Selasa, 20 Juli 2021

Pekerja yang Baik, Pekerjaan Terbaik

Bekerja adalah hak mulia yang hanya dimiliki manusia.
Mencintai pekerjaan yang dipilih adalah menjalani hidup dengan mulia.


Dalam sebuah perjalanan, saya iseng buka Twitter, dan terpikir untuk ngasih footnote atau penjelasan lebih rinci terkait catatan yang saya posting tempo hari di blog (Syarat “Komunikatif” dalam Lowongan Kerja Itu Maksudnya Apa?). 

Tapi begitu mulai mengetik di Twitter, saya langsung sadar kalau ocehan itu akan sangat panjang. Jadi, daripada membuat orang lain (follower) tidak nyaman, akhirnya saya putuskan untuk menuangkannya di blog, meski nadanya seperti ocehan di Twitter. Dan inilah hasilnya. Ternyata benar-benar panjang!

....
....

Umpama, nuwun sewu, kita terlahir dalam keadaan bisu, hingga tidak bisa berbicara, dari kecil sampai dewasa. Atau, sekali lagi nuwun sewu, kita terlahir dengan bibir sumbing, sehingga—saat tumbuh besar dan dewasa—ucapan kita mungkin kurang jelas (kurang fasih) bagi orang lain.

Bisu, tunawicara, atau berbibir sumbing—dalam kasus lebih lanjut; gagu, gagap, atau semacamnya—adalah kondisi-kondisi di luar kuasa kita. Artinya, kita tidak bisa memilih terlahir sebagai orang yang fasih berbicara atau tidak; kita tidak bisa memilih untuk lahir dalam kondisi seperti apa.

Sekarang andaikan saja, kita menjalani hidup dengan kondisi kesulitan berbicara, karena kondisi-kondisi tadi. Tapi kita tidak patah semangat. Menyadari kalau kita punya kekurangan (dalam hal berbicara/komunikasi), kita pun memacu potensi diri kita dalam hal lain, selain bicara.

Jadi, sedari kecil, kita sangat rajin belajar, hingga sangat pintar dan langganan juara di sekolah. Ketika kuliah, kita menjadi mahasiswa teladan karena kecerdasan yang luar biasa. Di luar pembelajaran, kita juga memacu diri untuk rajin bekerja—kita melakukan apa pun penuh semangat.

Langit menyaksikan, kita menjadi pribadi tangguh yang tak terkalahkan oleh kekurangan akibat bisu, tunawicara, atau kesulitan berbicara. Alih-alih terkalahkan oleh kekurangan itu, kita justru menempa diri hingga menjadi pribadi luar biasa, meski tetap dengan kekurangan tadi.

Seusai lulus kuliah, kita mulai mencari pekerjaan yang cocok, seperti umumnya orang lain. Kita mencari-cari berita lowongan kerja, di koran, juga internet. Dan setiap kali kita menemukan berita lowongan kerja yang sesuai, kita selalu dihadapkan pada syarat “komunikatif”.

Sekarang, bayangkan dan tempatkan posisimu pada orang semacam itu. Kau memiliki kemampuan belajar (bisa belajar apa pun dengan cepat), memiliki kecintaan dalam bekerja (bisa bekerja dengan penuh semangat), tapi kau tidak mungkin komunikatif, karena nyatanya kau bisu.

Itu jelas kondisi yang... well, apa istilah yang tepat untuk hal ini? Dilematis? Menghancurkan hati? Ya, mungkin dilematis. Dan itulah kegelisahanku, hingga menulis ocehan ini: Syarat “Komunikatif” dalam Lowongan Kerja Itu Maksudnya Apa? 

Di luar sana, ada orang-orang hebat nan malang semacam itu. Mereka memiliki potensi yang dibutuhkan perusahaan; untuk bekerja dengan giat, penuh semangat, sekaligus bisa belajar apa pun dengan cepat. Tapi kita meruntuhkan hati mereka dengan syarat berbunyi, “Komunikatif”.

