Senin, 21 Desember 2009

Oh, Tolong Jangan Begitu



….
….

“Hei, matamu tampak merah sekali.”

“Uh, ya… semalam aku belum sempat tidur. Biasa, kau tahu, deadline tak peduli waktu.”

….
….

“Warna matamu berbeda sekali siang ini.”

“Really?”

“Ya, tampak hitam alami. Kau pakai lensa kontak?”

“Tidak. Uh, mungkin karena pengaruh matahari.”

….
….

“Hei, apa yang terjadi dengan matamu? Sekarang tampak biru, dan jernih. Lensa kontak? Atau pengaruh sinar matahari?”

“Ya, ya, entah kenapa warna mataku berubah setiap kali melihatmu. Mungkin, perubahan itu terjadi karena detak jantungku yang berubah setiap kali berdekatan denganmu.”


Minggu, 20 Desember 2009

Cara Mengalahkan Rasa Bosan



Sungguh jarang orang yang menjadi gagal karena tugas yang terlalu sulit. Mereka biasanya gagal karena dikalahkan oleh kebosanan, kemonotonan, dan kejemuan yang diperlukan untuk kerja jangka panjang. Karenanya, jauh-jauh hari, filsuf Ralph Waldo Emerson mengatakan, “Tidak ada yang menjadi besar tanpa semangat yang besar.”

Semangat yang besar itulah yang sering kali bisa digunakan untuk melawan rasa bosan ketika ia datang, atau suasana monoton dan menjemukan saat mereka menghadang. Tanpa semangat yang besar, yang menggebu-gebu, semua pencapaian akan berhenti di tengah jalan.

Sebenarnya, rasa bosan, rasa jemu, bahkan perasaan monoton, sering kali datang saat kita bergerak menuju apa yang kita cita-citakan. Perjalanan ke sana membutuhkan proses, dan proses itu terkadang memberikan saat-saat yang membosankan seperti itu. Tetapi, bukankah banyak hal baik yang dilakukan meski itu mengandung saat membosankan?

Belajar setiap hari itu menjemukan, bekerja setiap hari itu membosankan. Tetapi bukankah pada akhirnya kita mengetahui dan menyadari bahwa dengan belajar kita bisa tahu apa yang harus kita kerjakan, dan dengan bekerja kita bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik?


Sabtu, 19 Desember 2009

Kemana Tujuan Kita?

Kehidupan ini memberikan jalan bagi siapa pun yang tahu kemana tujuannya. Karenanya, luangkanlah waktu untuk menentukan tujuan hidup yang ingin diraih, yang ingin dicapai. Dengan mengetahui tujuan hidup yang ingin dicapai, perjalanan hidup pun tidak berjalan secara ngawur—kita selalu tahu kemana harus melangkah, kemana harus menuju. Bahkan apabila rencana awal yang telah disusun tidak berjalan dengan mulus, kita dapat mengubah rencana tanpa harus mengubah tujuan hidup kita.

Menurut penelitian yang dilakukan banyak pakar, terbukti bahwa kurang dari lima persen dari suatu masyarakat yang mau secara sadar menentukan tujuan-tujuan hidup yang mereka inginkan. Itu berarti hanya lima dari seratus orang yang merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Sementara itu juga diperkirakan hanya satu dari lima orang itu yang berhasil mencapai tujuannya.

Wolfgang von Goethe mengatakan, “Berpikir itu mudah, bertindak itu sulit. Dan menuangkan pikiran ke dalam tindakan adalah perbuatan paling sulit di dunia.”

Mungkin itulah sebabnya hanya segelintir orang saja yang mengikuti dan bertindak mencapai cita-cita dan impian mereka. Menurut Greg Harris, orang yang pernah melakukan penelitian tentang hal ini, dua per tiga dari orang yang diteliti (47 dari 100) menetapkan sasaran mereka. Dari 47 itu, hanya 10 orang yang membuat rencana realistis untuk meraih cita-citanya. Dari 10 orang itu, hanya ada 2 saja yang menjalankannya, dan berhasil.

Kesempatan untuk mewujudkan impian dan harapan kita dalam hidup akan lebih baik apabila direncanakan daripada bila tidak direncanakan. Jadi, tentukanlah tujuan-tujuan kita, dan lihatlah dunia menggerakkan langkah kaki kita, agar kita dapat meraih tujuan-tujuan itu.

Jumat, 18 Desember 2009

Satu Mulut, Dua Telinga



Salah satu kebutuhan mendasar manusia adalah kebutuhan untuk didengarkan. Kebutuhan ini bisa jadi kebutuhan yang lebih tinggi, atau setidaknya sederajat dengan kebutuhan mereka pada makan dan minum. Tetapi, hanya sedikit sekali dari kita yang mencoba memuaskan dahaga mereka untuk didengarkan. Kita justru sering kali lebih suka berbicara dan meminta didengarkan, tanpa pernah merenungkan mengapa Tuhan hanya menciptakan satu mulut dan dua telinga.

Keluarga kita, saudara, tetangga, dan teman-teman kita, semuanya butuh didengarkan. Barangkali kebutuhan semacam ini terkesan ‘primitif’ dan tidak ‘ilmiah’. Tetapi, bukankah kita sendiri juga merasakan kebutuhan yang sama? Ketika seseorang datang dan menceritakan masalah-masalahnya, sebenarnya dia tidak berharap memperoleh solusi atau kata-kata dorongan apa pun, dia hanya butuh didengarkan, butuh sepotong hati yang bisa berempati dengan tulus.

Keterampilan mendengarkan mungkin terkesan tidak penting dan tak perlu dipelajari apalagi sampai dipraktekkan. Tetapi, kalau kita ingin tahu, keterampilan inilah yang menjadi salah satu penyebab kesuksesan Aristottle Onnasis hingga bisa menjadi seorang multi-jutawan dari hasil usahanya.

Orang-orang yang pernah hidup bersama Onnasis sering menceritakan bahwa bila mereka berhadapan dengan Onnasis, ia memberikan kesan bahwa mereka adalah manusia paling penting di dunia—karena kemampuannya dalam mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Siapa yang tidak bisa suka pada orang yang semacam itu?


Kamis, 17 Desember 2009

Sinar Kehangatan



Ketika kita menghadapi sesuatu yang sulit, sesuatu yang melemahkan semangat, dan ketika kita begitu letih dan patah arang, apa yang bisa menyembuhkan kita dari keadaan seperti itu?

Salah satu obat penawar untuk memulihkan keadaan pada tekanan psikologis semacam itu adalah kata-kata pujian dan penghargaan. Dan memang, tidak ada yang membangun keyakinan dan dorongan seperti kata pujian. Tidak ada yang memulihkan penghargaan diri kita dan kembali mengisi semangat kita seperti sedikit kekaguman yang menghargai.

Lebih jauh, psikolog Jess Lair menyebutkan, “Pujian itu ibarat sinar mentari yang menghangati semangat manusia. Kita tidak bisa berkembang dan tumbuh tanpa pujian.”

Bahkan Mark Twain dengan sedikit sentimentil mengatakan, “Saya bisa hidup tiga bulan hanya dengan pujian semata.”

Dan kalau memang kita begitu mengharapkan pujian dan kata-kata penghargaan untuk menghangatkan hati dan menumbuhkan kembali semangat kita, mengapa kita justru sering kali tak mau memberikan itu untuk orang lain?


Rabu, 16 Desember 2009

Aturan Emas

Ia yang mengenal orang lain adalah orang bijak;
ia yang mengenal diri sendiri adalah orang yang tercerahkan.
Lao-tzu


Semenjak ribuan tahun yang lalu, para filsuf dan orang-orang bijaksana telah mencoba merenungkan dan merumuskan jalan terbaik untuk mengadakan hubungan dengan sesama manusia. Dari tahun ke tahun, mereka terus mencoba menganalisis sekian banyak cara yang bisa ditempuh. Sampai kemudian, mereka menemukan bahwa di antara sekian banyak cara dan ajaran tentang bagaimana berhubungan dengan manusia, hanya satu cara saja yang dianggap penting.

Ajaran penting itu pun kemudian sama tuanya dengan sejarah manusia. Zoroaster mengajarkan ajaran itu di depan pengikutnya, tiga ribu tahun yang lalu di Persia. Confucius mengajarkannya di Cina, dua puluh empat abad yang lalu. Lao-Tse, pendiri Taoisme, mengajarkannya juga di hadapan pengikutnya di Lembah Han. Buddha mengajarkannya di tepian sungai Gangga, lima ratus tahun Sebelum Masehi.

