tukang parkir liar di alun-alun, pindah jadi tukang jaga titipan sepeda di tempat pelabuhan, hingga menjadi tukang gambar batik di pabrik, adalah pekerjaan-pekerjaan yang TIDAK SAYA INGINKAN. Saya membenci semua pekerjaan itu, karena—bahkan waktu itu pun saya menyadari—semua pekerjaan itu bukan jenis pekerjaan yang saya inginkan.

Waktu itu, saya sudah tahu passion saya, dan pekerjaan apa yang saya inginkan, yaitu menulis. Saya tidak ingin jadi tukang parkir, saya tidak ingin jadi tukang jaga titipan sepeda, saya tidak ingin jadi tukang gambar batik, saya tidak ingin jadi pegawai negeri, saya tidak ingin jadi penyanyi, saya tidak ingin jadi bintang film, saya tidak ingin jadi dokter atau pilot atau insinyur... saya hanya ingin jadi penulis.

Keinginan yang sederhana. Tetapi bahkan keinginan yang sederhana itu pun tidak bisa saya raih. Saya tidak punya mesin tik—modal utama untuk menjadi penulis—karena tidak mampu membelinya. (Di masa itu, komputer belum digunakan masyarakat umum).

Menyadari kenyataan itu, saya pun membangun tekad. Saya akan bekerja sekeras yang saya bisa, untuk mengumpulkan uang, demi bisa membeli mesin tik. Tekad itulah yang lalu memaksa saya bekerja habis-habisan, tak peduli waktu, demi terwujudnya impian. Dampak positifnya, saya belajar mencintai pekerjaan yang sebenarnya saya benci. Karena menyadari bahwa pekerjaan itu—meski saya membencinya—akan membantu saya meraih cita-cita.

Ketika bekerja menggambar batik, dari pagi sampai pagi lagi, sejujurnya saya benci melakukannya. Tetapi, jika saya tidak bekerja dengan baik, saya bisa dipecat. Karenanya, saya belajar mencintai yang saya lakukan waktu itu, dan bekerja sebaik yang saya bisa. Agar saya bisa terus bekerja di sana, dan perlahan-lahan membangun impian yang saya inginkan.

Pada akhirnya, saya benar-benar mencintai pekerjaan saya waktu itu. Karena menyadari bahwa melalui pekerjaan itulah saya bisa meniti bianglala, dan melukis pelangi di jiwa saya.

Itulah esensi mencintai pekerjaan.

Dalam hidup, ada masa-masa ketika kita harus menjalani pekerjaan yang tidak kita inginkan, yang tidak kita sukai, atau yang bahkan kita benci. Tetapi, bagaimana pun, pekerjaan itu menopang kehidupan kita, bahkan membantu kita mewujudkan impian. Kalau memang ada pekerjaan lain yang benar-benar kita cintai, silakan ambil. Tetapi jika tidak, belajarlah untuk mencintai pekerjaan yang kita lakukan.

Setiap kita memiliki passion, panggilan hati, impian, cita-cita, atau sebut lainnya. Setiap kita juga ingin menjalani pekerjaan yang sesuai passion. Tetapi tidak setiap kita bisa langsung meraihnya. Ada kalanya kita harus berjuang terlebih dulu sampai berdarah-darah, ada kalanya kita harus menjalani sesuatu yang dibenci sampai bertahun-tahun, ada kalanya pula kita harus ditikam frustrasi demi frustrasi.

Dan kita hanya memiliki dua pilihan; untuk terus berjuang... atau menyerah. Karena bianglala terukir setelah badai reda, dan pelangi terlukis seusai hujan turun.

To Be or Not to Be

Kita mungkin pernah mengalami "fenomena aneh" seperti ini: Saat pulang kerja, kita berencana mandi, lalu istirahat dengan tenang di kamar, karena merasakan badan lelah setelah seharian kerja. Membayangkan bersantai di kamar rasanya begitu menyenangkan, setelah tubuh kelelahan.

Tetapi, sesampai rumah, ponsel berdering. Gebetan tercinta menelepon, dan ngajak ketemu. Tentu saja kita menerima ajakannya, dan tiba-tiba semua lelah tadi seperti lenyap. Bukannya istirahat seperti yang direncanakan, kita justru keluar rumah dengan penuh energi. Apa artinya itu?

Artinya, seperti yang kutulis di tweet sebelumnya, "Yang membuat kita lelah (sebenarnya) bukan kerja, tapi stres."

Kita ingin istirahat sepulang kerja karena lelah... tapi lelah itu sebenarnya bukan karena kerja seharian, tapi karena stres seharian. Sulit dibedakan, memang.

Stres berasal dari pikiran, dan itu mempengaruhi fisik kita. Karena pikiran lelah, tubuh ikut lelah. Begitu pikiran distimulasi dengan hal menyenangkan (gebetan ngajak ketemu), tiba-tiba lelah kita hilang, dan tubuh kita kembali berenergi.

Mungkin ada contoh yang lebih baik....

Ada banyak pria yang bekerja keras seharian, dan pulang dengan tubuh terasa lelah, bahkan seperti sudah kehabisan tenaga (khususnya yang kerja fisik). Tetapi begitu sampai di rumah, dan melihat anaknya yang masih kecil menyambutnya, semua lelah itu hilang, dan energi baru datang.

Bagaimana "hal aneh" itu bisa terjadi? Karena pikiran kita mempengaruhi (bahkan sangat mempengaruhi) tubuh kita. Terkait kerja sehari-hari, inilah pentingnya kita mencintai pekerjaan yang kita lakukan, agar kita selalu senang melakukannya, hingga tingkat stres bisa selalu rendah.

Dalam percobaan di laboratorium, darah yang diambil dari orang stres dan lalu disuntikkan ke tubuh tikus, menyebabkan kematian si tikus hanya dalam beberapa menit.

Ilustrasi itu menunjukkan bagaimana efek destruktif yang dilakukan stres/pikiran terhadap tubuh dan kesehatan kita.

Terkait kerja, sekali lagi, itulah yang menjadi penyebab mengapa ada orang-orang yang begitu asyik dengan pekerjaannya, dan ada orang-orang yang justru sangat senang saat libur kerja. Masalahnya bukan semata-mata pekerjaannya, tapi yang ada dalam pikiran (tingkat stres) mereka.

Pekerjaan sebagus apa pun akan membuat kita cepat lelah, jika kita tidak mencintainya. Sebaliknya, pekerjaan sesederhana apa pun akan membuat kita selalu senang melakukan, jika kita mencintainya... atau berusaha mencintainya.

"To be or not to be," kata Hamlet. It's your choice.

Memang sungguh beruntung jika mendapat pekerjaan yang sesuai passion, sehingga kita mencintai yang kita lakukan. Tapi jika tidak, ada baiknya untuk belajar mencintai pekerjaan yang kita miliki. Agar kita senang melakukannya, juga agar bisa memberikan yang terbaik dari diri kita.

Yang kebetulan membaca rangkaian tweet ini mungkin ada yang membatin, "Halah, kamu bisa ngoceh seperti ini karena tidak pernah mengalami bagaimana rasanya kerja di tempat orang lain!"

Salah.

Sebenarnya, aku pernah bertahun-tahun kerja di pabrik dengan bayaran amat sangat kecil.

Waktu itu, pekerjaan yang kulakukan juga bukan yang kuinginkan (tidak sesuai passion). Dan apakah aku membenci pekerjaanku? Sangat!

Tapi lalu aku berpikir, pekerjaan itu memberi penghidupan untukku. Jika aku membencinya, aku merasa tak tahu diri. Jadi, aku belajar mencintainya.

Prosesnya tidak mudah, tentu saja. Tetapi, akhirnya, aku benar-benar bisa mencintai pekerjaanku waktu itu. Bahkan, sebegitu cinta, aku bisa bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 2 dini hari.

Jika ada yang menganggap tweet ini cuma ngibul, silakan baca ini » http://bit.ly/2v6lpMn

Belakangan, cara itu pula yang kulakukan pada pekerjaan-pekerjaan lain yang sempat kujalani. Tidak semua yang (pernah) kukerjakan sesuai passion-ku, tapi pada akhirnya aku selalu bisa belajar mencintai yang kulakukan, dan berusaha melakukannya sebaik yang aku bisa.

Latihan "mencintai pekerjaan" itu kini benar-benar bermanfaat bagiku. Sekarang aku memang bekerja di rumahku sendiri, dan bebas mau kerja kapan pun, bahkan bebas mau kerja atau tidak. Dan aku tetap bekerja keras, meski tidak ada yang mengawasi... karena aku mencintai pekerjaanku.

