Mau tidur, tapi malah ingat Nabilah.
Benar-benar permulaan tidur yang tidak ilmiah!
—@noffret
Tantangan terbesar menulis fiksi adalah berupaya membuat pembaca percaya pada yang kita ceritakan. Semakin panjang kisah fiksi yang kita tulis, semakin besar tantangan yang kita hadapi, karena kita harus menjaga ritme cerita secara masuk akal, dan terus menjaga kepercayaan pembaca. Sedikit saja pembaca mulai tidak percaya, fiksi kita gagal.
Karena latar belakang itu, menulis cerpen jauh lebih sulit dibanding menulis artikel berita, dan menulis novel jauh lebih sulit dibanding menulis cerpen.
Bagi para penulis, menulis artikel berita—apalagi yang relatif pendek—bisa dibilang sangat mudah. Cukup datangi lokasi kejadian, kumpulkan wawancara, pahami kronologi peristiwa, lalu susunlah dalam tulisan yang runtut dan detail. Sudah. Dan orang-orang (para pembaca) akan percaya yang kita tulis, karena memang berita berdasar kenyataan.
Menulis artikel berita bisa dibilang tanpa beban. Karena, bahkan seaneh atau seabsurd apa pun isinya, pembaca akan percaya. Ada artikel berita, misalnya, yang mengabarkan munculnya lubang-lubang besar di suatu daerah secara tiba-tiba. Mungkin artikel itu tidak menjelaskan latar belakang munculnya lubang, dan tidak ada penjelasan apa pun, selain hanya fakta. Tetapi, sekali lagi, pembaca akan percaya.
Begitu pula, ada berita yang mengabarkan seseorang yang dikenal alim, tapi ternyata menyimpan kejahatan busuk. Itu jelas dua hal yang kontradiktif, tapi pembaca berita tetap percaya, karena memang berdasar fakta. Jurnalis atau penulis berita hanya menuliskan fakta, apa adanya. Perkara pembaca mau percaya atau tidak, bodo amat, wong faktanya memang begitu.
Sebagai pembaca berita, kita juga tidak menuntut macam-macam. Kita hanya membaca berita yang kita pilih, membacanya sampai selesai, sudah. Mungkin kita berpikir berita itu aneh, atau tak masuk akal, atau sadis dan tidak rasional. Tetapi, yang jelas, kita tidak akan menyalahkan penulisnya, karena si penulis hanya mewartakan fakta apa adanya.
Kenyataan semacam itu jelas berbeda ketika membaca fiksi. Ketika membaca cerpen, misalnya, kita tahu bahwa cerpen yang kita baca hanya khayalan atau imajinasi penulisnya. Atau, dengan kata lain, “tulisan bohongan”. Tetapi, karena kita tahu itu bohong (fiksi), kita justru menuntut kisah yang benar-benar masuk akal dan dapat dipercaya!
Karenanya, ketika menulis fiksi, kita menghadapi tantangan yang lebih sulit daripada menulis nonfiksi. Semakin panjang fiksi yang kita tulis, semakin besar tantangan yang kita hadapi.
Novel, misalnya, adalah cerita fiksi panjang yang melibatkan banyak tokoh, peristiwa, jalan cerita, konflik, dan lain-lain. Itu jelas membutuhkan kerja keras dan pemikiran yang sangat matang, agar kisah dan para tokoh yang kita ceritakan dalam novel benar-benar realistis, masuk akal, dan tidak mencederai akal sehat pembaca.
Dalam novel, kita tidak bisa seenaknya menciptakan tokoh dengan kemampuan tertentu tanpa penjelasan atau latar belakangnya. Pun, kita tidak bisa menceritakan peristiwa yang alurnya tidak masuk akal. Justru karena itu fiksi, pembaca harus percaya!
(Catatan: Memang ada beberapa jenis fiksi yang ditulis secara absurd dan sengaja dibuat tidak masuk akal, tapi itu sudah lain pembahasan.)
Well, saya sebenarnya mau bercerita tentang Nabilah, tapi intro catatan ini sepertinya kepanjangan.
Sekarang, saya akan menceritakan suatu kisah yang mungkin absurd, sulit dipahami akal sehat, tidak logis, tapi kemungkinan besar kalian akan percaya. Karena, kisah yang akan saya ceritakan ini berdasarkan mimpi yang saya alami. Namanya mimpi, cerita yang terjadi kadang sangat absurd bahkan “umbrus”, tapi kita bisa apa? Namanya juga mimpi!
Kemarin malam, saya bermimpi menikmati perjalanan bersama Nabilah. Cuma, Nabilah yang ada dalam mimpi saya waktu itu sudah dewasa—bukan Nabilah remaja seperti yang kita kenal sekarang. Mimpi ini sangat mengesankan, khususnya bagi saya, sehingga merasa perlu menulisnya.
Entah bagaimana asal usulnya, dalam mimpi itu saya sedang menikmati perjalanan bersama Nabilah yang sudah dewasa, mengendarai pikap.
