Jumat, 29 Oktober 2010

Kepada Para Pembakar Buku



Dort, wo man Bucher verbrennt, verbrennt man auch am Ende—Kapan mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia.
—Heinrich Heine, Almansor, 1821


Setiap kali terjadi aksi pembakaran buku, yang selalu menyedihkan bukan hanya api yang menyala menghanguskan buku-buku itu, melainkan juga api yang menyala di dalam dada para pembakarnya. Aksi pembakaran buku, sejak zaman sebelum Masehi sampai era modern, selalu, selalu, selalu… dilandasi kepentingan politik.

Bukalah album sejarah, dan kita akan melihat bahwa motif politik selalu menjadi latar belakang mengerikan dari hampir setiap aksi pembakaran buku yang terjadi di muka bumi ini.

Pada masa Tiongkok kuno, sejak tahun 231 Sebelum Masehi, Menteri Li Si menyarankan Kaisar Qin Shi Huang untuk memerintahkan pembakaran buku-buku filsafat dan sejarah yang berasal dari luar negara Qin. Aksi pembakaran buku itu bahkan disusul dengan penguburan hidup-hidup sejumlah besar intelektual yang tidak mematuhi perintah negara tersebut.

Pada tahun 25 Masehi, Senator Aulus Cremutius Cordus menulis buku berjudul History, yang isinya memuji Brutus dan Cassius, yang membunuh Julius Caesar. Karena buku itu, Aulus Cremutius Cordus dipaksa bunuh diri, sementara buku karyanya dibakar atas perintah senat, karena dinilai terlarang oleh lex majestatis.

Pada tahun 1233, buku-buku filsafat karya Maimonides, Guide for the Perplexed, juga dibakar di Kota Montpellier, Prancis Selatan—dan lagi-lagi karena motif politik. Sembilan tahun setelah itu, pada tahun 1242, raja Prancis memerintahkan pembakaran semua kitab Talmud Yahudi di Paris, setelah buku itu dinyatakan “bersalah” dalam sebuah sidang pengadilan.

Pada tahun 1490, sejumlah kitab suci Yahudi dan buku-buku Yahudi dibakar dalam masa Inkuisisi Spanyol. Lalu pada tahun 1499, sekitar 5000 naskah berbahasa Arab dibakar di lapangan terbuka di Granada, atas perintah Ximenes de Cisneros, uskup Toledo.

Satu abad kemudian, buku-buku karya pengarang keturunan Yahudi termasuk di antara ribuan buku yang dibakar oleh kaum Nazi Jerman di Opernplatz, Berlin. Sejarah mencatat, kaum Nazi kemudian membunuh banyak orang Yahudi Eropa selama masa Perang Dunia II.

Pada Mei 1981, Perpustakaan Umum Jaffna di wilayah utara Sri Lanka dibakar oleh polisi Sri Lanka berpakaian preman, dan sekitar 95.000 buku, termasuk buku-buku kuno berbahasa Tamil, musnah dilalap api. Pembakaran tersebut disinyalir terkait dengan pemberontakan suku Tamil terhadap pemerintah yang didominasi oleh suku Sinhala.

Pada Mei 2008, sejumlah besar kitab Injil Perjanjian Baru dibakar di Kota Or Yehuda, Israel. Tragisnya, pembakaran itu diorganisasi oleh wakil wali kota Uzi Aharon dari Partai Shas yang radikal. Meskipun aksi itu melanggar UU Israel terkait dengan pembakaran benda-benda religius, tidak ada protes yang berarti.

Dan baru kemarin, di Indonesia terjadi aksi yang sama, pembakaran buku, juga dengan motif yang sama. Api yang menyala di dada para pembakar buku, sama memilukannya dengan api yang membakar buku-buku itu.

….
….

Sebenarnya, kalau mau jujur, tidak ada manfaat apa pun yang bisa diambil dari aksi pembakaran buku. Orang boleh membakar buku-buku, tetapi orang tidak bisa membakar pemikiran yang pernah tertulis di sana. Orang boleh memenjarakan bahkan membunuh penulisnya, tetapi orang tidak bisa memenjarakan atau membunuh pikiran manusia. Kapan pun buku dibakar, ia hanyalah simbolisme dari amarah, kebencian, dan fanatisme yang membuta.

Aksi pembakaran buku menunjukkan betapa sempitnya hati dan pikiran para pembakarnya, karena mereka melakukan pekerjaan sia-sia, seperti wanita dungu yang memintal benang di siang hari, tapi kemudian merusakkannya di malam hari. Pembakaran buku hanya membuat orang-orang yang tidak tahu jadi tertarik pada buku itu, dan kemudian berupaya untuk dapat membacanya. Pembakaran buku tak pernah mampu membungkam isinya—ia malah hanya membukakan rahasia-rahasianya.

Hidup di zaman beradab, mengapa tidak melakukan aksi yang lebih beradab atas buku-buku itu? Mengapa harus mengangkat pedang untuk melawan pikiran? Mengapa harus menggunakan api untuk melawan kata-kata? Kalau tidak setuju dengan isi sebuah buku, tulislah buku sendiri yang melawan buku itu, dan biarkan pembaca yang menilainya—biarkan masyarakat memilih mana yang benar dan mana yang keliru. Tesis membutuhkan antitesis untuk melahirkan sintesis—bukan api dan pembakaran, bukan kemarahan, bukan kebencian, bukan pula fanatisme.

Ketika api membakar buku-buku yang dianggap salah, kita sebenarnya sedang mencederai nalar dan kemampuan manusia dalam menilai benar dan salah, seolah manusia hanya seonggok daging yang tak bisa berpikir. Lebih dari itu, api yang menjilat buku-buku yang dibakar selalu meniupkan prasangka bahwa pembakaran itu dilandasi oleh ketakutan, oleh sesuatu yang tak ingin diungkapkan.

….
….

Di dalam peribahasa Arab, buku disimbolkan sebagai tali pengikat, ia mengumpulkan dan menyatukan ilmu pengetahuan yang terserak di mana-mana. Buku menjadi kendali atas laju pengetahuan yang semakin hari semakin cepat. Kehadirannya mengisi ruang kosong yang selama berabad-abad hanya diisi penuturan verbal dari generasi ke generasi.

Tetapi buku bukanlah tongkat Musa yang digdaya dengan sendirinya. Buku tak lebih dari sekadar media. Nalar dan logika manusialah yang menjadi pemeran utamanya, nyawa sekaligus isinya. Karena logika manusia tidak tunggal, keragaman tafsir dan perbedaan paham dalam membaca sebuah buku menjadi sesuatu yang niscaya.

Dan... perbedaan tafsir terhadap sebuah buku tidak seharusnya disikapi dengan aksi pemusnahan, apalagi pembakaran. Kebenaran bukanlah materi yang akan sirna ketika sebuah buku dimusnahkan. Ilmu pengetahuan adalah darah yang mengalir dan akan terus mengalir dalam tubuh para pecinta dan pembaca buku. Bahkan keingintahuan dan simpati akan muncul atas sesuatu yang dimusuhi, ditepikan, dan dihindari, termasuk buku.

Tidak ada paradigma ilmu pengetahuan yang tak berubah. Semuanya berevolusi. Ilmu pengetahuan terus-menerus berkembang sejalan usia kehidupan manusia yang tak pernah berhenti. Sesuatu yang dihujat di satu masa mungkin akan dipuja di masa selanjutnya; yang dipuja di suatu waktu tidak menutup kemungkinan akan dihujat di waktu yang lain. Buku menjadi salah satu, jika bukan yang utama, media yang mengarsipkan mozaik perkembangan dan keragaman ilmu pengetahuan.

Buku adalah penanda sejarah, prasasti tertulis yang tak tergantikan dalam arus budaya dan alur ilmu pengetahuan manusia. Buku adalah tali sambung peradaban yang terlewat dengan peradaban mendatang. Karena buku adalah monumen suci yang melestarikan ilmu pengetahuan dan mencatat kronik peradaban manusia, maka pembakaran terhadapnya bisa dianggap sebagai kejahatan, sebuah tragedi.

….
….

Manusia disebut manusia karena ia hidup dengan cara yang beradab. Peradaban manusia dibentuk oleh pengetahuan, pengalaman, wawasan, kebudayaan, yang kesemuanya terkristal dalam lembar-lembar buku. Ketika manusia membakar buku, hakikatnya, ia sedang membakar kemanusiaannya sendiri.


Yang Merajam Pezina

Mereka yang memiliki anggapan tinggi mengenai diri sendiri, tidak senang
jika secara mendadak tampak gambar dirinya sendiri dalam cermin.
Logan Pearsall Smith


Mereka membawa kedua orang itu ke tengah-tengah lapangan—terseret-seret dan telanjang. Mereka membawa sepasang pezina itu dengan kepala tegak ke langit, seolah-olah manusia paling suci. Mereka mencaci-maki dan menyeret sepasang pezina itu dengan semburan ayat-ayat suci, seolah mereka manusia paling terberkati.

Jadi di sanalah kemudian mereka meletakkan sepasang pezina itu—terduduk di tengah lapangan, sementara orang-orang yang merasa dirinya suci mengelilingi keduanya dengan wajah pongah, dan bersiap merajam mereka, agar langit menyaksikan bahwa orang-orang suci itu telah memberikan hukuman setimpal bagi para pendosa.

“Panggil Tuan Guru!” teriak pemimpin mereka—meminta beberapa orang agar memanggil Guru, seorang bijak yang mereka hormati. “Panggil Tuan Guru agar dia menyaksikan bahwa kita telah melakukan tindak terpuji hari ini!”

Sang Guru pun datang dengan diiringi beberapa orang yang memanggilnya. Wajahnya datar, dan dia melangkah dengan tenang mendekati kerumunan orang itu, lalu berdiri tepat di hadapan sepasang pezina yang menggigil ketakutan—di antara teriakan-teriakan orang yang sudah tak sabar ingin merajamnya.

“Jadi, kalian sudah siap merajam mereka?” tanya sang Guru pada orang-orang di sekelilingnya. Dan mereka pun segera bersiap mengambil batu-batu yang telah tertumpuk di pinggir lapangan.

Sang Guru berkata, “Siapa pun yang di dalam hatinya tidak pernah terbersit pikiran zina, silakan merajam paling dulu.”

Orang-orang diam, tak ada yang bergerak. Tak ada yang merasa layak melemparkan batu rajam yang pertama. Sang Guru mengulangi ucapannya, “Siapa pun yang di dalam hatinya tidak pernah terbersit pikiran zina, silakan merajam paling dulu.”

Kali ini satu per satu orang yang berkerumun itu mulai meninggalkan lapangan. Satu per satu—dan jumlah kerumunan orang itu semakin berkurang, hingga yang tertinggal para pemimpinnya.

Kepada para pemimpin itu, sang Guru mengulangi ucapannya, “Siapa pun yang di dalam hatinya tidak pernah terbersit pikiran zina, silakan merajam paling dulu.”

Para pemimpin itu menundukkan muka, kemudian perlahan-lahan pergi meninggalkan lapangan.

Kini, hanya ada sang Guru berdiri sendirian, di hadapan sepasang anak manusia yang menangis ketakutan. Kepada mereka sang Guru berkata, “Tuhan memberikan hari esok untuk memperbaiki diri.”

Kemudian dia melangkah pergi. Dengan tenang—sebagaimana ia datang.

Tidak Rigik—Ada yang Tahu?



Istilah itu muncul tiba-tiba di suatu waktu, seperti sesosok monster yang tiba-tiba keluar dari dasar laut. Dan sebagaimana monster yang menciptakan teror, istilah itu juga menciptakan teror di dalam otaknya. Sampai sekian waktu berlalu, dia tak pernah mampu melupakan istilah itu—istilah asing membingungkan yang mungkin tak pernah dikenal dalam peradaban manusia.

“Tidak rigik”—itulah istilah yang membuat hidupnya tidak tenang selama berbulan-bulan lamanya. Kalau kau bisa mudah melupakan sesuatu, kau patut bersyukur. Karena daya ingat yang kuat kadang-kadang menjadi semacam kutukan. Dan dia benar-benar terus mengingat istilah itu—dan mencari-cari jawabannya, dan tidak juga menemukannya.

Bertumpuk-tumpuk buku sudah dibongkar, aneka macam kamus sudah diacak-acak, tapi istilah keparat itu tak juga tertemukan artinya—bahkan tidak satu buku pun yang pernah memuat istilah itu. Dan inilah secuil potret perjalanan yang telah ditempuhnya untuk mendapatkan arti dari istilah asing yang aneh itu—suatu kaleidoskop yang tak masuk akal…


***

Di Cirebon, dia menanyakannya pada seorang teman, “Kau pernah mendengar istilah ‘tidak rigik’?”

“Istilah… apa?” si teman bengong—seperti salah dengar.

“Tidak rigik.”

“Tidak rigik?”

“Yeah… kau pernah dengar?”

“Sepertinya bukan bahasa Indonesia, benar?”

“Aku tidak tahu. Jadi, kau belum pernah dengar?”

“Baru kali ini aku mendengar istilah yang aneh itu.”


***

Di Yogyakarta, dia menemui seorang kawan yang memiliki literatur sangat lengkap, dan kembali menanyakan istilah asing itu.

“Tidak rigik?” tanya si teman memastikan pendengarannya.

“Ya, itu—tidak rigik. Kau tahu istilah itu?”

Si teman mengobrak-abrik seluruh kekayaan literaturnya, dan mereka mencarinya sampai berhari-hari lamanya, tapi istilah keparat itu tak tertemukan.

“Mungkin ada yang salah dengan istilah ini,” kata si teman akhirnya dengan wajah kuyu.

“Ada yang salah?”

“Yeah, mungkin istilah yang dimaksud bukan itu. Kau yakin kalau semua hurufnya sudah benar? R-I-G-I-K?”