Pekerjaan yang kita miliki, apa pun, adalah tugas yang dibebankan alam semesta ke pundak kita. Dan sebaik apa pekerjaan kita, tergantung sebaik apa kita mengerjakannya. Karena tukang sapu yang bekerja dengan baik sama mulia dengan presiden yang mampu memimpin negara dengan baik.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Oktober 2018.

Teman yang Tak Berkhianat

Berdasarkan usianya yang sudah sepuh, Amancio Ortega mestinya sudah pensiun, menikmati masa tua, apalagi dia sudah kaya-raya (pernah peringkat 2 di Forbes). Tapi dia tetap bekerja setiap hari.

Setiap kali aku merasa malas bekerja, aku akan ingat dirinya, dan merasa sangat malu.

Elon Musk bekerja 18 jam setiap hari, dan kerja keras itu terus dilakukannya sampai hari ini, ketika dia mestinya bisa santai dan menikmati statusnya sebagai miliuner.

Setiap kali aku ogah-ogahan bekerja dan ingin malas-malasan, aku akan ingat dirinya, dan merasa sangat malu.

Dulu, ketika pertama kali merancang mobil, Henry Ford bekerja nyaris 24 jam setiap hari. Dia makan dan tidur di bengkelnya, tidak melakukan apa pun selain bekerja.

Dari dulu sampai sekarang, orang-orang hebat senang bekerja. Karena kerja keras adalah teman yang tak berkhianat.

Bertahun-tahun kemudian, Larry Ellison melakukan hal serupa. Ketika merangkak dari jurang nasib dan berusaha membangun hidupnya, Ellison juga bekerja nyaris 24 jam setiap hari. Dan, sekali lagi, kerja keras tak berkhianat.

Bertarung Melawan Takdir » http://bit.ly/1GV12Ge 

Aku sering mendengar orang mengatakan, "Kerja tidak perlu ngoyo, hiduplah dengan santai."

Kedengarannya bagus. Dan aku bertanya-tanya, apa yang telah mereka capai dengan itu? Sayangnya, kebanyakan mereka tidak mencapai apa pun, selain hanya nasihat yang terdengar bagus itu.

Hidup tentu akan lebih mudah dijalani kalau saja kita bisa santai setiap hari, foya-foya, dan uang serta prestasi datang sendiri. Sayangnya, kehidupan kita tidak memberlakukan aturan asoy semacam itu. Jangankan kehidupan manusia, bahkan kehidupan binatang pun tidak semudah itu.

Beberapa orang kadang memberi contoh ekstrem, "Orang bisa mati karena kelelahan bekerja."

Benar. Tapi lihatlah realitas secara lebih adil. Jauh lebih banyak orang yang mati karena tidak bekerja, daripada yang mati karena bekerja. Bekerja keras BERBEDA dengan kelelahan bekerja.

Kita perlu BEKERJA KERAS, bukan BEKERJA SAMPAI KELELAHAN. Itu dua hal yang berbeda. Kerja keras adalah aktivitas yang terarah dan terukur, bukan asal bekerja sampai mati kelelahan.

Kerja keras tidak membuatmu mati. Yang membuatmu mati adalah kelelahan. Itu dua hal yang berbeda.

Beberapa "penelitian ilmiah" bahkan ada yang sampai menyatakan bahwa bekerja keras tidak baik untuk kesehatan.

Ada yang terlewat dari penelitian itu, yang perlu diluruskan.

Bekerja keras memang tidak baik untuk kesehatan, jika—dan hanya jika—si pelaku tidak menyukai pekerjaannya.

Kalau kau setiap hari harus mengerjakan sesuatu, padahal kau tidak menyukai (apalagi membenci) yang kaulakukan, hasilnya memang jelas: Kau akan hancur luar-dalam. Kehidupan, kesehatan, bahkan kewarasanmu akan sama-sama rusak. Itu jelas, dan sangat mudah dipahami.

Tetapi...

Tetapi, kalau kau mencintai yang kaulakukan, dampak kerusakan semacam itu tidak terjadi.

Kalau kita bekerja keras setiap hari, dan kita mencintai yang kita lakukan, kita akan jauh dari kelelahan, karena bekerja dengan pikiran senang.

Yang membuat lelah bukan kerja, tapi stres.

Aku mencintai kerja keras, dan aku akan melakukannya sampai kapan pun, selagi bisa.

Bagi bocah sepertiku, bekerja adalah permainan yang menyenangkan. Sebegitu menyenangkan, hingga aku ingin terus melakukannya... dan melakukannya dengan sangat serius.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Oktober 2018.

Kamis, 15 November 2018

Menara Setan di Amerika

Persoalan kebenaran sering kali dimulai ketika kebenaran itu 
melarangmu mencari kebenaran lain. Yang menjadi masalah, 
pikiran sebagian manusia mungkin bisa disederhanakan dengan 
cara semacam itu, sementara sebagian yang lain tidak.


“Imajinasi mendahului pengetahuan,” kata Albert Einstein. Itu salah satu kalimat terkenal Einstein, yang kadang juga diterjemahkan menjadi, “Imajinasi lebih penting dari pengetahuan.”

Pernyataan itu bisa jadi penghormatan Einstein terhadap kemampuan imajinasi manusia, dalam mempengaruhi peradaban.

Tak bisa dipungkiri, sebagian besar peradaban manusia mula-mula lahir dari imajinasi. Kita membayangkan bisa terbang seperti burung, lalu lahirlah pesawat. Kita membayangkan bisa bercakap-cakap dengan orang lain dari jarak jauh, dan terciptalah telepon juga ponsel. Kita membayangkan bisa mengumpulkan informasi dari seluruh dunia di satu tempat agar bisa diakses siapa pun, dan muncullah internet.

Mula-mula bayangan, imajinasi, dan dari bayangan itu lahir aneka teknologi yang mempengaruhi peradaban manusia. Imajinasi mendahului pengetahuan.

Namun, pernyataan itu juga bisa jadi olok-olok Einstein terhadap kemampuan manusia dalam “mengarang bebas”. Dalam urusan mengarang bebas, manusia benar-benar juara. Tidak ada makhluk lain yang mampu menyusun cerita memukau, imajinatif, meski sebenarnya mustahil, selain manusia. Dan tidak ada makhluk lain yang mampu menerima cerita absurd dengan sepenuh kepercayaan, selain manusia.

Saya memikirkan kenyataan itu, ketika menatap Menara Setan di Amerika—bangunan alam yang kini menjadi salah satu monumen terkenal di negeri Paman Sam.

Di Amerika Serikat, tepatnya di Wyoming, ada sebuah tebing batu yang berdiri di dataran Sungai Belle Fourche. Tinggi tebing batu itu mencapai 1.559 meter di atas permukaan laut, dan struktur batuannya berlapis-lapis, tapi datar di bagian atas. Mirip tunggul pohon yang baru ditebang. Tebing batu itu dikenal dengan nama Menara Setan atau The Devil’s Tower. Dikenal pula dengan sebutan Bear Lodge.

Kenapa disebut Bear Lodge? Apa hubungannya dengan beruang (bear)? Dan kenapa tebing batu di sana disebut Menara Setan?

Pertanyaan-pertanyaan itu akan menghadirkan jawaban menarik, yang akan membuktikan ungkapan Einstein, bahwa “imajinasi mendahului pengetahuan”.

Ribuan tahun lalu, ketika orang-orang kuno di sana mendapati tebing batu menjulang tinggi ke langit, mereka mungkin kebingungan. Dengan kemampuan akal yang dimiliki, mereka mungkin bertanya-tanya, bagaimana tebing batu setinggi itu bisa terbentuk? Siapa yang membangunnya?

Mengingat tingginya mencapai 1.559 meter, manusia-manusia di zaman dulu mungkin sulit membayangkan tebing tinggi itu dibangun manusia.

Karena pengetahuan tidak mampu memahami, imajinasi mengambil alih. Dalam pikiran mereka, tebing batu itu tidak mungkin dibangun manusia. Maka mereka pun berpikir, “Pasti setan atau iblis yang membuatnya.”

Lalu lahirlah Menara Setan, The Devil’s Tower.

