Selasa, 20 Juli 2021

Pekerja yang Baik, Pekerjaan Terbaik

Bekerja adalah hak mulia yang hanya dimiliki manusia.
Mencintai pekerjaan yang dipilih adalah menjalani hidup dengan mulia.


Dalam sebuah perjalanan, saya iseng buka Twitter, dan terpikir untuk ngasih footnote atau penjelasan lebih rinci terkait catatan yang saya posting tempo hari di blog (Syarat “Komunikatif” dalam Lowongan Kerja Itu Maksudnya Apa?). 

Tapi begitu mulai mengetik di Twitter, saya langsung sadar kalau ocehan itu akan sangat panjang. Jadi, daripada membuat orang lain (follower) tidak nyaman, akhirnya saya putuskan untuk menuangkannya di blog, meski nadanya seperti ocehan di Twitter. Dan inilah hasilnya. Ternyata benar-benar panjang!

....
....

Umpama, nuwun sewu, kita terlahir dalam keadaan bisu, hingga tidak bisa berbicara, dari kecil sampai dewasa. Atau, sekali lagi nuwun sewu, kita terlahir dengan bibir sumbing, sehingga—saat tumbuh besar dan dewasa—ucapan kita mungkin kurang jelas (kurang fasih) bagi orang lain.

Bisu, tunawicara, atau berbibir sumbing—dalam kasus lebih lanjut; gagu, gagap, atau semacamnya—adalah kondisi-kondisi di luar kuasa kita. Artinya, kita tidak bisa memilih terlahir sebagai orang yang fasih berbicara atau tidak; kita tidak bisa memilih untuk lahir dalam kondisi seperti apa.

Sekarang andaikan saja, kita menjalani hidup dengan kondisi kesulitan berbicara, karena kondisi-kondisi tadi. Tapi kita tidak patah semangat. Menyadari kalau kita punya kekurangan (dalam hal berbicara/komunikasi), kita pun memacu potensi diri kita dalam hal lain, selain bicara.

Jadi, sedari kecil, kita sangat rajin belajar, hingga sangat pintar dan langganan juara di sekolah. Ketika kuliah, kita menjadi mahasiswa teladan karena kecerdasan yang luar biasa. Di luar pembelajaran, kita juga memacu diri untuk rajin bekerja—kita melakukan apa pun penuh semangat.

Langit menyaksikan, kita menjadi pribadi tangguh yang tak terkalahkan oleh kekurangan akibat bisu, tunawicara, atau kesulitan berbicara. Alih-alih terkalahkan oleh kekurangan itu, kita justru menempa diri hingga menjadi pribadi luar biasa, meski tetap dengan kekurangan tadi.

Seusai lulus kuliah, kita mulai mencari pekerjaan yang cocok, seperti umumnya orang lain. Kita mencari-cari berita lowongan kerja, di koran, juga internet. Dan setiap kali kita menemukan berita lowongan kerja yang sesuai, kita selalu dihadapkan pada syarat “komunikatif”.

Sekarang, bayangkan dan tempatkan posisimu pada orang semacam itu. Kau memiliki kemampuan belajar (bisa belajar apa pun dengan cepat), memiliki kecintaan dalam bekerja (bisa bekerja dengan penuh semangat), tapi kau tidak mungkin komunikatif, karena nyatanya kau bisu.

Itu jelas kondisi yang... well, apa istilah yang tepat untuk hal ini? Dilematis? Menghancurkan hati? Ya, mungkin dilematis. Dan itulah kegelisahanku, hingga menulis ocehan ini: Syarat “Komunikatif” dalam Lowongan Kerja Itu Maksudnya Apa? 

Di luar sana, ada orang-orang hebat nan malang semacam itu. Mereka memiliki potensi yang dibutuhkan perusahaan; untuk bekerja dengan giat, penuh semangat, sekaligus bisa belajar apa pun dengan cepat. Tapi kita meruntuhkan hati mereka dengan syarat berbunyi, “Komunikatif”.

Tentu wajar kalau syarat “komunikatif” itu ditujukan untuk [lowongan] pekerjaan yang memang membutuhkan komunikasi sebagai syarat mutlak. Misal resepsionis, atau pekerjaan lain yang memang mempersyaratkan komunikasi lisan sebagai hal dasar yang tak bisa diubah.