“Aku yakin, memang itulah istilahnya. Itulah kenapa aku mencari-cari maknanya, karena baru mengenal dan mendengar ada istilah yang aneh seperti ini. Jadi, kau belum pernah mengenal istilah ini?”

“Belum, dan sepertinya memang tidak ada istilah ini.”


***

Di Jakarta…

“Kau tahu atau pernah mendengar istilah ‘tidak rigik’?”

“Tidak… apa?”

“Rigik. Tidak rigik. Pernah dengar?”

“Sepertinya baru dengar…”


***

Di Solo…

“Sampeyan ngertos istilah ‘tidak rigik’?”

“Istilah nopo…?”

“Rigik—tidak rigik.”

“’Tidak’ niku ‘mboten’…”

“Nggih, kulo sampun ngertos. ‘Rigik’…?”

“Uh, niku… niku kulo mboten ngertos.”


***

Di Kalimantan…

“Saya sedang mencari tahu makna istilah ini, Pak…”

“Ya…?”

“Tidak rigik—Anda pernah mendengar istilah ini?”

“Maaf, istilah apa?”

“Rigik—tidak rigik.”

“Itu bahasa Indonesia?”

“Saya tidak tahu, tapi saya mendapatkan istilah ini dalam struktur bahasa Indonesia.”

“Tidak rigik, ya…”

“Anda tahu?”

“Maaf, sepertinya saya baru mendengar istilah itu.”


***

Di Manhattan…

“Kamu tahu istilah ‘tidak rigik’…?”

“What…???”

“Rigik—R-I-G-I-K.”

“Uh, you okay…?”


***

Di Bogor…

“Jadi, kau tidak pernah dengar istilah ini—tidak rigik?”

“Mungkin yang dimaksud bukan itu, pal. Menurutku, itu salah ketik, salah tulis, atau mungkin kau yang salah dengar.”

“Kalau begitu, menurutmu apa istilah yang ‘seharusnya’ atau yang benar itu?”

“Rigid—menurutku, istilah itulah yang dimaksud dalam konteks kata-kata itu. Rigid. Kau tahu, rigid—rigiditas. Istilah itu ada dalam bahasa Indonesia, dan sudah menjadi bahasa baku. Jadi, kemungkinan besarnya adalah ‘tidak rigid’.”

“Well, mungkinkah suku kata ‘rigid’ diawali kata ‘tidak’? Kau tahu, kalau memang istilah yang benar adalah ‘rigid’, maka kata-kata ini akan jadi semakin aneh, karena kemungkinannya sangat kecil ‘rigid’ diawali kata ‘tidak’.”

“Uh, yeah… benar. Jadi, apa menurutmu?”

“Menurutku, aku tidak salah dengar, dan kata ini tidak salah tulis. Memang istilah inilah yang dimaksudkan—‘tidak rigik’. Tapi, hell, apa sebenarnya maksud istilah ini?”


***

Di Pekalongan…

“Kowe tau krungu istilah ‘tidak rigik’?”

“Tidak… opo?”

“Rigik—tidak rigik. Tau krungu?”

“Kuwi istilah Jowo opo Indonesia?”

“’Tidak’—iki istilah Indonesia, kan? Dedi ‘rigik’ mestine juga istilah Indonesia.”

“Waduh, aku durung tau krungu…”


***

Di Batam…

“’Tidak rigik’—pernah dengar…?”

“Ridik…?”

“Rigik—G—Gnostik. ‘Tidak rigik’. Pernah dengar?”

“Sepertinya itu bukan bahasa Indonesia, ya. Tapi aku belum pernah dengar.”


***

Di Yahoo Answer…

“Teman-teman, saya sedang mencari arti atau makna istilah ‘Tidak rigik’. Ada yang bisa membantu? Terima kasih.”

Sampai dua bulan berjalan tidak ada jawaban yang memuaskan.


***

Di Canada…

“Jadi, apa yang bisa saya bantu…?”

“Saya sedang mencari arti suatu istilah, Sir, dan saya dengar perpustakaan ini mengoleksi literatur berbahasa Indonesia dalam skala yang lengkap.”

“Itu suatu kebanggaan tersendiri bagi kami. Jadi, apa istilah yang sedang Anda cari maknanya itu?”

“’Rigik’—‘tidak rigik’. Pernahkah Anda mendengar istilah itu?”

“Itu istilah asli bahasa Indonesia, serapan, atau istilah asing yang dibakukan?”

“Saya tidak yakin, tetapi saya mendapati kata ini dalam struktur bahasa Indonesia yang baku. Maksud saya, istilah ini terdapat dalam kalimat berbahasa Indonesia yang baku.”

“Begitu. Coba kita lihat apa yang bisa kita dapatkan dari kata itu. Perpustakaan ini memiliki kamus elektronik yang sangat hebat—kami menyebutnya ‘super kamus’, karena bisa mencari arti dalam berbagai bahasa di dunia. Well, seperti yang ada di Google Translate itu. Mari ikuti saya…”

Sampai empat jam kemudian, istilah itu tak berhasil ditemukan. ‘Super Kamus’ yang hebat itu tidak berhasil menemukan apa arti istilah itu.

“Hmm… bagaimana kalau istilah ini kita coba terjemahkan dalam bahasa lain? Well, siapa tahu kalau ini ternyata bukan bahasa Indonesia?”

Mereka mencoba berbagai bahasa yang dikenali di planet bumi—dari bahasa Armenia sampai bahasa Turki—tapi semua bahasa manusia itu tidak ada yang bisa mengartikannya. Sampai empat jam lagi berlalu…

“Sepertinya ada yang salah dengan istilah Anda itu…”

“Atau komputer sini yang rupanya perlu di-update.”


***

Di Bandung…

“Ini soal istilah ‘tidak rigik’…”

“Oh ya, aku sudah mendengarmu mencari-cari arti kata itu kemana-mana. Bagaimana hasilnya?”

“Belum ketemu. Itulah kenapa sekarang aku ke sini. Siapa tahu kau bisa membantuku.”

“Kau sudah ke Dago?”

“Sudah, tapi orang-orang di sana tidak ada yang tahu.”

“Kalau begitu lupakan saja istilah sialan itu.”

“Kenapa?”

“Karena kalau orang-orang di Dago saja tidak tahu, maka berarti seluruh dunia juga tidak akan ada yang tahu!”


***

Di sebuah rumah sakit jiwa…

“Saudara-saudara, ada yang tahu istilah ‘tidak rigik’? Ada yang tahu artinya?”

“Waaah, gampil itu…!”

“Ya…? A-apa artinya…?”

“’Tidak rigik’ itu…”

“Ya…?”

“’Tidak rigik’ itu, lawan kata dari ‘rigik’. Benar, kan…?”

“Uh, iy-iya… TAPI ‘RIGIK’ ITU APPAAAAAA…???”


Pada Sebuah Codex

Jangan bersaing.

Orang bijak tidak bersaing,
itulah kenapa mereka tak bisa disaingi.

Jangan bersaing.

Kalau pun kau ingin bersaing,
bersainglah dengan dirimu sendiri.

Senin, 18 Oktober 2010

Moralitas James Bond

Bond, kalau kau bisa menahan diri untuk tidak membunuh saksi,
aku akan sangat menghargai.
—M kepada James Bond, dalam Quantum of Solace


Saya suka film-film James Bond, khususnya dua seri terakhir yang dibintangi Daniel Craig—Casino Royal, dan Quantum of Solace. Ketika Daniel Craig dipilih menjadi pemeran Bond, banyak pihak yang meragukannya. Kharisma Pierce Brosnan yang sebelumnya memerankan Bond sepertinya sudah sangat melekat, dan orang-orang mungkin sudah terlanjur mengidentikkan Bond dengan Brosnan.

Tetapi akhirnya terbukti kalau Daniel Craig benar-benar sempurna untuk karakter Bond. Jika Brosnan agak tampak seperti mantan anggota boys band, Daniel Craig benar-benar mengembalikan karakter asli Bond sebagaimana yang dulu diciptakan Ian Fleming dalam novel-novelnya.

Ya, saya suka James Bond—dan saya pikir hampir semua laki-laki juga menyukainya. Bisa dibilang sosok James Bond adalah karakteristik “sempurna” yang diidamkan setiap laki-laki. Dia punya tampang dan penampilan yang enak dilihat, mengendarai mobil-mobil mewah, bermain mainan mahal dan teknologi tinggi, tidur di hotel-hotel kelas satu, dan dikelilingi perempuan-perempuan cantik.

Lebih dari itu, James Bond juga menjalani hidup yang menyenangkan. Ke belahan dunia mana pun dia pergi, Bond tidak merasa sebagai orang asing. Dia bisa asyik melangkah di jalanan negeri mana pun, dengan sama santainya saat melangkah di kotanya sendiri. Bagi Bond, sepertinya, dunia ini adalah tempatnya biasa bermain-main.

Dan Bond tidak pernah kenal takut. Bagaimana dia bisa takut? Nomor agen yang dimilikinya—007—adalah nomor “sakti” yang telah dikenal di seluruh dunia. Karenanya, setiap kali ada orang yang belum mengenalnya dan menanyakan siapa namanya, Bond dengan penuh percaya diri akan menjawab, “My name is Bond—James Bond.”

Orang-orang tahu siapa 007, siapa James Bond. Dunia tahu, sosok ini bukan lelaki biasa. Di balik setelan jas mahal yang biasa dikenakannya, James Bond adalah sosok berbahaya sekaligus mematikan. Di film-filmnya, sebagaimana yang kita tonton, Bond bisa membunuh orang dengan sangat mudah, semudah dia menyesap martini kesukaannya. Tapi Bond sangat sulit dibunuh. Diberondong tembakan puluhan orang sekali pun, Bond selalu saja selamat. Dijebak dengan cara apa pun, Bond selalu menemukan cara meloloskan diri.

Semua kehebatan Bond yang saya tuliskan sekilas di atas itu belum seberapa. Ada yang lebih hebat lagi di atas semuanya itu, menyangkut James Bond. Yaitu, dia tidak pernah tua! Meski para penggemar dan pemujanya perlahan-lahan menjadi tua seiring dengan bergantinya tahun, tapi James Bond tetap muda! Dan, yang membuat karakter Bond selalu ditunggu-tunggu penggemarnya, adalah karena orang ini memegang sebuah lisensi yang kontroversial, yakni lisensi untuk membunuh.

License to kill—lisensi untuk membunuh—itulah yang membuat karakter James Bond berbeda dengan karakter-karakter superhero lainnya. Tokoh-tokoh superhero biasanya dijauhkan dari tindakan pembunuhan. Tetapi hal semacam itu tidak berlaku bagi superhero bernama James Bond. Bagi Bond, membunuh adalah pekerjaannya. Karenanya, sosok ini pun memiliki kemampuan bertarung di segala medan—darat, laut, udara—dan dibekali senjata-senjata hebat berteknologi tinggi.

Ada sebuah buku yang bagus, yang mengulas sosok James Bond, berjudul “James Bond and Philosophy”. Buku yang disusun Jacob M. Held ini merupakan kumpulan pandangan dan pemikiran para pakar filsafat kontemporer mengenai James Bond, khususnya mengenai lisensi eksklusif yang dimilikinya (lisensi untuk membunuh). Karena yang mengulas adalah para pakar filsafat dalam bidang ilmu moral, maka titik pijakan mereka dalam mempelajari karakter James Bond pun berasal dari sudut pandang moral.

Sejauh dalam menggunakan lisensi yang dimilikinya, kata buku itu, sekuat apa James Bond memegang moralnya?

Maksud buku itu adalah, jika Bond memiliki lisensi yang membuatnya “direstui dan dibenarkan” untuk membunuh, sejauh apa moralnya mampu mengontrol dan mengendalikan haknya atas lisensi itu? Lisensi untuk membunuh itu jelas berbahaya. Jika lisensi semacam itu diberikan kepada orang yang tidak bermoral, atau bermoral rendah, maka lisensi semacam itu hanya akan menciptakan iblis berbentuk manusia.

Jika melihat kisah-kisah dalam filmnya, kita tahu bahwa Bond memang kadang “terlalu bersemangat” dalam membunuh, sampai-sampai M (atasan Bond) sering merasa jengkel karena agennya yang satu itu sangat “rajin” membunuh orang.

Tetapi Bond selalu punya alasan yang kuat setiap kali membunuh, dan kita juga tahu (dalam filmnya) bahwa situasi-situasi yang dihadapi Bond memang memaksanya membunuh atau terbunuh. Karenanya kita pun jadi memaklumi ketika Bond terpaksa membunuh lawan-lawannya.

Yang membuat orang-orang selalu dapat memaklumi sikap, tindakan, dan aksi-aksi James Bond, adalah karena menyadari pekerjaan James Bond yang rentan bahaya. Seperti yang dikatakan Bond sendiri kepada M, ketika ia dimarahi atasannya itu, “Hidup seorang agen 007 tidak pernah lama.” James Bond, atau siapa pun yang menyandang nomor agen 007, selalu berhadapan dengan bahaya-bahaya besar yang mengancam keselamatan hidupnya.

Jadi, ketika kita menyaksikan Bond beraksi membunuh lawan-lawannya, kita pun dapat memaklumi tindakannya, karena ia memang dituntut seperti itu. Yang dihadapi James Bond adalah orang-orang berbahaya—teroris internasional, penjahat kelas dunia, bajingan-bajingan pemerintah di negeri yang fasis, sampai para pembunuh bayaran yang paling mematikan. Dalam dunia Bond, membunuh atau dibunuh adalah pilihan mutlak, tak ada kompromi, tak ada tawar-menawar.