Sejak makhluk bernama manusia mulai bisa menggunakan akal pikiran, mereka bertanya-tanya tentang banyak hal. Ada banyak hal yang tidak mereka pahami, tapi terpampang nyata di depan mata. Seperti tebing batu di Wyoming. Mereka tahu tebing itu ada, tapi mereka tidak bisa memahami bagaimana asal usulnya. Karena tidak mampu menjawab pertanyaan yang mereka lontarkan, mereka pun mengarang jawabannya, dan mempercayai bahwa itulah jawabannya.

Lalu, “pengetahuan” itu diwariskan kepada anak cucu mereka, dari generasi ke generasi. Ketika anak-anak bertanya, “Bagaimana bisa ada tebing batu di sana? Siapa yang membuat?” Mereka pun memberikan jawaban pamungkas yang tak bisa diganggu gugat, “Itu menara setan! Iblis yang telah membuatnya.”

Anak-anak mereka tidak punya alasan untuk membantah—well, siapalah mereka dibanding orang-orang tua yang telah lebih dulu hidup? Jadi, anak-anak itu pun percaya yang dikatakan orang tua mereka, meyakini bahwa tebing batu tinggi adalah menara setan yang dibangun iblis. Lalu kepercayaan itu diwariskan kembali, dan diwariskan kembali. Tebing batu telah menjelma Menara Setan.

Sampai di suatu masa, ada generasi yang mulai “usil”. Ketika diberitahu tebing batu tinggi dibangun iblis, mereka bertanya, “Bagaimana iblis membangunnya? Kapan pembangunan terjadi? Mengapa iblis membangun menara batu di sana?” dan sederet pertanyaan lain yang memusingkan orang-orang tua.

Orang-orang tua di zaman itu mungkin mencoba menjawab, “Kami tidak tahu bagaimana iblis membangunnya, Nak. Kami juga tidak tahu kapan iblis keparat itu membangun menara di sana, atau karena alasan apa. Kami hanya diberitahu leluhur kami bahwa menara batu dibangun iblis, dan itulah yang telah kami percayai dari generasi ke generasi. Dan, omong-omong, kenapa kau tidak tutup mulut saja dan berhenti berpikir macam-macam?”

Sayangnya, akal yang mulai terbuka sulit ditutup kembali. Begitu pun generasi yang mulai mempertanyakan kenapa ada iblis yang kurang kerjaan, hingga punya waktu membangun menara batu. Dan generasi semacam itu lalu berkembang. Mereka sama-sama mempertanyakan asal usul menara batu yang jawabannya tidak memuaskan.

Kalau memang menara itu dibangun iblis, bagaimana ceritanya? Mereka harus diberi penjelasan yang lebih terang dan masuk akal, dengan kronologi yang runtut, sehingga mereka tidak gelisah.

Sampai lama, mungkin dari generasi ke generasi, orang-orang yang gelisah itu tetap tidak mampu menemukan jawaban masuk akal. Dan ketika pengetahuan tidak mampu menjangkau jawaban, imajinasi mengambil alih.

Sejak itulah, muncul legenda terkait tebing batu di sana. Kali ini, bukan setan atau iblis yang terlibat dalam pembangunan tebing batu tinggi, melainkan gadis-gadis yang dikejar beruang raksasa.

Menurut legenda terkenal di Wyoming, terbentuknya tebing batu di sana diawali tujuh gadis yang berlarian karena dikejar beruang. Semula, gadis-gadis itu bermain di hutan. Beruang raksasa datang kepada mereka, dan mengejar. Gadis-gadis itu melarikan diri dengan cepat melalui pepohonan, tetapi beruang dapat menyusul mereka.

Untuk menyelamatkan diri dari kejaran hewan ganas itu, mereka naik ke sebuah batu besar yang mereka temukan. Di atas batu besar, gadis-gadis itu berdoa dengan suara keras kepada roh leluhur, “Kasihanilah kami. Selamatkanlah kami!”

Ajaib, batu yang dipijak perlahan-lahan bergerak naik. Batu yang semula hanya setinggi semeter, perlahan-lahan naik hingga setinggi dua meter. Mendapati batu itu semakin tinggi, beruang tidak tinggal diam. Ia mencoba menjangkau gadis-gadis di atas batu, dengan mencakar-cakar tepian batu.

Semakin keras beruang berusaha menjangkau gadis-gadis, batu terus tumbuh dan meningkat naik dan semakin tinggi. Beruang terus berusaha mencakar-cakar batu, berharap bisa ikut naik, sementara batu semakin tinggi, terus semakin tinggi, hingga sampai ke langit.

Karena itulah, menurut legenda, di tepian tebing batu terdapat guratan-guratan kasar, yang merupakan bekas cakar beruang yang mencoba menjangkau puncak batu, tapi terus tergelincir. Guratan-guratan itu memang sangat tampak pada tebing batu tersebut, sampai sekarang. Itulah kenapa, Menara Setan di Wyoming juga disebut Bear Lodge.

Lalu ke mana gadis-gadis tadi? Menurut legenda, mereka sampai ke langit, lalu menjelma sebagai bintang, bernama Pleiades. Mereka tak pernah kembali ke bumi.

Oh, well, betapa hebat imajinasi manusia. Betapa hebat Homo sapiens—sang makhluk bijaksana—dalam mengarang bebas. Kalau kau mempertanyakan sesuatu yang tak kaupahami, karang saja jawabannya seperti yang kauinginkan, dan percayailah bahwa itu jawabannya. Setelah itu, tidurlah dengan tenang.

Kita yang hidup hari ini mungkin sulit percaya ada batu yang bisa meninggi sendiri, bahkan sampai menyentuh langit. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang hidup ribuan tahun lalu? Bagi mereka, kisah itu jauh lebih masuk akal dan lebih sistematis, dibanding percaya mentah-mentah bahwa tebing batu di sana dibangun iblis tanpa ada penjelasan lain.

Orang memeluk pengetahuan pada zamannya, sebagaimana kita memeluk pengetahuan di zaman kita. Ada masa ketika orang cukup diberitahu bahwa tebing batu bisa ada dan menjulang tinggi karena dibangun iblis. Tapi ada pula masa ketika penjelasan itu terdengar tak masuk akal, lalu mereka mengarang sendiri jawabannya. Meski belakangan, di zaman lain, jawaban yang masuk akal di masa lalu jadi terdengar absurd dan menggelikan.

Lalu bagaimana jawaban zaman sekarang, terkait tebing batu tinggi di Wyoming?

Sebenarnya, ilmu geologi belum bisa yakin bagaimana asal usul terbentuknya tebing batu di sana. Ada banyak teori yang pernah diajukan, satu yang masuk akal adalah akibat laccolith. Menara batu di Wyoming, menurut ilmu geologi, terbentuk karena laccolith.

Laccolith merupakan intrusi magma panas dari dalam bumi, yang tidak pernah mencapai permukaan. Hal itu mendorong terbentuknya tonjolan batuan sedimen di atasnya, namun tidak ada kaldera atau kawah yang terbentuk. Batuan cair dingin dan batuan sedimen lembut di tonjolan kemudian terkikis, dan batuan keras beku terbuka. Lalu makin lama makin menumpuk, hingga akhirnya menjelma sangat tinggi seperti sekarang.

Kalau berdasarkan teori ini, bisa dibayangkan kapan awal mula Menara Setan terbentuk. Ya, sekitar satu hingga dua juta tahun lalu. Setidaknya, sejauh ini, itulah teori yang masuk akal terbentuknya Menara Setan di Wyoming, Amerika.

Kini, Menara Setan di Wyoming menjadi tempat yang dikunjungi banyak wisatawan, yang ingin menikmati suasana petualangan. Bagi yang suka mendaki, hiking, atau menjelajah alam, di sana tersedia pendamping yang siap membantu dan menemani.

Sementara bagi yang ingin bersantai sambil menikmati suasana alami, kawasan itu juga bisa menjadi pilihan menarik. Setiap musim panas, pengelola wisata di sana menyediakan Service Summer Cultural Program. Itu program wisata berisi aneka kegiatan menarik, dari menikmati senja sambil mendengarkan teori geologis terbentuknya Menara Setan, hingga safari malam mengamati hewan liar di sekitar menara, dan mendirikan kemah di sekitar menara.

Sekadar saran, datanglah ke sana pada April, Mei, atau Juni. Pada bulan-bulan itu, bunga-bunga liar di sana sedang tumbuh dengan cantik dan mekar.

Oh, well, bunga-bunga mekar di antara Menara Setan.