Kitab suci agama Hindu mengajarkannya ribuan tahun sebelumnya. Yesus mengajarkannya di bukit Yudea, dua puluh abad yang lalu. Dan Muhammad SAW, lebih dari seribu tahun yang lalu juga menyampaikan kepada umatnya dalam salah satu ajarannya, “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kau ingin orang lain memperlakukanmu.”

Selasa, 15 Desember 2009

Ikatan Tak Terlihat



Meskipun sudah lama berlalu, nama Marilyn Monroe tetap dikenang hingga hari ini. Artis sensasional ini bukan hanya terkenal saat hidupnya, tapi juga setelah kematiannya.

Marilyn Monroe tewas karena bunuh diri pada suatu Minggu pagi. Ketika pelayan rumahnya menemukan tubuhnya yang telah tak bernyawa di pagi hari itu, ia melihat bahwa gagang telepon di dekat tempat tidurnya menjuntai ke bawah. Pada detik-detik terakhir sebelum kematiannya yang tragis, tampaknya Marilyn Monroe telah berusaha menghubungi seseorang. Tetapi rupanya upaya terakhir itu gagal dan ia menyerah, lalu mengatasi hidupnya sendirian.

Sebagai manusia, kita hidup dengan naluri saling membutuhkan, namun kita saat ini hidup dalam sebuah zaman ketika perbuatan ramah dan ungkapan membesarkan hati menjadi sesuatu yang teramat mahal sekaligus langka. Mungkin kita harus belajar kembali untuk bersikap ramah, dan belajar kembali menebarkan harapan ketika banyak orang lain sibuk mengeluh dan putus asa.

Kata Albert Einstein, “Orang diciptakan bagi sesamanya, tidak hanya bagi mereka yang senyum dan kesejahteraannya menjadi gantungan kebahagiaan kita, tetapi juga bagi mereka yang tidak kita kenal, yang nasibnya terhubung dengan kita melalui ikatan simpati.”


Senin, 14 Desember 2009

Kepada Para Koruptor



Kalau kau melakukan kejahatan kepada orang yang dapat membalasmu, maka urusanmu telah selesai—kejahatan telah dibalas kejahatan. Tetapi jika kau melakukan kejahatan kepada orang yang tidak dapat membalasmu, maka alam semesta yang akan membalaskannya. Dan jika alam semesta yang membalasmu, maka saksikanlah saat kehancuranmu.


Kepada para koruptor di mana pun kalian berada,

Waktu kutulis catatan ini, aku menyadari bahwa kalian pasti terlalu sibuk dengan urusan hidup kalian sendiri, sehingga pasti tak akan sempat membuka blog ini, apalagi sampai membaca catatan ini. Tetapi aku menulis catatan ini dengan niat baik, dan aku tahu bahwa alam semesta tak akan pernah menyia-nyiakan setiap niat baik untuk apa pun. Jadi aku pun percaya, entah bagaimana caranya, catatan ini akan sampai di depanmu untuk kaubaca.

Secara pribadi, aku tidak ingin kau ditangkap, ditahan, diadili, atau dipenjara, akibat perbuatan korupsimu. Oh, aku serius, fellas!

Korupsi adalah kejahatan besar manusia, karena ia menciptakan efek berantai atas penderitaan manusia lainnya. Semakin tinggi jabatanmu, semakin besar korupsimu, semakin panjang pula efek berantai yang ditimbulkan dari kejahatanmu. Karenanya, penangkapan, penahanan, pengadilan, atau bahkan pemenjaraan atas pelaku korupsi terlalu ringan jika dianggap sebagai hukumannya.

Lebih dari itu, aku sulit percaya pada sistem yang korup dalam mengadili para pelaku koruptor. Jadi, daripada mengharapkan kau diadili oleh sistem yang sama korupnya—yang pastinya tidak akan menghasilkan keadilan yang benar-benar adil—lebih baik aku berharap dan berdoa semoga kau mendapatkan keadilan yang benar-benar adil; Keadilan dari alam semesta.

Sebagai sesama manusia, aku tentunya harus mendoakan hal-hal yang baik untuk sesama manusia, begitu pun untukmu. Jadi, aku berdoa, semoga kau secepatnya insyaf dan segera mengembalikan setiap rupiah yang kaumiliki dari hasil korupsi. You know, taubat dan insyaf dari kejahatan saja tidak cukup, kalau kau tetap mendekap erat hasil kejahatanmu.

Dan, sebagai sesama manusia pula, aku memiliki perasaan yang bisa terluka karena menyaksikan perbuatan jahatmu. Jadi, jika doaku yang baik tidak terjawab, dan kau tetap juga tidak insyaf, maka aku pun akan berdoa sebagai manusia yang teraniaya. Mungkin kau tidak mengenalku, tetapi efek perbuatanmu mengenaiku—karena kejahatan korupsi yang kaulakukan menciptakan mata rantai yang ikut menyentuh hidupku.

Karenanya, jika doaku yang baik terabaikan, maka aku pun akan berdoa, semoga alam semesta segera membalas perbuatanmu. Oh, mungkin kau tersenyum—tapi biar kujelaskan sesuatu yang akan segera merenggut senyummu.


Kepada para koruptor di mana pun kalian berada,

Ada satu hukum rahasia yang diberlakukan alam ini kepada setiap manusia yang hidup di dalamnya. You know, hidup adalah sebuah permainan—dan ini adalah permainan yang benar-benar fair. Kau bermain dengan benar atau salah, maka nilai yang akan kaudapatkan tepat sama sesuai permainanmu. Kau akan mendapatkan hasil atas setiap perbuatanmu. Dan jika kau tidak sempat mendapatkan “hasil” itu karena mungkin kau keburu mati, maka “hasil” itu akan diberikan kepada keluargamu, kepada anak-anakmu, atau kepada anak-anak dari anak-anakmu.

Orang-orang Barat menyebut ini dengan istilah “Serendipity”. Orang Timur menyebutnya “Karma”. Aku sendiri menyebutnya “Aturan main alam semesta”. Kau percaya atau tidak, kau mau menerima atau mengingkari, tetap saja kau tidak bisa lari dari aturan main ini. Dan mungkin kau pun tidak percaya kalau kukatakan bahwa aku telah menghabiskan lebih dari separuh umurku hanya untuk mempelajari dan membuktikan bahwa ini benar!

Tidak ada perbuatan yang sia-sia di bawah langit—entah kebaikan atau kejahatan—bahkan setiap kepak sayap kupu-kupu sekali pun akan menciptakan perubahan di muka bumi.

Alam semesta menyaksikan setiap tangan manusia—baik tangan yang mengambil ataupun tangan yang memberi, baik tangan yang menyentuh ataupun tangan yang melukai. Dan setiap tangan ini akan mendapatkan balasannya—entah bagaimana caranya, entah kapan pun waktunya, entah di mana pun tempatnya. Tidak ada benih yang sia-sia, baik benih kebaikan atau benih kejahatan—semuanya sama di hadapan alam semesta.


Jadi, para koruptor di mana pun kalian berada,

Sekarang duduklah sejenak di kursimu, dan endapkan kenyataan ini. Ingat-ingatlah siapa pun yang pernah kaukenal, yang juga melakukan korupsi sama sepertimu, dan perhatikan apa yang terjadi dengannya.

Sekian tahun yang lalu mungkin seseorang melakukan korupsi—ia mengambil sesuatu yang bukan miliknya—dan lihat apa yang kemudian terjadi. Mungkin dia selamat dari hukum manusia, karena bisa menyembunyikan kejahatannya. Tetapi dia tidak bisa bersembunyi dari tatapan mata alam semesta.

Karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka alam semesta pun membalas tepat sama—mengambil sesuatu milik orang itu—entah kesehatannya, entah keluarganya, entah kedamaian dan kebahagiaannya, entah pula usia dan hidupnya. “Tuhan tidak tidur,” kata orang Indonesia. Dan alam semesta memang tidak pernah berhenti bekerja. Cepat atau lambat, giliranmu akan segera tiba.

Mungkin kau bisa menyembunyikan kejahatanmu dari mata manusia, tetapi apa yang dapat kausembunyikan dari tatapan alam semesta? Jika kau berpikir bisa menyembunyikan kejahatanmu, dan yakin akan selamat atas perbuatan jahatmu, maka aku ingin kau tahu bahwa kau orang paling tolol yang pernah ada. Jika Adam harus terusir dari surga hanya karena memakan secuil buah terlarang, maka anak turunnya pun akan menghadapi hukum yang sama.

Aku terluka oleh perbuatanmu, kau tahu. Aku terluka, tetapi aku tidak bisa mengharapkan sistem negeri ini membalaskan lukaku kepadamu, karena mereka pun sama melukaiku. Aku adalah jiwa teraniaya, sama seperti jutaan jiwa lainnya, akibat perbuatanmu. Dan jika ada suara yang paling menyiksa bagi telinga alam semesta, maka itu adalah suara jeritan jiwa-jiwa teraniaya, yang akan memaksanya untuk segera membalaskan luka-luka mereka.


