Rabu, 10 Juli 2024

Sudah Capek dan Repot, Ujungnya Malah Menyesal

Ini lanjutan catatan di BSM (Mungkin Surga Seperti Instagram). Karena mengobrolkan Instagram, percakapan kami merembet ke media sosial lain, yaitu Twitter, yang sekarang berubah nama menjadi X.

Ripin bertanya kepada saya, “Kenapa kamu nggak cocok dengan Instagram, tapi suka main di Twitter, Da’?”

Saya menjawab, “Menurutku, Twitter lebih realistis, atau lebih dekat dengan kehidupan nyata kebanyakan orang. Di Twitter, banyak orang yang jujur pada diri sendiri dan orang lain, apa adanya, jadi aku merasa lebih relate di sana. Ada orang-orang mengeluhkan kehidupan sehari-hari, sambat soal sulitnya nyari duit, soal kerja, soal hubungan, dan lain-lain. Itu kan hal-hal yang biasa ada di kehidupan nyata. Makanya aku merasa lebih ‘terhubung’ dengan orang-orang yang ada di Twitter, karena merasa menjalani kehidupan yang nggak jauh beda. Yang lebih penting, Twitter mengutamakan pikiran, karena konten utamanya berbentuk tulisan. Itu bikin aku lebih nyaman, daripada pamer foto mewah-mewahan ala Instagram.”

Ardi menyahut, “Kalau Facebook, gimana? Kenapa kamu nggak aktif juga di Facebook?”

“Dulu sebenarnya pernah punya akun Facebook,” saya menjawab. “Waktu Facebook mulai tren, dan banyak teman kita yang bikin akun di sana, aku juga ikut bikin akun. Tapi, karena suatu kesibukan, aku pernah nggak masuk Facebook sampai lama. Begitu mau masuk lagi, aku udah lupa password-nya. Jadi sejak itu nggak pernah kenal Facebook lagi, sampai sekarang.”

“Mumpung ingat,” ujar Ripin, “di Twitter tuh ada info lowongan kerja nggak, sih?”

“Mungkin ada,” saya menjawab, “tapi aku kurang tahu, karena nggak ngikutin akun-akun seputar lowongan kerja.”

Lalu Ripin bercerita, dia mengikuti akun-akun penyedia lowongan kerja di Instagram, tapi belum juga menemukan lowongan yang bisa ia masuki. Hampir semua info lowongan kerja mempersyaratkan maksimal usia 30 tahun, sementara dia sudah lewat 30. Kebanyakan lowongan juga mempersyaratkan minimal pendidikan S1 atau sarjana, sementara dia hanya lulusan SMA.

“Tempo hari aku nemu lowongan kerja memotong kain,” ujar Ripin. “Info lowongannya cuma: ‘Dicari, pria, pemotong kain. Diutamakan yang telah berpengalaman’. Karena dulu pernah punya usaha kain ATBM, aku ngerasa pede menghubungi nomor WhatsApp yang tertera di lowongan itu, berharap bisa dapat kerja. Orang yang menerima teleponku menjelaskan, mereka memang lagi cari tukang potong kain mori untuk batik. Aku bilang, aku bisa mengerjakannya. Tapi begitu tahu umurku udah 35, dia kayak keberatan. Dia bilang, nyarinya yang baru lulusan SMA, karena bayarannya nggak seberapa.”

“Terus nggak jadi?” tanya saya.

“Nggak jelas,” sahut Ripin. “Orang yang aku tilpon itu cuma bilang, ntar akan ngabari kalau ada lowongan lain yang lebih tepat. Tapi aku nggak terlalu yakin.”

Kami terdiam beberapa saat, lalu Ardi berujar, “Makin ke sini, nyari kerja kayaknya emang makin sulit. Aku juga kadang dapat tawaran kerja di luar kota, tapi informasinya nggak meyakinkan. Aku takutnya udah jauh-jauh ke luar kota, buang banyak tenaga dan biaya, ternyata zonk kayak yang pernah aku alami dulu.”

Dulu, Ardi pernah dapat tawaran kerja di Tangerang, terkait kain ATBM. Ketika berangkat, Ardi berpikir dia akan langsung kerja, karena dia punya latar belakang dan pengetahuan yang cukup terkait kain ATBM. Jadi, waktu itu, dia pun pede berutang pada kakak-kakaknya, dengan janji akan dilunasi setelah dapat gajian. Ternyata, begitu sampai di Tangerang, Ardi baru tahu kalau pertemuan itu baru tahap pembicaraan—mereka bermaksud bikin usaha kain ATBM, dan membutuhkan Ardi untuk menjelaskan apa saja yang perlu diketahui dan disiapkan.

Dua hari Ardi di Tangerang, lalu pulang dengan tangan hampa. Tidak ada pekerjaan, tidak ada uang. Sampai di rumah, Ardi menyesali kepergiannya ke Tangerang, karena hanya membuang waktu, energi, serta biaya, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Dia juga merasa bersalah pada kakak-kakaknya, karena tidak bisa segera membayar utang pada mereka. Sejak itu, Ardi seperti trauma setiap kali mendapat tawaran serupa. 

Kisah Ardi itu pula yang belakangan membuat saya ogah-ogahan kalau mendapat ajakan pertemuan dari siapa pun, jika tempatnya relatif jauh. Di Twitter, misalnya, sering ada yang ngajak ketemuan, dari pakai drama dan basa-basi bertele-tele sampai yang terang-terangan. 

Saya tidak kenal mereka, selain hanya tahu lewat internet, dan mereka tidak menjelaskan apa tujuan pertemuan itu, atau apa yang akan saya dapatkan. Sementara saya harus meninggalkan pekerjaan di rumah, menempuh perjalanan jauh, menghabiskan waktu, energi, dan biaya. Saya malas mengurusi ajakan yang tidak jelas semacam itu.

Padahal, andai mereka menjelaskan apa tujuan pertemuan itu, atau menunjukkan apa yang akan saya dapatkan, saya akan datang. Tanpa itu, saya tidak akan sudi buang-buang waktu, energi, dan biaya. Saya takutnya seperti Ardi, sudah datang jauh-jauh, menghabiskan banyak waktu, energi, dan biaya, tapi ujungnya malah menyesal.

Ketika saya masih asyik nyangkruk bersama Ardi dan Ripin, muncul beberapa orang, melangkah di jalanan kampung. Sepertinya mereka akan mengikuti pawai. Salah satu dari mereka menyapa Ardi dan Ripin, mengajak ikut pawai bareng mereka.

Ripin bertanya, “Ada duitnya nggak?”

Orang yang ditanya tampak tersenyum, dan menjawab, “Nggak ada.”

“Ya males, kalau gitu.”

Setelah orang-orang itu berlalu, Ardi berkata, “Udah panas-panasan, capek, nggak ada duitnya. Mending ngadem di sini.”

 
;