Mencintaimu Dalam Sunyi

Aku ingin mencintaimu dalam sunyi
Dengan senyum yang tersimpan di kerinduan
Pikiran kepada jiwa yang menjadikannya ada

Aku ingin mencintaimu dalam sunyi
Dengan kata yang kubisikkan di balik hujan
Pada kesadaran yang menjadikannya cinta


*) Susunan kalimat dalam catatan ini mengadaptasi susunan kalimat puisi Sapardi Djoko Damono, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana”.

Hal-hal Gemes

Kenapa di dunia ini ada hal-hal gemes?

....
....

*Mikir sambil gemes*

Sabtu, 10 November 2018

Sunyi Tak Pernah Melukai

Hanya sunyi yang tak pernah melukai.
@noffret


“Bagaimana jika kelak kamu mati, sebelum sempat menikah?”

Pertanyaan itu diajukan seorang teman kepada saya, saat kami mengobrol suatu malam. Seperti obrolan antarteman umumnya, kami ngobrol ngalor-ngidul, dari soal-soal penting sampai yang tidak penting, sampai yang tidak penting sekali. Dari urusan perkawinan sampai kematian.

Teman mengobrol saya malam itu akan menikah, tidak lama lagi. Jadi, kami pun sempat mengobrolkan perkawinan. Saat memasuki topik itulah, dia mencetuskan pertanyaan, “Bagaimana kalau kelak kamu mati, sebelum sempat menikah?”

Saya menyahut dengan agak bingung, “Memangnya kenapa?”

Sekarang dia yang tampak bingung. Sambil tampak bingung pula dia mengatakan, “Yeah... maksudku, apa kamu tidak pernah merisaukan itu? Maksudku, mati tanpa istri dan anak-anak...”

Saya menjawab perlahan-lahan, “Mati tanpa istri dan anak-anak, mati setelah punya istri dan anak-anak—kupikir tidak ada bedanya. Setidaknya, bagiku tidak ada bedanya. Wong sama-sama mati.”

Dia menegaskan, “Jadi, kamu sama sekali tidak risau, kalau kelak mati padahal belum menikah?”

“Jangankan kelak,” saya menjawab, “bahkan umpama besok mati, memangnya aku bisa apa?”

....
....

Sebagai manusia, saya juga pernah merisaukan kematian. Bukan hanya merisaukan, dulu saya juga memiliki perasaan takut mati. Ada banyak alasan, dari yang logis sampai yang tidak logis. Tetapi, lama-lama, seiring nalar makin dewasa, saya makin menyadari bahwa kematian tidak perlu ditakuti. Karena, ditakuti seperti apa pun, nyatanya setiap orang tetap akan mati.

Mati adalah satu hal, dan ketakutan terhadap kematian adalah hal lain. Jika saya pikirkan, sebenarnya itulah yang terjadi.

Sebenarnya, setiap orang menyadari bahwa semua manusia—setiap kita—pasti akan mati. Yang belum jelas hanya kapan waktunya. Juga apa yang akan terjadi setelah mati. Hal terakhir itulah, mungkin, yang menjadikan banyak orang takut mati. Karena ada ketidakpastian. Bagaimana pun, ketidakpastian memang kadang—bahkan sering—membuat takut dan risau. Termasuk ketidakpastian setelah mati.

Agama mengajarkan, ada kehidupan lain setelah kematian. Bahwa setiap orang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, bahwa urusan manusia tidak selesai setelah kematian. Ajaran itu pula yang—bisa jadi—membuat sebagian orang takut mati, karena mungkin menyadari belum cukup baik menjalani hidup, sehingga khawatir kalau kelak dimintai pertanggungjawaban.

Dulu saya juga berpikir seperti itu. Saya risau, karena membayangkan, apa jadinya kalau kelak saya dimintai pertanggunjawaban setelah kematian, dan ternyata saya dinilai “tidak bertanggung jawab”? Saya takut, kalau kelak—di alam setelah kematian, atau di akhirat—saya masuk neraka karena dinilai tidak baik selama menjalani kehidupan di dunia.

Setelah menyadari kenyataan itu, saya pun melihat akar masalahnya. Bahwa yang membuat saya risau, khawatir, dan takut, tergantung pada cara saya menjalani hidup.

Dengan kata lain, kalau saya menjalani kehidupan dengan baik, dengan lurus, kenapa harus takut jika kelak ada pertanggungjawaban setelah kematian? Itu tak jauh beda kalau kita berkendara dengan baik, membawa surat-surat lengkap, dan tanpa diduga di tengah jalan ada operasi lalu lintas. Ya tidak masalah, wong kita tidak salah.

Begitu menyadari kenyataan semacam itu, saya lebih santai dalam menatap kematian. Sejak itu pula, saya pun memegang prinsip sederhana dalam menjalani hidup, yaitu berusaha hidup dengan baik. Itu saja.

Jika Tuhan memang ada, tentu Dia menyadari bahwa saya manusia biasa, bahwa saya makhluk yang tidak sempurna, bahwa saya memiliki begitu banyak kekurangan. Dan dengan segala ketidaksempurnaan serta segala kekurangan, saya berusaha menjadi pribadi yang baik, menjalani kehidupan dengan baik—semampu yang saya bisa.

Tentu bohong, dan takabur, kalau saya mengatakan tidak pernah berbuat salah atau dosa. Sebagai manusia yang daif, saya menyadari—sesadar-sadarnya—bahwa saya juga penuh salah dan dosa. Namun, di antara kesalahan dan dosa yang saya lakukan sebagai manusia, saya juga berusaha mengimbangi dengan hal-hal baik yang saya bisa. Karena manusia bukan malaikat, juga bukan iblis. Begitu pun saya.

Jadi, terkait kematian, prinsip hidup saya sederhana. Saya akan menjalani kehidupan sebaik-baiknya, semampu yang saya bisa. Dalam kehidupan sehari-hari, misal, saya berusaha agar tidak menimbulkan masalah apalagi keburukan, bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Bagaimana kalau orang lain mencari masalah dengan saya? Oh, saya kan orang biasa, bukan malaikat. Tentu saja saya akan marah... dan bisa jadi akan membalas! Persetan dengannya!

Intinya, saya akan berusaha untuk tidak mencari masalah dengan siapa pun. Jika saya bisa berbuat baik kepada orang lain, saya akan bersyukur. Namun jika tidak, minimal saya tidak membuat masalah. Itu saja.

Prinsip itu pula yang menjadikan saya lebih menikmati kesunyian dan kesendirian, karena meminimalkan kemungkinan timbulnya masalah dengan orang lain. Sunyi tak pernah melukai, sebagaimana saya tak bisa melukai sunyi.

Itu terkait dengan orang lain. Dengan alam tempat hidup, saya juga memberlakukan prinsip sederhana yang sama. Jika saya bisa memberikan kebaikan bagi lingkungan sekitar, saya akan bersyukur. Namun jika tidak, minimal saya tidak menimbulkan masalah atau kerusakan bagi lingkungan.

Lalu bagaimana dengan Tuhan? Terus terang, itu urusan saya pribadi, karena hubungan antara manusia dengan Tuhan—setidaknya bagi saya—adalah urusan privat. Saya tidak butuh penilaian orang lain terkait hubungan saya dengan Tuhan. Terkait dengan sesama manusia, tugas saya adalah memastikan diri saya tidak menimbulkan masalah bagi sesama. Sementara terkait Tuhan, biarlah itu urusan saya dengan-Nya.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip sederhana itu, hidup saya lebih tenteram, dan ketakutan atau kerisauan terhadap kematian perlahan-lahan berkurang. Kini, saya bahkan tidak lagi takut mati. Karenanya, bisa dibilang, saya siap mati kapan pun, karena tidak ada lagi yang ditakuti. Bahkan umpama besok saya mati, tidak apa-apa. Mungkin saya masih banyak dosa, tapi saya yakin Tuhan Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

Sekarang, setiap hari, saya menjalani kehidupan pribadi dengan pikiran seperti ini, “Aku akan mengisi hari ini sebaik-baiknya, sebaik yang aku bisa.”

Sudah, hanya itu. Lalu saya mengisi hari dengan berbagai aktivitas biasa—belajar, bekerja, berikhtiar—dari bangun tidur sampai tidur lagi. Prinsip yang sederhana, dan membuat pikiran serta jiwa saya tenteram.

Jika kelak setelah mati memang ada alam akhirat, dan saya harus mempertanggungjawabkan kehidupan selama di dunia, saya siap mempertanggungjawabkan.

