Kamis, 01 November 2018

Buku-buku Terbaik yang Tidak Direkomendasikan

Bersenang-senang versiku adalah duduk sendirian di sofa, 
tenang dan hening, membaca buku, dengan segelas 
teh hangat, dan rokok. Sempurna.


Sudah cukup lama, saya rutin menulis dan meng-update blog, setidaknya lima hari sekali. Agar apa? Tidak agar apa-apa! Saya hanya ingin melakukannya—itu saja.

Karena memang menulis tanpa motivasi apa pun, selain ingin melakukannya, saya pun merasa ringan menulis apa saja, tanpa dibebani pikiran macam-macam. Ada yang membaca atau tidak, bisa dibilang tidak ada pengaruhnya bagi saya. Wong saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan.

Saat ini, saya perlu update blog sesuai jadwal, tapi kebetulan sedang jauh dari rumah. Jadi saya tidak bisa mengakses dokumen di komputer saya (catatan-catatan yang akan saya unggah ke blog tersimpan di komputer). Karena sempat bingung mau nulis apa, akhirnya saya buka-buka e-mail, siapa tahu nemu sesuatu yang bisa saya tulis.

Di salah satu e-mail yang saya baca, ada yang membahas daftar buku terbaik yang beberapa kali saya posting di blog. Isi e-mail itu lumayan panjang, tapi intinya adalah menanyakan, kira-kira seperti ini, “Kamu menulis daftar buku-buku yang menurutmu terbaik, tapi kamu juga menyatakan bahwa kamu tidak merekomendasikan buku-buku tersebut. Bisa dijelaskan, itu maksudnya bagaimana?”

Di blog, beberapa tahun lalu, saya memang sempat merilis daftar buku-buku terbaik yang saya baca. Namun, di sana saya juga menyatakan bahwa saya tidak merekomendasikan buku-buku tersebut. Maksudnya bagaimana? Ya, sekilas memang terdengar paradoks. Saya menyebut itu buku-buku terbaik, tapi saya juga menyatakan bahwa saya tidak merekomendasikan.

Jadi, maksudnya bagaimana? Untuk menjawab pertanyaan itu, sepertinya saya harus ngoceh agak panjang.

Bertahun-tahun lalu, saya membaca buku yang saya anggap sangat... sangat bagus. Bukan hanya bagus, buku itu bahkan mengubah kehidupan saya, lebih khusus pikiran saya. Buku yang saya anggap “terbaik sepanjang masa” itu berjudul The Magic of Thinking Big, karya David J. Schwartz. Sampai hari ini, saya merasa berutang pada buku itu, karena benar-benar terbantu oleh isinya.

Bahkan, kalau hari ini saya ditanya, buku apa yang saya anggap paling penting yang pernah saya baca, maka saya akan menyebut The Magic of Thinking Big. Membaca buku itu, bagi saya, seperti menyentuh daya magis. (Sekadar catatan, saya telah membaca buku cukup banyak, jadi setidaknya punya perbandingan yang juga cukup banyak).

Seperti umumnya orang lain, saya pun (waktu itu) berusaha mengenalkan sesuatu yang saya anggap bagus pada teman-teman, dengan harapan mereka memperoleh manfaat sebagaimana yang saya dapatkan.

Karena saya menganggap The Magic of Thinking Big sangat bagus, saya pun kerap mengenalkannya pada teman-teman, berharap mereka mau ikut membacanya, agar mereka mendapatkan “pencerahan” sebagaimana yang telah saya alami.

Jadi, bertahun lalu, saya senang membicarakan buku itu pada siapa pun. Kalau ada teman yang bertanya tentang buku bagus, atau buku apa yang perlu dibaca, saya pasti akan merekomendasikan The Magic of Thinking Big. Saya akan bercerita betapa buku itu telah membantu saya, telah mencerahkan pikiran saya, bahkan telah mengubah kehidupan saya, dan “bacalah buku ini!”

Ada cukup banyak teman yang terpengaruh, dan ikut membaca buku tersebut. Saya senang-senang saja meminjamkan buku itu pada mereka. Omong-omong, saya punya beberapa eksemplar buku tersebut. Jadi kalau pun ada yang rusak atau hilang, saya tidak terlalu khawatir.

