Minggu, 20 Maret 2022

Menyongsong Kiamat Bersama Nabilah

Mau tidur, tapi malah ingat Nabilah.
Benar-benar permulaan tidur yang tidak ilmiah!
@noffret


Tantangan terbesar menulis fiksi adalah berupaya membuat pembaca percaya pada yang kita ceritakan. Semakin panjang kisah fiksi yang kita tulis, semakin besar tantangan yang kita hadapi, karena kita harus menjaga ritme cerita secara masuk akal, dan terus menjaga kepercayaan pembaca. Sedikit saja pembaca mulai tidak percaya, fiksi kita gagal.

Karena latar belakang itu, menulis cerpen jauh lebih sulit dibanding menulis artikel berita, dan menulis novel jauh lebih sulit dibanding menulis cerpen.

Bagi para penulis, menulis artikel berita—apalagi yang relatif pendek—bisa dibilang sangat mudah. Cukup datangi lokasi kejadian, kumpulkan wawancara, pahami kronologi peristiwa, lalu susunlah dalam tulisan yang runtut dan detail. Sudah. Dan orang-orang (para pembaca) akan percaya yang kita tulis, karena memang berita berdasar kenyataan.

Menulis artikel berita bisa dibilang tanpa beban. Karena, bahkan seaneh atau seabsurd apa pun isinya, pembaca akan percaya. Ada artikel berita, misalnya, yang mengabarkan munculnya lubang-lubang besar di suatu daerah secara tiba-tiba. Mungkin artikel itu tidak menjelaskan latar belakang munculnya lubang, dan tidak ada penjelasan apa pun, selain hanya fakta. Tetapi, sekali lagi, pembaca akan percaya.

Begitu pula, ada berita yang mengabarkan seseorang yang dikenal alim, tapi ternyata menyimpan kejahatan busuk. Itu jelas dua hal yang kontradiktif, tapi pembaca berita tetap percaya, karena memang berdasar fakta. Jurnalis atau penulis berita hanya menuliskan fakta, apa adanya. Perkara pembaca mau percaya atau tidak, bodo amat, wong faktanya memang begitu. 

Sebagai pembaca berita, kita juga tidak menuntut macam-macam. Kita hanya membaca berita yang kita pilih, membacanya sampai selesai, sudah. Mungkin kita berpikir berita itu aneh, atau tak masuk akal, atau sadis dan tidak rasional. Tetapi, yang jelas, kita tidak akan menyalahkan penulisnya, karena si penulis hanya mewartakan fakta apa adanya.

Kenyataan semacam itu jelas berbeda ketika membaca fiksi. Ketika membaca cerpen, misalnya, kita tahu bahwa cerpen yang kita baca hanya khayalan atau imajinasi penulisnya. Atau, dengan kata lain, “tulisan bohongan”. Tetapi, karena kita tahu itu bohong (fiksi), kita justru menuntut kisah yang benar-benar masuk akal dan dapat dipercaya!
 
Karenanya, ketika menulis fiksi, kita menghadapi tantangan yang lebih sulit daripada menulis nonfiksi. Semakin panjang fiksi yang kita tulis, semakin besar tantangan yang kita hadapi. 

Novel, misalnya, adalah cerita fiksi panjang yang melibatkan banyak tokoh, peristiwa, jalan cerita, konflik, dan lain-lain. Itu jelas membutuhkan kerja keras dan pemikiran yang sangat matang, agar kisah dan para tokoh yang kita ceritakan dalam novel benar-benar realistis, masuk akal, dan tidak mencederai akal sehat pembaca. 

Dalam novel, kita tidak bisa seenaknya menciptakan tokoh dengan kemampuan tertentu tanpa penjelasan atau latar belakangnya. Pun, kita tidak bisa menceritakan peristiwa yang alurnya tidak masuk akal. Justru karena itu fiksi, pembaca harus percaya!

(Catatan: Memang ada beberapa jenis fiksi yang ditulis secara absurd dan sengaja dibuat tidak masuk akal, tapi itu sudah lain pembahasan.)

Well, saya sebenarnya mau bercerita tentang Nabilah, tapi intro catatan ini sepertinya kepanjangan. 

Sekarang, saya akan menceritakan suatu kisah yang mungkin absurd, sulit dipahami akal sehat, tidak logis, tapi kemungkinan besar kalian akan percaya. Karena, kisah yang akan saya ceritakan ini berdasarkan mimpi yang saya alami. Namanya mimpi, cerita yang terjadi kadang sangat absurd bahkan “umbrus”, tapi kita bisa apa? Namanya juga mimpi!

Kemarin malam, saya bermimpi menikmati perjalanan bersama Nabilah. Cuma, Nabilah yang ada dalam mimpi saya waktu itu sudah dewasa—bukan Nabilah remaja seperti yang kita kenal sekarang. Mimpi ini sangat mengesankan, khususnya bagi saya, sehingga merasa perlu menulisnya.
 
Entah bagaimana asal usulnya, dalam mimpi itu saya sedang menikmati perjalanan bersama Nabilah yang sudah dewasa, mengendarai pikap. 

Kenapa kok naik pikap? Saya juga tidak tahu, wong ini kisah dalam mimpi!

Yang masih saya ingat, kami sedang berkendara menuju Jakarta. Kami melaju di jalan satu arah, dan saya tahu betul itu perjalanan menuju Jakarta... meski saya tidak tahu (atau tidak ingat) kami dari mana.

Setelah beberapa lama berkendara—dan jarak kami sudah dekat Jakarta—kami mendapati kerumunan orang di depan. Ada banyak motor dan mobil yang ditinggal di tengah jalan, dan orang-orang tampak ramai berkerumun di sana-sini. Ada yang berdiri, ada yang berjongkok, ada yang bercakap-cakap, ada yang tampak memandangi sesuatu.