Jika di sana memang ada pengadilan, saya percaya pengadilan akhirat adalah seadil-adilnya pengadilan. Tidak ada hakim yang berat sebelah, tidak ada jaksa yang gelap mata, tidak ada kasus yang diperjualbelikan. Berhadapan dengan pengadilan yang adil semacam itu, saya tidak akan gentar. Bahkan umpama hasil akhirnya saya dinyatakan bersalah.

Sebaliknya, jika kelak setelah mati ternyata akhirat tidak ada, Tuhan tidak ada, surga dan neraka tidak ada, juga tidak apa-apa. Setidaknya, saya telah berusaha menjalani kehidupan sebaik yang saya bisa, dan telah berusaha meninggalkan hal-hal baik untuk generasi setelah saya.

Oh, well, tidak apa-apa.

Jadi, bagi saya, ada akhirat ya tidak masalah, tidak ada akhirat juga tidak masalah. Ada surga dan neraka ya silakan, tidak ada juga tidak apa-apa. Saya hidup bukan untuk mengejar surga atau menghindari neraka. Saya hidup untuk menjadi manusia yang baik... sebaik yang saya bisa. Karena hidup adalah soal pilihan, dan saya telah menetapkan pilihan saya.

Pada akhirnya, saya juga menyadari, bahwa hidup terbaik bukan mengharapkan hal-hal baik di luar kita, melainkan berusaha mengeluarkan hal-hal baik dari dalam diri kita. Toh surga dan neraka—kalau memang ada—bukan hak manusia, melainkan pilihan dan keputusan Pemiliknya.

Sebagai manusia, saya hanya bisa berusaha sebaik yang saya bisa. Selebihnya, saya bisa apa?

Noffret’s Note: Blog

Nemu pertanyaan di email, siapa tahu berguna bagi orang lain.

"Blogger sama WordPress (WP), bagus mana?"

Secara taksonomi, bagus WP. Karena WP memungkinkan adanya "Kategori" dan "Tag". Sementara Blogger hanya menyediakan "Label". WP memungkinkan arsip lebih mudah ditemukan.

"Kalau memang bagus WP, kenapa kamu pakai Blogger?"

Ini mungkin subjektif. Pertama, karena kebiasaan. Bagi yang sudah terbiasa dengan Blogger, platform Blogger terasa lebih user friendly. Kedua, di Blogger tak ada iklan bawaan sebagaimana di WP, jadi tampilan blog lebih bersih.

"Secara SEO, bagus mana antara WP dan Blogger?"

Sejujurnya, aku kurang tahu dan kurang tertarik dengan urusan SEO. Aku punya definisi sendiri mengenai SEO yang bisa jadi tidak sama dengan pemahaman orang lain. Akan lebih bagus kalau pertanyaan itu ditanyakan ke pakarnya.

"Kenapa blogmu tidak pakai nama domain sendiri?"

Jawabannya panjang, dan dulu pernah kujelaskan di sini » https://bit.ly/2LJ4bQC 

Well, aku ngeblog untuk bersenang-senang, dan menulis di blog adalah upayaku mewariskan pengetahuan dan pengalaman pada generasi yang akan datang.

"Sampai kapan kamu akan ngeblog?"

Mungkin sampai aku tidak bisa menulis lagi. Blog adalah temuan revolusioner, yang memungkinkan kita mengarsipkan pikiran, wawasan, dan pengetahuan, tanpa khawatir hilang, dan bisa menjadi warisan bagi generasi ke generasi. It's magnificent.

"Kamu aktif ngeblog, kenapa tidak bikin vlog?"

Ada perbedaan esensial antara blog dan vlog. Blog memungkinkanku berbicara tanpa harus tampil, vlog sebaliknya. Aku lebih ingin kau tahu pikiran-pikiranku, belajar dari pengalamanku, merenunginya, dan bukan malah memelototi wujudku.

"Bagaimana agar aku bisa bertemu denganmu?"

Well, aku akan senang hati menemuimu. Tapi tolong pikirkan terlebih dulu, kenapa aku ingin bertemu denganmu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Juli 2018.

Noffret’s Note: Penjaja

Dulu, hanya salesman yang menawarkan barang jualannya dari pintu ke pintu. Sekarang, rupanya, ada pula orang-orang yang menawarkan agama dari pintu ke pintu. Setidaknya, mereka telah datang beberapa kali ke rumahku.

Terus terang, aku tidak pernah respek pada mereka (yang menjajakan agama dari pintu ke pintu). Mereka menawar-nawarkan sesuatu yang seharusnya tidak ditawar-tawarkan dengan cara "murahan" semacam itu.

Beberapa orang di tempat tinggalku jadi muak gara-gara terus didatangi orang-orang itu, dan ditawar-tawari hal sama. Itu ironis, sebenarnya. Betapa orang jadi muak pada agama, gara-gara ada sekelompok orang yang terus menerus menawarkannya seperti penjaja.

Kalau ada sales datang ke rumahmu dan terus menawar-nawarkan barang yang sama, hingga kau merasa terganggu, mungkin kau bisa mengusirnya, dengan alasan sales itu mengganggu. Tapi bagaimana jika "sales" itu menawarkan agama? Di situlah masalahnya.

Tempo hari, tetangga depan rumah curhat, "Sekarang aku waswas tiap ada yang ngetuk pintu. Khawatir, kalau yang datang orang-orang itu (yang menawarkan agama dari pintu ke pintu)." Demi Tuhan, apa yang lebih ironis dari itu?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Mei 2018.

Senin, 05 November 2018

Akar Kerusakan Bumi

Akan tiba suatu masa ketika Bumi murka, 
kejahatan disembah, kebodohan menjadi berhala, 
dan umat manusia menjadi wabah di antara bencana.


Sebagian daerah pesisir Pantura mengalami masalah rob, yaitu naiknya air laut ke daratan. Genangan air yang berasal dari rob berbeda dengan genangan air yang berasal dari hujan. Jika genangan air hujan hanya berlangsung selama hujan turun, genangan air rob terus ada, meski tidak ada hujan. Kadang-kadang, rob menggenang dalam waktu relatif singkat, tapi kadang-kadang juga sangat lama.

Kalian yang tinggal jauh dari daerah pesisir, dan tidak melihat langsung seperti apa wujud rob, mungkin agak sulit membayangkan. Karenanya, biar saya ceritakan lebih jelas dan detail, agar setidaknya kalian memiliki bayangan.

Tidak jauh dari tempat saya tinggal, ada sebuah perkampungan yang telah bertahun-tahun dilanda rob. Seluruh perkampungan digenangi air, sehingga orang-orang di sana setiap hari menjalani kehidupan seperti dalam kondisi banjir. Tapi itu bukan banjir akibat air sungai yang meluap, yang biasanya akan surut sendiri. Yang melanda perkampungan itu rob—genangan air yang berasal dari laut.

Kita pasti paham bagaimana genangan banjir terjadi. Karena curah hujan yang tinggi, air sungai meluap. Luapan air sungai lalu naik dan membanjiri tempat-tempat di sekitar. Itulah yang kita sebut banjir. Genangan banjir biasanya surut dan hilang setelah hujan berhenti, atau setelah aliran sungai tidak lagi meluap. Dengan kata lain, banjir berasal dari air hujan atau air sungai.

Berbeda dengan rob. Rob tidak berasal dari atas (berupa air hujan), tapi muncul dari bawah tanah (berupa air laut yang merembes ke atas). Jadi, tidak ada hujan dan tidak ada luapan air sungai, tapi air muncul di mana-mana, dari kedalaman tanah. Air itu lalu menggenangi banyak tempat—pinggir-pinggir jalan, perkampungan-perkampungan, hingga rumah-rumah. Itulah yang disebut rob.

Kondisi itulah yang terjadi di perkampungan yang tadi saya ceritakan. Selama bertahun-tahun, perkampungan itu telah digenangi rob yang tak pernah surut. Air rob muncul dari bawah tanah, bahkan banyak yang muncul di dalam rumah. Hasilnya, seluruh perkampungan—beserta rumah-rumah yang ada di sana—digenangi air. Ada yang setinggi mata kaki, ada pula yang setinggi lutut. Dan itu telah berlangsung bertahun-tahun.

Sebegitu parah kondisi rob yang terjadi di sana, sampai-sampai beberapa rumah akhirnya hancur dan roboh, karena tak mampu lagi menahan genangan air rob yang menggerogoti fondasi bangunan. Kita pun bisa membayangkan bagaimana menderitanya kehidupan orang-orang di sana, yang setiap hari harus berkubang air rob. Dan masalah semacam itu—genangan rob—bisa dibilang telah melanda hampir semua kawasan pesisir. Semua tempat terkena rob, termasuk jalan raya.

