Senin, 26 November 2018

Soal Kerja, dan Beberapa Hal yang Perlu Kita Pikirkan

Sejak kecil sampai dewasa, tidak pernah ada 
yang mengatakan kepadaku bahwa hidup ini mudah. 
Tetapi, entah mengapa, aku (pernah) percaya 
bahwa hidup ini mudah, dan—tentu saja—aku keliru.


Di Twitter, saya suka ngoceh sendiri seperti orang gila. Kalau pas bengong—misal lagi antre di suatu tempat atau semacamnya—saya kadang iseng mengambil ponsel, membuka Twitter, dan menuliskan hal-hal yang kebetulan terlintas di pikiran. Karena memang ngoceh secara acak, isinya pun acak tak karuan. Kadang ngemeng A, kadang ngoceh B, lalu tiba-tiba membahas Z. Namanya juga orang iseng.

Kadang-kadang, ocehan saya di Twitter menjadi bahan percakapan antara saya dan teman ketika bertemu. Di Twitter, sebenarnya ada cukup banyak teman saya—yang benar-benar saling kenal di dunia nyata—tapi kami sangat jarang berinteraksi di media sosial. Percakapan secara langsung lebih nyaman bagi kami, karena bisa saling berkomunikasi sejelas-jelasnya.

Seperti tempo hari, di Twitter saya ngoceh soal kerja. Beberapa hari kemudian, ada teman yang datang, dan kami membicarakan ocehan tersebut. Kami mengobrol dengan santai sambil nyeruput teh dan udud.

Dia mengatakan, “Membaca tweet-mu soal kerja, kedengarannya memang ideal, bahkan mulia. Bahwa kita perlu mencintai pekerjaan yang kita miliki, dan mengerjakannya dengan baik, sebaik yang kita bisa. Aku mengenalmu, dan aku percaya kamu menjalani hal-hal yang kamu tulis. Yang menjadi masalah, kenyataan yang kamu hadapi mungkin berbeda dengan kenyataan yang dihadapi orang lain, setidaknya kenyataan yang kuhadapi.”

Lalu dia menceritakan. Saat ini, dia bekerja di sebuah perusahaan, dengan gaji Rp1,7 juta per bulan (UMP kota kami). Jam kerjanya dari pukul 09.00 pagi sampai 17.00 sore. Ada hari libur dalam seminggu, plus libur tanggal merah, plus kesempatan cuti.

Yang menjadi masalah, dia menganggap gajinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sebulan. Dari kebutuhan sehari-hari seperti makan dan minum, transportasi harian, beli pulsa, dan lain-lain. Karena itu, dia sering lembur. Namun, bahkan sudah lembur pun, penghasilannya tetap belum mencukupi, hingga kadang terpaksa gali lubang tutup lubang.

“Dalam kondisi semacam itu,” dia mengatakan, “bagaimana aku bisa mencintai pekerjaanku? Aku kerja siang malam, banting tulang sampai kurang istirahat, tapi penghasilan tidak mencukupi. Jadi, boro-boro mencintai pekerjaan yang kujalani, yang ada malah stres melulu!”

Dia terdiam, menunggu saya merespons. Jadi, saya pun berkata kepadanya, “Yang ada dalam pikiranmu, juga ada dalam pikiran jutaan orang lain. Kenyataan yang kamu hadapi, juga ada dalam kehidupan jutaan orang lain. Sebenarnya, aku pun pernah berpikir sepertimu, dan menghadapi kenyataan sepertimu. Kita memiliki pekerjaan yang hasilnya tidak mencukupi, tak peduli kita sudah lembur dan banting tulang sampai kepayahan sekali pun.”

Setelah itu, saya mengatakan sesuatu, yang isinya kira-kira seperti ini (siapa tahu berguna bagi orang lain yang kebetulan juga menghadapi realitas serupa):

Pertama, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah pekerjaanku sekarang adalah pekerjaan yang memang kuinginkan? Apakah pekerjaanku sekarang sesuai passion-ku?”

Lalu jawab pertanyaan itu, dan kemungkinan besar jawabannya, “Tidak!”

Diakui atau tidak, orang hanya “stuck” jika menghadapi pekerjaan yang bukan passion-nya. Kalau kau menghadapi pekerjaan yang sesuai passion-mu, kau pasti akan mencintai pekerjaan itu—tak peduli berapa pun penghasilan yang diperoleh—dan kau akan terus kreatif, tidak sampai mengalami “stuck”. Karena kau mencintai pekerjaanmu, kreativitasmu terus berkembang, dan—biasanya—penghasilanmu juga terus naik.

Sebaliknya, kalau kau menghadapi pekerjaan yang bukan passion-mu, sehingga kau tidak bisa mencintai pekerjaan itu, kau akan tetap stres, meski mungkin mendapat penghasilan besar. Sama-sama “stuck”, dan sama-sama tidak berkembang—kecuali kau mau belajar mencintai pekerjaanmu.

(Omong-omong, saya kesulitan menemukan padanan kata yang tepat untuk “stuck”, terkait konteks yang kita bicarakan.)

Kedua, setelah kau mau menyadari bahwa pekerjaanmu sekarang bukan passion-mu, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku bersedia mengejar passion-ku?”