Karena hidup dalam profesi—atau dunia—semacam itu, kita pun jadi tahu bahwa Bond memang tak punya banyak pilihan. Yang dihadapinya adalah para bandit besar kelas internasional, sosok-sosok iblis yang memang menjadi musuh kemanusiaan. Karenanya, ketika Bond akhirnya berhadapan face to face dengan mereka, lalu bertarung menyabung nyawa, kita pun berharap semoga Bond dapat memenangkan pertarungan itu. Ketika akhirnya Bond mengambil senjatanya, kita pun diam-diam berharap, “Bunuh! Bunuh dia, Bond!”

Kita memaklumi tindakan kekerasan, atau bahkan pembunuhan, yang dilakukan James Bond, karena kita memahami bahwa Bond memang dituntut seperti itu. Kita bahkan diam-diam berharap Bond segera menarik picu senjatanya dan meledakkan kepala musuh-musuhnya, karena kita tahu bahwa jika Bond tidak membunuh, maka dialah yang akan terbunuh. Jadi ketika Bond membunuh, kita pun bersyukur, dan sama sekali tidak menyalahkannya.

Di dalam dunia James Bond, kita melihat anomali atas moralitas. Kita tahu bahwa tindakan kekerasan apalagi pembunuhan adalah sesuatu yang melanggar nilai moral, tetapi kita pun tahu bahwa tindak kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Bond adalah sesuatu yang dapat dibenarkan, atau setidaknya sulit untuk disalahkan. Sekali lagi, yang dihadapi James Bond adalah para pembunuh. Jika dia tidak membunuh, maka dialah yang akan terbunuh. Sesederhana itu. Dalam perspektif dunia Bond, moral adalah definisi yang dapat diredefinisikan.

Nah, omong-omong soal moral dan James Bond, saya jadi ingat dengan Satpol PP. Mereka itu, menurut saya, tak jauh beda dengan James Bond—baik gayanya, ataupun cara mereka dalam bekerja—dingin, dan tanpa kompromi. Tetapi, meski kita dapat memaklumi tindakan kekerasan yang dilakukan James Bond, kita sulit memaklumi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP. Kenapa? Jawabannya kembali pada persoalan moral itu tadi.

Dalam dunia Bond, moral bisa diredefinisikan. Tetapi dunia Bond adalah dunia yang eksklusif, tempat para pembunuh menjadikan aktivitas pembunuhan sebagai pekerjaan atau bahkan permainan. Dalam dunia Bond, membunuh atau dibunuh adalah pilihan mutlak. Nah, hal semacam itu tak bisa diterapkan pada dunia kita. Di dunia kita, moral—atau ukuran dan definisi moral—adalah sesuatu yang tak bisa diredefinisikan secara ekstrim seperti itu, karena ia merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh masyarakat secara umum.

Karena kita hidup dalam alam masyarakat, maka yang menjadi ukuran moral adalah ukuran tingkat kepantasan yang disepakati oleh masyarakat. Dalam masyarakat kita, kekerasan dalam bentuk apa pun, adalah sesuatu yang melanggar moral. Bahkan kekerasan yang dilakukan polisi terhadap penjahat pun sudah dianggap sebagai pelanggaran moral dan HAM—apalagi kekerasan Satpol PP kepada masyarakat sesamanya…?

Tindak kekerasan yang biasa dilakukan Satpol PP sudah menjadi “cap buruk” yang telah dilekatkan oleh masyarakat kepada mereka—karena mereka dianggap telah melanggar moral. Tetapi, seperti yang sudah saya katakan di atas, Satpol PP memang mirip dengan James Bond. Bedanya, jika James Bond bersabung nyawa dengan teroris internasional, Satpol PP bersabung nyawa dengan para pedagang kaki lima dan masyarakat sesamanya. Tetapi intinya saja sama—bersabung nyawa.

Dan, mungkin, karena urusan “bersabung nyawa” itu pulalah kemudian ada rencana untuk memberikan senjata api kepada Satpol PP. Itu sungguh hebat—jika yang mereka hadapi bukanlah masyarakat yang bisa diajak bicara baik-baik. Tetapi, pemberian senjata api kepada petugas ketertiban masyarakat adalah langkah yang terlalu besar. Kalau meminjam istilah Goenawan Mohamad, itu tak ubahnya membunuh nyamuk dengan celana dalam yang kotor. Mubazir—sekaligus menjijikkan.

Bung Hatta Ingin Beli Sepatu

Jujur, lugu dan bijaksana.
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa.
Rakyat Indonesia.

Iwan Fals, Bung Hatta


Bayangkan seseorang yang sangat ingin memiliki sepatu. Sebegitu inginnya, orang itu sampai menggunting iklan sepatu itu di koran, dan kemudian menyimpannya agar selalu bisa memandangi gambar sepatu yang amat diidamkannya.

Itulah yang dilakukan Bung Hatta, wakil presiden pertama Indonesia. Pada era 1950-an, ada merek sepatu yang sangat terkenal, “Bally”. Karena bermutu tinggi, harga sepatu itu pun tidak murah. Nah, Bung Hatta sangat ingin memiliki sepatu ini, sebegitu inginnya sampai ia menggunting iklan sepatu Bally di koran, kemudian menyimpannya. Setelah itu, dia menabung agar bisa membeli sepatu itu.

Yang paling menyentuh dari kisah ini adalah, sampai Bung Hatta wafat, sepatu Bally yang menjadi impiannya itu tetap tak terbeli karena uang tabungan Bung Hatta tak pernah mencukupi, karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga, membantu sanak saudara, dan handai taulan. Seusai Bung Hatta wafat, keluarganya membereskan barang-barang Bung Hatta, dan mereka menemukan guntingan iklan sepatu itu di antara tumpukan bukunya.

Setiap kali membaca kisah itu, saya selalu membayangkan sosok Bung Hatta yang jujur dan sederhana. Sebagai wakil presiden, waktu itu, tentu bukan hal sulit baginya kalau sekadar ingin membeli sepatu dengan memanfaatkan jabatannya. Dia bisa meminta tolong pengusaha atau rekan yang dikenalnya, dan tentunya hal itu tidak akan dianggap ‘korupsi’—toh hanya sepasang sepatu yang dimintanya.

Tetapi di sinilah letak keistimewaan orang yang satu ini. Dalam acara ‘Satu Abad Bung Hatta’, Adi Sasono menyatakan dalam pidatonya, “Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.”

Bung Hatta menyadari bahwa keinginan pribadinya tidak seharusnya mengorbankan orang lain dan jabatannya. Ia terlalu besar untuk meminta, terlalu arif untuk mengorbankan orang lain demi kepentingannya. Sejarah tak bisa membantah, bahwa Bung Hatta adalah salah satu orang besar yang pernah dimiliki negeri ini. Di balik sosoknya yang kaku dan pendiam, dia adalah tauladan sepanjang hayat.

Mungkin Bung Hatta bukan orang yang pandai bicara—tidak seperti para politisi yang sangat mahir mengumbar janji, tapi juga pintar melanggar janjinya sendiri. Mungkin pula Bung Hatta bukan orang yang berpenampilan mewah—tidak seperti para pejabat yang naik mobil mahal dan tinggal di rumah megah.

Tetapi negeri ini memang tidak membutuhkan pemimpin yang pintar omong tapi juga pintar bohong. Negeri ini tidak membutuhkan para pemimpin yang hanya bisa berpenampilan mirip artis tapi otak dan hatinya kosong. Yang lebih dibutuhkan negeri ini adalah pemimpin yang mau menyadari bahwa pemimpin sejati adalah orang yang mampu memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.

Kerusakan yang selalu dilahirkan oleh kepemimpinan adalah kenyataan bahwa si pemimpin tidak bisa memimpin dirinya sendiri, tetapi ngotot memimpin orang lain. Tidak ada kepemimpinan yang dapat berjalan dengan baik selama si pemimpin lebih sibuk mengarahkan dan memerintah orang lain, tetapi tak mampu mengarahkan dan memerintah dirinya sendiri.

Bung Hatta adalah figur pemimpin sejati—sosok yang telah mampu memimpin dirinya sendiri dengan baik, sehingga orang pun percaya kepadanya, dan merasa nyaman dipimpinnya. Rakyat tahu Bung Hatta bisa dipercaya, dan mereka yakin Bung Hatta tidak akan mengkhianati kepercayaan mereka. Bahkan umpama Bung Hatta mengambil sedikit uang negara untuk membeli sepatu idamannya, rakyat pun pasti akan dapat memakluminya.

Tetapi, sampai sebegitu pun, Bung Hatta tetap menunjukkan integritasnya yang tanpa cela—hingga ia memilih menabung untuk dapat membeli sepatu impiannya, meski impian itu gagal sampai ia meninggal dunia.

Jika meminta sepatu saja sudah merupakan ‘kekeliruan’ bagi Bung Hatta, apalagi jika meminta laptop? Apalagi pelesir ke luar negeri? Apalagi meminta tunjangan bulanan yang jumlahnya sampai miliaran...? Apalagi meminta kenaikan gaji yang jumlahnya tak masuk akal, sementara jutaan rakyat dicekik inflasi dan hidup serba kekurangan...?

Sikap menomorsatukan orang lain dibanding dirinya sendiri, serta sikap untuk menahan keinginannya sendiri demi tidak mengorbankan orang lain, adalah sifat pemimpin sejati. Tetapi masih adakah pemimpin semacam itu di sini, di zaman ini? Masih adakah pemimpin yang mau memikirkan rakyatnya di antara kesibukannya memikirkan diri sendiri...?

Jika masih ada pemimpin yang seperti itu, jika masih ada pemimpin yang rela menahan diri demi tidak melukai perasaan rakyat yang dipimpinnya, jika masih ada pemimpin yang jujur demi tidak mengkhianati kepercayaan rakyat yang telah memilihnya, maka dua ratus tiga puluh juta rakyat negeri ini kelak akan menangisi kematiannya, sebagaimana dulu mereka menangisi kematian Bung Hatta....

Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu

Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkafan doa
Dari kami yang merindukan orang sepertimu


*) Kata-kata yang dicetak miring adalah syair lagu Iwan Fals.

Oh, Kebiasaan (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, jauh-jauh hari sebelum Stephen Covey menulis bukunya yang hebat mengenai kebiasaan yang baik dan efektif itu, negaranya sendiri, Amerika, pernah dilanda sebuah kebiasaan buruk, dan tidak satu pun kekuatan pemerintah di sana yang mampu mencegah kebiasaan buruk itu.

Pada awal tahun 1900-an, Amerika dilanda kebiasaan buruk warganya yang tak bisa lepas dari minuman keras. Setiap hari, berton-ton minuman keras diproduksi, dan ada sekian juta orang yang mengkonsumsinya, kemudian mabuk di berbagai tempat, berserakan di berbagai penjuru negara.

Pemerintah dan para pemimpin masyarakat di sana melihat bahaya besar yang ditimbulkan oleh kebiasaan mabuk itu, baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat. Maka dikeluarkanlah sebuah undang-undang yang melarang minuman keras dan mabuk-mabukan.

Begitu peraturan dan undang-undang itu resmi dijalankan, para pecandu minuman keras di sana bukannya berkurang tapi malah bertambah banyak. Perdagangan dan usaha memproduksi minuman keras semakin merebak, meskipun secara sembunyi-sembunyi, dan jenis minuman keras yang diproduksi pun semakin beraneka macam.

Pemerintah Amerika pun merasa kalah. Mereka merasa tidak mampu dan sangat lemah melaksanakan undang-undang pelarangan minuman keras itu. Peraturan dibuat, dan mabuk jalan terus. Undang-undang dilahirkan, dan orang-orang terus saja mabuk-mabukan.

Kemudian, sekitar tahun 1918, publik Amerika kembali gerah dan mengecam habis-habisan perilaku mabuk dan minuman keras. Efek yang ditimbulkan oleh kebiasaan buruk ini sudah tak bisa ditoleransi lagi. Akibat mabuk dan minuman keras, ada begitu banyak orang yang terbunuh, ada sekian banyak pengrusakan, pemerkosaan, kecelakaan di jalan, dan berbagai kerusuhan lain yang sangat meresahkan masyarakat.

Publik Amerika mengecam habis-habisan perilaku mabuk, dan mereka kemudian melakukan demonstrasi agar dibuat sebuah undang-undang yang tegas menyangkut kebiasaan buruk itu.

Maka pada tahun 1919, pemerintah Amerika pun mengeluarkan undang-undang yang memuat larangan meminum minuman keras. Agar undang-undang itu dipatuhi dan dilaksanakan masyarakat, seluruh potensi negara pun dikerahkan. Polisi-polisi melakukan razia dan operasi di hampir seluruh bagian negara untuk mencari dan menghancurkan pabrik-pabrik minuman keras, sekaligus menangkapi orang-orangnya.

Angkatan Laut disiapkan menjaga pantai, untuk mencegah adanya penyelundupan minuman keras, dan Angkatan Udara menjaga kemungkinan penyelundupan dari udara. Media informasi dimanfaatkan secara optimal menentang minuman keras, terutama surat-surat kabar, majalah, buku-buku, selebaran, pamflet-pamflet, bioskop, simposium, seminar, dan sebagainya.

Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk keperluan propaganda melawan mabuk dan minuman keras ini mencapai lebih dari enam puluh juta dolar. Itu angka yang sangat besar, khususnya pada tahun 1919. Mereka pun masih mengeluarkan sepuluh juta dolar lagi untuk menerbitkan buku-buku, pamflet dan selebaran, yang menjelaskan bahaya akibat mabuk dan minuman keras. Biaya-biaya lain untuk melaksanakan undang-undang pelarangan minuman keras ini, dalam waktu 14 tahun, tidak terhitung lagi jumlahnya.

Tetapi apakah semua upaya dan usaha yang memakan biaya sangat besar itu kemudian berhasil?