Menghadapi masalah rob, pemerintah daerah telah berupaya melakukan penanggulangan. Sayangnya, upaya yang dilakukan pemerintah hanya “menambal” dan “memperbaiki” masalah, bukan membenahi dan membereskan akar masalah. Akibatnya, masalah rob tak pernah selesai, hingga bertahun-tahun, karena yang dilakukan hanya “menambal” dan “memperbaiki”, sementara akar masalahnya tidak tersentuh.

Yang dilakukan pemerintah selama ini adalah menaikkan permukaan jalan raya yang rawan terkena rob. Jadi, di sekitar pesisir dan Pantura, ada banyak jalan yang permukaannya dinaikkan sangat tinggi. Tujuannya agar rob tidak sampai menggenangi jalan raya. Peninggian jalan raya itu bahkan tidak lagi menggunakan aspal seperti biasa, tapi menggunakan beton—rata-rata setinggi 30 cm—agar kuat menghadapi rob.

Sekilas, upaya itu terlihat baik. Dengan peninggian jalan raya, apalagi menggunakan beton, jalan-jalan yang biasa tergenang rob berubah kering, dan terbebas dari serangan rob. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah. Karena ketika jalan raya dinaikkan, rumah-rumah dan lingkungan di sekeliling jalan raya menjadi korban. Karena genangan rob tidak bisa mencapai permukaan jalan raya, rob menggenangi rumah-rumah dan lingkungan sekitar yang lebih rendah.

Sebagian orang yang memiliki uang, memang bisa meninggikan permukaan rumah mereka, sehingga rata atau bahkan lebih tinggi dari permukaan jalan raya, demi tidak terserang genangan rob. Tapi tidak semua orang memiliki kemampuan seperti itu.

Akibatnya, solusi yang ditempuh pemerintah—dengan meninggikan jalan raya—menimbulkan masalah lain bagi masyarakat. Dan kelak, jika semua warga telah meninggikan rumahnya, genangan rob akan kembali ke jalan raya, dan pemerintah mungkin akan kembali kelabakan.

Itu seperti lingkaran setan.

Satu upaya yang dianggap solusi dilakukan, tapi kemudian menimbulkan masalah lain. Dan begitu seterusnya. Kenapa? Karena yang dilakukan hanya “menambal” dan “memperbaiki”, tapi melewatkan akar masalahnya.

Mestinya, yang dilakukan pemerintah adalah melihat akar masalah, yaitu rob. Seluruh daya dan upaya mestinya diarahkan untuk menyelesaikan akar masalah tersebut, sehingga rob teratasi tanpa menimbulkan masalah baru. Meninggikan permukaan jalan raya memang terlihat seperti menyelesaikan masalah. Tapi hanya temporer, karena akar masalahnya tetap dibiarkan.

Kenyataan itulah yang sekarang dialami masyarakat sekaligus pemerintah yang ada di wilayah Pantura. Dan masalah itu tidak bisa dibilang ringan. Beberapa ahli bahkan memprediksi, dua puluh tahun mendatang kawasan Pantura—khususnya yang ada di bagian pesisir—akan “dihapus” oleh gelombang naiknya permukaan laut. Saat ini hanya rob. Tapi jika masalah rob tidak segera diatasi dengan benar, di tahun-tahun mendatang akan menjadi badai.

Memikirkan masalah rob, membuat pikiran saya tergoda untuk memikirkan nasib bumi yang sekarang kita tinggali bersama. Masalah rob di Pantura, dalam bayangan saya, adalah miniatur masalah bumi dan kehidupan umat manusia.

Saat ini, bumi sedang menghadapi masalah besar, tapi tidak semua orang mau melihat dan menyadari keberadaan masalah tersebut. Masalah besar yang dialami bumi saat ini adalah kelebihan populasi. Sebut masalah apa pun yang ada di bumi, maka kita bisa merunut hingga ke akar-akarnya, dan akar masalahnya adalah jumlah manusia yang sudah terlalu banyak. Bahkan masalah rob di Pantura pun, jika ditelusuri ke akar-akarnya, akan sampai pada masalah ledakan populasi.

Kelebihan populasi manusia, itulah akar segala masalah yang sekarang melilit bumi. Sekali lagi, sebut masalah apa pun, dan kita akan menemukan bahwa akar masalahnya adalah populasi manusia yang sudah kelewat banyak!

Lihatlah jalan-jalan raya di mana pun. Kemacetan ada di sana, dan kemacetan yang parah menghasilkan polusi udara yang sama parah. Polusi udara yang parah menghasilkan aneka penyakit, bahkan wabah. Selain polusi, kemacetan yang parah juga menimbulkan kecelakaan, aneka kejahatan di jalan, dan berbagai masalah lain.

Kenapa ada kemacetan? Jawabannya sederhana, karena luas jalan jalan raya tidak sebanding dengan banyaknya kendaraan. Kenapa banyak kendaraan? Jawabannya juga sederhana, karena banyak manusia. Hanya manusia yang memakai kendaraan! Anjing buduk, juga ular beludak, tidak memakai kendaraan!

Itu baru contoh sepele—kemacetan di jalan raya. Padahal, masalah yang dihadapi kehidupan manusia di bumi tidak sebatas di jalan raya. Masalah yang ditimbulkan akibat banyaknya manusia, merentang dari masalah yang jelas-jelas terlihat sampai yang tidak terlihat. Susahnya, betapa sedikit manusia yang mau menyadari kenyataan itu.

Manusia butuh makan, dan makanan manusia dihasilkan dari bumi. Semakin banyak manusia, semakin sempit lahan di bumi, karena digunakan untuk hunian atau tempat tinggal. Semakin sempit lahan, artinya hasil bumi juga menyusut. Berdasarkan ilustrasi sederhana ini saja, kita bisa membayangkan, bahwa kelak di suatu masa, manusia akan menghadapi masalah makanan, dan mereka harus berebut bahkan bertarung untuk bisa makan.

Manusia butuh pekerjaan, dan kian hari lapangan kerja semakin menyempit, akibat tidak berimbangnya lapangan kerja dengan jumlah pencari kerja. Karena jumlah pencari kerja dan lapangan kerja tidak imbang, tidak semua pencari kerja akan mendapat pekerjaan. Sebagian dari mereka terpaksa menganggur, bekerja apa adanya, dan ada pula yang terpaksa melakukan kejahatan demi mendapat uang. Berdasarkan ilustrasi sederhana ini saja, kita bisa melihat bahwa tingginya kriminalitas salah satunya dipicu oleh tingginya populasi manusia.

Jika ilustrasi-ilustrasi ini mau diteruskan, tulisan ini bisa sepanjang kitab Mahabharata. Dan masalah-masalah semacam itu, semuanya dipicu oleh (makin) tingginya populasi. Semakin banyak jumlah manusia, semakin banyak masalah yang ditimbulkan. Kenapa kita tidak juga menyadari kenyataan yang sangat-sangat jelas ini?

Di belakang rumah almarhum kakek saya ada sungai. Dulu, ketika saya masih anak-anak, sungai itu sangat bening. Sebegitu bening, hingga saya seolah bisa melihat apa pun yang ada di balik air. Di masa lalu, saya kadang memancing di sana bersama anak-anak tetangga, dan kami mendapat udang atau ikan, lalu dinikmati bersama. Kami juga suka mandi di sungai, bermain-main air yang jernih mengalir.

Kini, sungai itu masih ada. Tapi kondisinya jauh berbeda. Air yang dulu jernih kini berubah kotor dan menghitam akibat limbah. Tidak ada orang yang berminat duduk-duduk di pinggir sungai seperti dulu. Tidak ada orang yang berani mandi di sana, bahkan tidak ada orang berminat memancing ikan di sana. Sungai yang dulu begitu indah kini berubah menjadi aliran air yang tercemar limbah.

Bagaimana perubahan itu bisa terjadi? Oh, well, kita bisa menuding pabrik dan industri yang tak bertanggung jawab, yang membuang limbah ke sungai. Tetapi, jika masalah itu ditelusuri sampai ke akar-akarnya, kita akan sampai pada kenyataan bahwa masalah pencemaran sungai—dan aneka pencemaran lingkungan lain—berawal dan berasal dari tingginya populasi manusia. Pabrik dan industri tidak akan ada, tanpa keberadaan manusia.