Kepada para koruptor di mana pun kalian berada,

Seperti yang telah kukatakan, hidup ini memberlakukan permainan yang benar-benar fair… dan adil. Kalau kau berbuat jahat kepada orang lain yang dapat membalas kejahatanmu, maka urusanmu telah selesai. Kejahatan telah dibalas kejahatan. Tetapi kalau kau melakukan kejahatan terhadap orang lain yang tidak dapat membalasmu, maka alam semesta yang akan membalasnya. Dan jika alam semesta yang membalas perbuatanmu, maka selamat datang di mimpi burukmu!

Apa yang kaupikirkan sekarang? Bahwa kau masih sehat dan tenteram dan hidup? Jangan naif, fellas. Sebagaimana mafia akan membalas dendam jika musuhnya telah lupa, alam semesta pun akan membalasmu pada waktu yang tak pernah kausangka-sangka. Kelak, di suatu hari yang tak pernah kauduga, sesuatu akan datang ke dalam hidupmu, dan kau akan dipaksa untuk menatap kejahatanmu, untuk mempertanggungjawabkannya dengan cara yang amat menyakitkan.

Lupakan hukum manusia—karena kau tahu mereka dapat kausuap dengan uang hasil korupsimu. Tetapi, kau tahu, ada yang tak pernah dapat kausuap dengan uang berapa pun banyaknya—dan kau pun tahu, bahwa detik-detik eksekusi itu pasti akan tiba… cepat atau lambat.

Tidak ada kejahatan yang abadi, karena hidupmu pun tidak abadi. Tetapi… demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, aku bersumpah bahwa pembalasan untukmu pasti akan sampai.


Pintu Menuju Pembaruan



Bila kau merasa kehidupanmu tengah memburuk, kau bisa menenangkan hati dengan mengharapkan bahwa keadaan tidak akan menjadi bertambah buruk. Apabila keadaan benar-benar menjadi bertambah buruk, kau pun bisa berpikir positif bahwa keadaan pasti akan menjadi baik.

Apapun yang terjadi dan menimpa hidup kita, kita masih memiliki sesuatu bernama akal sehat untuk menghadapinya. Apa yang kita miliki, yang telah dianugerahkan Tuhan untuk kita gunakan dalam hidup ini, kuasanya lebih besar dibandingkan dengan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita.

Denis Waitley, seorang pakar kepemimpinan, memberikan nasihat untuk hal ini, “Kesulitan dan kegagalan hidup, sekiranya dapat disesuaikan dan dilihat sebagai umpan balik koreksi yang positif, dapat digunakan untuk membetulkan kembali sasaran awal; di samping dapat membangkitkan potensi diri agar kebal terhadap setiap kebimbangan, kekecewaan, serta mengantisipasi stres.”

Tidak ada pendidikan yang lebih baik daripada kesusahan. Setiap kekalahan, setiap penderitaan, setiap patah hati, setiap rasa kehilangan, setiap tangis dan air mata, semua mengandung benihnya sendiri, pelajarannya sendiri, tentang bagaimana cara meningkatkan kepribadian serta kehidupan kita. Kesusahan yang kita hadapi adalah jalan setapak pertama menuju kebenaran, karena dengan itulah kita akan belajar tentang bagaimana cara meningkatkan kehidupan.

Tetapi, kesusahan tidak pernah menghancurkan orang yang mempunyai keberanian dan keyakinan. Kita semua diuji dalam sebuah bencana dan tidak semuanya dapat muncul kembali. Hanya orang-orang yang mau belajar dari kesusahannya dan menyadari bahwa kesusahan adalah proses dari jalan menuju kesempatan yang lebih baik sajalah yang dapat keluar dari jalan setapak kesusahan. Emas akan menghasilkan kemurniannya setelah ia dibakar dalam bara api tanpa henti, bunga akan menyarikan inti keharumannya setelah diperas dan dijadikan minyak wangi. Penderitaan, masalah dan kesusahan adalah pintu menuju pembaruan diri.

Orang-orang bijak sering mengumpamakan penderitaan itu ibarat telur. Orang menyangka bahwa kulit telur merupakan penjara bagi janin yang ada di dalamnya, padahal dia menjaganya, melindungi dan menolongnya, agar janin dalam telur itu tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Tidak ada jalan lain selain dari sabar menunggu waktu dan merasa senang dengan tujuan yang akan dia capai. Bila tiba waktunya telur itu pecah, maka keluarlah sebangsa makhluk baru.

Di dalam penderitaan, masalah dan kesusahan, setiap kita diuji—untuk kalah, atau untuk menang. Jika kita menyerah dan kalah, kita hanya menjadi janin dalam telur yang kemudian membusuk. Tetapi jika kita menang—jika kita mau berjuang hingga cangkang bernama penderitaan dan masalah dan kesusahaan itu akhirnya retak dan pecah—maka kita pun akan mewujud sebagai makhluk baru; sosok yang lebih baik dibanding sebelum menjalani segala masalah, penderitaan dan kesusahan itu...


Untuk Pengunjung Pemula



Tidak semua orang yang mengunjungi blog ini karena kesengajaan, atau karena memang secara khusus bermaksud membuka blog ini. Rupanya, banyak pula orang yang sampai di halaman blog ini karena “kesasar”, atau karena memang sedang melakukan tour blogwalking dan kemudian tanpa sengaja sampai di sini.

Para pengunjung yang sengaja membuka halaman blog ini biasanya para pembaca buku saya, yang memang mendapatkan alamat blog ini dari buku-buku yang telah mereka baca. Untuk pengunjung jenis ini, isi blog ini pastilah tidak akan (terlalu) membingungkan, karena setidaknya mereka sudah “agak tahu” siapa orang gila yang menulis di blog ini.

Nah, sedang bagi pengunjung yang sampai di blog ini karena “kesasar” atau tidak sengaja (karena blogwalking), biasanya akan sedikit mengerutkan kening. Mungkin pula mereka membatin, “Lhah, ini blog apa…???”

Kenyataan semacam ini saya ketahui dari beberapa email yang saya terima dari orang-orang yang mungkin baru menemukan blog ini (karena faktor ketidaksengajaan). Mungkin karena tertarik tapi bingung dengan isi blog ini, mereka pun mengirimkan email yang menanyakan kebingungan mereka. Dan, sebagai orang yang beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, saya merasa berkewajiban untuk memberikan penjelasan—karena blog ini memang tidak memberikan ruang komentar atau tanya jawab secara langsung.

Jadi begini, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Oke, kalau ini terdengar terlalu formal, saya ulangi. Jadi begini, pal…

Blog ini sebenarnya ruang interaksi antara saya dengan para pembaca buku saya. Apa yang saya tuliskan di blog ini, sesungguhnya adalah materi belajar yang saya suguhkan sebagai bahan pelajaran kami (saya dan teman-teman pembaca). Karena saya tidak menginginkan materi belajar yang praktis (baca: instan) sebagaimana di lembaga pendidikan formal, maka saya pun memilih metode belajar yang merangsang pikiran dan hati para pembaca saya—dan dalam blog ini saya memilih bentuk esai atau catatan-catatan yang kebanyakan bersifat kontemplatif.

Lebih dari tujuh puluh persen materi yang ada di blog ini sesungguhnya berasal dari ide teman-teman pembaca. Mereka mengajukan usul, ide, permintaan, atau pendapat, agar saya menuliskan tema-tema tertentu, dan kemudian saya memenuhi permintaan mereka—satu demi satu—jika saya memang menguasai materi atau tema yang mereka minta.

Karena ide penulisannya berasal dari banyak orang, maka tentunya tema yang muncul pun jadi beragam. Kadang hari ini membahas soal artis, besok membahas masalah filsafat, kemudian lusa membahas tema psikologi, dan lain-lain. Kenyataan semacam itu sepertinya tak terhindarkan di blog ini, karena saya memang membiarkan teman-teman pembaca untuk bebas menentukan tema apa saja yang ingin mereka nikmati di sini—sepanjang tujuannya untuk belajar.

Nah, untuk mengikat semua tema yang beragam itu agar menjadi satu kumpulan yang utuh (setidaknya memiliki gaya yang sama), saya pun membingkainya dalam frame yang sama—pembelajaran dan kontemplatif. Yang jelas, seperti yang sudah pernah saya tulis sebelumnya di sini, saya tidak akan memberikan berita yang hanya bersifat fakta atau informasi semata-mata. Semua yang tertulis di sini harus berada dalam frame di atas itu; sebagai proses pembelajaran, atau sebagai media kontemplasi.