Tidak! Semua usaha yang telah ditempuh itu bahkan tidak menolong sedikit pun selain hanya untuk waktu yang sementara, bahkan kemudian rakyat Amerika semakin akrab dengan minuman keras. Pemerintah bisa saja mengeluarkan undang-undang pelarangan; para polisi bisa saja berkeliaran di jalan-jalan; seminar dan simposium bisa saja diadakan untuk memberikan penyuluhan; buku, pamflet dan selebaran anti minuman keras bisa saja diterbitkan dan diedarkan, tetapi sekian juta orang yang biasa mabuk tetap saja mabuk di rumah-rumah mereka, dan mereka merasa aman.

Antiklimaksnya terjadi pada tahun 1933 ketika pemerintah Amerika kemudian menghapuskan undang-undang pelarangan minuman keras itu, dan membolehkan minuman keras dengan leluasa. Pabrik-pabrik minuman keras boleh beroperasi secara legal, dan para konsumennya kembali bisa mabuk dan berkeliaran di jalan-jalan.

Lihat, begitu sulitnya menghapus sebuah kebiasaan, dalam hal ini kebiasaan mabuk dan meminum minuman keras, bahkan sampai kekuatan negara sebesar Amerika pun kalah olehnya.

Di Amerika saat ini ada suatu organisasi bernama Alcoholics Anonymous. Organisasi ini didirikan untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada orang-orang yang telah menjadi pecandu kronis minuman keras. Kalau saja organisasi ini mencalonkan pemimpinnya menjadi presiden, barangkali mereka akan menang. Peserta dan anggota organisasi ini jumlahnya terus bertambah, namun jumlah pemabuk di sana sepertinya juga tak pernah berkurang.

Kebiasaan adalah sesuatu yang kecil, tidak terlihat, tampak tak berbahaya, tetapi memiliki kuasa yang luar biasa besar. Jika kita membentuknya, kebiasaan akan menjadi budak kita. Jika kita memanjakannya, kebiasaan akan menjadi tuan kita. Yang paling penting diingat di sini, kebiasaan adalah budak yang baik, tetapi tuan yang buruk.

Jadi, omong-omong, apa kebiasaan kita...?

Oh, Kebiasaan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Pada awalnya, kita membentuk kebiasaan. Pada akhirnya, kebiasaan yang membentuk kita.

Karena memulai suatu kebiasaan sering dirasakan sebagai sesuatu yang berat, maka banyak orang yang kemudian malas membentuk kebiasaannya sendiri. Jangankan kebiasaan-kebiasaan yang tergolong sulit, bahkan kebiasaan bangun pagi saja kadang sudah dianggap berat. Tidak setiap orang bisa bangun pagi setiap hari—karena dia tidak membentuk kebiasaan itu. Sementara bagi orang yang biasa bangun pagi, tubuhnya secara otomatis akan membangunkannya setiap kali pagi tiba.

Nah, di sinilah letak aturan mainnya. Pada mulanya kitalah yang mati-matian membentuk kebiasaan kita. Tetapi, begitu kebiasaan itu terbentuk, maka kebiasaan itulah yang akhirnya membentuk kita. Dan, ini yang mengerikan, jika kita tidak mau membentuk kebiasaan kita sendiri, maka tanpa kita sadari kebiasaan itu sedang membentuk kita.

Begitu pentingnya fakta ini, hingga saya merasa perlu mengulanginya sekali lagi dengan huruf tebal. Jika kita tidak mau membentuk kebiasaan kita sendiri, maka tanpa kita sadari kebiasaan itu sedang membentuk kita.

Dan itu terjadi perlahan-lahan sekali, sehingga bahkan kita sendiri pun kadang pernah menyadarinya.

Jadi, kalau mau disimpulkan dengan bahasa yang lebih blak-blakan, maka inilah kesimpulannya: Kalau kita tidak mau membentuk kebiasaan baik kita, maka kebiasaan buruk sedang membentuk kita.

Begitu besarnya pengaruh kebiasaan dalam hidup manusia, sampai-sampai Stephen R. Covey, seorang pemikir modern Amerika, menulis sebuah buku yang besar sekaligus tebal hanya untuk mengajarkan tentang kebiasaan. Buku itu, The 7 Habits of Highly Effective People, menjadi salah satu buku terlaris di dunia, dan dibaca oleh jutaan orang di berbagai negara. Apa yang diajarkan Covey dalam buku itu adalah tujuh kebiasaan yang ia sebut sebagai kebiasaan yang efektif.

Dalam bukunya yang fenomenal itu, Stephen R. Covey menulis, “Kebiasaan adalah faktor yang sangat kuat dalam hidup kita. Karena sifatnya yang konsisten, kebiasaan sering merupakan pola yang tidak disadari. Kebiasaan tak henti-hentinya, setiap hari, mengungkapkan karakter kita, dan menghasilkan keefektifan—atau ketidakefektifan.”

Kebiasaan itu seperti kabel. Kita menenun seuntai demi seuntai setiap hari, dan segera kebiasaan itu tidak dapat diputuskan. Kita bisa memutuskan untuk menentukan kebiasaan kita, atau membiarkan kebiasaan itu menentukan kita.

Lanjut ke sini.

Oh, Kebiasaan (1)

Siapakah aku?
Aku adalah teman tetapmu.

Aku adalah penolongmu yang terbesar atau bebanmu yang terberat.
Aku akan mendorongmu maju atau menyeretmu menuju kegagalan.
Aku sepenuhnya tunduk kepada perintahmu.

Sebagian hal yang kau lakukan mungkin sebaiknya kau serahkan saja kepadaku,
maka aku akan dapat melakukannya dengan cepat dan tepat.
Aku mudah diatur—kau tinggal tegas terhadapku.
Tunjukkan kepadaku, bagaimana persisnya kau ingin sesuatu itu dilaksanakan,
dan setelah beberapa kali belajar aku akan melakukannya dengan otomatis.

Aku adalah hamba dari semua insan besar,
dan sayangnya juga hamba dari semua pecundang.
Mereka yang besar, telah kujadikan besar.
Mereka yang gagal, telah kujadikan pecundang.

Aku bukan mesin, walaupun aku bekerja dengan ketepatan
seperti mesin, ditambah intelegensi manusia.
Kau bisa menjalankan aku demi keuntungan atau demi kehancuran,
tak ada bedanya bagiku.

Ambillah aku, latihlah aku, tegaslah terhadapku,
maka aku akan meletakkan dunia di kakimu.
Kendurlah terhadapku, maka aku akan menghancurkanmu.

Siapakah aku?
Aku adalah kebiasaan.


Salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi, bahkan menentukan kehidupan setiap manusia, adalah kebiasaan. Siapa diri kita, seperti apa diri kita, bahkan akan menjadi apa diri kita kelak, dapat diprediksikan dari apa kebiasaan kita sekarang. Kebiasaan adalah hal kecil, tak terlihat, terbentuk secara perlahan-lahan, tapi sangat menentukan seluruh hidup kita, baik atau pun buruk.

Hidup kita selalu dipengaruhi oleh kebiasaan kita—begitu pula takdir kita. Orang tidak bisa cerdas tanpa rajin belajar, sementara rajin belajar adalah masalah kebiasaan. Tidak ada orang yang dilahirkan dengan takdir sebagai orang yang rajin belajar—hal itu dibentuk dari kebiasaan. Ketika kebiasaan itu terbentuk hingga menjadi hal yang biasa dilakukan sehari-hari, maka si pemilik kebiasaan itu pun akan mencapai takdir yang diantarkan oleh kebiasaannya.

Takdir kita diantarkan oleh kebiasaan kita. Dan kebiasaan kita dibentuk oleh diri kita sendiri. Kitalah yang membentuk kebiasaan kita, entah kebiasaan baik atau pun kebiasaan buruk. Kitalah pembentuk kebiasaan itu, dan pada saat yang sama, kita pun pembentuk takdir hidup kita. Sebagaimana orang yang rajin belajar pasti akan semakin cerdas, begitu pula hasil kebiasaan lainnya—ia menciptakan dan melahirkan sesuatu di dalam diri kita, disadari ataupun tidak.

Manusia tidak dilahirkan dengan suatu kebiasaan tertentu, diri kita sendirilah yang membentuknya. Segala bentuk kebiasaan memang selalu dimulai dari diri sendiri. Pada mulanya kita membentuk kebiasaan itu, dan perlahan namun pasti, kebiasaan itulah yang akan membentuk kita.

Kalau hari ini kita mengenal orang yang sangat rajin membaca buku, hingga tahan membaca buku sampai berjam-jam setiap hari, yakinilah bahwa orang itu telah membentuk kebiasaannya terlebih dulu. Tidak ada orang yang dilahirkan dengan memegang buku di tangannya. Semua pembaca buku yang tekun pada mulanya membentuk kebiasaannya terlebih dulu.

Nah, menumbuhkan kebiasaan memang terkadang berat—bahkan seringnya begitu. Orang yang tidak pernah push up, misalnya, pasti sudah ngos-ngosan jika disuruh push up meski baru sepuluh kali. Sementara bagi orang yang sudah biasa push up, melakukan seratus kali push up pun enteng-enteng saja. Tetapi, meski begitu, orang yang biasa push up pun, dulunya juga ngos-ngosan ketika pertama kali memulai kebiasaannya itu.

Arnold Schwarzenegger, aktor laga bertubuh besar itu, dulunya bertubuh biasa-biasa saja. Tetapi dia membentuk tubuhnya dengan membentuk kebiasaannya terlebih dulu. Setiap hari, ia mengakui, selalu melakukan push up sampai ratusan kali.

Karena dia membentuk kebiasaannya, dia pun mencapai takdirnya—yakni memiliki tubuh besar dan kekar sebagaimana yang diimpikannya. Karena begitu biasanya dia melakukan push up, Arnold akan merasa sakit-sakitan jika dalam sehari tidak melakukan push up. Tetapi, Arnold sendiri juga mengakui bahwa dulu ketika pertama kali membentuk kebiasaan push up, dia pun merasa kesakitan!

Lanjut ke sini.

Frozen



Oh, diamlah… diamlah…
Hentikan isakmu
Biarkan air mata membeku


Sabtu, 16 Oktober 2010

Aaaaaaaarrrrrggghhhhh…!!!



Saya heran. Benar-benar heran.

Baru beberapa hari telat update saja, inbox email saya langsung penuh. Baru beberapa hari absen ngeblog saja, kalian sudah ramai berdemo membawa-bawa spanduk via email. Saya yakin Paman Gmail dan Om Yahoo sampai ngos-ngosan karena harus terus-menerus mengantarkan email-email kalian.

Saya heran. Benar-benar heran. Heran pada kalian.

Wong blog yang telat di-update itu kan hal biassssaaaa. Sehari atau satu minggu tidak ada posting itu kan hal yang wajjjaaaarrrrr. Kalau sesekali orang malas ngeblog itu kan lumraaaahhh. Begitu pun dengan blog ini. Kalau sewaktu-waktu blog ini telat update, atau tidak ada post baru beberapa hari, atau saya lagi malas ngeblog, kenapa kalian tidak bisa memaklumi…? Kenapa kenapa kenapaaaaaa…???

Kata-kata terakhir pada kalimat di atas itu saya kutip dari sebuah email yang dikirim Mitha. Lengkapnya Nindya Paramitha. Cewek centil ini sudah pernah beberapa kali email ke saya, dan kemarin dia juga kirim email yang isinya—entah mengapa—tak jauh beda dengan tumpukan email yang lain. Nih, saya transkrip isi email Mitha selengkapnya.

Daaaaaaaaaaaaaaaaaa’, kenapaaaaaaaaaa beberapaaaaaaaa hariiiiiiii iniiiiiiiiiii kamuuuuuuuuuuh nggaaaaaaaaaaaaaakk updateeeeeeee blooooooooooooog? Hayooooooooooooo, padahaaaaaaaaaaaal kamuuuuuuuuuuuh duluuuuuuuuuu udaaaaaaaaaaaaah janjiiiiiiiiiiiiiiiiii mauuuuuuuuuuuuuuuu postiiiiiiiiiiiiiiiiiing tiaaaaaaaaaap hariiiiiiiiiiiiiiiii? Kenapa kenapa kenapaaaaaaaaaaaa…???

Saya pusing.

Bukan hanya pusing karena harus membaca email-nya Mitha yang ditulis dengan bahasa Mars, tetapi juga pusing karena memikirkan kenyataan yang amat sangat menggiriskan ini. (Haduh, bahasanya!).

Oke, oke, saya sendiri tidak paham “menggiriskan” itu apa. Cuma, saya pusing kenapa hanya karena telat update saja kok akibatnya sampai seperti ini, seolah-olah janin yang ada di perutnya itu benar-benar berasal dari benih saya. (Lhooo…???).

Waduh, kenapa saya jadi tidak karuan seperti ini? Sebentar, sebentar, saya mau minum dulu. Biar tenang. Terus-terang, saya belum pernah didemo orang. Jadi menghadapi para pendemo membuat saya gugup tidak karuan. Padahal saya tetap saja tidak paham apa salah saya hingga sampai didemo seperti ini. Sebentar, saya mau minum dulu…

….
….
….

(Lama amat, sih…?)

….
….
….

(Hooi, cepetan dooong!)

Iya, ini baru nyulut kompor.

(Haaahhh???)

Nggak, nggak, bercanda!

….
….

Oke, sekarang rasanya sudah agak lumayan. Ehm, soal blog ya. Soal kenapa blog ini telat update, dan tidak adanya posting baru beberapa hari kemarin. Lha emang kenapa…???

*Botol-botol melayang*

Uh, oke, okeeeeh! Saya akan menjawab dengan baik—dan akademis. Tolong hentikan botol-botol sialan iniiiii…!

