Hal buruk yang ditumbuhkan kultur media sosial—terlepas kita sadar atau tidak—adalah kebiasaan reaktif. Kita gatal ingin mengomentari apa saja, siapa saja, dan topik apa saja. Akibatnya, kita lebih banyak berkomentar, tapi sedikit berpikir (atau bahkan tak berpikir sama sekali).
Di media sosial, ada banyak orang yang tampaknya hobi menyambar atau mengomentari apa pun tanpa benar-benar memahami apa yang disambar/dikomentari. Akibatnya, komentarnya bisa keliru, tidak nyambung, tidak relevan, atau bahkan melenceng jauh. Dan itu buruk, tentu saja.
Sebelum mengomentari sesuatu, atau sebelum menyambar tweet seseorang, pastikan terlebih dulu kita memahami apa yang akan kita sambar/komentari. Cermati kalimatnya secara utuh, kata per kata, hingga benar-benar paham. Setelah itu, baru berkomentar, atau cukuplah diam.
Media sosial, kenyataannya, telah menjauhkan kita dari aktivitas berpikir dan berkontemplasi. Semua ingin ngomong, semua ingin berkomentar, semua ingin viral, dan itu menjadikan kita buru-buru ngomong apa saja, mengomentari apa saja, meski isinya kadang dangkal dan tak relevan.
Sangat jarang kita menemukan ocehan di media sosial yang reflektif dan kontemplatif—yang membantu menumbuhkan kearifan dan kesadaran—karena semuanya ingin cepat ngomong, ingin cepat berkomentar, ingin cepat viral. Tidak ada lagi proses berpikir, refleksi, dan kontemplasi.
Sekarang kalian paham kenapa aku sangat jarang menulis hal-hal kekinian yang sedang viral. Karena aku sengaja menjaga jarak dengan topik-topik semacam itu, agar benar-benar memahami lebih dulu. Aku baru akan ngoceh dan menulis sesuatu, jika benar-benar telah memahami secara utuh.
Omong-omong, tidak usah repot menyambar atau me-reply rangkaian tweet ini. Pertama, aku tidak butuh. Kedua, daripada sibuk menyambar tweet orang, lebih baik gunakan waktumu untuk belajar dan berpikir... atau menyapu rumah, atau mencuci piring, atau apa pun yang lebih bermanfaat.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 November 2018.