"Nasihat terbaik adalah nasihat ibumu."
Orang senang, bahkan percaya, dengan kata-kata semacam itu. Bukan karena kata-kata itu pasti terjamin benar, tapi karena orang-orang berharap itu benar, hingga mereka ingin percaya.
Tentu saja ada ibu-ibu yang memang cerdas dan bijaksana, yang mampu memberi nasihat terbaik untuk anak-anaknya, hingga si anak pun senantiasa mendengarkan. Tapi, meski mungkin terdengar pahit, tidak semua ibu pasti begitu atau punya kemampuan seperti itu.
Bayangan ideal setiap anak adalah memiliki ibu yang hebat, lebih spesifik; ibu yang nasihatnya pasti benar.
Itu bayangan ideal setiap anak! Karenanya, ketika ada orang mengatakan, "Ibumu pasti benar atau bla-bla-bla," kita punya kecenderungan untuk senang, dan percaya!
Seperti bayangan ideal setiap manusia; memiliki orang tua sempurna. Sekali lagi, itu bayangan ideal setiap manusia!
Karenanya, ketika ada orang mengatakan hal-hal bagus dan indah atau bahkan mulia tentang orang tua, kita akan punya kecenderungan untuk senang, dan percaya.
Kita, dan kebanyakan manusia, punya masalah dengan bayangan ideal. Karena, gara-gara bayangan ideal yang ada dalam pikiran, kita mudah untuk senang dan percaya dengan hal-hal (dalam hal ini kata-kata) yang memenuhi bayangan ideal kita—terlepas itu benar atau tidak.
Masalah di kepala kita—bahkan dalam kehidupan kita secara luas—adalah; kita cenderung percaya hal-hal yang membuat kita senang, bukan karena hal-hal itu benar. Kita senang jika yang kita yakini dikonfirmasi orang lain, terlepas yang kita yakini benar atau tidak.
"Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki."
Jutaan orang percaya kalimat itu—bukan karena kata-kata itu terjamin benar, tapi karena jutaan orang ingin percaya bahwa kata-kata itu benar, karena memanjakan bayangan ideal mereka, khususnya tentang perkawinan.
"Setiap anak memiliki rezeki sendiri."
Sekali lagi, jutaan orang percaya kalimat itu—bukan karena kata-kata itu terjamin benar, tapi karena jutaan orang ingin percaya bahwa kata-kata itu benar, karena memanjakan bayangan ideal mereka, khususnya tentang kepemilikan anak.
Masalah kita, dan masalah manusia secara luas, adalah terperangkap di antara kebenaran dan hal-hal yang kita percaya sebagai kebenaran. Sebegitu rumit perangkap ini, hingga ada jutaan orang yang sampai mati tidak juga menemukan kebenaran... selain hal-hal yang ia anggap benar.
Sedari kecil, kita didoktrin untuk "jangan pernah mempertanyakan kebenaran!"
Dan sekarang kita mulai paham kenapa sampai terperangkap dalam jaring-jaring rumit antara "kebenaran" dan "hal-hal yang kita anggap/yakini benar". Karena kita memang "diprogram" untuk jadi begitu.
Bagaimana kita tahu sesuatu memang dan pasti benar, jika kita tidak boleh mempertanyakannya?
Kita baru tahu—dan bisa meyakini—sesuatu sebagai benar atau tidak, jika kita telah mempertanyakan klaim kebenaran itu, dan mempelajari, meneliti, serta membenturkannya dengan realitas.
Klaim kebenaran yang tidak dipertanyakan dan tidak boleh dibongkar hanya menghasilkan "kebenaran instan", dan kebenaran instan hanya melahirkan orang-orang fanatik—mereka yang bahkan rela mati atau sampai saling bunuh hanya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak mereka pahami.
Oh, well.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Januari 2020.