Karena jalan di depan penuh kendaraan yang parkir sembarangan, dan orang-orang banyak berkerumun, semua orang pun menghentikan perjalanan. Termasuk saya dan Nabilah. Saya mengajaknya turun, lalu kami melangkah menuju kerumunan, untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

Beberapa meter melangkah, kami mendapati aspal yang retak dengan lubang-lubang mengerikan. Jalanan yang semula mulus dan rata, kini tampak bergelombang, naik turun mengerikan, dengan lubang-lubang besar menganga. Saya meraih Nabilah, dan menggandeng tangannya erat, memastikan dia tidak jatuh di antara jalanan yang berlubang di sana-sini.

Kami berdiri bersama orang-orang yang berkerumun di sana, dan menatap kejauhan. Di depan kami, tampak pemandangan mengerikan. Jembatan besar—yang semula menghubungkan tempat kami berdiri ke Jakarta—saat itu telah runtuh, dengan tiang-tiang besi rusak parah, seperti baru diguncang raksasa. Sementara air sungai di bawahnya tampak bergolak seperti lahar. Aspal di sana-sini tak ada lagi yang rata, semuanya rusak parah. Ke mana pun memandang, yang kami saksikan hanyalah kerusakan.

“Apa yang terjadi?” bisik saya dengan tercekam.

Orang di sebelah saya menjawab, “Jakarta sedang kiamat.”

Saya merasakan Nabilah mencengkeram lengan saya dengan erat, seperti ketakutan—mungkin membayangkan keluarga dan teman-temannya yang ada di Jakarta. Saya menatap ke atas, dan langit Jakarta tampak akan runtuh. Awan gelap menggumpal di udara, dan kehidupan manusia sepertinya akan segera usai.

“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Nabilah.

Saya terdiam, lalu menjawab dengan berat, “Tidak ada yang bisa kita lakukan. Kalau Jakarta dilanda kiamat, artinya semua tempat juga mengalami kiamat serupa. Kita tidak bisa melakukan apa-apa.”

Nabilah menatap saya, dan berkata sungguh-sungguh, “Tapi kita bisa mencari warung sebentar, untuk makan?”

Itu jelas percakapan yang sangat mbuh. Wong sudah tahu dunia sedang kiamat, dia malah mengajak cari warung makan! Tapi kisah dan percakapan ini terjadi dalam mimpi, dan saya bisa apa?

Akhirnya, kami pun berusaha mencari warung makan yang ada di sana. Berdasarkan tanya-tanya orang di sana, kami menemukan sebuah warung makan yang buka di dekat jembatan. Keberadaan warung makan ini pun sebenarnya sangat absurd. Wong dunia sedang kiamat, masih sempat-sempatnya buka warung.

Saya pun mengajak Nabilah ke sana. Selama melangkah ke warung, kami harus melewati medan yang mengerikan—aspal rusak, gelombang-gelombang tanah yang naik turun, sampai lubang-lubang menganga. Saya terus menggandeng tangan Nabilah dengan erat, meski dia sudah dewasa.

Sesampai di warung, Nabilah makan sesuatu—saya tidak ingat atau tidak tahu dia makan apa. Saya hanya menemani, duduk di sampingnya, sambil minum teh hangat, dan merokok. 

Usai makan, Nabilah menatap saya dengan tatapan getir, dan bertanya lirih, “Mengapa kiamat terjadi?”

“Jawabannya panjang,” saya menjawab, “dan sepertinya sudah tidak penting lagi, karena sesaat lagi kita semua akan hancur.”

Kami terdiam, saling menatap. Lalu saya berkata perlahan, “Setidaknya, aku bersyukur, karena bisa melihatmu dewasa.”

Kisah dan percakapan itu selesai sampai di situ, karena setelahnya gelap. Mungkin kiamat benar-benar terjadi, dan waktu itu kami sudah tergulung dalam kehancuran dahsyat akhir bumi. 

Lalu saya terbangun dari tidur.

Dan sangat terkesan pada mimpi yang baru saya alami. 

....
....

Kita sama-sama paham, kisah ini—dan percakapan di dalamnya—tidak masuk akal. Tapi ini mimpi, dan kita bisa apa? 

Tips Menulis Novel yang Jarang Dikatakan

Tip menulis novel yang jarang dikatakan: Saat menciptakan tokoh untuk kisahmu, jangan pernah menciptakan tokoh yang sempurna. Selain akan membuatnya berjarak dengan pembaca, tokoh sempurna hanya akan membuat pembaca muak mengikuti kisahnya.

Sebenarnya, aku memang pernah membaca novel yang mengisahkan orang yang sangat sempurna. Sosok yang menawan, pintar, kaya, ramah, berbudi luhur, tanpa cacat atau kekurangan sama sekali. Dan, kau tahu, aku muak selama membacanya, karena merasa sedang dibohongi terang-terangan.

Semakin seseorang mencitrakan dirinya sempurna, aku semakin tidak percaya. Bahkan dalam novel sekali pun, tak pernah ada tokoh sempurna.

Setiap orang berhak untuk punya kekurangan. Mungkin tak pernah dikatakan kepadamu, tapi itu benar. Kau, atau siapa pun, berhak untuk punya kekurangan, untuk tidak sempurna, dan tak seorang pun berhak menghakimi kekuranganmu atau ketidaksempurnaanmu.