Tapi untuk [lowongan] pekerjaan yang sebenarnya tidak membutuhkan komunikasi lisan dan mempersyaratkan “komunikatif”, itu bukan hanya aneh, tapi juga terkesan dikriminatif, khususnya pada orang-orang yang memang tidak bisa komunikasi lisan akibat kondisi mereka.

Mungkin akan lebih baik jika penyebutan “komunikatif” diganti dengan kalimat yang lebih spesifik, misal, “Mampu berkomunikasi secara baik dengan klien atau rekan kerja”, dan semacamnya—meski tidak secara lisan; misal lewat tulisan, chatting, atau sarana lain yang memungkinkan.

Jika aku diminta memilih; A) Pekerja yang tidak bisa berkomunikasi karena bisu tapi hasil pekerjaannya sangat memuaskan; atau B) Pekerja yang pintar mbacot (komunikatif) tapi pekerjaannya berantakan; aku jelas akan memilih A, pekerja yang meski bisu tapi pekerjaannya bagus!

Itu contoh ekstrem bahwa kemampuan berkomunikasi yang baik tidak selalu menjamin kemampuan bekerja yang sama baik. Sebagian orang memiliki kekurangan fisik tertentu, khususnya bisu (tidak “komunikatif”), tapi mereka bisa bekerja dengan baik. Menolak mereka adalah diskriminasi.

Dalam The Magic of Thinking Succes, David J. Schwartz mengisahkan lowongan kerja sales door to door yang menjual barang-barang tertentu. Sales door to door tentu butuh kemampuan komunikasi yang baik, khususnya untuk “merayu” calon pembeli agar mau membeli dagangannya.

Ketika lowongan itu dibuka, salah satu yang melamar adalah seorang pria gagap. Sambil menyodorkan lamaran, pria itu berkata, “Sssa-sa... saya tid-tidak bbbisa bbb-be-berkomunikasi dddengan bbbaik, ttap-tapi sssaya bbbisa bbb-beb-bekerja ddengan bbbaik.” Pria itu diterima.

Singkat cerita, hasil penjualan pria gagap itu jauh mengungguli rekan-rekannya sesama sales, yang bisa berkomunikasi dengan baik. Bagaimana keanehan semacam itu bisa terjadi? Karena kemampuan kerja yang baik jauh lebih penting dibanding [sekadar] kemampuan komunikasi!

Bahkan untuk pekerjaan yang jelas-jelas membutuhkan kemampuan komunikasi—dalam contoh ini sales door to door—nyatanya kemampuan komunikasi kalah dengan kemampuan bekerja (antusiasme, kejujuran, sikap yang baik/hormat pada orang lain, dan hal-hal positif lainnya).

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 8597, dan kalian pasti sudah pensiun, atau malah sudah mati. Jadi, sekarang kita akan melompat ke bagian akhir catatanku di blog, yaitu tentang kisah bertahun lalu, ketika aku ingin jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami.

Itu bukan gurauan. Ada suatu masa ketika aku benar-benar ingin jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami. Suatu masa bertahun lalu, ketika aku baru lulus SMA, dan sangat mengagumi Ayu Utami. Kisahnya dimulai dari sebuah tulisan di koran Sindo (Seputar Indonesia) edisi Minggu.

Setiap Minggu, Ayu Utami menulis catatan di koran Sindo (rubriknya bernama Kodok Ngorek). Bertahun-tahun lalu, Ayu Utami mengisahkan tentang tukang sapu (tukang kebun) di rumahnya, yang suka membaca buku-buku miliknya, tapi tidak dikembalikan ke tempat semula.

Aku tidak ingat apa judul catatan yang mengisahkan hal itu. Yang jelas, Ayu Utami mengisahkan kekesalannya pada si tukang sapu. Dia senang si tukang sapu membaca buku-buku miliknya, tapi Ayu Utami berharap si tukang sapu mengembalikan buku ke tempatnya semula.

Gara-gara membaca catatan itu, aku jadi terpikir untuk melamar kerja jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami. Dalam bayanganku, waktu itu, pasti menyenangkan kalau aku bisa bekerja di tempat orang yang kukagumi, melihatnya setiap hari, bahkan ikut membaca buku-buku miliknya.

Waktu itu aku baru lulus SMA, dan Ayu Utami masih lajang, meski usianya jauh lebih dewasa dariku. Di masa itu, di mataku, Ayu Utami adalah semacam... well, Awkarin era ’90-an—terkenal “mbeling”, kontroversial, tapi pintar. Karena itulah, aku ingin jadi tukang sapu di rumahnya. 

