Over populasi! Itulah akar sekaligus awal
yang merusak bumi, kehidupan, sekaligus manusia.
Itulah jawaban di balik lahirnya gunung sampah,
pencemaran laut, hutan-hutan yang gundul,
hewan-hewan punah, melelehnya es di Antartika,
pemanasan global, berbagai bencana... sebut lainnya.
—@noffret
Manusia tidak hidup untuk bekerja. Sebenarnya, manusia hidup untuk bersantai, menikmati dan melakukan hal-hal yang disukai, dan—tentu saja—bercinta kapan pun ingin. Siapa pun pasti setuju dengan hal ini, karena insting alami manusia memang begitu.
Ribuan tahun lalu, manusia bisa menjalani kehidupan semacam itu—bangun tidur untuk menatap indahnya mentari, nyeruput minum dengan santai, bercengkerama dengan siapa pun—dan bukan buru-buru mandi untuk berangkat kerja sambil digencet macet di jalanan.
Siang dan malam, mereka hanya menjalani hidup dengan senang, tenang, minim gejolak, minim masalah, tidak ada kerja, tidak ada gaji, dan kenyataannya mereka juga tidak butuh uang. Karena segala yang mereka ingin dan butuhkan sudah disediakan alam.
Ribuan tahun lalu, alam masih kaya-raya, menyediakan aneka makanan yang dibutuhkan manusia. Sementara air bersih bisa ditemukan di mana pun. Manusia di zaman itu tidak kekurangan segala hal, karena alam masih melimpahkan karunia luar biasa.
Tapi mereka terlena... sebentuk keterlenaan yang kelak menjadi kutukan paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia. Karena merasa hidup nyaman seperti di surga, mereka kawin dan beranak-pinak tanpa mikir. Dalam waktu singkat, populasi meledak.
Ledakan populasi kemudian tidak hanya menuntut tanggung jawab, tapi juga mengubah dunia untuk selamanya. Lahan-lahan yang semula luas perlahan menyempit. Dunia yang semula lowong berubah padat. Makanan dan air yang melimpah mulai menyusut.
Di masa itu, ada orang-orang “tercerahkan” yang menyadari kenyataan tersebut, bahkan sebelum kenyataan itu terjadi. Tapi jumlah mereka sangat sedikit. Dan di mana pun keberadaannya, minoritas selalu ditindas mayoritas. Sayangnya, yang mayoritas “sesat” semua.
Orang-orang tercerahkan di zaman itu sudah memahami apa yang akan terjadi jika manusia terus kawin dan beranak pinak tanpa kesadaran. Mereka sudah berupaya memberitahu dan mengingatkan sesamanya agar tidak terus berkembang biak, tapi mereka tidak didengarkan.
Dan masa-masa kegelapan kemudian benar-benar datang, saat populasi kian padat, dan kebutuhan makin banyak. Singkat cerita, sejak itulah manusia mulai mengenal aktivitas yang sekarang dikutuk banyak orang, bernama “kerja”. Mereka harus bekerja, untuk bisa makan!
Sejak itu, tidak ada lagi pagi yang indah, karena mereka harus bergegas ke tempat kerja demi uang. Tidak ada lagi siang yang bisa digunakan untuk menikmati kesenangan, karena telah direnggut oleh pekerjaan, agar keluarga bisa makan. Umat manusia telah berubah.
Peradaban umat manusia makin rusak setelah mesin uap ditemukan, dan kapitalisme menjadi paham yang dianut di mana pun. Sejak itu, manusia—mau tak mau—harus bekerja demi bisa makan. Wajah dunia berubah, peradaban berubah, manusia menjadi makhluk berbeda.
Kini, kita hidup di zaman yang mengharuskan kita bekerja untuk bisa bertahan hidup—kutukan mematikan yang diwariskan orang-orang di masa lalu, yang seenaknya kawin dan beranak pinak tanpa kesadaran. Merekalah sumber kutukan dalam hidup kita!
Andai saja dulu mereka mau bijaksana sebelum beranak pinak seenaknya, kita hari ini tidak akan perlu bekerja. Andai dulu mereka mau mendengar ucapan teman-temannya yang tercerahkan, dunia kita hari ini akan jauh berbeda—sebuah dunia yang lebih baik.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan bubur sudah dimakan celeng. Kita hidup untuk meneruskan kutukan dari masa lalu, kutukan yang diwariskan orang-orang yang kawin dan beranak pinak tanpa mikir. Sialnya, orang-orang semacam itu juga ada di zaman kita.
Seperti ribuan tahun lampau, di zaman kita juga banyak orang yang kawin dan beranak pinak seenaknya, tanpa mikir, tanpa pertimbangan, tanpa kesadaran, dan jumlah mereka mayoritas. Dunia sudah sangat rusak, dan umat manusia sedang menyongsong bencana.
Seperti ribuan tahun lampau, saat ini pun ada orang-orang tercerahkan, yang memahami konsekuensi jika kebodohan ini tidak segera dihentikan. Manusia akan menghadapi kerusakan yang jauh lebih parah jika mereka masih terus kawin dan beranak pinak seenaknya.
Orang-orang tercerahkan itu sudah berusaha mengingatkan sesamanya, mengenai bahaya yang akan datang. Tapi tidak ada yang mau mendengarkan. Maka mereka pun akhirnya sampai pada satu-satunya keputusan yang bisa dilakukan: Meruntuhkan peradaban!
Dari sinilah kemudian muncul orang-orang seperti Kurt Hendricks, Solomon Lane, Bertrand Zobrist, bahkan Thanos. Mereka sudah lelah menghadapi kebodohan umat manusia, hingga mereka akhirnya memutuskan pilihan terakhir: Meruntuhkan peradaban.
Ada tujuh miliar manusia yang saat ini nongkrong di planet Bumi, dan jumlah itu akan terus bertambah di masa depan, jika tidak dikendalikan. Karenanya, diakui atau tidak, manusia sedang menyongsong bencana paling mengerikan seiring ledakan populasi mereka.
Sekarang kita paham kenapa Thanos ingin melenyapkan separo populasi, Kurt Hendricks dan Solomon Lane ingin meledakkan nuklir demi menghapus separo manusia di Bumi, dan Bertrand Zobrist menciptakan virus yang membuat manusia mandul secara alami.
Dalam logika matematika sederhana, planet Bumi akan menjadi tempat ideal jika hanya ditinggali, setidaknya, setengah miliar orang. Jika Bumi hanya memiliki setengah miliar populasi, kita bisa menjalani kehidupan “ideal” sebagaimana seharusnya.
Jika hanya ada setengah miliar orang di planet ini, hutan akan kembali lebat, tanah-tanah akan kembali subur, udara akan kembali bersih, air akan kembali jernih, kapitalisme akan mati, dan... tentu saja, umat manusia tidak perlu bekerja demi bisa makan dan bertahan hidup.
Saat “utopia” itu terjadi—di masa depan, entah kapan—manusia akan bisa kembali bangun tidur dan menatap mentari dengan tenang, menyeruput kopi sambil udud tanpa diburu-buru jam kerja, dan bisa menjadi manusia seutuhnya tanpa menjadi budak uang.
Apakah utopia semacam itu benar-benar akan terjadi di masa depan? Aku tidak tahu. Tetapi aku percaya, itu akan terjadi.