Aku percaya, tidak ada orang yang sempurna, sebagaimana dunia memang bukan tempat sempurna. Seperti apa pun seseorang sempurna di mata kita, nyatanya dia tetap punya kekurangan, dan kita perlu memahami kekurangannya—asal tidak toxic dan memanipulasi orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 November 2017.

Bukan Dunia Sempurna

Waktu masih sering panas: "Aduh, mau keluar tapi kok panas gini."

Waktu hujan mulai sering turun: "Aduh, mau keluar tapi kok hujan deras gini."

Meski pahit, nyatanya kita memang tidak tinggal di dunia yang sempurna.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 November 2017.

Teori Bocah

Memang di dunia ini tidak ada yang mengalahkan bocah.

Di dunia ini memang tidak ada yang mengalahkan bocah, kecuali Nabilah. Tapi Nabilah kalah oleh Thanos, dan Thanos kalah oleh Avengers, dan Avengers kalah oleh mbakyuku. #TeoriBocah


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 22-23 Mei 2019.

Hanya

Hanya satu kata, dan kalimat akan berubah makna. Hanya satu tanda baca, dan kita mulai kebingungan memahami kata.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Kamis, 10 Maret 2022

Kutukan Paling Mematikan Sepanjang Sejarah

Over populasi! Itulah akar sekaligus awal
yang merusak bumi, kehidupan, sekaligus manusia.
Itulah jawaban di balik lahirnya gunung sampah,
pencemaran laut, hutan-hutan yang gundul,
hewan-hewan punah, melelehnya es di Antartika,
pemanasan global, berbagai bencana... sebut lainnya.
@noffret


Manusia tidak hidup untuk bekerja. Sebenarnya, manusia hidup untuk bersantai, menikmati dan melakukan hal-hal yang disukai, dan—tentu saja—bercinta kapan pun ingin. Siapa pun pasti setuju dengan hal ini, karena insting alami manusia memang begitu.

Ribuan tahun lalu, manusia bisa menjalani kehidupan semacam itu—bangun tidur untuk menatap indahnya mentari, nyeruput minum dengan santai, bercengkerama dengan siapa pun—dan bukan buru-buru mandi untuk berangkat kerja sambil digencet macet di jalanan. 

Siang dan malam, mereka hanya menjalani hidup dengan senang, tenang, minim gejolak, minim masalah, tidak ada kerja, tidak ada gaji, dan kenyataannya mereka juga tidak butuh uang. Karena segala yang mereka ingin dan butuhkan sudah disediakan alam.

Ribuan tahun lalu, alam masih kaya-raya, menyediakan aneka makanan yang dibutuhkan manusia. Sementara air bersih bisa ditemukan di mana pun. Manusia di zaman itu tidak kekurangan segala hal, karena alam masih melimpahkan karunia luar biasa.

Tapi mereka terlena... sebentuk keterlenaan yang kelak menjadi kutukan paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia. Karena merasa hidup nyaman seperti di surga, mereka kawin dan beranak-pinak tanpa mikir. Dalam waktu singkat, populasi meledak.

Ledakan populasi kemudian tidak hanya menuntut tanggung jawab, tapi juga mengubah dunia untuk selamanya. Lahan-lahan yang semula luas perlahan menyempit. Dunia yang semula lowong berubah padat. Makanan dan air yang melimpah mulai menyusut.

Di masa itu, ada orang-orang “tercerahkan” yang menyadari kenyataan tersebut, bahkan sebelum kenyataan itu terjadi. Tapi jumlah mereka sangat sedikit. Dan di mana pun keberadaannya, minoritas selalu ditindas mayoritas. Sayangnya, yang mayoritas “sesat” semua.

Orang-orang tercerahkan di zaman itu sudah memahami apa yang akan terjadi jika manusia terus kawin dan beranak pinak tanpa kesadaran. Mereka sudah berupaya memberitahu dan mengingatkan sesamanya agar tidak terus berkembang biak, tapi mereka tidak didengarkan.

Dan masa-masa kegelapan kemudian benar-benar datang, saat populasi kian padat, dan kebutuhan makin banyak. Singkat cerita, sejak itulah manusia mulai mengenal aktivitas yang sekarang dikutuk banyak orang, bernama “kerja”. Mereka harus bekerja, untuk bisa makan!

Sejak itu, tidak ada lagi pagi yang indah, karena mereka harus bergegas ke tempat kerja demi uang. Tidak ada lagi siang yang bisa digunakan untuk menikmati kesenangan, karena telah direnggut oleh pekerjaan, agar keluarga bisa makan. Umat manusia telah berubah.

Peradaban umat manusia makin rusak setelah mesin uap ditemukan, dan kapitalisme menjadi paham yang dianut di mana pun. Sejak itu, manusia—mau tak mau—harus bekerja demi bisa makan. Wajah dunia berubah, peradaban berubah, manusia menjadi makhluk berbeda.

Kini, kita hidup di zaman yang mengharuskan kita bekerja untuk bisa bertahan hidup—kutukan mematikan yang diwariskan orang-orang di masa lalu, yang seenaknya kawin dan beranak pinak tanpa kesadaran. Merekalah sumber kutukan dalam hidup kita!

Andai saja dulu mereka mau bijaksana sebelum beranak pinak seenaknya, kita hari ini tidak akan perlu bekerja. Andai dulu mereka mau mendengar ucapan teman-temannya yang tercerahkan, dunia kita hari ini akan jauh berbeda—sebuah dunia yang lebih baik.

Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan bubur sudah dimakan celeng. Kita hidup untuk meneruskan kutukan dari masa lalu, kutukan yang diwariskan orang-orang yang kawin dan beranak pinak tanpa mikir. Sialnya, orang-orang semacam itu juga ada di zaman kita.