Seperti yang dapat kita lihat pada daftar label di blog ini, bisa dikatakan semua label itu tercakup dalam frame pembelajaran atau kontemplasi. Jika saya kemudian membuat label tersendiri yang saya namai “Pembelajaran” dan “Kontemplasi”, itu semata-mata hanya untuk memudahkan pembaca dalam menavigasi keseluruhan isi blog ini. Tetapi semua label itu—dari “Studitainment” sampai “Tentang Menulis”—semuanya tetap tercakup dalam frame pembelajaran dan kontemplasi.

Omong-omong soal label, mungkin tak ada salahnya kalau saya jelaskan saja satu per satu maksud dari label-label itu, agar setidaknya pencantuman label-label itu dapat digunakan untuk mempermudah pencarian catatan di blog ini.

Yang pertama, “About this Blog”, berisi catatan-catatan seputar blog ini, kebanyakan berisi penjelasan atau jawaban-jawaban menyangkut materi di blog ini. Sedari awal saya memang sudah mempersiapkan label itu, karena blog ini memang tidak memberikan sarana komunikasi secara langsung (boks komentar atau semacamnya). Karenanya, label itu saya anggap sebagai semacam interaksi tak langsung antara saya dengan para pembaca—termasuk post ini.

Label kedua, “Celoteh”, adalah celoteh-celoteh yang tidak penting. Isinya bisa dibilang sebagai catatan-catatan biasa seputar kejadian-kejadian yang saya alami dalam hidup sehari-hari, yang saya pikir mungkin cukup menarik untuk ditulis. Saya anggap label itu sebagai tempat menghibur diri atau untuk tertawa bersama para pembaca. Yeah, apa salahnya sesekali cerita tentang diri sendiri?

“Cinta dan Lainnya” adalah label untuk catatan-catatan yang berhubungan dengan tema cinta dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebenarnya, saya ingin menghilangkan label ini dan meleburnya dengan label “Pembelajaran”. Tetapi karena materi tentang cinta sepertinya cukup banyak (dan tentunya akan lebih banyak lagi di waktu mendatang), saya pun mempertahankannya untuk tetap ada. Yang jelas, catatan-catatan dalam label itu tetap bersifat sebagai media belajar atau kontemplasi.

Label keempat, “Kontemplasi”, berisi catatan-catatan yang bersifat kontemplatif. Isinya cukup beragam, tetapi semuanya dibingkai dalam frame yang sama—kontemplasi.

Sedang label kelima, “Pembelajaran”, berisi catatan-catatan yang lebih explore atas objek-objek tertentu. Meski terkadang tema yang ditulis dalam label ini sama dengan kontemplasi, namun label itu lebih luas dalam menjabarkan dan mengeksplorasinya, sehingga seringkali satu objek ditulis dalam beberapa seri posting. Mungkin memang tidak sampai gamblang total, tetapi setidaknya cukup memuaskan pihak yang meminta dituliskannya objek itu.

“Soliloquy”, label keenam, berisi catatan-catatan yang terpaksa (sengaja) saya tulis dalam bentuk absurd dan seringkali tidak jelas. Kadang pula saya menuliskan puisi di label ini. Sebagaimana artinya, soliloquy (gumam/bergumam) adalah sarana menyampaikan sesuatu yang tidak mungkin saya jelaskan secara gamblang atau secara jelas. Jadi saya hanya menuliskannya, dan biarkan pembaca saya memahami maknanya—atau tidak memahami maknanya.

Kemudian, label ketujuh, “Studitainment”, berisi catatan-catatan (biasanya bersifat kontemplatif) yang berhubungan dengan artis atau sosok-sosok selebriti. Terkadang pula saya membahas soal film di label itu. Berbeda dengan infotainment atau pemberitaan lain seputar dunia artis yang biasanya hanya mengungkapkan berita mereka atau seputar gosip-gosipnya, catatan-catatan dalam “Studitainment” menggunakan para artis (dan berita-berita seputar mereka) sebagai sarana pembelajaran. Itulah kenapa saya menyebutnya “Studitainment”.

Label kedelapan, “Tentang Buku”, berisi catatan-catatan yang berhubungan dengan buku. Aktivitas penerbitan dan perbukuan, kisah-kisah di balik buku dan para pengarangnya, tanya-jawab seputar buku, serta hal-hal lain yang mungkin ada, akan masuk ke dalam label itu. Informasi mengenai buku-buku saya juga ada di dalam label tersebut.

Terakhir, label kesembilan, “Tentang Menulis”, berisi catatan-catatan tentang belajar menulis—dan hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas itu. Rencana saya (yang pastinya juga didukung teman-teman pembaca), semua hal yang berhubungan dengan aktivitas menulis akan saya tuliskan semua di blog ini—dan semuanya akan masuk ke dalam label itu.

Nah, dengan adanya penjelasan seperti ini, sekarang setidaknya kita tahu bahwa label-label itu tidak hanya ditujukan untuk pemanis side bar, tetapi lebih bertujuan untuk memudahkan pengunjung blog ini dalam menyelami isinya. Tinggal tentukan apa yang ingin kau cari di sini, klik saja tag atau labelnya. Karena isi blog ini memang bersifat pembelajaran, maka materi blog ini pun tidak akan “basi”—meski dibaca pada waktu kapan pun. Jika temanya memang sudah out of date, namun “energi” temanya akan tetap up to date.

Untuk menggenapi sembilan label itu agar berjumlah sepuluh, sebenarnya saya sudah merencanakan untuk membuat satu label lagi, namun mungkin belum bisa dilakukan sekarang. Yang jelas, akan ada satu label lagi yang akan menjadikan blog ini makin kaya dalam tema, dan makin luas pula cakupan pembelajaran kita.

Jadi, dengan adanya penjelasan ini, saya berharap teman-teman yang baru “kesasar” ke blog ini tidak akan terlalu bingung lagi, dan bagi para “maniak” yang telah lama kongkow di sini jadi tambah betah dan makin asyik. Bila ada yang perlu ditanyakan lagi, atau ingin disampaikan, atau apa saja yang berhubungan dengan isi blog ini, silakan hubungi email saya yang ada di halaman profil.

By the way, catatan ini sepertinya sudah panjang sekali. Cukup dulu ya, nanti lain kali kita sambung lagi…


The Ghostwriter (2)



Apabila ditinjau dari sudut pandang etik, profesi ghostwriter mungkin tidak etis secara moral—khususnya jika pekerjaan menulisnya itu ditujukan untuk penilaian kredibilitas, semacam pembuatan skripsi, disertasi, ataupun sebuah buku tertentu yang ditujukan untuk kenaikan pangkat dan jabatan. Hanya saja, setiap kali kita mulai sampai pada masalah etika dalam profesi, setiap kali pula kita terbentur pada dinding ekonomi.

Hukum ekonomi—dalam profesi apapun—selalu saja memiliki ayat yang sama; permintaan menciptakan peluang.

Di satu sisi, ada banyak orang yang punya duit dan butuh punya buku tapi tak bisa menulis. Di sisi lain, ada banyak penulis yang bisa menulis dengan baik, tapi hidup pas-pasan karena royalti penjualan buku yang minim. Ini klop—seperti mur ketemu baut—dan transaksi bisnis pun terjadi.

Saya mengenal beberapa teman yang sering menjadi ghostwriter, dan saya melihat bahwa penghasilan mereka sebagai ghostwriter bisa dibilang lebih besar dibanding penghasilan yang mereka dapatkan dari royalti buku-buku yang mereka tulis. Ada teman yang mendapatkan bayaran sepuluh juta untuk menulis sebuah buku. Dia menggarap naskah buku itu selama dua bulan—dan langsung dibayar cash begitu naskahnya selesai.

Sepuluh juta dalam waktu dua bulan! Para penulis tahu, dibutuhkan ribuan buku yang harus terjual terlebih dulu untuk bisa mendapatkan royalti sejumlah itu.

Ada pula teman lain (yang juga ghostwriter) diminta menulis buku oleh seseorang dengan pesan seperti ini, “Intinya, saya hanya ingin nama saya tercantum di sampul buku itu. Soal bagaimana proses penulisan, penerbitan, dan urusan dengan penerbit, saya serahkan ke kamu. Yang penting buku itu memiliki nomor ISBN, dan nama saya tercantum di sampulnya. Saya akan membayarmu setelah buku itu terbit.”

Karena harganya disepakati, teman saya menyanggupi—dia mengerjakan naskahnya, mengurus penerbitannya, dan beberapa bulan kemudian bukunya terbit. Seperti yang sudah dijanjikan, dia langsung mendapatkan bayarannya begitu buku itu terbit dengan nama si pemesan tercantum manis di sampulnya. Bayangkan, si penulis langsung mendapatkan bayaran dalam jumlah besar, padahal buku itu belum terjual satu eksemplar pun!