Ketika meminjamkan buku itu pada teman-teman, dan ketika mengetahui mereka membaca buku itu dengan tekun, saya membayangkan mereka akan mendapatkan sesuatu yang saya dapatkan. Saya berharap mereka sepakat bahwa buku itu benar-benar bagus, bahkan hebat. Waktu itu saya berpikir, “Kalau menurutku buku itu sangat bagus, mereka juga pasti sependapat.”

Dan apakah benar begitu? Tidak!

Memang, rata-rata mereka sepakat bahwa buku itu bagus. Tapi menurut mereka “bagusnya biasa-biasa saja”—sama sekali tidak istimewa.

Terus terang, saya shock ketika pertama kali mendapati kenyataan itu, karena tidak pernah menyangka. Betapa sesuatu yang saya anggap sangat bagus bahkan hebat, ternyata hanya “biasa-biasa saja” bagi teman-teman saya. Bahkan, bisa jadi, sebagian mereka sebenarnya kecewa setelah membaca buku itu, tapi mungkin menjaga perasaan saya, sehingga tidak menunjukkan kekecewaan.

Pengalaman itu memberi pelajaran sangat penting, bahwa yang saya anggap bagus, hebat, istimewa, belum tentu begitu pula bagi orang lain. Karenanya, sejak itu, saya lebih berhati-hati setiap kali ingin menyarankan sesuatu, khususnya terkait buku.

Sebelum kejadian itu, kalau ada teman yang tanya buku apa yang bagus dibaca, saya akan yakin menjawab, “Baca buku ini saja! Isinya bagus banget! Kamu pasti suka!”

Tetapi, setelah kejadian itu, saya lebih berhati-hati. Setiap kali ada teman yang bertanya buku apa yang bagus dibaca, saya akan menjawab, “Menurutku, buku ini bagus. Tapi aku tidak tahu apakah menurutmu juga bagus.”

Bagus atau tidak bagus, atau biasa-biasa saja—khususnya terkait buku—ternyata tidak sepenuhnya tergantung pada objek yang dinilai, tapi juga tergantung pada “selera” atau “cita rasa” si penilai. Contohnya buku tadi. Bagi saya, The Magic of Thinking Big sangat bagus, hebat, istimewa. Tetapi “selera” dan “cita rasa” orang (ternyata) bisa berbeda.

Karena itu pula, ketika menyusun daftar buku-buku bagus, yang kemudian saya posting di blog, saya pun menerapkan hal itu. Saya hanya ingin berbagi buku-buku yang saya anggap bagus, tapi saya tidak merekomendasikan. Artinya, kalau kau tertarik membaca buku-buku yang ada dalam daftar saya, itu sepenuhnya pilihan dan keputusanmu.

Sikap semacam itu saya lakukan, sebagai bentuk kehati-hatian. Karena, bagaimana pun, yang bagus menurut saya belum tentu bagus pula bagimu.

So, mengapa saya tidak merekomendasikan buku-buku yang jelas-jelas saya anggap bagus dan terbaik? Itulah jawabannya. Saya hanya ingin berbagi. Kalau kau membaca buku-buku itu atau tidak, sepenuhnya menjadi pilihan dan keputusanmu.

Well, sampai di sini, sebenarnya sudah cukup menjawab pertanyaan tadi, tapi saya masih ingin ngoceh.

Belakangan, setelah menyadari kenyataan ini—bahwa selera dan cita rasa orang bisa berbeda—saya selalu menahan diri setiap kali ingin menyarankan sesuatu pada orang lain. Dalam kehidupan di dunia nyata, saya sering baru memberi saran tertentu, jika memang ditanya atau dimintai saran. Jika tidak, saya akan memilih diam. Bahkan, ketika memberi saran pun, saya akan berhati-hati.

Kehidupan kita berbeda dengan kehidupan orang lain. Pengalaman kita berbeda dengan pengalaman orang lain. Cara berpikir kita berbeda dengan cara berpikir orang lain. Bahkan selera kita pun berbeda dengan selera orang lain.

Karena itu pula, seperti yang saya tulis di awal catatan ini, saya menulis di blog semata-mata karena ingin melakukannya, bukan karena berharap agar dibaca orang lain. Karena yang saya tuliskan adalah kehidupan saya, pengalaman saya, pikiran saya, dan hal-hal personal terkait diri saya. Kalau ada orang lain yang membaca ya silakan, kalau pun tidak ada yang membaca juga tidak apa-apa.

Karena saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan.

 
;