Ehm, jadi begini, kawan-kawan. Yang pertama harus saya tekankan di sini, saya adalah manusia biasa. Maksudnya, saya bukan robot. Bukan mutan. Juga bukan Superman. Saya hanya manusia biasa—sama seperti kalian. Kalau kalian sesekali merasa lelah, saya pun begitu. Kalau sewaktu-waktu kalian merasa jenuh atau bosan, saya pun begitu. Namanya juga manusia biasa.

Jadi, kalau sewaktu-waktu kalian mendapati blog ini tidak di-update beberapa hari, tolong maklumi sajalah. Kalau kalian membuka blog ini, dan tanggal kemarin sudah lewat tapi tetap belum juga ada post baru, anggap saja, “Uh, mungkin si Hoeda lagi capek atau jenuh.”

Well, dulu saya memang pernah menjanjikan pada kalian untuk selalu menulis post sebanyak hari dalam bulan yang berjalan. Kalau dalam bulan ini ada 30 hari, maka saya akan menulis sebanyak 30 post untuk bulan ini.

Selama ini, saya sudah berusaha konsisten untuk memenuhi janji itu—sampai sekarang. Saya juga pernah menjelaskan pada kalian, bahwa ada kalanya saya ada kegiatan yang tidak memungkinkan saya online, sehingga saya menyiasatinya dengan memposting beberapa catatan sekaligus untuk beberapa hari ke depan. Ingat…?

Nah, hal semacam itulah yang terjadi beberapa hari lalu, sehingga saya sampai tidak ingat kalau belum memposting cacatan baru di blog ini, hingga seminggu. Satu bulan ini, saya sangat khusyuk mengerjakan naskah baru yang sudah dikejar-kejar deadline. Biasanya, kalau sudah bekerja seperti itu, saya sering lupa pada hal lain. Lupa waktu, lupa makan, lupa mandi, lupa tidur. Termasuk juga lupa menengok blog.

Dan, baru sekarang inilah saya bisa kembali meng-update blog ini, dan menuliskan post-post baru untuk kalian. Dan juga, untuk mengobati kekecewaan kalian, saya langsung memposting banyak catatan sekaligus hari ini.

Kemudian, agar kejadian yang “menggiriskan” seperti ini tidak terulang kembali, saya ingin memberitahukan beberapa hal.

Pertama, seperti yang sudah saya bilang tadi, saya hanya manusia biasa. Kalau kelak sewaktu-waktu saya telat update blog beberapa hari, tolong, tolong, tolong maklumi saja. Meski saya telah berupaya semaksimal mungkin untuk selalu rajin menulis dan bikin posting baru, ada kalanya saya juga lelah, jenuh, atau bahkan sakit—yang tidak memungkinkan saya melakukan aktivitas seperti biasanya, termasuk menulis.

Kedua, ini sekadar saran. Kalau sewaktu-waktu kalian membuka blog ini namun tidak mendapati adanya posting baru karena saya telat update, obatilah kekecewaan kalian dengan membuka-buka post-post lama untuk dibaca kembali—mungkin saja ada hal baru yang akan kalian dapati di situ, meski kalian mungkin sudah membacanya beberapa kali.

Ketiga, ini bersifat anjuran. Kalau saya telat update lagi, dan hingga beberapa hari tidak ada posting baru di blog ini, buka saja buku-buku saya yang telah kalian miliki, dan bacalah kembali. Kalau kalian kebetulan belum memilikinya, pergilah ke toko buku, dan boronglah semua buku yang saya tulis. Kalau koleksi kalian atas buku saya sudah lengkap, ya tetap pergilah ke toko buku, dan borong lagi buku-buku saya! :D

Keempat, kalau saya telat update lagi, tunggulah dan sabar saja. Kalau saya sudah fresh (dan ingat blog lagi), saya akan segera bikin posting lagi.

Kelima, saya sangat berterima kasih atas perhatian dan apreasiasi kalian, juga salut atas semangat belajar kalian. Meski saya agak dongkol, tapi tumpukan email kalian telah menyadarkan bahwa saya punya teman-teman belajar yang menyenangkan.

Keenam, dan ini yang paling penting, saya sayang kalian.


Mencemburui Perempuan (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kalau ingin contoh yang lebih jelas lagi, lihatlah majalah-majalah yang secara khusus ditujukan untuk satu jenis kelamin. Majalah-majalah wanita selalu penuh dengan artikel bagus yang secara komprehensif membongkar segala sisi kaum cowok, sehingga kebanyakan majalah wanita benar-benar mencerdaskan pembacanya (kaum wanita).

Majalah Cosmopolitan, misalnya. Meski isi halamannya dijejali dengan banyak tawaran belanja barang mewah, tetapi majalah ini benar-benar membuat para cewek pembacanya makin paham dengan lawan jenisnya, karena isinya bisa dibilang lengkap dalam membongkar “apa saja” tentang cowok. Kalau kau cowok dan punya pacar yang biasa membaca Cosmopolitan, hati-hati saja. Bisa jadi cewekmu lebih tahu tentang dirimu, daripada dirimu sendiri.

Nah, sekarang mari kita lihat majalah khusus cowok. Mencari majalah khusus untuk cowok memang tidak sulit. Tetapi isinya benar-benar jauh beda dengan isi majalah cewek. Maksud saya, jika majalah cewek penuh dengan pengetahuan penting tentang lawan jenisnya, kebanyakan majalah cowok malah penuh dengan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan lawan jenisnya.

Stereotipe isi majalah cowok biasanya seperti ini: Berita-berita populer terkini, sedikit ulasan mode, otomotif, musik dan film, kemudian sisa halamannya dijejali dengan foto-foto cewek yang berpose seksi. Sudah. Kalau pun di dalamnya ada artikel yang secara khusus mengupas soal lawan jenis, selalu saja isinya “gitu-gitu aja”—tidak ada yang baru.

Jadi, sekarang kita dapat melihat, bahwa dunia ini sepertinya telah berkonspirasi untuk membuat kaum cewek semakin cerdas, dan di saat yang sama, juga membuat kaum cowok semakin idiot. Ini jelas “peperangan” yang tidak seimbang. Jika keadaan semacam ini terus dibiarkan dan kaum cowok tidak juga sadar, maka ketidakadilan gender akan terjadi dalam bentuk yang belum pernah kita bayangkan.

Seiring laju perkembangan zaman, hampir dapat dipastikan perlengkapan kecantikan dan perawatan kaum wanita akan semakin banyak jumlahnya, akan semakin canggih bentuknya, dan dari tahun ke tahun kaum perempuan akan semakin cantik, makin indah, dan makin menawan. Seiring dengan itu, bacaan-bacaan dan referensi yang mencerdaskan kaum perempuan dalam hal pemahaman atas lawan jenisnya akan semakin lengkap, semakin banyak, dan semakin beragam. Artinya, di samping semakin cantik, perempuan juga akan semakin pintar.

Bersamaan dengan itu, tak peduli zaman semaju apa pun, alat-alat kegantengan dan perawatan tubuh untuk laki-laki tak pernah berubah. Jenis pakaian dan model penampilan laki-laki tak banyak berubah. Bahan-bahan bacaan untuk kaum lelaki pun tak pernah berubah, sehingga bisa dikatakan kaum lelaki hanya jalan di tempat. Tidak ada yang berubah—tak peduli dunia sudah berubah, zaman sudah berubah, dan peradaban sudah berubah.

Nah, saya membayangkan, seratus atau dua ratus tahun ke depan, ketika keadaan yang saya gambarkan di atas telah terjadi, dan kaum laki-laki tidak juga menyadari kebodohannya sendiri, maka wajah dunia kira-kira akan seperti ini: Kaum perempuan akan semakin indah, menawan, dan makin pintar—sementara kaum lelaki akan tampak seperti gelandangan.

Sebuah dunia yang tidak adil. Dan itulah kenapa, sejak tadi saya katakan, saya mencemburui perempuan. Kalau kau berpikir catatan ini terlalu berlebihan, pikirkanlah fakta tak terbantahkan ini: Di dalam setiap kebodohan yang tidak disadari, selalu lahir ketidakadilan dan diskriminasi. Tak peduli perempuan, tak peduli laki-laki.

Mencemburui Perempuan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Dari soal celana dalam saja, kita dapat menyaksikan betapa dunia ini tidak adil. Dunia ini sepertinya lebih memanjakan kaum perempuan, dan di saat yang sama, melakukan diskriminasi terhadap kaum lelaki. Padahal ini baru dilihat dari sudut pandang celana dalam. Belum lagi yang lainnya.

Soal perawatan tubuh, misalnya. Haduh, kalau sudah bicara soal alat atau perlengkapan perawatan tubuh, cowok benar-benar kaum yang tertindas. Cobalah lihat perlengkapan rias di kamar cewek. Biasanya, di depan cermin, di atas meja, akan terhampar berpuluh-puluh aneka macam alat dan perlengkapan kecantikan serta perawatan tubuh.

Untuk bibir saja, misalnya, cewek menggunakan lipstik, lipgloss, lipbalm, dan lip-lip lain, yang tidak saya hafal semua namanya. Belum lagi yang lainnya—dari bedak dan talk, sampai sabun lulur. Bahkan sisir rambut saja, cewek mengoleksi aneka macam sisir—untuk keperluan rambut basah, rambut kering, rambut setengah basah, dan rambut setengah kering. Hebat!

Ini jelas berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kaum cowok, kan? “Alat-alat kegantengan” cowok jumlahnya sangat terbatas—paling cuma minyak rambut. Itu pun kalau memang pakai minyak rambut. Kemudian sisir. Itu pun kadang pinjam sisir punya nyokap. Lalu parfum. Sudah, hanya itu. Kalau mau ditambah, ya paling-paling after shave dan peralatan cukur wajah.

Kalau kita masuk ke salon, layanan yang diberikan untuk cewek jumlahnya sepuluh kali lipat lebih banyak dibanding layanan yang diberikan untuk cowok. Yang paling membuat saya cemburu, salon-salon sekarang menyediakan layanan V-Spa untuk kaum cewek. Ini jenis spa yang paling asoi.

You know, “V” dalam layanan spa itu adalah inisial untuk… yeah, tanyakan saja pada cewekmu. Tapi sampai detik ini belum ada satu salon pun yang menyediakan layanan P-Spa. Waktu saya mencoba menanyakan pada mbak-mbak di salon, mereka malah melotot. Benar-benar tidak adil!
Kalau cowok mencoba menggunakan lipgloss untuk mengatasi bibir pecah-pecah, misalnya, dunia sudah langsung menudingkan jarinya dan berteriak, “Genit!”

Tetapi, dunia adem-ayem saja ketika menyaksikan cewek memperindah dirinya dengan segala macam cara dan upaya. Sepertinya, dunia ini tidak rela kalau melihat cowok tampak lebih cakep atau lebih tampan. Dan di saat yang sama, dunia ini semakin memberikan aneka macam jalan agar para cewek semakin cakep dan cantik. Sekali lagi, benar-benar tidak adil!

Kalau ada cewek didekati banyak cowok, dunia akan tersenyum sambil memuji, “Yeah, namanya juga cewek hebat!” Tetapi, jika ada cowok yang didekati banyak cewek, dunia akan cemberut sambil menyumpah, “Dasar playboy!” Esensinya sama, tetapi dunia menatapnya dengan cara yang berbeda. Sungguh tidak adil!

Oke, sekarang kita masuk pada contoh yang lebih penting lagi, yakni soal ilmu pengetahuan—khususnya ilmu pengetahuan dalam hal memahami lawan jenis.

Masuklah ke toko buku mana pun, dan datangilah rak psikologi. Di sana, kita akan mendapati sederet judul yang merupakan varian dari “Cara Memahami Laki-laki”. Kalau kau cewek dan ingin mendapatkan bacaan atau referensi untuk menambah pengetahuanmu dalam hal lawan jenis, kau tidak akan kekurangan bahan bacaan. Di toko buku selalu tersedia beratus-ratus judul yang secara khusus ditujukan untuk segmen pembaca wanita—dalam hal pengayaan pengetahuan atas lawan jenisnya.

Tetapi, di saat yang sama, sangat sedikiiiiiit sekali buku yang secara khusus ditujukan untuk kaum cowok dalam tujuan yang sama. Tak peduli buku asli Indonesia ataupun terjemahan, buku yang membahas soal cewek (yang secara khusus ditujukan untuk kaum cowok) sangat jarang sekali, dan sangat sedikit sekali jumlahnya.

Lanjut ke sini.

Mencemburui Perempuan (1)

Manusia mencela ketidakadilan karena takut akan
menjadi korban ketidakadilan tersebut,
dan bukan karena mereka tidak mau melakukannya.
—Plato


Saya benar-benar cemburu pada kaum perempuan. Sepertinya, dunia ini lebih memanjakan kaum perempuan dibanding kaum lelaki, dari soal kelengkapan penampilan, sampai hiasan kemewahan—bahkan dalam ilmu pengetahuan.

Cobalah datang ke mall atau swalayan, lalu temuilah mbak-mbak yang bertugas di sana, dan tanyakan, “Mbak, di mana bagian penjualan dompet pria?”

Maka mbak-mbak itu akan membawamu ke suatu sudut sempit, atau tempat kecil di dekat kasir, dan menunjukkan sejumlah kecil koleksi dompet untuk pria. Pilihannya sangat terbatas, dan dompet pria sama sekali bukan barang jualan yang diandalkan swalayan atau mall mana pun, sehingga tidak pernah diberi tempat khusus. Yang biasa terjadi, dompet pria hanya dipajang secara sederhana di dekat kasir—itu pun kalau mall atau swalayan itu menyediakan dompet pria.

Tetapi cobalah datang ke mall atau swalayan, lalu temuilah mbak-mbak yang bertugas di sana, dan tanyakan, “Mbak, di mana bagian penjualan dompet wanita?”