Karena melihat tingkat penghasilannya yang besar, tidak heran kalau para penulis pun cukup banyak yang ‘nyambi’ jadi ghostwriter. Saya pernah tanya pada mereka yang ‘nyambi’ jadi ghostwriter semacam itu, “Bagaimana pandanganmu sendiri terhadap aktivitas ini (ghostwriter)?”

“Ini sebenarnya tak jauh beda dengan profesi artis,” jawab mereka. “Ketika seorang artis disodori tawaran film ‘panas’ dengan iming-iming bayaran mahal, dia tentunya berhak untuk menerima tawaran itu, karena itu memang profesinya. Kalau orang-orang ribut soal akting dalam filmnya yang dianggap panas, yeah… itu kan tuntutan profesi!”


Pesan Moral:
~ Kepada para penyewa ghostwriter: Belajarlah menulis!
~ Kepada pemerintah: Sejahterakan para penulis, hilangkan pajak buku!
~ Kepada para ghostwriter: Bagi-bagi rejekinya, dunk! :P


Catatan Kecil Tentang Hidup



Apa yang paling penting di dunia ini bagi kita semua? Itu adalah belajar hidup, kan? Hidup itu anugerah yang tak ternilai, tetapi ia tidak dapat berlangsung terus. Sementara kita memilikinya, kebahagiaan kita bergantung hanya pada satu hal; seberapa jauh kita belajar menghadapi dengan baik tantangan-tantangan hidup ini.

Kalau lautan kehidupan mulai bergelora, kalau kesulitan mulai muncul, kalau masalah timbul, jangan lupakan bahwa kekuatan yang telah dianugerahkan Tuhan dalam diri kita selalu siap untuk digunakan menghadapi semua yang menghadang. Pernah mendengar tentang ‘Hukum Tantangan dan Respons’? Arnold Toynbee, seorang ahli sejarah termahsyur, berpendapat bahwa kunci bagi pengertian terhadap sejarah dengan peristiwa-peristiwa pasang-surutnya peradaban terletak pada kegiatan hukum yang tak terlihat ini. Ia yakin bahwa jika suatu peradaban yang mendapat tantangan yang membahayakan kelangsungannya, dan kita dapat menghadapinya, maka kekuatan-kekuatan yang muncul karena usaha yang luar biasa itu akan mengangkat peradaban itu ke tingkatan yang lebih tinggi dalam bidang kesenian, sastra, dan setiap segi hidup serta kebudayaan. Dalam kehidupan pribadi kita, hukum itu juga berlaku.

William James, seorang filsuf sekaligus psikolog terbesar yang pernah dimiliki Amerika mengatakan kebenaran yang amat penting ini, “Penemuan terbesar dari generasi saya, adalah bahwa manusia dapat mengubah hidup mereka dengan cara mengubah sikap pikiran mereka.”

Kita dapat mengubah kehidupan kita dengan cara mengubah sikap pikiran kita. Kita dapat melakukan ini dengan sengaja memaksakan masuk gagasan yang vital, citra yang positif, ke dalam pikiran bawah sadar kita. Dengan cara itu, kita akan terus-menerus berada dalam keadaan berkembang, dan kita pun benar-benar berkembang menjadi apa yang kita pikirkan.

Filosofi ini tentu saja tidak berarti bahwa kehidupan kita kemudian akan menjadi tanpa masalah. Maksudnya adalah kita akan mampu menghadapi masalah apapun dengan penuh percaya diri bahwa kita memiliki keberanian dan kekuatan untuk menghadapinya. Kita hanya perlu berdoa...dan percaya! Bayangkan dan percaya, bekerja dan percaya!


Bumi, Seribu Tahun Lagi



Boleh percaya atau tidak, inilah wajah dunia kita dalam seribu tahun yang akan datang. Mungkin prediksi ini akan terdengar kontroversial. Tetapi... semua hal yang belum terjadi memang terdengar kontroversial, kan? Jadi, inilah wajah kita, dunia kita, dalam seribu tahun yang akan datang—boleh percaya ataupun tidak!

2010
Masyarakat bumi masih meributkan pemanasan global—tetapi isu pemanasan global hanya bualan gombal.

2011
Penduduk dunia mencapai 5,7 miliar, tranplantasi organ tubuh semakin populer, dan isu kiamat makin menjadi.

2012
Kiamat yang terus-menerus diisukan dan diributkan terbukti hanya isapan jempol—dan manusia akhirnya sampai ke Mars, planet yang telah lama didambakan. Diperlukan waktu lima bulan lima hari untuk sampai di sana.

2015
Integrasi komputer-biologi mencapai tahap sempurna—dan manusia mulai bersiap memasuki Era Bio-Ekonomi.

2016
Perjalanan dari New York ke London dapat ditempuh dalam waktu 1 jam, dengan menggunakan pesawat tercepat.

2017
Bangunan pertama dibuat di bulan. Perkampungan di bulan pun mulai direncanakan. Manusia mencapai prestasi yang sebelumnya hanya ada dalam angan.

2018
Mata uang internasional pertama diperkenalkan.

2020
Robot-rumah semakin populer. Pasar-pasar swalayan di Jeddah dan Riyadh selalu kehabisan stok robot wanita (jangan tanya kenapa). Hotel pertama di ruang angkasa dibuat.

2022
Populasi ruang angkasa mencapai 100 orang—merekalah yang menjadi penghuni pertama, para penduduk yang mulai tinggal di bulan.

2025
Robot-manusia mulai diciptakan. Biologi dan komputer melakukan “perkawinan”.

2027
Tempat tinggal permanen di Mars mulai dibangun—manusia semakin hanyut dalam impian-impiannya.

2033
Air-Car, semacam mobil terbang, mulai dikenalkan dan digunakan. Kota-kota besar mulai melarang penggunaan kendaraan darat untuk mengatasi kemacetan. Jakarta menjadi kota pertama di Indonesia yang memberlakukan kewajiban penggunaan mobil terbang—dan kendaraan konvensional pun segera menjadi barang loakan.

2036
Hovercars (mobil terbang dalam ukuran yang lebih besar) sudah mulai digunakan untuk travel—baik nasional maupun internasional. Taksi dan mobil travel konvensional segera jadi barang rongsokan.

2045
Populasi ruang angkasa mencapai 4000 orang—sebagian merupakan pendatang baru, sebagian karena anak-anak yang dilahirkan di sana.

2050
Anti-gravitasi ditemukan—Isaac Newton seolah bangkit dari kuburnya, dan buah apel tak harus jatuh ke bawah.

2063
Perjalanan dengan kecepatan cahaya mulai diperkenalkan. Kemajuan dunia makin pesat dan makin cepat.

2065
Populasi ruang angkasa mencapai 12.000 orang. Hotel dan motel mulai dibangun di hamparan luas ruang angkasa.

2080
Kota pertama di orbit Bumi dibangun. Obat-obatan penting untuk berbagai penyakit berat telah berhasil ditemukan—manusia mulai mencari upaya untuk menunda kematian.

2100
Sebagian besar penyakit abad ke-21, termasuk AIDS, telah dinyatakan non-exist dalam kehidupan umat manusia. Dunia medis makin bersemangat menemukan jalan untuk mengalahkan kematian.

2113
Bumi memiliki satu pemerintahan. Tidak ada lagi batas wilayah negara. Teritorial menjadi batas yang absurd.

2120
Populasi ruang angkasa mencapai 1 juta orang—dan makin terus bertambah dengan adanya “transmigrasi” penduduk bumi ke planet-planet lain di ruang angkasa.

2150
Teleportasi hingga teleportasi quantum mulai diperkenalkan. Manusia dan dunia teknologi makin keranjingan pada impian menembus waktu.

2200
Populasi ruang angkasa semakin banyak, jumlah penduduk di sana hampir tiga milyar, dan planet Bumi semakin sepi. Pada waktu ini, orang-orang yang masih tinggal di bumi mulai merasa “tidak keren” tinggal di sini.

2300
Mars, Merkurius, dan Bulan, telah menjadi koloni manusia.

2500
Perjalanan antar-bintang mulai diperkenalkan. Beberapa galaksi baru yang diduga memiliki kehidupan lain ditemukan. Pada tahun ini pula mulai muncul isu soal kiamat yang didesas-desuskan akan datang pada tahun 2999.

31 Desember 2999
Seluruh manusia di berbagai planet menunggu kedatangan hari kiamat.

1 Januari 3000
Hari kiamat tidak terjadi. Manusia di berbagai planet bersorak gembira. Lagi-lagi isu kiamat hanya isapan jempol.