Sayangnya, ada sesuatu yang menghentikan rencanaku waktu itu. Pertama, Ayu Utami anti [asap] rokok, sementara waktu itu aku sudah aktif merokok. Aku jelas tidak akan diterima jika melamar jadi tukang sapu di rumahnya. Bersama alasan lain, akhirnya aku membatalkan rencana.

Well, itu kisah masa lalu, dan Ayu Utami kini telah menikah, sementara aku juga telah dewasa. Dan sampai kini aku tetap meyakini, tidak ada pekerjaan yang lebih mulia atau lebih rendah—seperti tukang sapu, misalnya. Karena baik-buruknya pekerjaan, bergantung sebaik apa kita mengerjakannya.

Jika sewaktu-waktu, umpama, Awkarin membuka lowongan tukang sapu/tukang kebun di rumahnya, mungkin aku akan melamar—dengan alasan sama seperti dulu aku ingin melamar jadi tukang sapu di rumah Ayu Utami. Karena pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang kita cintai.

Bagiku, Penampilan Itu Nomor Dua

Mungkin gaya hidup, juga cara berpikir, orang beda-beda, ya. Ada yang sangat perhatian sama penampilan, ada juga yang santai saja (tidak terlalu mempersoalkan penampilan). Sebagai cowok, mungkin aku termasuk yang cuek, atau tidak terlalu mempersoalkan penampilanku sendiri.

Tentu saja aku berusaha berpenampilan rapi (atau pantas) saat memang harus begitu. Tapi kalau pun tidak, aku juga tidak menganggap itu kesalahan. Karena penampilan, menurutku, adalah soal pilihan. Kalau orang lebih nyaman tampil sederhana, apa adanya, tentu dia berhak begitu.

Penampilan itu penting, tentu saja. Khususnya kalau kamu kebetulan orang terkenal, figur publik, sosialita, atau semacamnya, yang tentu akan dipandang/dilihat orang lain di mana-mana. Tapi bagi orang biasa sepertiku, penampilan adalah urusan nomor dua. Nomor satu adalah uang.

Terus terang, aku lebih nyaman tampil sederhana tapi punya banyak uang, daripada tampil mewah tapi duit pas-pasan. Ya idealnya tentu bisa berpenampilan bagus, sekaligus punya banyak uang. Cuma karena aku sering terlalu sibuk ngurusin kerja, jadi kadang lupa urusan penampilan.

Ada guyonan populer di Silicon Valley, "Kalau kamu masih memikirkan penampilan, artinya kamu belum kaya."

Jangan salah paham. Guyonan itu hanya ditujukan untuk bocah-bocah di Silicon Valley yang kesehariannya cuma sibuk bekerja. Sebagian mereka mirip gembel, tapi kaya-raya.

Ya aku juga lebih suka gitu, sih. Maksudku, dalam skala ekstrem, aku juga nyaman-nyaman saja tampak gembel, kalau aslinya kaya-raya. Rasanya menyenangkan saat mendapati orang lain meremehkanmu karena dianggap kere, padahal kamu bisa membeli dan mendapatkan apa pun yang kamu mau.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Desember 2019.

Noffret’s Note: Media Sosial

Saat ini ada berbagai media sosial, dari blog (untuk tulisan panjang), Twitter (untuk tulisan pendek/singkat), Instagram (untuk foto), YouTube (untuk video), hingga Facebook (untuk berinteraksi layaknya dalam kehidupan sosial sehari-hari). Sampai kini, aku masih nyaman di blog.

Mungkin karena faktor kebiasaan (senang membaca), sampai sekarang aku lebih mampu menikmati konten dalam bentuk tertulis, khususnya tulisan yang panjang dan asyik. Saat membaca sesuatu, aku merasa bisa "masuk" ke dalam tulisan yang kubaca, dan benar-benar bisa menikmatinya.

Hal serupa tidak—atau mungkin belum—bisa kualami saat menikmati konten dalam bentuk foto atau video. Ketika melihat foto-foto di Instagram, misalnya, aku sering berpikir, "Ini bukan duniaku." Entah kenapa, aku merasa "asing" saat melihat foto-foto itu, meski foto-foto itu bagus.

Sementara saat menikmati konten video, misal di YouTube, aku sering tidak sabar. Ketika menikmati tulisan, aku bisa membacanya dengan sangat cepat, tanpa meninggalkan satu huruf pun, sehingga bisa memahami isinya dalam waktu singkat. Hal itu tak bisa kulakukan saat nonton video.