Maka mbak-mbak itu akan membawamu ke suatu counter tersendiri, atau suatu bagian yang cukup luas, tempat aneka macam dompet wanita terhampar dengan anggun dan megah. Di tempat itu, kau bisa menjumpai aneka macam dompet, dari yang sederhana sampai yang amat mewah, dari yang harganya puluhan ribu sampai jutaan, dari dompet untuk uang receh sampai dompet untuk kartu kredit. Komplit, lengkap—koleksi yang sempurna.

Dari soal dompet saja, kita sudah dapat menyaksikan betapa dunia ini tidak adil. Dunia ini sepertinya lebih memanjakan kaum perempuan, dan di saat yang sama, melakukan diskriminasi atas kaum lelaki. Padahal ini baru dilihat dari sudut pandang dompet. Belum lagi yang lainnya.

Dulu, waktu masih kuliah, saya pernah diajak pacar untuk belanja pakaian dalam. Saya tidak paham apa isi otak pacar saya hingga mengajak saya belanja pakaian dalam wanita. Nah, sewaktu berangkat mengantarkannya, saya pikir kami akan pergi ke swalayan atau mall, dan kemudian kami akan menuju ke salah satu counter yang menyediakan koleksi pakaian dalam. Ternyata tidak!

Pacar saya mengajak ke suatu toko—sekali lagi, toko—yang secara khusus menjual pakaian dalam wanita. Mungkin saya kurang gaul, atau memang idiot. Tetapi baru detik itulah saya tahu bahwa ternyata ada toko yang secara khusus menjual aneka pakaian dalam untuk wanita. Karenanya, ketika menemani pacar masuk ke toko itu, saya terbengong-bengong seperti orang udik yang baru lihat Monas.

Pacar saya segera sibuk di dalam toko itu, sementara saya berdiri terbengong di tengah-tengah ruangan, memandangi hamparan aneka macam pakaian dalam wanita yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan—bahkan dalam imajinasi paling liar sekali pun. Di toko yang luas itu, seluruh bagian ruangan tertutup oleh pameran yang benar-benar membuat jantung saya berdebar-debar.

Omigood, batin saya dengan masygul sambil memandangi aneka macam lingerie, bra, celana dalam, dan beberapa “barang aneh” lain yang bentuk dan modelnya beraneka ragam.

Saya membayangkan, sebanyak-banyaknya bentuk atau model celana dalam cowok, jumlahnya pasti tidak akan mampu menandingi jumlah bentuk dan model celana dalam kaum cewek. Coba lihat, kaum cowok cuma mengenal model brief, boxer, boxer-brief, dan kadang-kadang juga bikini (untuk cowok). Sudah—hanya itu.

Sampai saat ini, sampai saya menulis catatan ini, saya belum pernah dengar ada toko yang secara khusus menjual celana dalam cowok. Memang ada toko-toko yang menjual celana dalam cowok, tetapi biasanya itu hanya “barang sampingan”, dalam arti bukan jualan utama. Toko-toko itu pun biasanya tidak memajang celana dalam tersebut, dan hanya mengambilkannya jika ada pembeli yang menanyakannya.

Di mall atau swalayan, celana dalam cowok juga bukan barang spesial. Sama seperti dompet, lokasi penjualannya biasanya hanya di suatu sudut, atau di suatu rak kecil. Berbeda dengan celana dalam cewek, mall atau swalayan selalu menyediakan satu ruangan atau counter khusus untuk memajang aneka macam koleksi, sehingga konsumennya (kaum cewek) benar-benar termanjakan.

Lanjut ke sini.

Akar



Mungkin


Menunggumu Turun dari Langit

Tetapi dalam pelukanku
hingga fajar menyingsing
pasrah terkulai makhluk hidup ini
fana, berdosa, tetapi bagiku
cantik seluruh.

—W.H. Auden


Kapan pertama kali aku melihatmu...? Masihkah kau ingat?

Ya, ketika pertama kali kau turun dari langit, dan aku terpesona melihatmu. Ketika pertama kali kau menginjak bumi, dan aku terpana menyaksikanmu.

Kemudian waktu-waktu berlalu setelah itu, memisahkanku darimu, menjauhkanku dari bayanganmu. Kau hadir di depan mataku hanya sekejap, namun kenangan yang kemudian terpatri menjadi bayang yang abadi. Aku tak pernah dapat melupakanmu.

Di manakah kau...?

Aku pernah mencari-carimu di setiap kolong langit, di bawah mega, di helai-helai hujan dan dalam pekat awan di angkasa. Namun tak pernah kutemukan. Sudahkah kau kembali ke surga...?

Atau masih menantiku seperti aku terus mencarimu?

Menghitung hari-hari yang terlewati di dunia, kau tak akan pernah merasakan lama, karena kau terbiasa menghitung waktu di surga. Tapi aku kekeringan dalam kehausan pada kasihmu. Tapi aku menggelepar dalam kerinduan sentuhanmu. Tapi aku terbakar dan merana merindukan pertemuan denganmu.

Ke mana aku harus mencarimu?

Kau hanya hadir sekali dalam hidupku, dan kemudian menghilang, meninggalkan wangi dan keharuman langit yang tak pernah dapat kulupakan.

Ataukah kau juga mencari-cariku?

Di atas bumi aku menunggumu, menatap pintu-pintu langit, dan berharap, berdoa, berdebar, bergetar, menantikan saat-saat salah satu pintu di langit kembali terbuka, dan tangga pelangi diturunkan, lalu kau datang menjumpaiku, menyentuhku dengan kelembutan seperti yang biasa kurindukan.

Kapankah waktu itu kan menjelang? Kapankah kau akan turun kembali dari langit, dan kita akan kembali bertatapan, berpelukan...?

Menunggumu turun kembali dari langit, setiap malam aku terjaga, terbuai mimpi dengan mata terbuka, dan jiwaku resah, gelisah, setiap malam... hingga fajar kembali menyingsing dan matahari kembali bersinar. Satu lagi hariku hampa tanpa hadirmu yang kurindukan. Kapan kau akan kembali turun ke bumi...?

Di bawah rinai hujan aku menunggumu,
di bawah langit biru aku menunggumu,
di bawah bintang-bintang aku menunggumu,
di bawah sinar bulan aku menunggumu,

dan... aku tahu, suatu saat, kau akan kembali turun ke bumi untuk menemuiku, atau... tangan-tangan lembut malaikat akan membawaku ke langit untuk menjumpaimu.

Azam Kerinduan

Kadang suatu waktu,
dalam sendiri dan rindu,
hati mengaku

Jeritan pada malam-malam panjang
Mimpi-mimpi buruk yang tak hilang
Pada sunyi menyayat malam

Aku di sini,
berkata pada hati,
rindu menangis

Kuntum-kuntum jatuh di musim gugur
Dan putik-putik mekar di pagi hari
Embun jernih menerpa batinku, hariku

Pada rindu,
yang tak terucapkan,
tenggelam dalam luka

Bebaskan aku dari diriku, lepaskan aku
Aku ingin menyatakan rinduku, jujurku
Kerinduan pada yang tak kuucapkan

Aku di sini,
berkata pada hati,
rindu menari…

…tapi malam tak juga menjemput pagi.

Menjaga Mood Menulis (3)



Nah, tetapi ada kalanya hilangnya mood menulis itu disebabkan oleh rasa bosan yang parah. Maksud saya, rasa bosan yang lebih parah dibanding yang saya gambarkan di atas. Mungkin kau juga pernah mengalami kenyataan seperti ini. Bawaannya sudah tak ada gairah lagi untuk menulis, bahkan untuk menulis apa saja. Pokoknya malas menulis.

Rasa jenuh semacam itu tidak lagi disebabkan oleh satu kasus tertentu, tetapi biasanya karena memang sudah jenuh dalam aktivitas menulis—saat itu. Dipaksa dengan cara bagaimana pun, mood menulis sulit kembali, karena penyebabnya memang aktivitas menulis itu sendiri.

Untuk masalah kejenuhan semacam ini, biasanya jalan yang saya tempuh adalah menjauhkan diri dari aktivitas menulis. Tak ada gunanya lagi saya memaksakan diri untuk terus menulis jika mood sudah benar-benar lenyap.

Jadi saya pun tidak menulis—benar-benar tidak menulis. Biasanya, yang saya lakukan pada waktu semacam itu adalah membaca buku atau yang lainnya—dan terus-menerus membaca.

Sekali lagi saya ingin mengingatkan, ini terapi yang sifatnya personal, yang belum tentu cocok bagi orang lain. Kebetulan, bagi saya, menulis dan membaca adalah dua hal yang sangat saya sukai dan cintai. Karenanya, ketika saya malas menulis, saya pun menggunakan waktu untuk membaca.

Saya membaca apa saja di waktu-waktu itu. Majalah, buku, catatan di blog orang lain, atau membaca buku-buku saya sendiri yang telah terbit. Lamanya waktu yang saya gunakan untuk “mengobati” rasa jenuh menulis itu bisa tak terprediksi. Kadang cepat, kadang pula lambat. Yang jelas, saya selalu berhasil mengobati rasa bosan saya setelah beberapa waktu lamanya tidak menulis.

Biasanya, setelah berhari-hari membaca tanpa menulis sama sekali, rasa kangen akan mulai muncul. Ya, rasa kangen untuk menulis lagi. Rasa kangen merangkai kata-kata kembali. Well, ini seperti rasa kangen yang timbul ketika kita tak bertemu pujaan hati setelah berpisah cukup lama.

Penyakit bosan paling parah yang pernah saya alami membutuhkan waktu empat bulan untuk “istirahat total” dari aktivitas menulis. Ketika “masa istirahat total” itu telah terasa cukup, otak saya benar-benar segar kembali, dan mood menulis saya pun berkobar-kobar lagi.

Ketika mood telah kembali, aktivitas menulis pun jadi terasa mengasyikkan lagi. Jadi, kuncinya dalam hal ini, adalah bagaimana menumbuhkan rasa kangen pada aktivitas menulis lagi. Caranya bisa apa saja yang menurutmu paling cocok bagimu. Intinya, selagi bosan atau jenuh menulis, lakukanlah hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan menulis—suatu aktivitas lain yang juga menyenangkanmu—dan tunggu sampai gairah atau mood menulis kembali lagi.

Sejauh yang saya tahu dan saya alami, cara-cara di atas itulah yang selama ini membantu saya dalam menjaga mood menulis.

So, karena saya sudah menemukan dan mengetahui akar atau penyebab hilangnya mood dalam menulis, maka saya pun setidaknya bisa “jaga diri” agar tidak sampai kehilangan mood. Saya berupaya agar perasaan saya selalu terjaga, selalu dalam keadaan kondusif (tidak kacau), saya pun berusaha agar selalu menjaga ritme dan rutinitas menulis saya, agar terhindar dari rasa bosan atau jenuh.

Sekali lagi, penyebab hilangnya mood setiap orang belum tentu sama, dan kebanyakan memang berbeda-beda. Karenanya, yang perlu kita lakukan adalah menggali dalam diri kita sendiri, untuk menemukan akar penyebab hilangnya mood tersebut, untuk kemudian mencarikan solusinya yang tepat. Ketika hal itu sudah kita lakukan, maka kita pun akan dapat menjaga mood menulis dengan lebih baik.

Betewe, lalu bagaimana dengan menjaga mood membaca…? Yup, kapan-kapan kita akan mempelajarinya bersama.


Menjaga Mood Menulis (2)



Begitu pula dengan yang saya lakukan sebagaimana yang saya gambarkan di atas. Saya sangat mencintai buku. Dan di dekatnya, saya merasa tenteram—bahkan hanya dengan menatap dan memandanginya saja. Biasanya, setelah duduk beberapa jam seperti itu, saya akan kembali merasa adem, dan perasaan yang kacau akan kembali menjadi tenteram. Setelah itu, saya pun akan merasa siap untuk menulis kembali, dengan mood yang terjaga kembali.

Sekali lagi, cara yang saya gambarkan di atas itu sifatnya sangat personal. Karenanya, kalau kau juga membutuhkan suatu upaya untuk mengembalikan mood yang hilang, mungkin kau bisa meniru cara saya, hanya saja beda dalam mediumnya. Misalnya, kalau kebetulan kau suka berkebun, gunakan saja kebun kesayanganmu untuk kembali menenteramkan perasaanmu. Duduklah di sana, nikmati pemandangan yang ada, pandangi tumbuh-tumbuhan yang pernah kautanam, atau sibukkanlah dirimu dengan mencabuti rumput yang tumbuh liar di sana.

Biasanya, ketika kita menyibukkan diri atau mendekatkan diri dengan sesuatu yang dicintai, biasanya pula rasa ketenangan akan kembali. Setelah itu, mood menulis—atau mood dalam apa pun—juga akan kembali.

Hal kedua yang sering membuat saya kehilangan mood menulis, adalah karena rasa jenuh atau bosan. Sepertinya semua orang pun akan begitu, ya. Kalau setiap hari dan setiap waktu kita melakukan satu hal saja, lama-lama pekerjaan itu pun akan membuat jenuh atau bosan—dan seperti itulah yang (kadang) saya rasakan.

Ada kalanya, saya merasa tak bergairah lagi menulis. Bahkan melihat monitor komputer saja rasanya sudah tak bergairah. Tak perlu disebutkan lagi, penyebab hal itu adalah karena rasa jenuh. Dan seringkali yang membuat saya mengalami kejenuhan semacam itu adalah ketika menggarap naskah buku yang sangat tebal, atau sangat berat.