3134
Alien pertama ditemukan di sebuah planet asing dalam sistem galaksi yang sama asingnya. Bukan makhluk cerdas, tapi “seekor” makhluk mirip hamster yang hidup di rawa-rawa planet itu.

3135
Akhirnya... fosil orang-orang yang membaca catatan geblek ini ditemukan, setelah berabad-abad menghilang sejak membaca posting yang ngawur ini. :D


Rabu, 02 Desember 2009

The Ghostwriter (1)



Ada beberapa email yang menanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “ghostwriter”—apa definisinya, seperti apa pekerjaannya, dan mengapa disebut ghostwriter.

Istilah ini (ghostwriter) memang berkaitan atau berhubungan dengan para penulis dan aktivitas menulis. Jika diartikan secara harfiah, “ghostwriter” berarti “penulis hantu”. Nah, kira-kira seperti itulah maksud istilah ghostwriter—mirip dengan hantu—yaitu penulis yang nama atau identitasnya tersembunyi.

Agar penjelasan mengenai ghostwriter ini mudah dipahami, kita gunakan contoh saja.

Umpamakan ada seorang pejabat yang terkenal dan berpendidikan tinggi, dan ingin memiliki buku yang diterbitkan. Hanya saja, si pejabat ini kurang mampu menulis dengan baik. Secara intelektual, dia menguasai suatu bidang tertentu yang ingin ditulisnya—baik untuk tujuan mengukuhkan prestise, untuk penyebaran wawasan, ataupun untuk tujuan lainnya.

Untuk mewujudkan keinginannya itu, dia menghubungi seorang penulis profesional, untuk menuliskan bukunya. Kita sebut saja penulis itu si X. Jadi, si pejabat ini memberikan materi naskahnya, dan kemudian si X mengolahnya hingga menjadi sebuah buku yang utuh, layak diterbitkan, sekaligus enak dibaca. Hanya saja, ketika buku itu terbit, nama yang tertera di bukunya adalah nama si pejabat, bukan nama si X. Nah, si X dalam hal ini bertindak sebagai ghostwriter.

Jadi, secara definitif, ghostwriter adalah orang yang melakukan pekerjaan menulis tanpa melibatkan identitas dirinya dalam hasil pekerjaan menulisnya.

Lalu bagaimana sistem kerjasamanya? Ini relatif. Bagaimana hubungan kerjasama antara seseorang atau suatu pihak dengan ghostwriter biasanya sangat fleksibel, tergantung kesepakatan, juga tergantung profesionalitas si ghostwriter.

Ada ghostwriter yang bertarif mahal—ini biasanya ghostwriter yang sudah terkenal banyak menulis, dan hasil tulisannya juga tidak “malu-maluin”, sehingga orang yang menyewanya dijamin puas dengan hasilnya. Sebaliknya, juga ada ghostwriter yang tarifnya murah.

Tetapi, kebanyakan ghostwriter yang profesional (biasanya adalah para penulis profesional yang memang berprofesi penulis) mengenakan tarif yang sangat mahal untuk pekerjaan semacam itu. Mengapa? Karena ketika dia mengerjakan tugas sebagai ghostwriter, dia tidak bisa mencantumkan egonya (namanya) pada buku yang ditulisnya. Karenanya, untuk “menebus”-nya, dia mengenakan tarif yang mahal—lebih mahal dari pembayaran yang biasa ia peroleh dari penghasilan buku-buku karyanya sendiri yang mencantumkan namanya.

Pertanyaan lain, mengapa ada orang yang membutuhkan ghostwriter? Jawabannya bisa merujuk pada contoh kasus di atas. Ada banyak sekali orang yang butuh memiliki buku yang diterbitkan, namun tidak menguasai kemampuan menulis yang baik. Kalau mau blak-blakan, banyak sekali orang yang semacam itu, kan?

Ada dosen yang butuh punya buku agar bisa naik pangkat, ada pejabat yang butuh punya buku agar naik jabatan, ada orang terkenal yang butuh punya buku untuk menaikkan prestise, dan lain-lain. Orang-orang ini tidak lagi sekadar “ingin” punya buku, tetapi sudah sampai pada taraf “butuh”. Karena sudah menjadi kebutuhan, maka mereka pun berusaha keras untuk memenuhi kebutuhannya—termasuk dengan menyewa ghostwriter.

Bahkan, kalau mau jujur, sebenarnya kita pun mungkin (sekali lagi, mungkin) pernah berurusan dengan makhluk bernama ghostwriter. Waktu mengerjakan skripsi, umpamanya. Kita merasa pusing karena berkali-kali skripsi yang kita garap harus direvisi, direvisi, dan direvisi lagi. Karena tak mau repot dan pusing terus, kita pun menyewa seseorang untuk mengerjakan skripsi kita. Nah, orang yang kita sewa untuk mengerjakan skripsi itu juga bisa disebut ghostwriter, karena nama yang tercantum sebagai pembuat skripsi itu toh nama kita.


Kita, Agama dan Tuhan



Ketika kita tengah tidur di malam hari, apakah kita menyadari segala sesuatu yang terjadi di sekeliling kita? Tentu tidak. Karena itulah agama kemudian memberikan tuntunan agar kita berdoa menjelang tidur, memohon perlindungan Tuhan selama kita tertidur.

Lalu ketika kita telah sadar dan terjaga kembali, menjalankan semua aktivitas kita sehari-hari, apakah kemudian perlindungan Tuhan sudah tak lagi dibutuhkan? Tentu juga tidak, karena dalam begitu banyak hal yang terjadi di dunia ini, manusia begitu amat tergantung kepada Tuhan. Di sinilah seharusnya kita mulai menyadari bahwa kita ini benar-benar lemah dan tak berdaya tanpa campur tangan Tuhan di dalam kehidupan kita.

Lebih dari semuanya itu, bila manusia berdiri seorang diri, ia akan mudah sekali dikalahkan. Akan tetapi bila seorang manusia hidup dengan kekuatan Tuhan di dalamnya, ia tak kan terkalahkan oleh apapun, oleh siapapun.

Orang-orang yang memandang rendah terhadap aktivitas beragama seringkali menanyakan, “Untuk apa sih berdoa dan memohon kepada Tuhan? Semua itu tidak ada gunanya.”

Di dalam kehidupan kita yang begitu luas ini, tidak semua hal dapat kita pahami, sebagaimana juga kehidupan keagamaan kita. Ada cukup banyak hal menyangkut agama kita yang tidak bisa kita pahami dengan akal dan nalar kita yang amat sangat terbatas ini, namun kita percaya. Dan itulah yang dinamakan iman!

Apakah kita tahu mengapa mobil bisa berjalan? Oh, itu karena adanya percikan bunga api di dalam silinder yang menimbulkan letupan hingga mobil bisa berjalan. Nah, mengapa bunga api dalam silinder yang menimbulkan letupan itu bisa membuat mobil bisa berjalan? Kita tidak pernah mengetahuinya. Jangankan kita, bahkan General Motor, perusahaan besar yang telah banyak memproduksi mobil pun tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi meski mereka telah melakukan penelitian dan penyelidikan selama bertahun-tahun!

Kita tidak tahu bagaimana cara kerja listrik sebagaimana kita pun tak pernah tahu bagaimana cara kerja mesin motor. Namun toh kita bisa menggunakannya dan menikmatinya. Begitu pula dengan agama yang kita yakini ini. Saya tidak pernah tahu misteri di balik doa dan agama, tetapi saya dapat hidup secara lebih damai dan terarah dengan adanya doa dan agama. Lebih dari itu, agama telah membantu saya menemukan sebuah oase kedamaian di tengah-tengah badai pasir kehidupan.

Lebih dari empat ratus tahun yang lalu, filsuf Francis Bacon telah mengalami hal semacam itu saat ia mengatakan, “Filsafat yang dangkal membuat orang cenderung ke arah atheisme, tapi filsafat yang dalam akan membawa manusia kepada iman dan agama.”

Jika Tuhan tidak ada, dan jika agama tidak benar, maka hidup ini benar-benar tidak ada artinya. Oh, bahkan sungguh sebuah lelucon yang tragis!


Ketenangan di Dalam



Filsuf Immanuel Kant mengatakan, “Milikilah kepercayaan kepada Tuhan, karena kita membutuhkannya.”

Kita tentu pernah menyaksikan ombak yang bergulung-gulung dan membadai di permukaan laut. Namun jika kita mau menyelam ke dasarnya, maka kita akan menyaksikan bahwa jauh di dalamnya, air laut nampak begitu tenang.