Kenapa kok naik pikap? Saya juga tidak tahu, wong ini kisah dalam mimpi!
Yang masih saya ingat, kami sedang berkendara menuju Jakarta. Kami melaju di jalan satu arah, dan saya tahu betul itu perjalanan menuju Jakarta... meski saya tidak tahu (atau tidak ingat) kami dari mana.
Setelah beberapa lama berkendara—dan jarak kami sudah dekat Jakarta—kami mendapati kerumunan orang di depan. Ada banyak motor dan mobil yang ditinggal di tengah jalan, dan orang-orang tampak ramai berkerumun di sana-sini. Ada yang berdiri, ada yang berjongkok, ada yang bercakap-cakap, ada yang tampak memandangi sesuatu.
Karena jalan di depan penuh kendaraan yang parkir sembarangan, dan orang-orang banyak berkerumun, semua orang pun menghentikan perjalanan. Termasuk saya dan Nabilah. Saya mengajaknya turun, lalu kami melangkah menuju kerumunan, untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Beberapa meter melangkah, kami mendapati aspal yang retak dengan lubang-lubang mengerikan. Jalanan yang semula mulus dan rata, kini tampak bergelombang, naik turun mengerikan, dengan lubang-lubang besar menganga. Saya meraih Nabilah, dan menggandeng tangannya erat, memastikan dia tidak jatuh di antara jalanan yang berlubang di sana-sini.
Kami berdiri bersama orang-orang yang berkerumun di sana, dan menatap kejauhan. Di depan kami, tampak pemandangan mengerikan. Jembatan besar—yang semula menghubungkan tempat kami berdiri ke Jakarta—saat itu telah runtuh, dengan tiang-tiang besi rusak parah, seperti baru diguncang raksasa. Sementara air sungai di bawahnya tampak bergolak seperti lahar. Aspal di sana-sini tak ada lagi yang rata, semuanya rusak parah. Ke mana pun memandang, yang kami saksikan hanyalah kerusakan.
“Apa yang terjadi?” bisik saya dengan tercekam.
Orang di sebelah saya menjawab, “Jakarta sedang kiamat.”
Saya merasakan Nabilah mencengkeram lengan saya dengan erat, seperti ketakutan—mungkin membayangkan keluarga dan teman-temannya yang ada di Jakarta. Saya menatap ke atas, dan langit Jakarta tampak akan runtuh. Awan gelap menggumpal di udara, dan kehidupan manusia sepertinya akan segera usai.
“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Nabilah.
Saya terdiam, lalu menjawab dengan berat, “Tidak ada yang bisa kita lakukan. Kalau Jakarta dilanda kiamat, artinya semua tempat juga mengalami kiamat serupa. Kita tidak bisa melakukan apa-apa.”
Nabilah menatap saya, dan berkata sungguh-sungguh, “Tapi kita bisa mencari warung sebentar, untuk makan?”
Itu jelas percakapan yang sangat mbuh. Wong sudah tahu dunia sedang kiamat, dia malah mengajak cari warung makan! Tapi kisah dan percakapan ini terjadi dalam mimpi, dan saya bisa apa?
Akhirnya, kami pun berusaha mencari warung makan yang ada di sana. Berdasarkan tanya-tanya orang di sana, kami menemukan sebuah warung makan yang buka di dekat jembatan. Keberadaan warung makan ini pun sebenarnya sangat absurd. Wong dunia sedang kiamat, masih sempat-sempatnya buka warung.
Saya pun mengajak Nabilah ke sana. Selama melangkah ke warung, kami harus melewati medan yang mengerikan—aspal rusak, gelombang-gelombang tanah yang naik turun, sampai lubang-lubang menganga. Saya terus menggandeng tangan Nabilah dengan erat, meski dia sudah dewasa.
Sesampai di warung, Nabilah makan sesuatu—saya tidak ingat atau tidak tahu dia makan apa. Saya hanya menemani, duduk di sampingnya, sambil minum teh hangat, dan merokok.
Usai makan, Nabilah menatap saya dengan tatapan getir, dan bertanya lirih, “Mengapa kiamat terjadi?”
“Jawabannya panjang,” saya menjawab, “dan sepertinya sudah tidak penting lagi, karena sesaat lagi kita semua akan hancur.”
Kami terdiam, saling menatap. Lalu saya berkata perlahan, “Setidaknya, aku bersyukur, karena bisa melihatmu dewasa.”
Kisah dan percakapan itu selesai sampai di situ, karena setelahnya gelap. Mungkin kiamat benar-benar terjadi, dan waktu itu kami sudah tergulung dalam kehancuran dahsyat akhir bumi.
Lalu saya terbangun dari tidur.
Dan sangat terkesan pada mimpi yang baru saya alami.
....
....
Kita sama-sama paham, kisah ini—dan percakapan di dalamnya—tidak masuk akal. Tapi ini mimpi, dan kita bisa apa?