Latar belakang itulah yang membuatku tetap konsisten menulis di blog, dan tidak tergoda dengan Instagram atau YouTube. Karena aku hanya tahu cara menulis, dan lebih senang menikmati konten dalam bentuk tulisan. Tentu saja ini kelemahan, dan aku tidak sedang membanggakannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Desember 2019.

Begitulah Taurus

—@tempodotco

Terjemahannya kurang luwes, tapi yeah... kira-kira Taurus memang seperti itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Juni 2020.

Tiba-Tiba Ingat

Tiba-tiba ingat. Tempo hari, di Tangerang, ada perempuan 16 tahun yang diperkosa 7 pria. Si perempuan kemudian masuk RSJ, dan belakangan meninggal dunia. Tapi kok sepertinya sepi-sepi saja, ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Juli 2020.

Minggu, 11 Juli 2021

Curut EA, Orang Paling Licik dan Busuk di Internet

Seseorang, yang hampir seumur hidup ada di jalanan, pernah memberitahu, “Jangan pernah meremehkan orang yang tampak lemah. Sering kali, orang seperti itulah yang justru berbahaya, karena sosok asli mereka tak terlihat.”

Orang yang mengatakan itu bertubuh pendek sekaligus kurus, berkulit hitam lusuh—karena saban hari terpapar panas dan debu—intinya tampak tidak meyakinkan. Tapi dia adalah “legenda” di jalanan, yang bisa membuat orang ngeper hanya karena mendengar namanya. Di zaman dulu, ketika masih hidup di jalanan, saya menyaksikan kebrutalannya berkali-kali, hingga orang yang tubuhnya dua kali lebih besar darinya memilih untuk tidak bikin masalah dengannya.

Bertahun-tahun kemudian, ketika mempelajari biologi dan psikologi, saya melihat kebenaran yang dia katakan—sejenis kebenaran yang hanya dapat ditemukan melalui pengalaman, karena pengetahuan kita diam-diam dikaburkan oleh persepsi yang dibentuk oleh tayangan film dan doktrinasi media.

Di film-film action, misalnya, kita sering melihat bahwa tokoh jagoan memiliki tubuh tinggi besar. Karena hampir semua film action menggambarkan seperti itu, kita tidak sempat memikirkan bahwa ada kalanya kebalikannya yang terjadi. Di dunia nyata, orang-orang paling berbahaya sering kali justru yang bertubuh kecil dan tampak tidak meyakinkan. 

Juga di film-film, kita menyaksikan orang-orang jahat umumnya memiliki wajah licik dengan sikap menjengkelkan, jenis sosok yang langsung membuat kita berpikir, “Dialah bajingannya!” Tetapi, di dunia nyata, para bajingan yang benar-benar licik sering kali justru sosok ramah, pintar ngobrol dengan siapa pun, dan benar-benar tampak seperti orang baik, hingga kita percaya kepadanya. 

Saya cukup yakin dengan yang saya katakan sekarang, karena telah berkali-kali mendapati hal sama, yang semuanya menguatkan yang saya pahami. Orang-orang yang tampak kasar kadang orang yang benar-benar baik, sementara orang-orang yang tampak baik ternyata bajingan yang sangat licik. Dan hal semacam itu tidak hanya terjadi di dunia nyata, tapi juga di dunia maya.

Sekian tahun lalu, saya bekerja untuk salah satu perusahaan berbasis internet. Saya tidak bisa menyebut nama perusahaannya, karena adanya agreement kerahasiaan. Yang jelas, mereka perusahaan berbasis teknologi yang membawahi banyak aplikasi populer yang digunakan di seluruh dunia (hampir bisa dipastikan, kalian termasuk pengguna aplikasi mereka).

Aplikasi yang digunakan di seluruh dunia umumnya memiliki “edisi khusus” untuk masing-masing negara. Misal, aplikasi Z untuk Indonesia biasanya berbeda dengan aplikasi Z untuk Australia atau aplikasi Z untuk India. Sama-sama aplikasi Z, dan milik perusahaan yang sama, tapi isi/kontennya berbeda. Dalam hal itu, saya bekerja untuk aplikasi yang ditujukan di Indonesia.