Biasanya, saya membatasi setiap naskah yang saya tulis tidak sampai melebihi jumlah 300 (tiga ratus) halaman. Itu tebal naskah yang bisa dibilang maksimal bagi saya. Karenanya, ketika kemudian naskah itu membengkak di atas jumlah 300 halaman, saya pun seringkali dilanda kejenuhan. Ada kalanya, saya membayangkan bahwa naskah yang saya tulis hanya akan setebal 200-an halaman. Tetapi, ketika sampai di tengah jalan penulisan, muncul hal-hal baru yang membutuhkan pembahasan tersendiri, sehingga jumlah halaman naskah pun jadi membengkak.

Ketika kenyataan semacam itu terjadi, alamat saya akan mengalami rasa bosan di tengah jalan. Tidak jarang saya juga mengalami rasa frustrasi ketika menggarap naskah semacam itu. Dan saat sampai di titik semacam itu, mood menulis saya pun hilang. Rasanya sudah kesal jika harus memaksa diri meneruskan menghadapi naskah yang membuat bosan itu.

Apa yang biasanya saya lakukan ketika menghadapi kenyataan seperti itu? Karena penyebab hilangnya mood menulis di atas bersifat kasuistis (dalam hal ini karena mengerjakan suatu naskah yang sangat tebal atau sangat berat), maka cara yang saya tempuh agak mudah, yakni dengan menutup naskah tersebut, dan menulis hal lain yang kebetulan sedang ingin saya tulis.

Ketika merasa jenuh saat mengerjakan suatu naskah, saya akan menutupnya untuk beberapa waktu lamanya, dan kemudian menulis hal lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan naskah itu. Menulis post untuk blog, misalnya. Biasanya cara ini cukup manjur bagi saya. Atau menulis puisi-puisi norak yang akan saya baca sendiri nantinya—itu juga dapat menjadi terapi untuk menyembuhkan rasa bosan. Dan setelah pikiran terasa segar kembali, saya pun akan mengambil naskah tadi, dan meneruskan menggarapnya.


Menjaga Mood Menulis (1)



Ini pertanyaan yang paling banyak saya terima, sekaligus paling membuat saya tidak pede menjawabnya. Pertanyaan ini sama seringnya dengan pertanyaan, “Bagaimana menjaga mood membaca?” Sama juga seperti pertanyaan yang pertama, pertanyaan kedua itu pun juga membuat saya tidak pede menjawabnya. Oke, kita mulai saja pertanyaan yang pertama—soal menjaga mood menulis.

Saya harus mengakui terlebih dulu bahwa faktor yang membuat saya tidak pede menjawab pertanyaan ini adalah karena saya sendiri tidak yakin dengan formula yang dapat dijadikan sebagai semacam obat untuk menjaga mood menulis. Jangankan solusi atau formula pemecahannya, penyebab hilangnya mood sendiri pun masih membingungkan buat saya. Masing-masing orang bisa saja “beda kasus” dalam hal hilangnya mood.

Mood itu kan semacam gairah—dan ini adalah gairah yang aneh. Pada suatu waktu, kita bisa merasa bergairah dan menggebu-gebu menulis, hingga berjam-jam lamanya duduk di depan meja atau komputer, menulis berpuluh-puluh halaman tanpa kenal waktu. Tetapi, di waktu lain, entah kenapa dan apa sebabnya, tiba-tiba gairah itu hilang—dan kita pun jadi malas menulis.

Kenapa hal semacam itu terjadi? Sejujurnya, saya tidak tahu—karena masing-masing orang tentunya memiliki penyebab yang berbeda-beda, yang tidak bisa dipastikan, menyangkut hilangnya mood menulis. Hanya saja, jika saya melihat diri sendiri, penyebab hilangnya mood menulis itu seringkali karena perasaan yang tidak kondusif, dan rasa bosan atau jenuh. Jangan dikira para penulis tidak pernah merasakan jenuh menulis. Mereka tetap manusia biasa, yang tetap saja dapat merasakan kejenuhan dalam aktivitasnya.

Dua hal di atas itulah yang kadang—dan seringkali—membuat saya kehilangan mood menulis. Perasaan yang tidak kondusif, dan rasa jenuh atau bosan. Mungkin ada penyebab lain yang membuat seseorang kehilangan mood menulis, tetapi bagi saya dua hal itulah yang paling membuat saya kehilangan mood dalam menulis. Kita akan melihatnya satu per satu.

Yang pertama, perasaan yang tidak kondusif. Ketika saya sedang kacau karena memikirkan sesuatu, maka biasanya mood menulis saya menguap. Kacaunya perasaan ini bisa disebabkan oleh berbagai hal—dari hal-hal kecil sampai hal-hal yang besar. Dan semakin besar sumber penyebab kekacauan perasaan yang timbul, semakin sulit pula saya mengembalikan mood saya dalam menulis.

Ketika perasaan kacau yang saya rasakan atau pikirkan tergolong kecil, saya biasanya mengobatinya dengan melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menetralisir perasaan itu. Entah dengan mendengarkan musik yang saya sukai, atau dengan menonton film terbaru. Biasanya, setelah melakukan satu di antara kedua hal itu, perasaan saya akan kembali adem atau tenang, dan saya pun sudah bisa mengembalikan mood saya yang hilang.

Tetapi, ketika perasaan kacau yang saya rasakan tergolong besar atau berat, maka berat pulalah cara mengobatinya. Ketika hal semacam itu terjadi, biasanya saya perlu waktu yang cukup lama untuk dapat mengembalikan mood saya. Cara yang biasa saya lakukan untuk dapat menenteramkan perasaan semacam itu adalah masuk ke ruang perpustakaan di rumah saya, kemudian duduk dan merokok sambil memandangi rak-rak buku yang ada di sana.

Oke, ini cara atau solusi yang bersifat personal, dan saya tidak merekomendasikan cara ini kepadamu—karena bisa saja cara yang saya lakukan itu tidak cocok untukmu. Hanya saja, cara itulah satu-satunya yang selama ini membantu saya untuk kembali merasa tenteram setelah merasa kacau dalam perasaan.

Kebetulan, saya tinggal sendirian di rumah. Jadi, suasana yang hening di rumah ikut membantu menenteramkan perasaan saya. Dan ruang perpustakaan adalah tempat paling hening yang dapat saya rasakan. Jadi di sanalah saya selalu melarikan diri ketika merasa risau, kacau, ataupun galau, dan ingin kembali menenteramkan perasaan. Di ruangan itu, saya tidak melakukan apa-apa. Seperti yang saya sebutkan di atas, saya hanya duduk, merokok, dan memandangi buku-buku yang terhampar pada rak-rak di sana. Sunyi, hening, sendirian. Dan saya bisa duduk seperti itu sampai berjam-jam.

Jorge Luis Borges, seorang sastrawan, menyatakan, “Saya selalu membayangkan surga itu seperti perpustakaan.”

Nah, tepat seperti itulah yang saya rasakan ketika duduk di ruang perpustakaan, ketika saya sedang berusaha mengembalikan perasaan yang sangat kacau. Kita mungkin sering mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa kedekatan dengan seseorang yang dicintai membuat kita merasa tenteram. Ungkapan itu sepertinya memang benar. Seseorang yang dicintai—atau sesuatu yang dicintai—memang mampu membuat perasaan kita menjadi tenteram.


Neighbourhood, Abigail



Valentino bertemu Abigail di tengah jalan komplek mereka tinggal, dan Abigail bertanya, “Hei, fella, kamu baru pulang ya? Gimana acaranya?”

“Ramai, folk,” sahut Valentino, “banyak yang datang.”

“Oh ya? Gimana keadaannya?”

“Itulah yang aku nggak paham. Seperti orang sakit.”

Abigail tertawa ngakak sampai guling-guling di aspal, dan tercebur got.

***

Abigail datang ke rumah sohibnya, bernama Jonah. Saat ia memencet bel rumah, Jonah keluar, dan menyapa, “Hei, kebetulan sekali kamu datang. Palatino juga lagi di sini!”

“Valent?” Abigail girang-girang norak.

“Ya, dia lagi di kamar, nonton film baru. Yuk!”

Jonah dan Abigail ke atas, ke kamar Jonah, dan Abigail segera menapaki tangga dengan penuh semangat.

“Fella!” teriaknya, dari arah tangga. “Fella…!”

“Hei, folk…!” sahut Valentino dari dalam kamar. “Itu kamu…?”

“Yeah, ini aku! Apa kamu tadi malam datang ke sana?”

“Ya, folk, aku datang ke acaranya.”

“Ha! Terus gimana, fel?”

Ternyata dia bisa!”

Seketika Abigail tertawa ngakak dan tanpa sadar terguling-guling di tangga.

***

Valentino berjalan sendirian sambil menenteng bungkusan plastik di tangannya saat melewati depan rumah Abigail. Tante Dinar, nyokap Abigail, sedang duduk di teras rumah, dan menyapa, “Valent, dari mana?”

Valentino menghentikan langkah, dan menjawab, “Ini, Tante, baru beli nasi buat makan malam.”

Saat itulah Abigail muncul dari dalam rumah, dan menyapa Valentino, “Fella, apa berita tadi siang itu betul?”

“Iya, folk. Akhirnya terjadi juga. Nggak nyangka ya.”

“Wah, sama kayak yang lain, dunk! Trus, gimana pendapatmu?”

Yah, lucu aja.”

Seketika Abigail tertawa ngakak sampai guling-guling di depan nyokapnya.

***

Abigail mengetuk-ngetuk pintu rumah Valentino sambil manggil-manggil, “Feeel… fellaa…!”

“Iya, folk, sebentaar,” sahut Valentino sayup-sayup. “Ini lagi njemur bajuuu!”

“Kamu udah ketemu Jonah?”

“Apaaa…?”

“Kamu udah ketemu Jonaaah…???”

“Uh, iya, udaaah.”

“Apa kita akan ikut?”

“Nggak!”

“Kenapaaa?”

“Karena kalau kita ikut, kita bakal jadi tiga idiot!”

Abigail langsung tertawa ngakak sampai guling-guling di depan pintu rumah Valentino.


PS:
Buat Abigail, puas sekarang kamu ya? :P


Silent Soliloquy I



Aku mendengar suaramu masuk ke dalam rumahku, dan mengganggu harmoni kehidupanku, merusakkan keheninganku, menodai kesunyianku.

Tak peduli sebenar apa pun nasihat yang kauberikan atau kaukatakan, aku tidak memintamu mengatakannya kepadaku, jadi tolong keluarkan suaramu dari rumahku—atau kecilkanlah suaramu, agar hanya dapat didengar oleh orang yang memang memintamu berbicara. Atau, lebih baik lagi, teriakkanlah suaramu kepada dirimu sendiri terlebih dulu.

Jika aku membutuhkan nasihatmu, aku akan datang kepadamu dan memintamu untuk menasihatiku—sejauh apa pun jarak yang harus kutempuh.

Bahkan kalau kau memiliki blog atau website di internet, aku akan mengaksesnya demi untuk bisa mendapatkan nasihatmu, atau petuah-petuah bijakmu, atau bahkan suara tangismu yang merdu—kalau memang aku membutuhkannya. Tetapi karena sekarang aku tidak memintamu, tolong… tolong keluarkan suaramu dari rumahku.


Minggu, 03 Oktober 2010

Jenis Kelamin Dunia

Cewek:
Gue cuma tidur dengan tiga cowok, dan masyarakat
menganggap gue cewek rusak! Lo tidur dengan tiga puluh
cewek, dan masyarakat menganggap lo cowok hebat!
Masyarakat macam apa yang kita tinggali ini?!”

Cowok:
Lhah, yang logis dunk! Kalau sebuah gembok bisa dibuka
tiga kunci yang berbeda, tuh gembok pasti udah soak.
Tapi kalau satu kunci bisa membuka tiga puluh gembok
yang berbeda, itu pasti kunci yang hebat!

—Obrolan sinting di ruang chatting


Siapa bilang dunia ini milik laki-laki? Siapa bilang dunia ini dikuasai laki-laki? Menurut saya, dunia ini adalah tempat kekuasaan kaum wanita—milik wanita seutuhnya, dan laki-laki mungkin tinggal di sini hanya sebatas “mampir”, atau “bertamu”, atau bahkan mungkin “orang asing”.

Laki-laki tidak punya apa-apa di dunia ini. Kalau pun laki-laki merasa memiliki segala sesuatu di dunia ini, dia hanya “merasa memiliki”, namun segala miliknya itu—hakikatnya—milik kaum wanita, karena dunia ini sepertinya diciptakan untuk wanita. Jangan salah paham. Saya menulis catatan ini tidak dengan sinisme, tetapi dengan kebesaran hati dan kesadaran seorang laki-laki.

Saya ulangi statemen awal—dunia ini milik kaum wanita. Itulah kenapa mayoritas (sebenarnya sih semua) wanita memiliki sifat materialis. Dan itu telah menjadi watak alamiah mereka, karena mereka memang diciptakan dengan kecenderungan itu. Karenanya, dalam catatan sebelumnya, dengan blak-blakan saya katakan bahwa mencari cewek, perempuan, atau woman, atau wanita, yang tidak materialis itu sama susahnya dengan mencari sebatang jarum di tumpukan jerami.

This is fact. Tidak perlu dibantah—terima saja fakta itu.

Sifat materialis yang ada pada kaum perempuan, sesungguhnya, bukanlah suatu sifat yang bisa dikategorikan negatif. Ini sama alamiahnya dengan sifat maskulin yang dimiliki laki-laki. Bahwa laki-laki itu maskulin dan perempuan itu feminin, itu fakta. Jadi tidak perlu dibantah. Dan sifat “materialis” adalah salah satu bagian dari feminitas yang menjadi ciri kaum perempuan. Perempuan akan menjadi “kurang perempuan” jika tidak materialis.

Lalu apa buktinya bahwa dunia ini milik kaum wanita? Izinkan saya menjawab pertanyaan ini sambil tersenyum.