Tingginya populasi manusia, itulah akar segala masalah di bumi, dan awal kerusakan dunia. Bagi saya, masalah ini sangat jelas, gamblang, dan sangat mudah dipahami. Sebegitu jelas dan gamblang, hingga saya heran setengah mati, karena banyak orang yang tidak juga melihatnya.

Masalah ledakan populasi tidak jauh beda dengan masalah rob di Pantura. Sebagian orang hanya berusaha menambal dan mencoba memperbaiki masalah, tapi membiarkan akar masalah. Beberapa orang yang disebut pakar atau ilmuwan bahkan merencanakan untuk memindahkan manusia ke planet lain, di antaranya Mars. Padahal, akar masalahnya bukan tempat tinggal, melainkan populasi!

Tentu saja kita tidak bisa menghentikan penambahan populasi, tetapi—setidaknya—kita bisa membantu kehidupan bumi dengan cara menyadarkan sesama manusia, dengan memberitahu mereka bahwa inilah masalahnya.

Karena itulah, terus terang saya muak dan frustrasi melihat sebagian bangsat tak tahu diri yang memprovokasi orang-orang lain cepat kawin, cepat punya anak, tanpa menyadari bahwa itulah inti masalah manusia saat ini.

Orang-orang yang suka mengejek orang lain yang tidak/belum menikah, yang suka memprovokasi orang lain cepat kawin dan punya anak, merekalah sesungguhnya perusak bumi dan perusak kehidupan manusia. Bangsat-bangsat itu tidak berpikir menggunakan akal pikirannya, tapi menggunakan selangkangannya. Akibatnya, mereka terbutakan oleh realitas betapa rusaknya bumi akibat ulah mereka, betapa rusaknya kehidupan manusia akibat perbuatan mereka.

Sekali lagi, kita memang tidak bisa—atau setidaknya sulit—menghentikan laju populasi. Tetapi, setidaknya, kita bisa belajar untuk menyadari bahwa kelebihan populasi menjadi akar masalah di bumi. Dan, untuk itu, kita bisa menutup cocot masing-masing, untuk tidak memprovokasi orang-orang lain agar cepat kawin!

Wabah Kebodohan

Bukan bumi yang kian tidak ramah, tapi populasi yang terus bertambah, dan sifat adiluhung manusia yang makin berubah.

Masalah terbesar umat manusia tidak jauh di ujung Bumi, tapi di dalam diri mereka sendiri. Entah kapan kita akan menyadari.

Bumi tidak bertambah luas, dan kekayaan alam memiliki batas. Tapi jumlah manusia terus bertambah berkali lipat. Sesederhana itu masalahnya.

Manusia menyangka Bumi adalah Surga, lalu asyik bereproduksi tanpa dosa, dan mewariskan kebodohan mereka pada anak-anaknya.

Kiamat pasti akan terjadi. Tapi tidak seperti yang kita sangka selama ini.

Akan tiba suatu masa ketika Bumi murka, kejahatan disembah, kebodohan menjadi berhala, dan umat manusia menjadi wabah di antara bencana.

Hanya soal waktu bagi Bumi untuk membersihkan dirinya sendiri dari koreng luka bernama manusia.

Kita sedang dibodohi oleh diri kita sendiri.

Kita ngeri saat melihat perkampungan padat, kotor, bau, dan kumuh, tanpa menyadari kita sedang hidup dalam peradaban yang sama kumuhnya.

Sekelompok tikus dalam rumah kita mungkin belum jadi masalah. Tapi jika ada tujuh miliar tikus di rumah, itu jelas masalah. Sesederhana itu.

Sebagian orang menyangka program depopulasi hanyalah omong kosong teori konspirasi. Tidak, program depopulasi memang ada dan sedang terjadi.

Perang, wabah penyakit, obesitas, hanyalah sebagian kecil dari program depopulasi. Tujuan akhirnya sama; mengurangi penduduk Bumi.

Koran-koran hanya memberitakan permukaan. Kenyataannya, yang di permukaan adalah hasil rekayasa dan kebohongan. Dan itulah yang kita makan.

WHO (iya, WHO yang itu) sama sekali bukan Nabi. Tapi umat manusia menerima semua fatwa dan ocehannya seolah menghadapi firman suci.

PBB (iya, PBB yang itu) sama sekali bukan Tuhan. Tapi cobalah pikirkan siapa yang berani melawan. Masih bingung? Itulah Tatanan Dunia Baru.

Tatanan Dunia Baru atau semacamnya bukan omong kosong teori konspirasi. Semuanya sedang terjadi. Dan kita terlalu naif untuk menyadari.

Penyangkalan adalah sisi gelap psikologi. Saat manusia ketakutan menghadapi kemungkinan, mereka akan menyangkal untuk lari dari kenyataan.

Belum pernah, dalam dua ratus ribu tahun sejarah Bumi, manusia begitu damai dan santai menghadapi kebodohannya sendiri, seperti hari ini.

Lebih mengerikan dari AIDS, Pes, atau Ebola, Kebodohan adalah wabah paling mengerikan, paling tidak disadari, dan paling sulit diobati.

Saat orang terkena penyakit atau infeksi, mereka segera menyadari. Tapi saat orang terjangkit wabah kebodohan, mereka tetap percaya diri.

Hanya menunggu waktu bagi manusia untuk berubah menjadi serigala, saat Bulan memucat dan Bumi semakin padat, untuk memangsa manusia lainnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Agustus 2014.

Cocot Menuso

Ora awan ora bengi, isine cocot menuso.

Paling cocot wae dikeras-keraske.

Kamis, 01 November 2018

Buku-buku Terbaik yang Tidak Direkomendasikan

Bersenang-senang versiku adalah duduk sendirian di sofa, 
tenang dan hening, membaca buku, dengan segelas 
teh hangat, dan rokok. Sempurna.


Sudah cukup lama, saya rutin menulis dan meng-update blog, setidaknya lima hari sekali. Agar apa? Tidak agar apa-apa! Saya hanya ingin melakukannya—itu saja.

Karena memang menulis tanpa motivasi apa pun, selain ingin melakukannya, saya pun merasa ringan menulis apa saja, tanpa dibebani pikiran macam-macam. Ada yang membaca atau tidak, bisa dibilang tidak ada pengaruhnya bagi saya. Wong saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan.

Saat ini, saya perlu update blog sesuai jadwal, tapi kebetulan sedang jauh dari rumah. Jadi saya tidak bisa mengakses dokumen di komputer saya (catatan-catatan yang akan saya unggah ke blog tersimpan di komputer). Karena sempat bingung mau nulis apa, akhirnya saya buka-buka e-mail, siapa tahu nemu sesuatu yang bisa saya tulis.

Di salah satu e-mail yang saya baca, ada yang membahas daftar buku terbaik yang beberapa kali saya posting di blog. Isi e-mail itu lumayan panjang, tapi intinya adalah menanyakan, kira-kira seperti ini, “Kamu menulis daftar buku-buku yang menurutmu terbaik, tapi kamu juga menyatakan bahwa kamu tidak merekomendasikan buku-buku tersebut. Bisa dijelaskan, itu maksudnya bagaimana?”

Di blog, beberapa tahun lalu, saya memang sempat merilis daftar buku-buku terbaik yang saya baca. Namun, di sana saya juga menyatakan bahwa saya tidak merekomendasikan buku-buku tersebut. Maksudnya bagaimana? Ya, sekilas memang terdengar paradoks. Saya menyebut itu buku-buku terbaik, tapi saya juga menyatakan bahwa saya tidak merekomendasikan.

Jadi, maksudnya bagaimana? Untuk menjawab pertanyaan itu, sepertinya saya harus ngoceh agak panjang.

Bertahun-tahun lalu, saya membaca buku yang saya anggap sangat... sangat bagus. Bukan hanya bagus, buku itu bahkan mengubah kehidupan saya, lebih khusus pikiran saya. Buku yang saya anggap “terbaik sepanjang masa” itu berjudul The Magic of Thinking Big, karya David J. Schwartz. Sampai hari ini, saya merasa berutang pada buku itu, karena benar-benar terbantu oleh isinya.

Bahkan, kalau hari ini saya ditanya, buku apa yang saya anggap paling penting yang pernah saya baca, maka saya akan menyebut The Magic of Thinking Big. Membaca buku itu, bagi saya, seperti menyentuh daya magis. (Sekadar catatan, saya telah membaca buku cukup banyak, jadi setidaknya punya perbandingan yang juga cukup banyak).

Seperti umumnya orang lain, saya pun (waktu itu) berusaha mengenalkan sesuatu yang saya anggap bagus pada teman-teman, dengan harapan mereka memperoleh manfaat sebagaimana yang saya dapatkan.