Tentu wajar kalau syarat “komunikatif” itu ditujukan untuk [lowongan] pekerjaan yang memang membutuhkan komunikasi sebagai syarat mutlak. Misal resepsionis, atau pekerjaan lain yang memang mempersyaratkan komunikasi lisan sebagai hal dasar yang tak bisa diubah.

Tapi untuk [lowongan] pekerjaan yang sebenarnya tidak membutuhkan komunikasi lisan dan mempersyaratkan “komunikatif”, itu bukan hanya aneh, tapi juga terkesan dikriminatif, khususnya pada orang-orang yang memang tidak bisa komunikasi lisan akibat kondisi mereka.

Mungkin akan lebih baik jika penyebutan “komunikatif” diganti dengan kalimat yang lebih spesifik, misal, “Mampu berkomunikasi secara baik dengan klien atau rekan kerja”, dan semacamnya—meski tidak secara lisan; misal lewat tulisan, chatting, atau sarana lain yang memungkinkan.

Jika aku diminta memilih; A) Pekerja yang tidak bisa berkomunikasi karena bisu tapi hasil pekerjaannya sangat memuaskan; atau B) Pekerja yang pintar mbacot (komunikatif) tapi pekerjaannya berantakan; aku jelas akan memilih A, pekerja yang meski bisu tapi pekerjaannya bagus!

Itu contoh ekstrem bahwa kemampuan berkomunikasi yang baik tidak selalu menjamin kemampuan bekerja yang sama baik. Sebagian orang memiliki kekurangan fisik tertentu, khususnya bisu (tidak “komunikatif”), tapi mereka bisa bekerja dengan baik. Menolak mereka adalah diskriminasi.

Dalam The Magic of Thinking Succes, David J. Schwartz mengisahkan lowongan kerja sales door to door yang menjual barang-barang tertentu. Sales door to door tentu butuh kemampuan komunikasi yang baik, khususnya untuk “merayu” calon pembeli agar mau membeli dagangannya.

Ketika lowongan itu dibuka, salah satu yang melamar adalah seorang pria gagap. Sambil menyodorkan lamaran, pria itu berkata, “Sssa-sa... saya tid-tidak bbbisa bbb-be-berkomunikasi dddengan bbbaik, ttap-tapi sssaya bbbisa bbb-beb-bekerja ddengan bbbaik.” Pria itu diterima.

Singkat cerita, hasil penjualan pria gagap itu jauh mengungguli rekan-rekannya sesama sales, yang bisa berkomunikasi dengan baik. Bagaimana keanehan semacam itu bisa terjadi? Karena kemampuan kerja yang baik jauh lebih penting dibanding [sekadar] kemampuan komunikasi!

Bahkan untuk pekerjaan yang jelas-jelas membutuhkan kemampuan komunikasi—dalam contoh ini sales door to door—nyatanya kemampuan komunikasi kalah dengan kemampuan bekerja (antusiasme, kejujuran, sikap yang baik/hormat pada orang lain, dan hal-hal positif lainnya).

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 8597, dan kalian pasti sudah pensiun, atau malah sudah mati. Jadi, sekarang kita akan melompat ke bagian akhir catatanku di blog, yaitu tentang kisah bertahun lalu, ketika aku ingin jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami.

Itu bukan gurauan. Ada suatu masa ketika aku benar-benar ingin jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami. Suatu masa bertahun lalu, ketika aku baru lulus SMA, dan sangat mengagumi Ayu Utami. Kisahnya dimulai dari sebuah tulisan di koran Sindo (Seputar Indonesia) edisi Minggu.

Setiap Minggu, Ayu Utami menulis catatan di koran Sindo (rubriknya bernama Kodok Ngorek). Bertahun-tahun lalu, Ayu Utami mengisahkan tentang tukang sapu (tukang kebun) di rumahnya, yang suka membaca buku-buku miliknya, tapi tidak dikembalikan ke tempat semula.

Aku tidak ingat apa judul catatan yang mengisahkan hal itu. Yang jelas, Ayu Utami mengisahkan kekesalannya pada si tukang sapu. Dia senang si tukang sapu membaca buku-buku miliknya, tapi Ayu Utami berharap si tukang sapu mengembalikan buku ke tempatnya semula.

