“Everyone seems to have a clear idea of how other people should lead their lives, but none about his or her own.” -- Paulo Coelho (@MindWisdomMoney, 20 April 2022)
Sering kali memang begini. Kita merasa tahu apa yang terbaik untuk orang lain, apa yang harus dilakukan orang lain, dan segala hal tentang orang lain, tapi kita kadang tidak tahu apa yang terbaik bagi diri sendiri. Lebih ironis, kita bahkan tidak menyadari siapa diri kita.
Jadi kepikiran.
Pernah bertanya-tanya, apa ujian terbesar setiap orang dalam hidup?
Sambil nunggu udud habis.
Jika kita dikaruniai usia sampai ribuan tahun, hingga bisa melihat banyak hal di dunia, kita akan menyadari bahwa ujian terbesar setiap orang dalam hidup bukan menggapai cita-cita, bukan menjaga kesehatan, juga bukan mencari pasangan.
Ujian terbesar setiap orang dalam hidup...
Ujian terbesar setiap orang dalam hidup adalah kemampuan membebaskan setiap orang lain menjadi diri mereka sendiri, kebesaran hati untuk menerima setiap orang dengan segala keunikan manusiawi mereka, dan kesadaran bahwa kita semua berbeda dengan segala latar belakang dan pikiran.
Kemampuan membebaskan setiap orang menjadi diri mereka sendiri—itulah ujian terbesar setiap orang, dan, diakui atau tidak, sebagian besar dari kita gagal.
Kita sering merasa lebih tahu tentang orang lain, tentang hidup mereka, lalu ingin orang lain harus begini, harus begitu.
Entah bagaimana, kita sering lupa bahwa SETIAP ORANG BERBEDA DENGAN KITA. Secara fisik maupun psikis. Berbeda latar belakang, berbeda pengalaman, berbeda pemikiran, dan masing-masing kita kemudian menjalani kehidupan berdasarkan aneka perbedaan yang kita alami dan kita jalani.
Ocehan ini, kalau kulanjutkan, bisa panjang sekali, dan usia kalian jelas tidak akan cukup.
Jadi, untuk mempersingkat ocehan—karena ini juga cuma nunggu udud habis—dan agar tidak terjadi kesalahpahaman, mari kita gunakan contoh-contoh nyata yang bisa dipahami siapa pun.
Contoh. Ada pria yang tidak/belum menikah, padahal kita menganggap dia sudah layak menikah. Kita berpikir, dia seharusnya sudah menikah, lalu kita menyindir, menyinyiri, sampai bertanya-tanya "kapan kawin?" kepadanya. Kita bersikap seolah-olah tahu apa yang terbaik bagi dirinya.
Kita bersikap seolah-olah tahu apa yang terbaik bagi dirinya... padahal kita sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya.
Bisa jadi, dia sengaja tidak buru-buru menikah karena memang belum siap, masih punya tanggungan keluarga (menghidupi orang tua dan adik-adik), dlsb.
Kita tidak pernah BERTANYA kenapa dia tidak/belum menikah, tapi kita langsung MENGHAKIMI bahwa dia seharusnya sudah menikah!
Pernahkah kita bertanya-tanya, "Aku ini siapa, sampai merasa berhak mengatur-atur kehidupannya? Dia mungkin punya pemikiran lain yang tidak aku tahu."
Beda soal kalau, misalnya, ada pria yang tidak/belum menikah, lalu mengganggu istri orang lain, atau semacamnya.
Tapi kalau seseorang tidak/belum menikah, dan dia tidak mengganggu siapa pun, bisakah kita juga tidak mengganggu kehidupannya?
Itulah ujian terbesar setiap kita.
Contoh lain. Ada orang yang sifat, kepribadian, maupun kebiasaannya, benar-benar berbeda dengan kita. Bisakah kita membebaskan dia untuk tetap jadi dirinya sendiri tanpa harus kita recoki dengan "seharusnya kamu begini", dan "seharusnya kamu begitu"?
Itu ujian, dan kita gagal.
Padahal aturannya sederhana: Jika orang lain berbeda dengan kita, dan dia tidak mengganggu atau merugikan siapa pun, ya biarkan saja.
Jika kita memang merasa tidak cocok dengannya, ya berarti kita bukan orang yang tepat menjadi temannya. Kita bisa mencari orang lain yang cocok.
Ironi kebanyakan orang adalah; kita tidak menyukai sifat atau kepribadian seseorang karena berbeda dengan kita, tapi ingin kenal dan berteman dengannya, lalu berusaha mengubah orang itu sesuai keinginan kita!
Itulah ironi paling menyedihkan tentang manusia.
Lha kita ini siapa?
Karenanya benar yang dikatakan Paulo Coelho, “Everyone seems to have a clear idea of how other people should lead their lives, but none about his or her own.”
Kita merasa sangat tahu tentang orang lain, dan, di sisi lain, kita sebenarnya tidak tahu apa-apa tetang diri sendiri.
Seperti yang kukhawatirkan tadi, ocehan ini masih panjang sekali... tapi ududku habis.
"Kalau udud habis itu mbok nyulut lagi, jangan ocehan dipotong padahal belum selesai..."
Tolong katakan itu pada Philip Morris!
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Oktober 2022.