Seperti ribuan tahun lampau, di zaman kita juga banyak orang yang kawin dan beranak pinak seenaknya, tanpa mikir, tanpa pertimbangan, tanpa kesadaran, dan jumlah mereka mayoritas. Dunia sudah sangat rusak, dan umat manusia sedang menyongsong bencana.

Seperti ribuan tahun lampau, saat ini pun ada orang-orang tercerahkan, yang memahami konsekuensi jika kebodohan ini tidak segera dihentikan. Manusia akan menghadapi kerusakan yang jauh lebih parah jika mereka masih terus kawin dan beranak pinak seenaknya.

Orang-orang tercerahkan itu sudah berusaha mengingatkan sesamanya, mengenai bahaya yang akan datang. Tapi tidak ada yang mau mendengarkan. Maka mereka pun akhirnya sampai pada satu-satunya keputusan yang bisa dilakukan: Meruntuhkan peradaban!

Dari sinilah kemudian muncul orang-orang seperti Kurt Hendricks, Solomon Lane, Bertrand Zobrist, bahkan Thanos. Mereka sudah lelah menghadapi kebodohan umat manusia, hingga mereka akhirnya memutuskan pilihan terakhir: Meruntuhkan peradaban.

Ada tujuh miliar manusia yang saat ini nongkrong di planet Bumi, dan jumlah itu akan terus bertambah di masa depan, jika tidak dikendalikan. Karenanya, diakui atau tidak, manusia sedang menyongsong bencana paling mengerikan seiring ledakan populasi mereka.

Sekarang kita paham kenapa Thanos ingin melenyapkan separo populasi, Kurt Hendricks dan Solomon Lane ingin meledakkan nuklir demi menghapus separo manusia di Bumi, dan Bertrand Zobrist menciptakan virus yang membuat manusia mandul secara alami.

Dalam logika matematika sederhana, planet Bumi akan menjadi tempat ideal jika hanya ditinggali, setidaknya, setengah miliar orang. Jika Bumi hanya memiliki setengah miliar populasi, kita bisa menjalani kehidupan “ideal” sebagaimana seharusnya.

Jika hanya ada setengah miliar orang di planet ini, hutan akan kembali lebat, tanah-tanah akan kembali subur, udara akan kembali bersih, air akan kembali jernih, kapitalisme akan mati, dan... tentu saja, umat manusia tidak perlu bekerja demi bisa makan dan bertahan hidup.

Saat “utopia” itu terjadi—di masa depan, entah kapan—manusia akan bisa kembali bangun tidur dan menatap mentari dengan tenang, menyeruput kopi sambil udud tanpa diburu-buru jam kerja, dan bisa menjadi manusia seutuhnya tanpa menjadi budak uang.

Apakah utopia semacam itu benar-benar akan terjadi di masa depan? Aku tidak tahu. Tetapi aku percaya, itu akan terjadi. 

Yang Menjengkelkan dari Covid

Barusan makan siang, ketemu teman yang baru pulih dari Covid-19.

"Yang menjengkelkan dari Covid," dia berkata dongkol, "kita yang udah sangat hati-hati, jarang keluar rumah, selalu patuh prokes, masih juga kena. Sementara orang yang gak percaya, yang seenaknya, malah gak kena."

Meski mungkin terdengar aneh, yang dia katakan sepertinya memang ada benarnya. Temanku ini, yang baru pulih dari Covid-19, hampir tak pernah keluar rumah, patuh prokes, menjauhi keramaian di mana pun. Tapi ya tetap kena, dan setengah bulan kemarin "badan rasanya gak enak banget".

Dia baru sadar kena Covid-19, waktu kehilangan kemampuan membau (anosmia). Mulanya dia pikir kena flu biasa, badan gak enak seperti orang meriang. Lalu anosmia itu menyadarkannya, dan seiring dengan itu badannya sangat lemas, mudah kelelahan, tidak doyan makan, dan diare.

Waktu aku tanya kira-kira dimana dia tertular Covid-19, dia benar-benar tidak ingat.

"Sejak dinyatakan positif Covid," dia berkata, "aku sudah mencoba mengingat, di mana kira-kira aku tertular virus keparat itu... tapi aku benar-benar gak tahu, gak bisa mengingatnya..."

"Seingatku," dia melanjutkan, "aku cuma keluar rumah buat makan siang. Itu pun nyari warung yang sepi, dan selalu sendiri. Sementara makan malam pesan Gofood. Aku hampir gak pernah bersentuhan dengan orang asing. Jadi aku benar-benar gak tahu dari mana aku tertular virus itu."

Setelah isolasi mandiri setengah bulan, dia merasakan kesehatannya pulih, meski juga tidak yakin apakah sudah benar-benar negatif Covid, karena belum melakukan tes lagi.

Tadi, kami juga makan di meja terpisah (dia yang meminta). Dan saat bercakap, kami sama-sama pakai masker.

Aku tanya, apa yang dia rasakan ketika tertular Covid-19 sampai akhirnya pulih, dan inilah deskripsinya, "Rasanya gak jauh beda dengan flu, badan rasanya gak enak banget. Aku juga gak doyan makan. Yang paling menyiksa adalah badan jadi sangat mudah lelah. Aku jadi banyak tidur."

Deskripsi itu mungkin terdengar B aja, dan bisa jadi kita gak terlalu khawatir kalau tertular Covid-19. Wong cuma kayak flu gitu, apa ngerinya?

TAPI ITU GEJALA YANG RINGAN. Temanku kemungkinan punya imun tubuh yang bagus, jadi gejala yang dia rasakan juga tidak terlalu berat.