Gara-gara membaca catatan itu, aku jadi terpikir untuk melamar kerja jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami. Dalam bayanganku, waktu itu, pasti menyenangkan kalau aku bisa bekerja di tempat orang yang kukagumi, melihatnya setiap hari, bahkan ikut membaca buku-buku miliknya.

Waktu itu aku baru lulus SMA, dan Ayu Utami masih lajang, meski usianya jauh lebih dewasa dariku. Di masa itu, di mataku, Ayu Utami adalah semacam... well, Awkarin era ’90-an—terkenal “mbeling”, kontroversial, tapi pintar. Karena itulah, aku ingin jadi tukang sapu di rumahnya. 

Sayangnya, ada sesuatu yang menghentikan rencanaku waktu itu. Pertama, Ayu Utami anti [asap] rokok, sementara waktu itu aku sudah aktif merokok. Aku jelas tidak akan diterima jika melamar jadi tukang sapu di rumahnya. Bersama alasan lain, akhirnya aku membatalkan rencana.

Well, itu kisah masa lalu, dan Ayu Utami kini telah menikah, sementara aku juga telah dewasa. Dan sampai kini aku tetap meyakini, tidak ada pekerjaan yang lebih mulia atau lebih rendah—seperti tukang sapu, misalnya. Karena baik-buruknya pekerjaan, bergantung sebaik apa kita mengerjakannya.

Jika sewaktu-waktu, umpama, Awkarin membuka lowongan tukang sapu/tukang kebun di rumahnya, mungkin aku akan melamar—dengan alasan sama seperti dulu aku ingin melamar jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami. Karena pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang kita cintai.

Bagiku, Penampilan Itu Nomor Dua

Mungkin gaya hidup, juga cara berpikir, orang beda-beda, ya. Ada yang sangat perhatian sama penampilan, ada juga yang santai saja (tidak terlalu mempersoalkan penampilan). Sebagai cowok, mungkin aku termasuk yang cuek, atau tidak terlalu mempersoalkan penampilanku sendiri.

Tentu saja aku berusaha berpenampilan rapi (atau pantas) saat memang harus begitu. Tapi kalau pun tidak, aku juga tidak menganggap itu kesalahan. Karena penampilan, menurutku, adalah soal pilihan. Kalau orang lebih nyaman tampil sederhana, apa adanya, tentu dia berhak begitu.

Penampilan itu penting, tentu saja. Khususnya kalau kamu kebetulan orang terkenal, figur publik, sosialita, atau semacamnya, yang tentu akan dipandang/dilihat orang lain di mana-mana. Tapi bagi orang biasa sepertiku, penampilan adalah urusan nomor dua. Nomor satu adalah uang.

Terus terang, aku lebih nyaman tampil sederhana tapi punya banyak uang, daripada tampil mewah tapi duit pas-pasan. Ya idealnya tentu bisa berpenampilan bagus, sekaligus punya banyak uang. Cuma karena aku sering terlalu sibuk ngurusin kerja, jadi kadang lupa urusan penampilan.

Ada guyonan populer di Silicon Valley, "Kalau kamu masih memikirkan penampilan, artinya kamu belum kaya."

Jangan salah paham. Guyonan itu hanya ditujukan untuk bocah-bocah di Silicon Valley yang kesehariannya cuma sibuk bekerja. Sebagian mereka mirip gembel, tapi kaya-raya.

Ya aku juga lebih suka gitu, sih. Maksudku, dalam skala ekstrem, aku juga nyaman-nyaman saja tampak gembel, kalau aslinya kaya-raya. Rasanya menyenangkan saat mendapati orang lain meremehkanmu karena dianggap kere, padahal kamu bisa membeli dan mendapatkan apa pun yang kamu mau.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Desember 2019.

Noffret’s Note: Media Sosial

Saat ini ada berbagai media sosial, dari blog (untuk tulisan panjang), Twitter (untuk tulisan pendek/singkat), Instagram (untuk foto), YouTube (untuk video), hingga Facebook (untuk berinteraksi layaknya dalam kehidupan sosial sehari-hari). Sampai kini, aku masih nyaman di blog.