Di dalam hidup yang begitu semrawut dan kacau-balau ini, dibutuhkan suatu ketenangan ‘di dalam’ batin. Dengan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, kita akan mampu memperoleh ketenangan hati itu dalam menghadapi semua ombak yang membadai di dunia kita. Tanpa ketenangan berdasarkan keyakinan itu, kita akan gersang dan mudah hancur. Banyaknya orang yang stres dan frustrasi serta menderita penyakit syaraf di jaman ini menunjukkan dengan jelas betapa dunia ini begitu membadai sementara orang-orang yang menghadapinya tidak pernah dapat menemukan ketenangan meskipun itu di dalam dirinya sendiri.

Dr. Alexis Carrel menyatakan, “Mereka yang memiliki dan menyimpan kedamaian di dalam lubuk hatinya di tengah-tengah keributan kota modern akan kebal terhadap penyakit-penyakit syaraf.”

Jika bumi bergerak dan alam semesta berputar, mengapa kita tidak menghubungkan diri kita dengan kekuatan penggerak yang memutar alam semesta ini?

Di dalam Mysticism: A Study in The Nature & Development of Man’s Spiritual Consiousness, Evelyn Underhill menulis, “Ketidaktahuan akan hukum-hukum spiritual adalah perbudakan. Pengetahuan akan hukum-hukum spiritual adalah kemerdekaan. Penerapan hukum-hukum spiritual adalah kearifan.”

Sementara ilmuwan hebat abad dua puluh, Albert Einstein menyatakan, “Emosi paling indah dan syahdu yang dapat kita alami adalah penginderaan hal-hal yang mistik. Ia adalah penabur ilmu pengetahuan sejati. Barangsiapa yang merasakan emosi itu asing, yang tidak lagi dapat merasakan ketakjuban, sama juga dengan mati. Keyakinan emosional yang mendalam tentang hadirnya kekuasaan nalar superior yang muncul di alam raya yang tidak terpahami ini telah membentuk gagasan saya tentang Tuhan.”


Hukum Keteraturan

Dunia ini teratur. Sekacau-balau apa pun yang terjadi di dalamnya, semuanya berjalan secara teratur, dan dengan teratur. Keteraturan adalah salah satu prinsip dan hukum kehidupan, karena dengan keteraturan itulah Tuhan menciptakan dunia dan seisinya.

Matahari teratur terbit setiap pagi dan tenggelam setiap malam, dan tak pernah berganti tempat terbitnya. Bumi berputar pada porosnya, dan tak pernah berubah durasi kecepatannya. Jarak antara matahari dengan bumi dari dulu sampai sekarang tetap seratus lima puluh juta kilometer, dan tak pernah sedikit pun mendekat atau menjauh. Sejak pertama kali diciptakan hingga jutaan tahun setelah penciptaannya, jarak itu tak pernah berubah dan tetap teratur.

Pernahkah kita membayangkan apa yang akan terjadi kalau jarak antara matahari dengan bumi didekatkan sedikiiiit saja? Semua manusia yang ada di bumi ini akan hangus terbakar. Dan apa yang sekiranya akan terjadi kalau jarak itu dijauhkan sedikiiiit saja? Semua manusia di bumi ini akan mati membeku!

Ada orang-orang tertentu yang mengatakan bahwa dunia ini terjadi dengan sendirinya. Mereka mengatakan bahwa dunia ini, bumi ini, adalah hasil dari suatu ledakan besar yang kemudian membentuk kehidupan. Ini sama saja dengan menafikan kehadiran dan penciptaan Tuhan.

Di dalam A Brief History of Time, Stephen Hawking menulis, “Selama jagad raya mempunyai awal, kita dapat mengandaikan bahwa ada penciptanya. Tetapi andaikata benar-benar jagad raya itu mandiri (self-contained), tanpa tapal batas ataupun pinggiran, tidak mempunyai awal maupun akhir, semata-mata ada begitu saja, lalu di manakah letak Sang Pencipta?”

Saya sering membuka buku kamus untuk keperluan penulisan buku-buku saya. Setiap kali membuka kamus, saya kagum dengan pola penyusunannya yang begitu teratur, alfabetis, runtut, dan... sekali lagi, sangat teratur. Tetapi tentu kamus yang begitu teratur itu tidak tercipta dengan sendirinya, kan? Karenanya, mengatakan bahwa tidak ada sumber kecerdasan dan kekuatan yang kita sebut sebagai Tuhan adalah seperti mengatakan bahwa buku kamus adalah hasil dari sebuah ledakan dalam suatu percetakan, yang semua isinya terkumpul secara sempurna dan seimbang dengan sendirinya.

Karena Tuhan Maha Teratur dan dunia yang diciptakan-Nya ini diciptakan dengan Hukum Keteraturan, maka satu-satunya jalan menyelaraskan diri dengan kehidupan dan Tuhan adalah hidup dengan cara yang sama teraturnya.

Kamis, 26 November 2009

Cintaku di Kampus yang Tak Biru

Hari-hari berlalu dan pergi, dan aku tetap di sini, di kampus tempatmu pernah hadir di dalamnya, merasakan yang kurasakan, memikirkan yang kupikirkan, dan mengerjakan yang kini kukerjakan.

Aku tahu saat-saat itu kau pasti tak punya waktu untuk teringat kepadaku, apalagi mengenang waktu saat kau masih bersamaku, karena semuanya telah menjadi bayang-bayang buram... yang mungkin juga ingin kaulupakan. Buku-buku tebal, makalah-makalah bertumpuk dan sekeranjang teori tentang kehidupan baru telah menyita isi otak, pikiran, bahkan mungkin hatimu, hingga tak sejengkal pun tersisa untukku. Kau mungkin telah melupakanku, melupakan segala yang pernah terjadi, meski sampai hari ini aku tetap mengenangmu, dan mengabadikan segala yang pernah terjadi.

Saat aku hadir di kampus ini, aku tahu kau telah tak ada lagi. Kau telah menghilang bersama sejuta impian baru untuk meninggalkan segala masa lalu, untuk membangun hidup yang benar-benar baru. Aku memasuki kampus ini hanya untuk menjumpai kehampaan tanpa dirimu, tanpa wujud indahmu yang kurindukan... tetapi wangimu masih tertinggal di sini.

Di sini, di kampus ini, aku tetap mencium harum keindahanmu meski kau tak ada lagi. Dan saat aku duduk di bangku taman ini, aku membayangkan kau juga pernah duduk di sini, pada suatu waktu, sekian tahun yang lalu... Aku merasa seperti napak tilas dalam bayang-bayang buram tak berwujud, tetapi aku meyakini itu bayangmu, itu wujudmu, karena... aku masih merasakan mencium harum wangi keindahanmu.

Aku memahami sepenuhnya, kinilah saatnya harus bisa menjalani hidupku sendiri yang utuh, tanpa kembali ke masa lalu dan terus terbelenggu pesonamu. Aku menyadari dengan segenap kesadaran bahwa inilah saatnya aku harus bisa melupakanmu, dan mencoba mencari penggantimu, mencari wangi lain untuk kucium, mencari keindahan lain untuk kupeluk, mencari bayang lain untuk kurengkuh, mencari cinta lain untuk kucintai... Tetapi tetap saja aku tak pernah bisa, aku tak pernah mampu. Kalau kau bisa melakukannya, tolong, tolong ajarilah aku....

Hidupku di kampus ini tak lama lagi. Keberadaanku di sini akan segera berakhir, dan aku pun akan kembali mengikutimu untuk masuk ke dalam hidup yang sebenarnya. Maklumat tentang itu bahkan telah tertancap dalam-dalam di lubuk hatiku yang paling dalam. Tetapi, bahkan sampai detik ini pun aku masih merasa gamang, aku terus merasa berada di ruang hampa, tanpa udara tanpa cahaya tanpa cinta.

Ke mana lagi harus kucari kedamaian itu? Ke mana lagi harus kulabuhkan kerinduanku...?

Aku sudah berupaya mencarinya, menggalinya, menantinya dengan sepenuh hati, tapi tak juga kutemui, tak juga kudapati. Aku sudah mencarinya di balik tembok-tembok kampus yang angkuh, tapi yang kudapati hanya wangimu yang tertinggal. Aku sudah mencarinya di antara tumpukan buku tebal dan membosankan, tapi yang kuperoleh hanya benih-benih baru dari sebuah kerinduan. Aku sudah mencarinya di antara sekian banyak diskusi yang panjang dan melelahkan, tapi yang kutemui hanyalah bayangmu yang membisu, dan tetap diam. Kau pernah ada di sini, kau pernah ada di kampus ini... dan hanya itulah yang hingga kini kumengerti.

Kepada kampus, kepada rak-rak buku di perpus, kepada pohon dan bunga di taman, kepada rumput, kepada lorong-lorong kelas dan bangku-bangku kasar, kepada bayangmu, juga kepada wangimu yang tertinggal, aku ingin menyatakan aku merindukanmu... aku merindukanmu....