Lalu jawab pertanyaan itu. Kalau kau memang bersedia mengejar passion-mu—betapa pun sulitnya—pikirkan rencana dan langkahmu menuju ke sana.

Tetapi, sebelum melangkah ke sana, kau perlu memahami bahwa mengejar passion sering kali bukan urusan mudah, karena membutuhkan perjuangan, pengorbanan, jatuh bangun, penuh keringat, darah, dan air mata. Kalau kau menganggap pekerjaanmu yang sekarang sudah sulit, proses mengejar passion seribu kali lebih sulit! Saya tahu betul soal ini, karena sudah mengalami.

Jadi, tanyakan sekali lagi pada dirimu sendiri, apakah kau benar-benar bersedia mengejar sesuatu yang menjadi passion-mu, betapa pun sulitnya, betapa pun beratnya, dan siap mengorbankan kehidupanmu untuknya?

Mengeluh itu mudah—siapa pun bisa mengeluh. Yang menjadi soal kemudian, apakah kita bersedia menghapus keluhan kita dengan berjuang ke arah lebih baik dan kehidupan lebih baik... ataukah akan terus mengeluh sampai mati?

Jadi, siapa pun kita, di mana pun dirimu berada, kita semua menghadapi hal yang sama. Kita menghadapi dua pilihan hidup yang sama-sama sulit, dan pilihannya ada di tangan kita sendiri.

Pilihan pertama; mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai passion kita, dan mungkin kita akan sering stres, mengeluhkan gaji yang kurang, serta tetek bengek yang lain.

Pilihan kedua; mengejar sesuatu yang menjadi passion kita, dan mungkin kita akan menjalani kehidupan lebih baik, dengan pekerjaan yang benar-benar kita cintai.

Sekali lagi, cuma ada dua pilihan itu. Dan pilihannya tergantung pada masing-masing kita. Dan masing-masing pilihan memiliki kesulitan, masalah, serta konsekuensi. Persetan, siapa yang mengatakan hidup ini mudah?

Kalau kita memilih yang pertama, mungkin kita akan terus stres, dan mengeluhkan penghasilan yang kita anggap kecil. Tetapi, setidaknya, itu pilihan mudah, karena kita tinggal mengerjakan sesuatu yang sudah ada, yaitu pekerjaan kita sekarang. Tidak perlu repot. Tinggal berangkat pagi, kerjakan tugas, lalu pulang sore, dan gajian di akhir bulan. Soal penghasilan yang tidak cukup, itu urusan lain.

Sebaliknya, kalau kita memilih yang kedua, yakni mengejar passion, kedengarannya memang menjanjikan. Kita bahkan mungkin bisa membayangkan menikmati hari-hari ceria karena bisa mengerjakan sesuatu yang kita cintai, lalu mendapatkan penghasilan besar, dan bla-bla-bla. Apa yang lebih menyenangkan dibanding mengerjakan sesuatu yang benar-benar passion kita?

Tapi ingat dan sadarilah fakta ini; mengejar passion tidak semudah kedengarannya! Akan ada perjalanan panjang, perjuangan dan kerja keras, jatuh bangun tanpa henti, malam-malam tanpa tidur, stres berkepanjangan, sampai akhirnya... ketika keringat nyaris habis dan air mata nyaris kering, mungkin kita baru bisa mencapai passion yang kita impikan. Itu pun kalau kita berhasil... atau mau kembali berjuang setelah jatuh dan gagal.

Orang-orang sukses—atau setidaknya orang-orang yang saat ini menikmati pekerjaannya—telah menjalani perjuangan dan kerja keras yang tidak kita lihat. Mereka tidak ujug-ujug mendapat nasib baik yang dijatuhkan dari langit. Mereka telah mengalami perjalanan berat, perjuangan penuh frustrasi, hingga akhirnya mencapai yang sekarang mereka capai. Kita hanya melihat hasilnya, tapi tidak melihat perjuangan dan pengorbanan mereka!

Sekali lagi, hidup memang tidak mudah, dan mau tidak mau kita perlu menyadari serta menerima kenyataan itu.

Kita yang saat ini telah bekerja, atau memiliki pekerjaan yang memberi penghidupan, masih lebih baik dibanding orang-orang lain yang frustrasi karena belum juga mendapat pekerjaan, yang ditikam nelangsa karena menganggur dan kesulitan makan.

Kita memiliki nasib lebih baik dibanding mereka. Karenanya, jika kita memang tidak menyukai yang sekarang kita kerjakan, kita hanya punya dua pilihan: Tinggalkan pekerjaan itu, atau belajarlah mencintai pekerjaanmu.

Sekarang, saya ingin mengatakan sesuatu yang mungkin penting.

Kita perlu mencintai pekerjaan yang kita lakukan, karena dengan itulah kita bisa menopang kehidupan yang kita jalani, sekaligus memikirkan kehidupan yang kita inginkan. Penghasilanmu terasa kurang? Berpikirlah, kreatiflah, cari cara agar penghasilanmu berkembang—jangan cuma mengeluh! Lagi pula, kalau mau bicara soal kekurangan, yang penghasilannya puluhan juta pun akan tetap terasa kurang.

Terakhir, pikirkan kenyataan ini: Kalau kau tidak bisa mencintai pekerjaanmu, bagaimana pekerjaan itu bisa mencintaimu?

 
;