Mungkin karena faktor kebiasaan (senang membaca), sampai sekarang aku lebih mampu menikmati konten dalam bentuk tertulis, khususnya tulisan yang panjang dan asyik. Saat membaca sesuatu, aku merasa bisa "masuk" ke dalam tulisan yang kubaca, dan benar-benar bisa menikmatinya.

Hal serupa tidak—atau mungkin belum—bisa kualami saat menikmati konten dalam bentuk foto atau video. Ketika melihat foto-foto di Instagram, misalnya, aku sering berpikir, "Ini bukan duniaku." Entah kenapa, aku merasa "asing" saat melihat foto-foto itu, meski foto-foto itu bagus.

Sementara saat menikmati konten video, misal di YouTube, aku sering tidak sabar. Ketika menikmati tulisan, aku bisa membacanya dengan sangat cepat, tanpa meninggalkan satu huruf pun, sehingga bisa memahami isinya dalam waktu singkat. Hal itu tak bisa kulakukan saat nonton video.

Latar belakang itulah yang membuatku tetap konsisten menulis di blog, dan tidak tergoda dengan Instagram atau YouTube. Karena aku hanya tahu cara menulis, dan lebih senang menikmati konten dalam bentuk tulisan. Tentu saja ini kelemahan, dan aku tidak sedang membanggakannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Desember 2019.

Begitulah Taurus

—@tempodotco

Terjemahannya kurang luwes, tapi yeah... kira-kira Taurus memang seperti itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Juni 2020.

Tiba-Tiba Ingat

Tiba-tiba ingat. Tempo hari, di Tangerang, ada perempuan 16 tahun yang diperkosa 7 pria. Si perempuan kemudian masuk RSJ, dan belakangan meninggal dunia. Tapi kok sepertinya sepi-sepi saja, ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Juli 2020.

Minggu, 11 Juli 2021

Syarat “Komunikatif” dalam Lowongan Kerja Itu Maksudnya Apa?

Gara-gara isu "HRD kepo medsos pelamar kerja", akibatnya banyak orang yang sengaja menjadi pribadi palsu, demi tampak sopan dan baik, demi bisa mendapat kerja. Kalau aku yang menempati posisi HRD, aku justru ngeri menghadapi kemungkinan itu.

....
....

Di berbagai berita lowongan kerja, selalu ada syarat "komunikatif" di dalamnya, meski pekerjaannya kadang tidak berhubungan dengan urusan komunikasi.

Dan aku selalu bertanya-tanya, "Komunikatif dalam hal apa? Komunikatif dengan siapa? Komunikatif dalam bentuk bagaimana?"

Ada temanku bernama Felix. Dia sosok ulet dan pekerja tangguh. Dulu kami pernah kerja bareng. Saat aku tidak tidur dua hari dua malam, dia ikut tidak tidur dua hari dua malam. Dia satu-satunya orang yang bisa mengikuti ritme kerjaku yang gila-gilaan. Tapi dia punya kelemahan.

Kelemahan khas Felix adalah kurang mampu "berkomunikasi hal-hal tidak penting". Jadi, saat kami kerja bareng, kami tidak banyak bacot, karena khusyuk mengurusi kerja. Bagiku, dia partner yang sempurna. Kami hanya berkomunikasi hal-hal penting. Di luar itu, kami terus bekerja.

Dulu, aku hanya ngomong ke Felix, "Kita akan melakukan ini." Dan dia hanya menjawab, "Oke." Lalu dia benar-benar mengerjakan tepat seperti yang kumaksudkan. 

Di waktu lain, Felix memberi saran/masukan, dan kami mengkomunikasikannya dengan baik, lalu mengerjakannya bersama.

Selama kami bekerja bersama, kami BISA BERKOMUNIKASI DENGAN BAIK, termasuk dengan orang-orang lain yang terkait dengan pekerjaan kami. Dan aku bisa menjadi saksi bahwa Felix adalah pekerja tangguh yang sulit ditandingi. Tapi di luar itu, Felix sangat pendiam—lebih parah dariku.