Selain gejala ringan (yang bisa dibilang tak jauh beda dengan flu), ada pula gejala sedang dan gejala berat. Kalau imun tubuh kita kebetulan lemah, apalagi punya penyakit bawaan, bisa jadi—amit-amit—kalau kebetulan tertular Covid-19, kita kena gejala sedang atau malah berat.

Yang membuat temanku murka adalah saat menceritakan penjual sarapan di depan kampungnya.

Di depan kampung dia ada penjual nasi uduk, dan biasa didatangi orang-orang sekitar. Si penjual sarapan ini tidak percaya Covid-19, dan kayak "benci" kalau ada orang datang pakai masker.

Temanku pernah mendapati ada orang datang ke warung sarapan itu, dan pakai masker. Si penjual sarapan, dengan senyum gak enak, bilang, "Lhah, paling ke sini aja pakai masker."

Dan si penjual sarapan itu memang tak pernah terlihat pakai masker, dari dulu sampai sekarang.

"Opo ora asu?" kata temanku tadi. "Dia (penjual sarapan) berinteraksi dengan banyak orang saban hari, gak pernah pakai masker karena gak percaya Covid, tapi sampai sekarang sehat walafiat. Lhah aku, yang sangat hati-hati, patuh prokes, malah kena Covid. Piye kalau dipikir-pikir?"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Juni 2021.

Jerinx SID dan Dialektika

Membaca ini, rasanya seperti antiklimaks—
tapi tidak apa-apa, toh manusia selalu bisa berubah,
dalam sikap maupun cara berpikir.

Jerinx SID bersedia untuk disuntik vaksin corona.
#kumparanNews —@kumparan


Omong-omong soal Jerinx, kadang aku berpikir. Dia sebenarnya punya semua hal yang dibutuhkan untuk hidup tenang, tenteram, dan bahagia. Dia tinggal di Bali yang indah. Dia punya usaha yang memungkinkan hidup berkelimpahan, dan punya istri cantik sekaligus sabar. Kurang apa lagi?

Andai aku menempati posisi Jerinx—tinggal di Bali, hidup tanpa kekurangan, hubungan dengan orang tua dan keluarga baik-baik saja, dan punya istri yang cantik sekaligus sabar—mungkin kegiatanku saban hari cuma sibuk kerja dan udud. Bodo amat dengan pandemi, persetan dengan dunia!

Tapi manusia tampaknya memang tak bisa diukur hanya dari permukaan. Selalu ada kedalaman yang tidak kita tahu. Dan cara orang mengejar kebahagiaan serta meraih kepuasan hidup juga berbeda-beda. Yang bahagia bagi kita, bisa jadi biasa saja bagi orang lain, atau sebaliknya.

Bagi Jerinx, mungkin, meraih kebahagiaan dan kepuasan hidup adalah dengan menyampaikan apa yang dia pikir benar—meski, dalam taraf tertentu, keyakinannya belum tentu benar. Intinya, dunia harus mendengarkan yang dia katakan. Soal itu benar atau tidak, bisa diurus belakangan.

Dan sebenarnya itu bukan masalah, toh yang punya sikap semacam itu bukan cuma Jerinx. Ada jutaan orang lain yang punya sikap dan pikiran semacam itu. 

Demokrasi memberi kebebasan untuk berpikir dan berbicara. Agar aturan itu benar-benar fair, harus ada sikap kritis. Itu saja.

Yang diocehkan Jerinx dari dulu—dari urusan WHO, konspirasi global, sampai endorse Covid—sebenarnya tidak masalah, andai dihadapi dengan sikap/pikiran kritis. Ocehan Jerinx tinggal ditanggapi dengan ocehan yang bertanggung jawab, hingga semua pihak melihat mana yang benar.

Menurutku, yang menjadikan ocehan Jerinx dianggap bermasalah, karena tiadanya sikap kritis, khususnya dari audiens yang menyimak ocehannya. Ending-nya jadi tidak enak. Jerinx ditangkap hanya karena ngoceh. Itu sebenarnya ironis, khususnya ketika terjadi di negara demokrasi.

Di negara [yang katanya] demokratis, mosok ngoceh wae ora oleh? Ngoceh adalah sikap pikiran, dan kebebasan berpikir adalah pilar demokrasi. Melalui kebebasan berpikir yang disikapi secara kritis—hingga muncul dialektika—manusia bisa terus berkembang, dan itulah tujuan demokrasi.

Jadi, kembali ke Jerinx, siapakah sebenarnya yang bermasalah? Jawabannya sangat panjang, dan bisa jadi ocehan ini baru selesai tahun 5788, kalau kujelaskan secara komprehensif. Tapi singkat saja, yang salah sebenarnya banyak pihak, termasuk—dan khususnya—kultur pendidikan kita.

Kultur pendidikan kita, sebagaimana yang kita tahu dan alami, mematikan sikap dan nalar kritis, karena guru menganggap pikiran kita cuma botol-botol kosong yang mereka isi dengan apa pun yang mereka inginkan... dan tidak boleh ada bantahan. Kita telah “dibunuh” sejak masih kecil.

Dengan latar semacam itu, tanpa disadari, kita asing dengan sikap dan nalar kritis, karena pikiran kita memang telah dilumpuhkan... bahkan sejak sebelum kita mulai menggunakan. Akibatnya, kita mudah percaya, mudah mengikuti, mudah didikte, mudah meyakini, meski tanpa bukti.

Mungkin Jerinx—dan orang-orang lain yang seperti dia—ingin menyadarkan kenyataan muram itu; agar kita mempertanyakan apa yang memang tidak kita tahu, mengkritisi sesuatu yang tampak remang-remang, dan memastikan kita tidak tersesat karena mengikuti arah yang keliru.