Waktu itu, aplikasi yang ditujukan untuk Indonesia masih dalam tahap pengembangan, dan membutuhkan orang-orang berkompeten untuk ikut mengembangkannya. Saya diserahi tugas untuk mencari dan merekrut beberapa orang yang sekiranya bisa diajak bekerja untuk aplikasi tersebut. Saya pun mencarinya lewat media sosial Twitter. [Bagi saya, Twitter lebih “luwes”, karena tidak kaku atau terlalu formal seperti LinkedIn.]

Di Twitter, sekian tahun lalu, saya menghubungi beberapa orang lewat mention—orang-orang yang memiliki latar belakang yang dibutuhkan. Ada tujuh orang yang waktu itu saya hubungi. Enam orang tidak ada masalah sama sekali. Saya me-mention mereka, dan mereka merespons, lalu kami lanjut berkomunikasi lewat e-mail. Saya jelaskan maksud saya panjang lebar, dan mereka semua langsung setuju (menerima tawaran saya). Tetapi, orang ketujuh membuat saya kebingungan.

Untuk memudahkan cerita, mari sebut orang ketujuh ini dengan inisial X. Ketika menemukan akunnya, saya mendapati Si X memiliki latar belakang dan kemampuan yang saya butuhkan. Dia memiliki blog/web, dan saya terkesan dengan luasnya wawasan serta pengetahuannya. Jadi, saya me-mention Si X, dan dia juga merespons dengan baik. 

Sejak itu, sesuatu yang membingungkan terjadi.

Sejak saya me-mention Si X di Twitter, ada beberapa orang yang tidak saya kenal, yang menghubungi saya secara pribadi. Orang-orang itu tahu saya me-mention Si X untuk merekrutnya, dan mereka seperti mempengaruhi (ingin memberitahu) saya agar “berhati-hati dengan Si X”. Pendeknya, mereka ingin mengatakan bahwa Si X adalah orang bermasalah. Orang-orang itu menghubungi saya secara terpisah, bahkan mereka sepertinya tidak saling kenal, tapi mengatakan hal yang sama.

Kalau kamu dihubungi beberapa orang yang tidak saling kenal satu sama lain, bahkan berasal dari tempat berbeda, tapi mereka semua mengatakan hal yang sama, kemungkinan besar kamu akan percaya. Sebenarnya, waktu itu pun saya hampir percaya. Tetapi, alarm di kepala saya mulai menyala. Ada yang tidak beres di sini.

Saya bertanya kenapa mereka sampai merasa perlu menghubungi saya dan memberitahukan hal itu, dan mereka menjawab dengan cara meyakinkan. Mula-mula, seperti umumnya orang lain yang “didekati secara khusus” seperti itu, saya terpengaruh dan hampir percaya omongan mereka, dan berencana menghapus Si X dari daftar, lalu mencari orang lain yang “tidak bermasalah”. Tetapi, seperti yang disebut tadi, insting saya memberitahu ada yang tidak beres di sini.

Saya lalu meriset X—sesuatu yang terpaksa saya lakukan untuk memuaskan rasa penasaran saya—dan mendapati Si X tidak bermasalah seperti yang dikatakan beberapa orang yang menghubungi saya. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? 

Akhirnya, saya berkomunikasi dengan orang-orang tadi [yang menghubungi saya] via DM, dan menanyakan dari mana mereka mendapat informasi kalau Si X “orang bermasalah”. Saya melakukannya dengan halus, menyisipkan pertanyaan dalam percakapan yang tampak biasa, dan mereka semua akhirnya “mengaku” tanpa sadar. Orang-orang itu memang tidak saling kenal, bahkan berasal dari berbagai tempat berbeda, tapi mereka semua memiliki satu kesamaan; terhubung dengan seseorang yang sama!

Rata-rata, mereka menyatakan, kira-kira seperti ini, “Aku terpaksa ngomong begini demi kebaikanmu, karena Si X orangnya begini dan begini... apa kamu tidak curiga, bla-bla-bla...”

Dalam “pembuktian terbalik”, saya sebenarnya bisa saja bertanya, apa urusan/kepentingan orang-orang itu sampai merasa perlu menghubungi saya demi menjegal Si X? Semakin saya memikirkan hal itu, semakin nyata kalau orang-orang itu disuruh seseorang yang sama, untuk mempengaruhi saya agar tidak berhubungan dengan Si X. Ini sebenarnya hal sederhana, tapi sangat jarang dipahami rata-rata orang. Kita cenderung mudah percaya (termakan omongan orang), tanpa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. 