Coba lihat, tanah bumi yang kita pijak dan kita tinggali ini, disebut “Ibu Pertiwi”. Kenapa tidak disebut “Bapak Pertowo” saja biar terkesan gagah? Istilah “Ibu Pertiwi” tentu saja bersifat konotatif, tetapi itu konotasi untuk kaum wanita. Jadi, fellas, kita semua tinggal di tempat seorang wanita—seorang ibu.

Kalau tempat kita hidup dan bernapas saja sudah milik wanita, apalagi segala hal dan barang dan benda yang ada di dalamnya…?

Rumah, misalnya. Atau kendaraan. Atau pakaian. Atau bahkan blog. Sebut apa pun.

Saya sudah berulang-ulang kali mendengar orang berkata, “Wow, rumahmu cantik sekali!”

Padahal rumah itu ditinggali laki-laki, dibiayai laki-laki, didesain oleh arsitek laki-laki, dan dibangun oleh tukang batu yang semuanya laki-laki. Tetapi, begitu rumah itu jadi, rumah itu langsung memiliki identitas perempuan—“cantik sekali”. Sampai hari ini, saya belum pernah mendengar ada orang yang mengatakan, “Wow, rumahmu ganteng sekali!”

Saya pikir, sampai kiamat pun tidak akan ada rumah yang “ganteng”.
Begitu pula barang-barang yang lain. Laki-laki memakai baju, perempuan memakai baju. Tetapi, semua baju memiliki sifat “cantik”—tidak ada baju yang “ganteng”. Apakah kau pernah mendengar orang mengatakan, “Oh, bajumu ganteng sekali!” Saya belum pernah mendengar ucapan atau komentar seperti itu.

Bahkan blog, saudara-saudara. Kalau kita memiliki blog, dan kita mendesain blog itu dengan sangat indah, pujian yang akan kita dengar adalah identitas milik perempuan, “Wow, blogmu cantik sekali!” Sampai hari ini saya belum pernah menemukan komentar di blog yang berbunyi, “Oh my God, blogmu ganteng sekali!”

Padahal bisa saja blog itu milik laki-laki, dibuat dan dimiliki serta didesain laki-laki, bahkan memuat content yang berhubungan dengan aktivitas kaum laki-laki. Tetapi, meski begitu, blog itu tetap saja “cantik”.

Jadi, dari tanah bumi, rumah, sampai hal-hal kecil semacam blog, semuanya adalah milik kaum wanita—karena semuanya memiliki identifikasi feminin. Bahkan Jakarta yang gedung-gedung tingginya menjulang ke langit itu pun disebut “Ibu Kota”. Padahal, kau tahu, gedung-gedung dan tower-tower yang menjulang ke langit itu sesungguhnya upaya laki-laki untuk memamerkan “kejantanannya”. Tetapi upaya itu pun sia-sia, tak ada artinya, karena sejantan apa pun, mereka tetap berada di wilayah wanita—sang Ibu Kota.

Laki-laki boleh membangun apa saja, memiliki apa saja, bahkan menguasai apa saja, di dunia ini—tetapi semuanya tetap kembali sebagai “hak milik” kaum wanita, semuanya akan tetap memiliki jenis kelamin feminin.
Omong-omong, Bapak Haji Rhoma Irama punya lagu yang sangat saya sukai, berjudul Salikhah. Lagu ini merupakan soundtrack untuk film berjudul sama, yang dibintanginya bersama Ida Iasha. Lagu ini sangat asyik, khususnya bagi orang yang sudah ngebet kawin.

Di awal lagu (intro), sebelum dia mulai genjreng-genjreng gitarnya, Rhoma Irama menyitir sebuah hadist Nabi, yang berbunyi seperti ini, “Dunia ini perhiasan… —ila akhir.”

Ehmm, dunia ini perhiasan.

Hal terbesar yang dipikirkan laki-laki dalam hidupnya adalah wanita. Tetapi, anehnya, hal terbesar yang tak pernah dipahami laki-laki adalah wanita.

Dan Brown dan lain-lain



Berikut ini beberapa pertanyaan seputar buku dari teman-teman yang sudah ngendon lama di inbox email saya. Buat yang belum muncul, silakan tunggu di post yang lain.

***

Da’, Rhonda Byrne kan menulis buku baru, ‘The Power’, tapi sampai sekarang belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia, ya. Saya rencananya mau beli buku impornya, karena sudah tidak sabar, tapi kenapa oh kenapa harganya muahhaal sekali? Saya lihat di toko buku online harganya mencapai seperempat juta rupiah! Haloo, kenapa buku impor kok harganya mahal sekali…???

Yeah, namanya juga barang impor—kalau harganya mahal tentu wajar, kan? Wong celana dalam impor saja harganya jauh lebih mahal dibanding celana dalam lokal, apalagi buku…?

Omong-omong, saya sendiri juga sedang menantikan ‘The Power’, lho. Halo, penerbit di Indonesia, buruan dong ‘The Power’ dibawa ke sini. Kita sudah tak sabar menikmatinya!


Hei, kita memiliki penulis favorit yang sama. Saya juga penggila novel-novel Dan Brown, dan saya sudah membaca (hampir) semua karyanya. Tinggal satu karya Dan Brown yang belum saya baca, yaitu ‘Angel and Demons’, dan saya benar-benar ingiiiin sekali membacanya. Saya sudah mencari-cari novel itu di berbagai toko, tapi sudah tidak ada yang menyediakan. Apakah memang ‘Angel and Demons’ (edisi terjemahannya) sudah tidak terbit lagi?

Selamat datang di dunia Dan Brown! ‘Angel and Demons’ memang terbit beberapa tahun yang lalu, dan tentunya wajar kalau toko-toko buku sudah kehabisan stok. Saya tidak tahu apakah buku itu masih diterbitkan atau tidak. Ntar saya kirimkan versi ebook-nya ke emailmu. Ebook ini asli produksi penerbitnya di Indonesia, jadi isinya sama persis dengan edisi cetaknya. Selamat membaca!


Masih soal Dan Brown. Menurut kabar yang beredar, novel ‘The DaVinci Code’ ditulis berdasarkan buku berjudul ‘Holy Blood Holy Grail’. Benar begitu ya? Kalau ya, apakah ‘Holy Blood Holy Grail’ juga masuk ke Indonesia? Jika ya, siapa sebenarnya penulis buku itu, dan penerbit apa yang menerbitkannya?

Benar, Dan Brown sendiri mengakui kalau ‘Holy Blood Holy Grail’ menjadi buku yang sangat menunjang risetnya dalam penulisan ‘The DaVinci Code’. ‘Holy Blood Holy Grail’ ditulis oleh Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln. Buku itu juga sudah masuk ke Indonesia. Edisi terjemahannya diterbitkan Ufuk Publishing (Jakarta).


Saya suka sekali membaca postingmu yang berjudul Timur dan Barat: Sebuah Catatan. Hanya saja, kenapa penjabarannya singkat sekali (hanya dua seri)? Atau mungkin masih akan ada sambungannya lagi? Saya menyukai catatan itu, karena kamu menyuguhkan hal-hal yang tidak pernah diungkapkan para penulis lain yang juga membahas topik itu. Kalau saya boleh meminta, tolonglah perluas topik itu hingga menjadi beberapa posting lagi. Atau, mungkin lebih baik lagi kalau kamu menulis satu buku khusus yang membahas topik itu, gimana?

Sebenarnya, saya sudah menulis topik itu secara khusus dalam sebuah buku, berjudul ‘The Journey’, diterbitkan Soul Institute pada tahun 2005. Coba cari entri buku itu di perpustakaan kampusmu. Mungkin yang kamu minta di atas akan kamu dapatkan di dalam buku itu.

Nah, mengenai catatan saya di blog, itu semacam tambahan-tambahan kecil atas topik tersebut. Posting itu saya munculkan di sini, karena adanya permintaan seperti yang kamu minta di atas. Saya mengasumsikan kalian sudah membaca buku saya, sehingga saya merasa tidak perlu mengulangi penjelasan yang sudah ada di buku.

Selain itu, saya juga sengaja mengangkat contoh-contoh yang “ringan” dalam topik tersebut, karena—jangan lupa—pembaca blog ini sangat beragam, termasuk anak-anak SMA. Saya ingin contoh-contoh yang saya tampilkan bisa mudah dicerna sekaligus langsung menancap di benak pembaca. Karenanya pula, kalau menginginkan pembahasan yang lebih berat atau lebih mendalam, silakan baca langsung di buku.


Menyoal Buku Motivasional (3)



Penyebab kelima mengapa orang tidak cocok dengan buku motivasional adalah karena latar belakang dari orang bersangkutan.

Kalau kau lahir dan tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang berkecukupan, atau bahkan berkelimpahan, dan kau dapat menjalani hubungan sosial dengan baik, melewati pergaulan dengan baik, dapat menjalani pendidikan serta meraih karir dengan baik, dan kau tidak pernah merasakan kelaparan, tidak pernah merasa rendah diri dengan sesamamu karena kau tidak merasa berkekurangan, maka kau pun mungkin tidak akan cocok dengan buku-buku motivasional.

Tetapi terimalah fakta ini: Tidak setiap orang menjalani hidup dengan baik seperti dirimu. Tidak setiap orang memiliki orang tua atau keluarga yang berkecukupan atau bahkan berkelimpahan. Tidak setiap orang dapat menjalani kehidupannya dengan lancar karena banyaknya kekurangan. Tidak setiap orang dapat menikmati makanan enak apalagi lezat karena mereka justru sering kelaparan. Tidak setiap orang dapat menghadapi orang lainnya dengan kepala tegak karena merasa rendah diri, karena menyadari banyaknya kekurangan mereka.

Orang-orang semacam itu membutuhkan pegangan, atau setidaknya bantuan moral yang membesarkan hati dan semangat mereka—dan buku-buku motivasional memberikan hal itu kepada mereka.

In fact, banyak buku motivasional yang ditulis orang-orang yang dulunya miskin dan melarat, tak berpendidikan, namun kemudian berhasil membangun kehidupan yang sukses dan mengagumkan. Nah, orang-orang yang diilustrasikan di atas itu merasa memiliki kawan senasib ketika membaca buku-buku semacam itu, dan mereka merasa dapat belajar dari buku-buku itu. Mereka mendapatkan suntikan motivasi, nyala api semangat untuk tetap tegar dalam menjalani hidup.

Kasarnya, kalau kau belum pernah merasakan kelaparan karena tidak punya uang untuk membeli makan, kau tidak akan paham pentingnya makna buku-buku motivasional.

Jadi, marilah kita kembalikan buku—dalam apa pun bentuk dan genre-nya—pada proporsinya yang tepat, yakni sebagai sarana pembelajaran. Kalau kau merasa cocok dengan sebuah buku, ambillah ilmunya dan manfaatkanlah dalam hidupmu. Sebaliknya, jika kau merasa tidak cocok dengan sebuah buku, abaikan saja. Kau tidak perlu buang-buang energi untuk “mengkampanyekan” kebencianmu terhadap sebuah buku.

Kalau kau bisa hidup tanpa buku motivasional, itu bagus. Tetapi kalau ada orang lain yang merasa membutuhkan buku motivasional, kita tidak perlu menyalahkan apalagi merendahkan mereka. Setiap orang memiliki hak sendiri-sendiri dalam menjalani hidupnya—dengan, atau tanpa buku motivasional.

Omong-omong, tahukah kau kenapa sampai hari ini masih bisa hidup? Oh ya, tentu saja karena kau masih bernapas. Nah, sekarang, tahukah kau kenapa sampai hari ini masih bisa bernapas? Karena adanya oksigen. Baik, lalu kenapa sampai hari ini kau masih mau bernapas dan menghirup oksigen?

Kalau kita mau jujur pada diri sendiri, satu-satunya energi hidup di muka bumi ini adalah “harapan”. Inilah satu-satunya yang menjadikan setiap manusia tetap hidup hingga hari ini—yakni karena masih adanya harapan, atau karena masih memiliki harapan. Kau masih dapat hidup berhari-hari meski tanpa makan atau tanpa minum. Tetapi kau tidak akan bisa hidup satu hari pun tanpa harapan. Kapan pun kau tidak memiliki harapan—kau mati.

Harapan—itulah nyawa kehidupan. Dan hal penting bernama “harapan” itulah yang hakikatnya diajarkan oleh buku-buku motivasional.

Sekali lagi, kalau kau biasa menjalani hidupmu dengan baik, berkecukupan, atau bahkan berkelimpahan, kau tidak punya masalah apa pun dengan “harapan”—karena bagimu hidup ini “baik-baik saja”. Bagi orang sepertimu, harapan adalah hal murah karena kau sudah biasa memilikinya.

Tetapi bagi orang-orang yang tidak seberuntung dirimu, “harapan” adalah barang mewah. Mereka membangun harapannya dengan setiap tetes keringat, darah, dan air mata. Mereka melewati hari hidupnya dengan harapan yang kian menipis dan habis. Bagi mereka, harapan adalah seperti puncak menara gading yang tampak indah namun tak terjangkau.

Orang-orang semacam inilah yang amat membutuhkan suntikan motivasi untuk terus menyalakan harapannya—agar tetap dapat melanjutkan hidupnya. Dan, kalau orang-orang lain sesamanya tidak mampu memberikan suntikan motivasi seperti yang mereka harapkan, apa salahnya kalau kemudian mereka mencarinya melalui buku-buku motivasional…?

Anyway, setiap kali kau ingin menyalahkan sebuah buku, ingatlah selalu bahwa buku tidak ditulis untuk dibenarkan atau disalahkan. Buku ditulis untuk tujuan belajar. Dan di dalam belajar, terkadang butuh waktu untuk menemukan yang benar.


 
;