Ketika Felix pindah domisili, dia tidak lagi bekerja denganku. Dia mencoba melamar kerja ke beberapa perusahaan, tapi semuanya menolak—mungkin karena dia dinilai "kurang komunikatif". Aku bilang kepadanya, "Kenapa kamu tidak bikin perusahaan sendiri saja? Toh kamu suka kerja."

Dan itulah yang dia lakukan. Dia kumpulkan uangnya untuk bikin usaha sendiri, dan... setelah beberapa tahun, Felix sekarang benar-benar menjalankan perusahaannya sendiri. Dia sukses, karena memiliki modal paling penting; kecintaan dalam bekerja! Meski dinilai "kurang komunikatif"

Saat ini, dia tidak hanya memimpin perusahaan, tapi juga memiliki karyawan/pekerja, hingga jaringan distribusi dan segala macam. Semua itu jelas MEMBUTUHKAN KOMUNIKASI, dan nyatanya Felix bisa melakukannya. Bahkan dia melakukannya dengan baik, hingga sukses dan kaya-raya!

Karenanya, setiap kali mendapati lowongan kerja yang mempersyaratkan "komunikatif", padahal pekerjaannya bukan di bidang komunikasi, aku jadi bertanya-tanya, "Komunikatif dalam hal apa? Komunikatif dengan siapa? Komunikatif dalam bentuk bagaimana?"

Kalau aku akan merekrut karyawan/pekerja, syarat pertama yang kutetapkan adalah "kecintaan bekerja". Kalau kau mencintai pekerjaanmu, hingga bisa (dan berusaha) bekerja dengan baik, bahkan umpama kau bisu atau tunawicara pun aku akan menerimamu. Persetan dengan komunikatif!

Footnote:

Istilah "komunikatif" yang sering muncul dalam lowongan kerja, bisa diartikan secara luas, dan itu bisa menimbulkan kesan diskriminatif, khususnya pada orang-orang yang gagu, gagap, tunawicara, atau memang kurang mampu "mbacot", padahal bisa bekerja dengan baik.

Mungkin akan lebih baik jika istilah "komunikatif" dalam lowongan kerja dijelaskan secara lebih spesifik, misal "mampu berkomunikasi secara baik dengan klien maupun rekan kerja, mampu mengkomunikasikan ide-ide dalam urusan pekerjaan, dan bla-bla-bla."

Karena ada orang-orang yang mungkin pintar mbacot dan asoy kalau ngobrol—dengan kata lain, "komunikatif"—tapi tidak mampu menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan klien, serta kurang mampu mengkomunikasikan ide-idenya terkait pekerjaan. Lebih parah, kerjanya juga tidak beres.

End note:

Kalau-kalau ada yang berpikir, "Kamu ngoceh gini karena dongkol gak bisa ngelamar kerja, ya?"

Hahahaa... mohon maaf, aku tidak sedang ingin/butuh melamar kerja. Satu-satunya waktu aku ingin melamar kerja adalah bertahun lalu; ingin jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Januari 2020.

Noffret’s Note: Ellena

Haduh, siapa lagi tuh si Ellena? Twitter sepertinya tak pernah kehabisan bahan keributan. Kali ini keributannya agak-agak ngeri, meski barusan sempat googling orangnya, dan sepertinya tipe mbakyu. Appeeeeuuuu...

Kalau-kalau ada yang salah paham, Ellena yang kusebut di tweet itu BUKAN korban perkosaan/kekerasan seksual, terkait thread yang tadi malam ramai.

Aku menyebut namanya, bahkan sampai googling orangnya, karena thread semalam menyebut dia pernah tid... ah, sudahlah, kalian cek sendiri saja di thread yang ramai itu.

Sebagai orang luar yang sama sekali tidak bersentuhan dengan organisasi maupun kasus tersebut, juga tidak mengenal orang-orangnya, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan aku sekarang telah belajar untuk tidak buru-buru menghakimi.