Jadi, rupanya, ada penjahat di dunia maya yang menampakkan dirinya sebagai orang baik, tapi sebenarnya busuk dan licik. Orang-orang tidak tahu betapa bejatnya orang ini, karena dia tampak ramah, berteman (berinteraksi) dengan orang-orang terkenal di dunia maya, dan kejahatannya tidak pernah terungkap. Mungkin, satu-satunya orang yang tahu kejahatannya hanya Si X. Karenanya, bajingan itu sangat ketakutan ketika tahu saya berkomunikasi dengan Si X, dan berusaha menjegal Si X agar saya menjauh darinya.

Bajingan itu tidak berani menghubungi saya secara langsung. Sebaliknya, dia menyuruh (mempengaruhi) orang-orang tertentu di Twitter untuk menghubungi saya demi menjegal Si X, dan orang-orang itu percaya kepadanya, karena tidak tahu kejahatan dan kebusukannya. Mereka semua percaya orang yang menyuruh mereka adalah orang baik, dan termakan omongannya bahwa Si X adalah orang jahat. Padahal, justru dialah yang jahat, dan dia sangat khawatir kejahatannya akan terungkap. 

Saya mengetahui semua kenyataan ini tidak semudah yang saya tuliskan barusan. Untuk sampai pada kesimpulan itu, saya butuh melakukan riset dan penelusuran yang sangat rumit, untuk akhirnya mendapati sendiri kenyataannya. Si X bahkan sama sekali tidak mengungkapkan rahasia ini. Saya bisa mengetahui semua ini berdasarkan penelusuran saya sendiri. 

Akhir kisah, saya tetap merekrut Si X, dan percaya kepadanya. Nyatanya, dia memang orang yang tepat, dan bukan “orang bermasalah” sebagaimana yang dibisikkan beberapa orang kepada saya.

Lalu bagaimana dengan orang yang berusaha memfitnahnya? Oh, dia masih ada di internet, tetap aktif menampilkan dirinya sebagai orang baik dan ramah, sosok yang jumawa karena merasa terkenal... dan kebanyakan orang tidak tahu betapa busuknya dia. Sejujurnya, saya sendiri dulu juga tidak menyangka kalau dia sebejat itu, andai tidak ada kasus dengan Si X.

Belakangan, dia mungkin curiga saya telah mengetahui kejahatannya, karena berhubungan dengan Si X. Karenanya, setiap kali saya tampak berhubungan dengan seseorang di Twitter, hampir bisa dipastikan orang yang berhubungan dengan saya akan dihubungi dia atau orang-orang suruhannya. Tujuannya sama, seperti yang dulu ia lakukan untuk menjauhkan Si X dari saya, karena khawatir kejahatannya akan terungkap.

Latar belakang inilah yang membuat saya sangat hati-hati setiap kali akan berinteraksi dengan siapa pun di Twitter secara terbuka, dan memilih untuk membicarakan hal-hal penting dengan siapa pun lewat DM, untuk menghindarkan hal-hal yang tak diinginkan. 

Catatan ini bisa menjadi pengingat. Jika kita saling kenal, atau jika kita berinteraksi di dunia maya, atau saya mem-follow akunmu di Twitter, atau saya sering me-retweet cuitanmu, lalu ada orang yang "melakukan pendekatan" kepadamu terkait saya, maka lihatlah dia atau orang di belakangnya (yang menyuruhnya). Itulah orang yang saya maksud dalam catatan ini.

Sejujurnya, saya lebih nyaman berteman dengan bajingan yang menampakkan dirinya bajingan, daripada kenal dengan orang yang tampak baik dan ramah tapi sebenarnya licik dan busuk. 

Selalu hati-hati di dunia maya, guys. Kita tidak bisa yakin mana orang yang benar-benar baik, dan mana yang sebenarnya jahat dan busuk tapi tampak seperti orang baik. Orang yang tampak antisosial bisa jadi seorang teman yang bisa dipercaya, sementara orang yang tampak baik dan ramah bisa jadi menikammu dari belakang.

Noffret’s Note: Ellena

Haduh, siapa lagi tuh si Ellena? Twitter sepertinya tak pernah kehabisan bahan keributan. Kali ini keributannya agak-agak ngeri, meski barusan sempat googling orangnya, dan sepertinya tipe mbakyu. Appeeeeuuuu...