Karena saya menganggap The Magic of Thinking Big sangat bagus, saya pun kerap mengenalkannya pada teman-teman, berharap mereka mau ikut membacanya, agar mereka mendapatkan “pencerahan” sebagaimana yang telah saya alami.

Jadi, bertahun lalu, saya senang membicarakan buku itu pada siapa pun. Kalau ada teman yang bertanya tentang buku bagus, atau buku apa yang perlu dibaca, saya pasti akan merekomendasikan The Magic of Thinking Big. Saya akan bercerita betapa buku itu telah membantu saya, telah mencerahkan pikiran saya, bahkan telah mengubah kehidupan saya, dan “bacalah buku ini!”

Ada cukup banyak teman yang terpengaruh, dan ikut membaca buku tersebut. Saya senang-senang saja meminjamkan buku itu pada mereka. Omong-omong, saya punya beberapa eksemplar buku tersebut. Jadi kalau pun ada yang rusak atau hilang, saya tidak terlalu khawatir.

Ketika meminjamkan buku itu pada teman-teman, dan ketika mengetahui mereka membaca buku itu dengan tekun, saya membayangkan mereka akan mendapatkan sesuatu yang saya dapatkan. Saya berharap mereka sepakat bahwa buku itu benar-benar bagus, bahkan hebat. Waktu itu saya berpikir, “Kalau menurutku buku itu sangat bagus, mereka juga pasti sependapat.”

Dan apakah benar begitu? Tidak!

Memang, rata-rata mereka sepakat bahwa buku itu bagus. Tapi menurut mereka “bagusnya biasa-biasa saja”—sama sekali tidak istimewa.

Terus terang, saya shock ketika pertama kali mendapati kenyataan itu, karena tidak pernah menyangka. Betapa sesuatu yang saya anggap sangat bagus bahkan hebat, ternyata hanya “biasa-biasa saja” bagi teman-teman saya. Bahkan, bisa jadi, sebagian mereka sebenarnya kecewa setelah membaca buku itu, tapi mungkin menjaga perasaan saya, sehingga tidak menunjukkan kekecewaan.

Pengalaman itu memberi pelajaran sangat penting, bahwa yang saya anggap bagus, hebat, istimewa, belum tentu begitu pula bagi orang lain. Karenanya, sejak itu, saya lebih berhati-hati setiap kali ingin menyarankan sesuatu, khususnya terkait buku.

Sebelum kejadian itu, kalau ada teman yang tanya buku apa yang bagus dibaca, saya akan yakin menjawab, “Baca buku ini saja! Isinya bagus banget! Kamu pasti suka!”

Tetapi, setelah kejadian itu, saya lebih berhati-hati. Setiap kali ada teman yang bertanya buku apa yang bagus dibaca, saya akan menjawab, “Menurutku, buku ini bagus. Tapi aku tidak tahu apakah menurutmu juga bagus.”

Bagus atau tidak bagus, atau biasa-biasa saja—khususnya terkait buku—ternyata tidak sepenuhnya tergantung pada objek yang dinilai, tapi juga tergantung pada “selera” atau “cita rasa” si penilai. Contohnya buku tadi. Bagi saya, The Magic of Thinking Big sangat bagus, hebat, istimewa. Tetapi “selera” dan “cita rasa” orang (ternyata) bisa berbeda.

Karena itu pula, ketika menyusun daftar buku-buku bagus, yang kemudian saya posting di blog, saya pun menerapkan hal itu. Saya hanya ingin berbagi buku-buku yang saya anggap bagus, tapi saya tidak merekomendasikan. Artinya, kalau kau tertarik membaca buku-buku yang ada dalam daftar saya, itu sepenuhnya pilihan dan keputusanmu.

Sikap semacam itu saya lakukan, sebagai bentuk kehati-hatian. Karena, bagaimana pun, yang bagus menurut saya belum tentu bagus pula bagimu.

So, mengapa saya tidak merekomendasikan buku-buku yang jelas-jelas saya anggap bagus dan terbaik? Itulah jawabannya. Saya hanya ingin berbagi. Kalau kau membaca buku-buku itu atau tidak, sepenuhnya menjadi pilihan dan keputusanmu.

Well, sampai di sini, sebenarnya sudah cukup menjawab pertanyaan tadi, tapi saya masih ingin ngoceh.

Belakangan, setelah menyadari kenyataan ini—bahwa selera dan cita rasa orang bisa berbeda—saya selalu menahan diri setiap kali ingin menyarankan sesuatu pada orang lain. Dalam kehidupan di dunia nyata, saya sering baru memberi saran tertentu, jika memang ditanya atau dimintai saran. Jika tidak, saya akan memilih diam. Bahkan, ketika memberi saran pun, saya akan berhati-hati.

Kehidupan kita berbeda dengan kehidupan orang lain. Pengalaman kita berbeda dengan pengalaman orang lain. Cara berpikir kita berbeda dengan cara berpikir orang lain. Bahkan selera kita pun berbeda dengan selera orang lain.

Karena itu pula, seperti yang saya tulis di awal catatan ini, saya menulis di blog semata-mata karena ingin melakukannya, bukan karena berharap agar dibaca orang lain. Karena yang saya tuliskan adalah kehidupan saya, pengalaman saya, pikiran saya, dan hal-hal personal terkait diri saya. Kalau ada orang lain yang membaca ya silakan, kalau pun tidak ada yang membaca juga tidak apa-apa.

Karena saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan.

No Pic, Hoax!

Lagi minum teh di warung, tehnya enak banget.

(No pic, hoax!)

Lha yang berharap kamu percaya juga siapa?

Wong umpama kamu percaya, juga tidak ada pengaruhnya bagi saya.

Noffret’s Note: Rahim Anget

Mumpung selo, barusan baca-baca e-mail, ada yang minta bahas "rahim anget" di blog. Aku kok bingung mau bahas itu, karena merasa serbasalah. Prinsipku sih sederhana saja, kalau kita tidak suka "digituin" orang lain, ya jangan "gituin" orang lain. Terlepas kita pria atau wanita.

Blak-blakan saja, sebagian wanita ada yang merasa tidak masalah kalau kebetulan ada pria memandangi tubuhnya, tapi ada pula wanita yang risih. Sebenarnya, pria juga sama. Sebagian pria mungkin tidak masalah mendengar "rahim anget" dan semacamnya, tapi ada pula yang risih.

Sebagian wanita mungkin bisa menyatakan, "Kita menyebut rahim anget dan semacamnya itu cuma untuk bercanda, beda dengan pria." Persoalannya, bagaimana kita bisa yakin seseorang bercanda atau tidak, terlepas dia pria atau wanita? Bahkan umpama bercanda, kira-kira etis atau tidak?

Karenanya, dalam hal ini, aku setuju dengan sebagian orang yang menyatakan bahwa wanita telah menetapkan standar ganda terhadap etika antarlawan jenis. Wanita tidak ingin dinilai atau dikomentari fisiknya oleh lawan jenis, tapi mereka melakukan hal itu pada lawan jenis.

Kalau kau wanita dan mendengar pria menyebut ungkapan tertentu saat melihatmu, kira-kira apa yang ada dalam pikiranmu? Tepat seperti itulah yang ada dalam pikiran pria (setidaknya dalam pikiranku) ketika mendengar wanita menyebut "rahim anget" dan semacamnya. Bedanya di mana?

Saban siang, aku suka beli siomay yang lewat depan rumah. Kebetulan, anak perempuan tetanggaku kadang ngumpul sama teman-temannya di depan rumahnya. Kalau aku keluar, mereka suka mandangin. Sejujurnya, aku risih dan malu. Sampai aku memilih tidak beli siomay kalau ada mereka.

Sebagai pria, tentu aku senang memandangi bagian tubuh wanita. Persetan, siapa yang tidak? Kalau lihat paha wanita, misal, rasanya ingin lihat terus. Cuma, aku ingat bagaimana risih dan malu yang kurasakan saat dipandangi cewek-cewek depan rumah. Jadi, aku belajar menahan diri.

"Jangan lakukan sesuatu yang kau tidak ingin orang lain lakukan kepadamu." Sepertinya, nasihat itu relevan untuk selalu diikuti, termasuk dalam urusan lawan jenis, terkait rahim anget, ovarium meleduk, atau memandangi putih-putiiiiiiihhh... dan perasaan emmessshhh... Apeuuuuhh...

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 September 2018.

 
;