Kalau kemudian terbukti Jerinx yang salah, ya tidak apa-apa, karena begitulah dialektika. Toh dia juga mau mengakui dan menerima. Lagi pula, kebenaran di dunia ini belum jadi kebenaran, selama belum dipertanyakan, belum diuji, dan belum dibenturkan kenyataan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Agustus 2021.

Baik-Baik Saja

Tempo hari, waktu meriang parah, aku sempat ke rumah ortu, dan tidur di kamar adikku. Besoknya, pas udah balik ke rumah sendiri, aku khawatir/curiga kalau aku sebenarnya kena Covid. Jika iya, bisa jadi ortu sama adikku bakal tertular. Eh, tadi mereka datang, dan baik-baik saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Juni 2021.

Keterlaluan

Lagi pandemi, dan sekarang hujan. Orang yang ngotot keluar rumah demi "merayakan malam tahun baru" kayaknya kok keterlaluan, ya. Wong di rumah aja juga enak, malah nyari-nyari penyakit.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Desember 2020.

Selasa, 01 Maret 2022

Dilema Peralihan

Ada ajaran "Hormatilah orang tuamu", tapi tidak ada ajaran
"Hormatilah anak-anakmu". Tidak adil, dan sangat timpang.
@noffret


Di internet, saya sering mendapati artikel yang lebih menyerupai curhat ibu baru (biasa disebut/menyebut diri ibu milenial) yang jengkel karena urusan pengasuhan anaknya “dirusuhi” ibu-ibu lain yang merasa lebih senior dalam hal merawat anak. 

Saya menyebut ini “dilema peralihan”.

Dilema peralihan, dalam perspektif saya, adalah fenomena ketika orang-orang yang merasa senior (tua) dan lebih tahu mengenai sesuatu, memaksakan pengetahuan mereka yang sudah ketinggalan zaman—atau bahkan keliru—pada orang yang hidup di zaman modern.

Dalam contoh ini adalah pengasuhan anak. Ketika seorang ibu milenial punya anak (bayi), para ibu dari generasi boomer akan merasa lebih tahu, karena mereka telah hidup lebih dulu, telah punya anak lebih dulu, sehingga merasa punya hak untuk memaksakan pengetahuannya.

Yang jadi masalah, sebagaimana kita tahu, kehidupan zaman dulu jauh berbeda dengan kehidupan zaman sekarang, pengetahuan zaman dulu berbeda dengan pengetahuan zaman sekarang, bahkan budaya zaman dulu berbeda dengan budaya zaman modern sekarang.

Orang zaman dulu mendapatkan pengetahuan, khususnya dalam merawat bayi dan membesarkan anak, melalui “kebudayaan/tradisi leluhur”—hal-hal yang dianggap pengetahuan di zamannya—karena akses pengetahuan yang benar memang belum semudah sekarang.

Sementara orang zaman sekarang sangat mudah mendapatkan akses pengetahuan yang benar, khususnya dalam merawat bayi dan mengasuk anak, dan bisa jadi mendapati aneka pengetahuan zaman dulu (yang dipraktikkan ibu-ibu boomer) ternyata salah total.

Fenomena itulah yang lalu saya sebut “dilema peralihan”, yaitu peralihan “warisan pengetahuan” dari orang zaman dulu (boomer dan generasi sebelumnya) ke orang zaman sekarang (milenial dan generasi setelahnya), yang tetap tersambung, karena rencana Thanos gagal. 

Andai rencana Thanos terlaksana sebagaimana yang dia inginkan, satu generasi (dan generasi sebelumnya) lenyap. Hasilnya, generasi baru, yakni milenial dan seterusnya, akan hidup dengan menggunakan pengetahuan zaman yang benar dan relevan, tanpa dirusuhi generasi kuno.

Sayangnya, dilema peralihan tidak hanya terjadi—dan bisa menimbulkan masalah—pada urusan perawatan bayi serta pengasuhan anak, tapi juga pada hal-hal lain terkait kehidupan manusia secara luas. Dari urusan kelahiran anak, perkawinan, membangun keluarga... sebut lainnya.

Kita hidup di zaman yang sebenarnya kacau, karena satu generasi yang sebenarnya telah “kedaluwarsa” masih merasa benar dan relevan, lalu memaksakan pengetahuan dan kebenaran mereka pada generasi kita. Hasilnya adalah dilema untuk banyak hal yang menjengkelkan.

Andaikan saja kamu ibu milenial yang punya bayi, dan mendapatkan pengetahuan parenting dari profesional berkompeten—sebut saja dokter. Karenanya, kamu ingin merawat, menangani, dan membesarkan bayimu sesuai pengetahuan yang kamu dapatkan, agar bayimu sehat.

Masalah muncul ketika pengetahuan yang kamu dapatkan dari dokter ternyata bertabrakan dengan pengetahuan yang datang dari ibu atau nenekmu. Dokter mengatakan bayimu cukup mendapat ASI, sementara ibu dan nenekmu memaksa bayimu juga makan pepaya.

Terjepit dalam kondisi semacam itu, bagaimana kira-kira perasaanmu? Dilema. Di satu sisi, kamu percaya pada saran dokter. Di sisi lain, ibu dan nenekmu—atau bahkan saudara dan tetanggamu yang rese karena merasa lebih tahu—menyarankan hal-hal yang jauh berbeda.

Itu bayimu, anakmu, dan tentu kamu yang paling berhak menentukan apa yang terbaik untuknya, karena kamulah yang akan membesarkannya, merawatnya, bahkan bertanggung jawab untuknya. Tapi generasi boomer sering kali tak mau tahu, karena mereka merasa lebih tahu.