Kalau-kalau ada yang salah paham, Ellena yang kusebut di tweet itu BUKAN korban perkosaan/kekerasan seksual, terkait thread yang tadi malam ramai.

Aku menyebut namanya, bahkan sampai googling orangnya, karena thread semalam menyebut dia pernah tid... ah, sudahlah, kalian cek sendiri saja di thread yang ramai itu.

Sebagai orang luar yang sama sekali tidak bersentuhan dengan organisasi maupun kasus tersebut, juga tidak mengenal orang-orangnya, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan aku sekarang telah belajar untuk tidak buru-buru menghakimi.

Berdasar pengamatanku (dan tolong ralat kalau aku keliru), pengungkapan dugaan kasus perkosaan/kekerasan seksual di Twitter makin ke sini makin riskan, dalam arti rentan menggelincirkan pemahaman kita, karena nyatanya—akui sajalah—kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ada rekaman memori di kepalaku, tentang orang-orang (perempuan) yang bikin thread tentang pengakuan perkosaan, lalu viral, tapi belakangan terungkap kalau kasusnya sebenarnya bukan perkosaan, dan thread itu sengaja dibuat berdasar kekecewaan si perempuan—apa pun alasannya.

Jangan salah paham. Aku sedang ngomong thread secara umum di Twitter, khususnya terkait pengakuan dugaan perkosaan, bukan spesifik thread yang ramai tadi malam.

Karena kemungkinan itulah, seperti yang kusebut tadi, aku berusaha belajar untuk tidak buru-buru menghakimi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28-29 Juli 2020.

Termahal Belum Tentu Terbaik

Terbukti, biro ekspedisi yang pasang tarif (ter)mahal tidak menjamin servisnya terbaik. Berdasarkan penelitian pribadi, servis biro ekspedisi di Indonesia rata-rata sama. Cuma tarifnya yang beda. 

Ini catatan lama, tapi relevan untuk kembali dibaca. >> Mengapa Ongkos Kirim Biro Ekspedisi Bisa Jauh Berbeda?

Kalau ada yang bertanya-tanya, bagaimana aku bisa tahu sejauh itu, jawabannya sederhana: penelitian langsung! 

Untuk memuaskan rasa ingin tahu, aku mencoba semua biro ekspedisi di Indonesia, bahkan mendaftar jadi seller di marketplace, untuk tahu "apa yang sebenarnya terjadi".


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Juni 2020.

Noffret’s Note: Bakso

Bakso adalah makanan yang kenikmatannya naik lima kali lipat saat dimakan ketika hujan. #FaktaBocah


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Desember 2019.

Yok, Bisa Yok

Bisa yok ndasmu.

Kamis, 01 Juli 2021

Jaring-Jaring Rumit Kebenaran

"Nasihat terbaik adalah nasihat ibumu."

Orang senang, bahkan percaya, dengan kata-kata semacam itu. Bukan karena kata-kata itu pasti terjamin benar, tapi karena orang-orang berharap itu benar, hingga mereka ingin percaya.

Tentu saja ada ibu-ibu yang memang cerdas dan bijaksana, yang mampu memberi nasihat terbaik untuk anak-anaknya, hingga si anak pun senantiasa mendengarkan. Tapi, meski mungkin terdengar pahit, tidak semua ibu pasti begitu atau punya kemampuan seperti itu. 

Bayangan ideal setiap anak adalah memiliki ibu yang hebat, lebih spesifik; ibu yang nasihatnya pasti benar.

Itu bayangan ideal setiap anak! Karenanya, ketika ada orang mengatakan, "Ibumu pasti benar atau bla-bla-bla," kita punya kecenderungan untuk senang, dan percaya!

Seperti bayangan ideal setiap manusia; memiliki orang tua sempurna. Sekali lagi, itu bayangan ideal setiap manusia!

Karenanya, ketika ada orang mengatakan hal-hal bagus dan indah atau bahkan mulia tentang orang tua, kita akan punya kecenderungan untuk senang, dan percaya.

Kita, dan kebanyakan manusia, punya masalah dengan bayangan ideal. Karena, gara-gara bayangan ideal yang ada dalam pikiran, kita mudah untuk senang dan percaya dengan hal-hal (dalam hal ini kata-kata) yang memenuhi bayangan ideal kita—terlepas itu benar atau tidak.