Berdasar pengamatanku (dan tolong ralat kalau aku keliru), pengungkapan dugaan kasus perkosaan/kekerasan seksual di Twitter makin ke sini makin riskan, dalam arti rentan menggelincirkan pemahaman kita, karena nyatanya—akui sajalah—kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ada rekaman memori di kepalaku, tentang orang-orang (perempuan) yang bikin thread tentang pengakuan perkosaan, lalu viral, tapi belakangan terungkap kalau kasusnya sebenarnya bukan perkosaan, dan thread itu sengaja dibuat berdasar kekecewaan si perempuan—apa pun alasannya.

Jangan salah paham. Aku sedang ngomong thread secara umum di Twitter, khususnya terkait pengakuan dugaan perkosaan, bukan spesifik thread yang ramai tadi malam.

Karena kemungkinan itulah, seperti yang kusebut tadi, aku berusaha belajar untuk tidak buru-buru menghakimi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28-29 Juli 2020.

Termahal Belum Tentu Terbaik

Terbukti, biro ekspedisi yang pasang tarif (ter)mahal tidak menjamin servisnya terbaik. Berdasarkan penelitian pribadi, servis biro ekspedisi di Indonesia rata-rata sama. Cuma tarifnya yang beda. 

Ini catatan lama, tapi relevan untuk kembali dibaca. >> Mengapa Ongkos Kirim Biro Ekspedisi Bisa Jauh Berbeda?

Kalau ada yang bertanya-tanya, bagaimana aku bisa tahu sejauh itu, jawabannya sederhana: penelitian langsung! 

Untuk memuaskan rasa ingin tahu, aku mencoba semua biro ekspedisi di Indonesia, bahkan mendaftar jadi seller di marketplace, untuk tahu "apa yang sebenarnya terjadi".


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Juni 2020.

Noffret’s Note: Bakso

Bakso adalah makanan yang kenikmatannya naik lima kali lipat saat dimakan ketika hujan. #FaktaBocah


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Desember 2019.

Yok, Bisa Yok

Bisa yok ndasmu.

Kamis, 01 Juli 2021

Jaring-Jaring Rumit Kebenaran

"Nasihat terbaik adalah nasihat ibumu."

Orang senang, bahkan percaya, dengan kata-kata semacam itu. Bukan karena kata-kata itu pasti terjamin benar, tapi karena orang-orang berharap itu benar, hingga mereka ingin percaya.

Tentu saja ada ibu-ibu yang memang cerdas dan bijaksana, yang mampu memberi nasihat terbaik untuk anak-anaknya, hingga si anak pun senantiasa mendengarkan. Tapi, meski mungkin terdengar pahit, tidak semua ibu pasti begitu atau punya kemampuan seperti itu. 

Bayangan ideal setiap anak adalah memiliki ibu yang hebat, lebih spesifik; ibu yang nasihatnya pasti benar.

Itu bayangan ideal setiap anak! Karenanya, ketika ada orang mengatakan, "Ibumu pasti benar atau bla-bla-bla," kita punya kecenderungan untuk senang, dan percaya!

Seperti bayangan ideal setiap manusia; memiliki orang tua sempurna. Sekali lagi, itu bayangan ideal setiap manusia!

Karenanya, ketika ada orang mengatakan hal-hal bagus dan indah atau bahkan mulia tentang orang tua, kita akan punya kecenderungan untuk senang, dan percaya.

Kita, dan kebanyakan manusia, punya masalah dengan bayangan ideal. Karena, gara-gara bayangan ideal yang ada dalam pikiran, kita mudah untuk senang dan percaya dengan hal-hal (dalam hal ini kata-kata) yang memenuhi bayangan ideal kita—terlepas itu benar atau tidak.

Masalah di kepala kita—bahkan dalam kehidupan kita secara luas—adalah; kita cenderung percaya hal-hal yang membuat kita senang, bukan karena hal-hal itu benar. Kita senang jika yang kita yakini dikonfirmasi orang lain, terlepas yang kita yakini benar atau tidak.

"Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki."

Jutaan orang percaya kalimat itu—bukan karena kata-kata itu terjamin benar, tapi karena jutaan orang ingin percaya bahwa kata-kata itu benar, karena memanjakan bayangan ideal mereka, khususnya tentang perkawinan.