Inilah dilema peralihan, ketika hal-hal kuno memaksakan dirinya masuk ke zaman kita karena merasa masih, bahkan paling, relevan. 

“Aku telah melahirkanmu,” kata mereka, “aku telah membesarkanmu, merawatmu sampai dewasa, dan nyatanya kamu hidup sampai sekarang!”

Kalimat semacam itu jelas terdengar otoritatif. Yang tidak sempat mereka pikirkan, cara mereka merawat dan membesarkan kita bisa jadi hasil trial and error. Mereka sebenarnya tidak tahu pasti apa yang mereka lakukan, dan kebetulan saja kita cukup kuat hingga tidak mampus.

Jangan salah paham. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa hal-hal/pengetahuan kuno pasti salah. Yang saya maksudkan, ada banyak hal—mari sebut saja sebagian—pengetahuan kuno yang bermasalah, dan sudah tidak relevan untuk terus dipaksakan, untuk terus diterapkan.

Yang jadi masalah di sini, generasi kuno sepertinya tidak mau menyadari kenyataan itu—bahwa ada sebagian pengetahuan mereka yang bermasalah—dan terus menganggap diri mereka paling benar. Akibatnya, generasi selanjutnya mengalami dilema dan kebingungan.

“Anakmu bukan anakmu,” kata Kahlil Gibran, “mereka adalah anak-anak zamannya.” Dan berapa banyakkah yang mau menyadari kebenaran itu? Generasi kuno memaksakan pengetahuan mereka, kebenaran mereka, budaya mereka, bahkan keyakinan mereka, pada kita!

Orang-orang kuno percaya bahwa menikah akan membuat orang bahagia dan lancar rezeki. Ya silakan saja dipercaya, kalau memang mau percaya. Tapi generasi sekarang belum tentu percaya, jadi sudah tak relevan menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin seolah hidup cuma untuk kawin.

Orang-orang kuno percaya punya banyak anak akan melancarkan rezeki. Ya silakan dipercaya, kalau memang mau percaya. Tapi generasi sekarang belum tentu percaya, jadi sudah tak relevan menyuruh-nyuruh orang lain cepat berkembang biak seolah kami binatang ternak.

“Anakmu bukan anakmu.” Dan bocah-bocah Avengers mestinya cukup duduk manis—sambil udud—dan membiarkan Thanos menyelesaikan pekerjaannya tanpa diganggu. Karena anakmu bukan anakmu. Meski mereka mungkin menikah dan berketurunan sepertimu. 

Ganteng Saja Tak Pernah Cukup

Pada 1999, ada search engine populer bernama Excite yang digunakan para pengguna internet di seluruh dunia. Itu era ketika Larry Page (pendiri Google) baru menyelesaikan search engine bikinannya. Larry Page menawarkan Google ke Excite, seharga $750.000.

Bagi Excite, $750.000 hanyalah 1% dari market value mereka saat itu. Sayangnya, Excite menolak mentah-mentah tawaran Larry Page. Lima tahun kemudian, Excite diakuisisi Ask.com, dan tak terdengar lagi namanya sampai sekarang. Sementara Google tumbuh besar.

Kadang aku membayangkan, apa yang sekiranya dipikirkan para eksekutif Excite di masa kini, saat mereka menggunakan Google untuk searching di internet—sesuatu yang pernah mereka tolak mentah-mentah di masa lalu—sementara Excite yang mereka puja justru punah (atau setidaknya koma).

Hal serupa terjadi pada MySpace. Anak-anak internet jadul pasti kenal MySpace sebagai media sosial paling populer di masanya. Pada awal 2005, Chris DeWolfe, pendiri MySpace, nyangkruk dan ngobrol panjang dengan Mark Zuckerberg, yang waktu itu baru membuat Facebook (the facebook).

Waktu itu, Zuckerberg menawari DeWolfe untuk membeli Facebook, seharga 75 juta dolar. Itu tawaran serius, karena Zuckerberg dan rekan-rekannya butuh uang. Tapi DeWolfe cuma cengengesan—mungkin dia mengira Facebook tidak akan bisa mengalahkan MySpace yang waktu itu memang raksasa.

Saat mereka kembali nyangkruk di tahun yang sama (sekitar Desember 2005), Zuckerberg kembali menawari DeWolfe untuk membeli Facebook. Tapi harganya sudah naik 10 kali lipat, menjadi 750 juta dolar. Dan DeWolfe kembali menolak—sesuatu yang kelak akan sangat disesalinya sambil mimisan.

Seiring waktu, Facebook tumbuh membesar dan menjadi raksasa media sosial dengan 2 miliar pengguna. Sementara MySpace... la yamutu wala yahya, hidup segan mati pun tidak. Kondisinya sudah seperti orang koma. Sementara Zuckerberg dan DeWolfe sudah jarang nyangkruk lagi.

Kisah-kisah itu bisa menjadi ilustrasi dan pelajaran penting, khususnya bagi kaum wanita, saat didekati pria yang ingin menjalin hubungan serius. Jangan hanya menilai seorang pria dari kondisinya yang sekarang, tapi pelajari pula “potensi pertumbuhannya” di masa mendatang.

Bisa jadi, ada pria yang tampak biasa saja di masa sekarang tapi memiliki potensi pertumbuhan luar biasa di masa depan, karena punya visi jelas dalam hidup yang ia kejar dengan sepenuh jiwa. Pria semacam itu kelak (biasanya) akan memiliki nilai atau “harga” luar biasa mahal.

Hal sebaliknya juga sering terjadi. Ada pria-pria yang “tampak hebat dan menjanjikan” di masa sekarang, tapi potensinya di masa depan justru gelap atau tak bisa diramalkan. Itu mirip Excite atau MySpace—tampak hebat dan menawan di zamannya, tapi lalu punah seiring usia.