Masalah di kepala kita—bahkan dalam kehidupan kita secara luas—adalah; kita cenderung percaya hal-hal yang membuat kita senang, bukan karena hal-hal itu benar. Kita senang jika yang kita yakini dikonfirmasi orang lain, terlepas yang kita yakini benar atau tidak.

"Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki."

Jutaan orang percaya kalimat itu—bukan karena kata-kata itu terjamin benar, tapi karena jutaan orang ingin percaya bahwa kata-kata itu benar, karena memanjakan bayangan ideal mereka, khususnya tentang perkawinan.

"Setiap anak memiliki rezeki sendiri."

Sekali lagi, jutaan orang percaya kalimat itu—bukan karena kata-kata itu terjamin benar, tapi karena jutaan orang ingin percaya bahwa kata-kata itu benar, karena memanjakan bayangan ideal mereka, khususnya tentang kepemilikan anak.

Masalah kita, dan masalah manusia secara luas, adalah terperangkap di antara kebenaran dan hal-hal yang kita percaya sebagai kebenaran. Sebegitu rumit perangkap ini, hingga ada jutaan orang yang sampai mati tidak juga menemukan kebenaran... selain hal-hal yang ia anggap benar.

Sedari kecil, kita didoktrin untuk "jangan pernah mempertanyakan kebenaran!"

Dan sekarang kita mulai paham kenapa sampai terperangkap dalam jaring-jaring rumit antara "kebenaran" dan "hal-hal yang kita anggap/yakini benar". Karena kita memang "diprogram" untuk jadi begitu.

Bagaimana kita tahu sesuatu memang dan pasti benar, jika kita tidak boleh mempertanyakannya?

Kita baru tahu—dan bisa meyakini—sesuatu sebagai benar atau tidak, jika kita telah mempertanyakan klaim kebenaran itu, dan mempelajari, meneliti, serta membenturkannya dengan realitas.

Klaim kebenaran yang tidak dipertanyakan dan tidak boleh dibongkar hanya menghasilkan "kebenaran instan", dan kebenaran instan hanya melahirkan orang-orang fanatik—mereka yang bahkan rela mati atau sampai saling bunuh hanya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak mereka pahami.

Oh, well.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Januari 2020.

Lihat Kucing di Twitter

Lihat kucing-kucing di Twitter, kayaknya paling menyenangkan memang jadi kucing. Hidup nyaman, makan tak kekurangan, dielus-elus pemiliknya dengan sayang, tak perlu mikir masa depan, juga tidak peduli dengan urusan peradaban.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Desember 2019.

Think Global, Not Local

Dalam Transporter 3, Johnson sang antagonis berkata kepada Valentina, gadis yang diculiknya sebagai sandera, "Think global, not local."

Valentina, dengan marah, menjawab, "Think this!" sambil menyodorkan jari tengahnya.

Jadi, kenapa Susi Pudjiastuti tidak lagi terpilih sebagai menteri, padahal ia menunjukkan kinerja yang bagus, berdedikasi, bahkan telah membuktikan sebagai sosok berintegritas bagi negaranya?

Kalau kita berpikir seperti Johnson, kita akan paham jawabannya.

Secara jujur, kita sulit menemukan cela pada diri Susi Pudjiastuti, khususnya terkait tugas/jabatannya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, karena nyatanya dia memang bekerja dengan baik, benar-benar menguasai bidangnya, dan dia menjalankan pekerjaannya dengan penuh dedikasi.

Mungkin akan wajar kalau orang dengan kualitas dan kinerja seperti Susi Pudjiastuti "dibuang" karena kesalahan fatal, misalnya korupsi. Tapi dia tidak terbukti melakukan hal semacam itu. Alih-alih merugikan, dia justru menguntungkan negaranya. Jadi kenapa dia disingkirkan?

"Think global, not local," kata Johnson.

Selama kita masih "think local", kita akan sulit menemukan jawaban yang masuk akal. Tapi begitu kita "think global", jawabannya pun muncul, bahkan terang benderang.

Dan Valentina menyodorkan jari tengahnya, sambil ngemeng, "Think this!"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Desember 2019.

Ingin Diajari Sesuatu yang B Aja

Sebagai bocah, aku termasuk bocah yang kondisional. Diajak belajar ya siap, mau diajari ya tambah siap. Appeeuuuhh...

Ingin diajari sesuatu yang B aja. Apppeeeeeuuuuhhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2020.

Flu

Pergantian musim gini, biasanya sebagian orang jadi meriang atau flu. Termasuk aku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Desember 2019.

 
;