"Setiap anak memiliki rezeki sendiri."

Sekali lagi, jutaan orang percaya kalimat itu—bukan karena kata-kata itu terjamin benar, tapi karena jutaan orang ingin percaya bahwa kata-kata itu benar, karena memanjakan bayangan ideal mereka, khususnya tentang kepemilikan anak.

Masalah kita, dan masalah manusia secara luas, adalah terperangkap di antara kebenaran dan hal-hal yang kita percaya sebagai kebenaran. Sebegitu rumit perangkap ini, hingga ada jutaan orang yang sampai mati tidak juga menemukan kebenaran... selain hal-hal yang ia anggap benar.

Sedari kecil, kita didoktrin untuk "jangan pernah mempertanyakan kebenaran!"

Dan sekarang kita mulai paham kenapa sampai terperangkap dalam jaring-jaring rumit antara "kebenaran" dan "hal-hal yang kita anggap/yakini benar". Karena kita memang "diprogram" untuk jadi begitu.

Bagaimana kita tahu sesuatu memang dan pasti benar, jika kita tidak boleh mempertanyakannya?

Kita baru tahu—dan bisa meyakini—sesuatu sebagai benar atau tidak, jika kita telah mempertanyakan klaim kebenaran itu, dan mempelajari, meneliti, serta membenturkannya dengan realitas.

Klaim kebenaran yang tidak dipertanyakan dan tidak boleh dibongkar hanya menghasilkan "kebenaran instan", dan kebenaran instan hanya melahirkan orang-orang fanatik—mereka yang bahkan rela mati atau sampai saling bunuh hanya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak mereka pahami.

Oh, well.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Januari 2020.

Lihat Kucing di Twitter

Lihat kucing-kucing di Twitter, kayaknya paling menyenangkan memang jadi kucing. Hidup nyaman, makan tak kekurangan, dielus-elus pemiliknya dengan sayang, tak perlu mikir masa depan, juga tidak peduli dengan urusan peradaban.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Desember 2019.

Think Global, Not Local

Dalam Transporter 3, Johnson sang antagonis berkata kepada Valentina, gadis yang diculiknya sebagai sandera, "Think global, not local."

Valentina, dengan marah, menjawab, "Think this!" sambil menyodorkan jari tengahnya.

Jadi, kenapa Susi Pudjiastuti tidak lagi terpilih sebagai menteri, padahal ia menunjukkan kinerja yang bagus, berdedikasi, bahkan telah membuktikan sebagai sosok berintegritas bagi negaranya?

Kalau kita berpikir seperti Johnson, kita akan paham jawabannya.

Secara jujur, kita sulit menemukan cela pada diri Susi Pudjiastuti, khususnya terkait tugas/jabatannya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, karena nyatanya dia memang bekerja dengan baik, benar-benar menguasai bidangnya, dan dia menjalankan pekerjaannya dengan penuh dedikasi.

Mungkin akan wajar kalau orang dengan kualitas dan kinerja seperti Susi Pudjiastuti "dibuang" karena kesalahan fatal, misalnya korupsi. Tapi dia tidak terbukti melakukan hal semacam itu. Alih-alih merugikan, dia justru menguntungkan negaranya. Jadi kenapa dia disingkirkan?

"Think global, not local," kata Johnson.

Selama kita masih "think local", kita akan sulit menemukan jawaban yang masuk akal. Tapi begitu kita "think global", jawabannya pun muncul, bahkan terang benderang.

Dan Valentina menyodorkan jari tengahnya, sambil ngemeng, "Think this!"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Desember 2019.

Ingin Diajari Sesuatu yang B Aja

Sebagai bocah, aku termasuk bocah yang kondisional. Diajak belajar ya siap, mau diajari ya tambah siap. Appeeuuuhh...

Ingin diajari sesuatu yang B aja. Apppeeeeeuuuuhhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2020.

Flu

Pergantian musim gini, biasanya sebagian orang jadi meriang atau flu. Termasuk aku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Desember 2019.

 
;