Izinkan aku ngasih saran dan pertimbangan yang [semoga] adil.
Kalau kamu yakin orang tuamu sosok yang bijak, dan mereka (ayah/ibumu) memberimu saran baik yang masuk akal (bagimu dan bagi mereka), serta memberikan dukungan penuh (dari dukungan moral sampai dukungan biaya), maka ikutilah saran mereka.
Sebagai anak, kamu pasti mengenal karakter sekaligus kelebihan/kekurangan orang tuamu; apakah mereka orang tua yang bijak atau orang tua yang sebaliknya.
Jadi, pertama-tama, yakinkan dirimu terlebih dulu, apakah orang tuamu memang bijak, dan sarannya perlu diikuti?
Setelah yakin orang tuamu memang bijak, dan mereka juga memberimu saran baik yang masuk akal (dalam arti bisa dibicarakan bersama tanpa pemaksaan kehendak, dan kalian bisa saling menerima pertimbangan satu sama lain), dan orang tuamu mendukungmu penuh, ya ikuti mereka.
Memiliki orang tua yang bijak, yang memberimu saran baik, dan mendukungmu penuh—dari mendukung secara moral sampai mendukung biaya—adalah privilese yang tidak dimiliki setiap anak di dunia.
Karenanya, kalau orang tuamu seperti itu, kamu anak yang sangat, sangat beruntung.
Tetapi, mari terima kebenaran pahit ini; ada pula orang tua bodoh, yang sarannya mungkin ia anggap baik, tapi sebenarnya bisa merugikan si anak. Sudah begitu, kadang mereka hanya memaksakan kehendak, tapi tidak ada dukungan apa pun—intinya kamu hanya harus mengikuti mau mereka.
Jika kamu yakin berada di posisi semacam itu (lihat tweet sebelum ini), kamu punya pilihan untuk tidak mengikuti saran orang tuamu.
Bagaimana pun, kamu yang akan menjalani kehidupanmu selanjutnya—bukan orang tuamu. Kamulah yang akan menghadapi apa pun konsekuensi pilihanmu.
Apakah ada saran orang tua yang malah merugikan si anak? Ada, bahkan mungkin banyak. Kita mungkin pernah, atau bahkan sering, membaca berita tentang ibu yang melacurkan anak perempuannya sendiri. Alasannya mungkin baik, tapi itu jelas merugikan dan merusak hidup si anak.
Ada pula orang tua yang memberikan saran pada si anak, tapi dia menggunakan sudut pandangnya sendiri—bukan sudut pandang si anak yang akan menjalani.
Misal, orang tua ingin anaknya jadi PNS, padahal panggilan hati si anak lebih suka melukis, dan ingin jadi pelukis.
Orang tua menginginkan anaknya jadi PNS tentu dengan pertimbangan yang baik, misal agar ekonomi keluarga lebih terjamin. Tapi orang tua mungkin tidak sempat memikirkan, apakah anaknya akan bahagia jika jadi PNS? Apakah jadi PNS memang panggilan hati anaknya? Dan lain-lain.
Karenanya, pepatah “tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya” itu sebenarnya perlu dikaji lebih adil dan komprehensif. Adil bagi orang tua, juga adil bagi si anak. Karena suatu saran mungkin tampak baik dari sudut pandang orang tua, tapi bisa jadi buruk bagi si anak.
Dalam contoh ekstrem, kasus ibu yang melacurkan anak perempuannya. Pertimbangan si ibu, “Keluarga kami butuh uang untuk makan.” Pertimbangan yang baik, tentu saja. Tapi pertimbangan baik itu—dengan melacurkan si anak—jelas tidak baik untuk si anak. Siapa yang bisa membantah ini?
Intinya, kamu tetap seorang anak yang punya kewajiban mendengar saran orang tuamu. Tetapi, bagaimana pun, kamu yang akan menjalani kehidupanmu, dan hidupmu masih panjang, dan orang tua tidak akan ada selamanya untukmu. Jadi, ikutilah, dengan bijak, kata hatimu.
Maaf kalau ocehan ini lumayan panjang. Aku selalu menahan diri untuk tidak menasihati siapa pun. Tapi karena kamu secara terbuka menyatakan butuh saran/pertimbangan orang lain, aku memberanikan diri menulis saran ini. Semoga tidak membuatmu bosan.
Dan ududku habis.
Siwon, Eunhyuk, dan Donghae (personil Super Junior) kini sama-sama sukses. Tapi Siwon dan Eunhyuk menentang orang tua, sementara Donghae mengikuti nasihat orang tua. Kisah nyata ini cukup adil untuk kembali dibaca:
Pergilah Kemana Hati Membawamu » http://bit.ly/2toVxeM
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Desember 2022.