Ganteng dan trendi saja tak pernah cukup, my love. Karena hidup tak bisa dijalani hanya dengan itu, dan perutmu serta anak-anakmu kelak juga tak bisa dikenyangkan dengan penampilan gaul pasanganmu. Menikahlah dengan kesadaran, bersama pasangan yang terus tumbuh dan berkembang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Mei 2019.

Seorang Perempuan di Ruang Tunggu

Tadi siang check up ke dokter. Karena pasien cukup banyak, harus nunggu antrean sampai lama. Di deretan samping tempatku duduk, ada perempuan—seusia Awkarin, mungkin—bersama ibunya. Dia cantik, agak mirip Arab, dan tanpa sadar kami saling curi-curi pandang selama di sana.

Mula-mula aku tak sadar. Cuma duduk bengong campur bete, karena tidak bisa udud, sementara di kanan kiri dan di depan belakang ada banyak orang (pasien yang sama-sama menunggu antrean). Saat tak sengaja menengok ke samping kiri, aku baru menyadari keberadaan perempuan itu.

Ternyata dia juga sedang menengok, tapi buru-buru memalingkan muka, setelah sedetik kami bertatap. Beberapa waktu kemudian, karena penasaran, aku menengok lagi, dan hal sama terulang. (Kami saling tengok lewat belakang kursi, karena ada 2 orang yang duduk di antara kami).

Seiring waktu, pasien yang duduk di tengah kami akhirnya dapat panggilan, hingga bagian kursi di tengah kami pun kosong. Seharusnya ini memudahkanku untuk menengok ke perempuan tadi, tapi entah kenapa aku malah tak berani—atau malu. Akhirnya aku malah memandangi hal-hal lain.

Perempuan itu lalu duduk menunduk, bermain-main ponsel, dan hal itu akhirnya membuatku leluasa memandanginya. Dia mungkin tahu aku memandanginya—atau mungkin tidak. Yang jelas, saat aku menengok ke arah lain, aku tahu dia menengok ke arahku. Dan, sial, aku deg-degan.

Mestinya aku membuka percakapan dengannya, mengajak kenalan, menanyakan namanya, membuatnya terkesan, melihatnya tersenyum, dan sebagainya, dan sebagainya... tapi aku tidak tahu bagaimana caranya! 

Akhirnya, karena bingung sendiri, aku malah keluar ruangan, dan menyulut udud.

Udud sendirian di luar, aku mengingat panjang tahun yang kuhabiskan di bangku sekolah dan di gedung kuliah, belajar banyak hal, dan tahun-tahun panjang pendidikan itu sama sekali tidak pernah mengajariku cara berkenalan dengan perempuan! Pendidikan macam apa, kalau dipikir-pikir.

Usai udud, aku kembali masuk ke ruang tunggu, dan mendapati perempuan tadi sedang menengok ke arah pintu. Seketika dia kembali menunduk, dan aku kembali ke tempat duduk semula—di samping kanannya, yang kini benar-benar kosong.

Aku kembali duduk di sana, tak tahu harus bagaimana.

Akhirnya nomor antreanku dipanggil, dan aku bangkit, masuk ke ruang dokter. 

Sesaat kemudian, aku kembali muncul di ruang tunggu, dan melangkah ke pintu untuk keluar... dan pulang. Kali ini, perempuan tadi tampak menatapku, dan kami berpandangan, sementara aku terus melangkah.

Sesampai di luar, melangkah di tempat parkir, aku merasakan semacam penyesalan. Belum tentu aku akan ketemu dia lagi, meski diam-diam aku menginginkannya. Aku tidak tahu siapa dia, namanya, alamatnya, meski sebenarnya ingin tahu.

Kadang-kadang aku benci diriku, ketidakmampuanku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 November 2020.

Ingin Staycation

Kadang-kadang terpikir. Setelah pandemi ini selesai, aku ingin menikmati staycation... (staycation kui opo?) ...dengan seseorang. Di tempat yang tenang, sejenak meninggalkan segala kesibukan. Well, sepertinya menyenangkan.

Tapi kemudian sadar. Memangnya kapan pandemi ini akan selesai? Perkiraan paling optimis menyebut pandemi baru akan selesai 2022, dan itu artinya masih setahun lagi! Sebelum itu terjadi, bepergian ke mana pun harus pakai masker, sampai bawa kartu vaksin segala.

Lagi pula, setelah pandemi benar-benar selesai, apakah dunia akan kembali seperti semula? 

Pernahkah bertanya-tanya, dan membayangkan, apa yang sekiranya akan terjadi—dan yang akan kita saksikan—setelah pandemi benar-benar teratasi dan selesai?

Sejujurnya, aku pesimis membayangkan dunia setelah pandemi. Bukan lebih baik, era setelah pandemi bisa jadi akan lebih buruk. 

Entahlah... semoga bayanganku keliru.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 September 2021.

VICE Bertanya, Bocah Menjawab

Kenapa air mata itu asin?
@VICE_ID


Aku bisa menjawab pertanyaan itu sambil merem. Tapi sama sekali tak ada menariknya. Ajukan pertanyaan yang jawabannya tidak bisa dicari pakai Google!

Kalau-kalau ada yang mengira aku cuma bacot, ini jawabannya:

Dalam tubuh manusia terkandung sekitar setengah liter garam. So, kalau tubuh kita mengalami sekresi—liur, keringat, juga air mata—secara otomatis garam di tubuh kita akan ikut keluar.


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 21 Mei 2019.

 
;