Tolong, Tolonglah Aku…

Dari diaryku, waktu tak diketahui.

Aku adalah bocah yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, dan aku ketakutan di sini, kesepian, sendirian…

Aku telah lelah menjerit, memanggil-manggil siapa pun yang mungkin dapat mendengarku, untuk menolongku… Tapi tak ada yang datang—tak pernah ada yang datang. Sementara aku terus menjerit di sini, menangis di sini, kesepian dan sendirian di sini. Aku ingin keluar dari tubuh ini untuk bermain-main dengan bebas di duniaku yang tak terbatas, tapi aku terkurung dalam tubuh ini. Tolong, tolonglah aku…

....
....

Aku adalah orang tua yang terperangkap dalam tubuh seorang anak muda, dan aku kebingungan di sini, kesepian, gamang…

Aku telah mondar-mandir kesana-kemari, mencari jalan atau lorong atau pintu yang sekiranya dapat kugunakan untuk keluar dari tubuh ini, tetapi sampai waktu lama berlalu, pintu yang kucari tak pernah kutemukan, dan aku makin kebingungan, makin kesepian, makin gamang... Aku tak tahu harus berapa lama lagi terkurung dalam tubuh anak muda ini, dan aku ingin keluar… Tolong, tolonglah aku…

Tolong, tolonglah aku…

Tolong…

Tolonglah aku…

Lost in The Dark

Bayangkan dirimu memasuki perpustakaan umum, dan kau melihat perpustakaan tengah sepi pengunjung, selain seorang lelaki yang sedang duduk membaca buku di salah satu meja. Dia mengangkat mukanya saat melihatmu, dan kau pun tersenyum kepadanya.

Kau mulai mengitari rak-rak perpustakaan, mencari buku yang kauinginkan, kemudian duduk membaca di dekat lelaki tadi. Setelah beberapa saat membaca, kau meletakkan bukumu, menyandarkan punggungmu di kursi, dan kau melihat lelaki itu pun telah selesai membaca bukunya. Kau menyapanya dan mengajaknya bercakap-cakap—dan itulah kesalahan terbesarmu.

Lelaki itu tahu siapa dirimu, dia dapat membaca pikiranmu, dia bisa mengetahui seluruh hidupmu, siapa nama pacarmu, di mana rumahmu, apa pekerjaanmu, bahkan dia pun dapat meramalkan kapan saat kematianmu. Kau sedang berhadapan dengan seorang yang dapat membunuhmu tanpa harus menyentuhmu.

Dan tepat seperti yang diramalkan lelaki itu, kau pun tewas karena kecelakaan dalam kondisi yang amat parah. Kau bukan korbannya yang pertama, karena lelaki itu telah membunuh banyak orang sebelumnya tanpa harus menyentuh mereka.

Polisi-polisi di berbagai tempat berupaya menangkap pembunuh tak dikenal itu, siaran-siaran televisi mengumandangkan kehati-hatian, berita-berita di koran mengumumkan agar waspada, bahkan selebaran-selebaran resmi pun dicetak dan disebarkan dengan tujuan yang sama; menangkap sosok pembunuh itu.

Tetapi... bagaimana mungkin kau dapat menangkap seseorang yang dapat membaca pikiranmu, dan selalu tahu apa yang akan kaulakukan? Bagaimana mungkin kau dapat mengalahkan orang yang dapat membunuhmu, bahkan tanpa harus menyentuhmu...?

 
Lost in The Dark menantang imajinasi kita yang paling liar. Apa yang akan kaulakukan jika kau bisa membaca pikiran orang lain, dan dapat mengetahui seluruh hidup—bahkan menentukan kehidupan seseorang—hanya dengan melihat isi pikirannya? Ini bukan novel biasa—ini literatur rahasia kekuatan pikiran yang belum pernah kita bayangkan.
Deni Suryawinata, Jurnalis

Cerdas, tegang dan mencekam—dari awal sampai akhir...
Diany N. Natasha, Penulis dan Praktisi Media

Dia menguasai apa yang ditulisnya—itulah yang membuat buku ini terkesan begitu nyata sekaligus ilmiah, meski terus membuat kita tercekam dalam ketegangan cerita yang dibangunnya. Penuh pemaparan ilmiah dan trik kejutan yang tak pernah kita bayangkan—sungguh, saya tak bisa berhenti membacanya sejak membuka halaman pertama...
Xaverius Very, Penulis & Penggila Thriller

Kamis, 19 November 2009

Obrolan Bocah



“Apakah di sana itu tempatnya?”

“Ya, di sana itulah tempatnya.”

“Apakah di sini juga tempatnya?”

“Ya, di sini pula tempatnya.”

“Aneh, kan?”

“Oh, tidak ada yang lebih aneh dibanding ini.”


Serendipity: Sesuatu Tentang Hidup

Apa yang kita pungut dari kehidupan ini
adalah apa yang kita tanam di dalamnya.
Marion Hillard


Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang menilponmu, juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu, atau orang yang belum kaupacari. Bukan tentang siapa yang telah kaucium, olah raga apa yang kaumainkan, atau cowok atau cewek mana yang menyukaimu. Bukan tentang sepatumu, atau rambutmu, atau warna kulitmu, atau tempat tinggalmu, atau sekolahmu, atau kampusmu.

Bahkan juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, bukan tentang uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu. Hidup bukan sekadar apakah kau memiliki banyak teman, atau apakah kau seorang diri, dan bukan tentang apakah kau diterima atau tidak oleh lingkunganmu.

Hidup bukan sekadar tentang itu.

Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kaucintai dan kausakiti. Tentang bagaimana perasaanmu terhadap dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas asih.

Hidup adalah tentang menghindari rasa cemburu, iri hati, mengatasi rasa tidak peduli, dan membina kepercayaan. Tentang apa yang kaukatakan dan yang kaumaksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya. Dan yang terpenting, hidup adalah tentang memilih untuk menggunakan hidupmu untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain. Hidup adalah pilihan-pilihan itu.

....
....

Ya, bagi saya pribadi, hidup adalah tentang memilih untuk menggunakan hidup saya untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain. Ketika saya mulai mengenali hal itu, saya pun mulai menggunakannya sebagai salah satu misi hidup yang terpenting—menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain, ataupun oleh orang lain.

Dan hidup ini begitu menakjubkan, bukan? Ketika kita telah menemukan misi kita dalam hidup, maka hidup pun akan membawakan begitu banyak hal baru bagi kehidupan kita—hal-hal baru yang semakin memperkaya batin, sekaligus mendewasakan nalar kemanusiaan kita.

Ketika kita membuka pintu hati kita untuk orang lain, maka kehidupan pun akan membukakan pintunya untuk kita. Dan jika kehidupan telah membukakan pintunya untuk kita, tak ada seorang pun yang dapat menutupnya kembali.

Ketika kehidupan telah membentangkan pintunya untuk kita, tak ada lagi batas yang memisahkan antara diri kita dengan hidup—kita menyatu bersamanya. Dan apa yang lebih indah selain menyadari bahwa kita telah bisa menyatu dengan hidup...?

....
....

Salah satu misteri dalam kehidupan ini adalah sesuatu yang dalam literatur Barat disebut ‘serendipity’. Secara definitif, saya tidak dapat menemukan arti atau makna kata itu. Saya sudah mencoba mencari arti kata itu di kamus bahasa Inggris, namun tidak ada. Saya sudah mencoba mencarinya di kamus elektronik di komputer, namun ketika mengetikkan kata itu, arti yang muncul  adalah ‘serendipas’.

Nah, saya juga tidak tahu arti serendipas—saya pikir itu kosakata bahasa Indonesia yang tidak dikenal. Maka saya pun mencoba mencarinya di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Namun hasilnya nihil. Kamus yang besar itu sama sekali tak memuat suku kata ‘serendipas’. Rupanya, arti ‘serendipity’ sudah mengandung kemisteriusan tersendiri.

Nah, apa sesungguhnya definisi serendipity?

Saya sudah mencoba mencarinya dalam ratusan buku yang sekiranya memuat kata itu beserta definisinya, namun tidak berhasil menemukannya. Satu-satunya kalimat yang bisa dirujukkan untuk menjadi definisi serendipity adalah kalimat yang ditulis Kahlil Gibran dalam bukunya yang agung, The Prophet.

Di dalam The Prophet, saya menemukan kata-kata, yang bagi saya, mampu melukiskan serendipity. Inilah kata-katanya, “Jangan mengundang makan orang kaya ke rumahmu. Kau akan dibalas dengan undangan makan ke rumahnya. Undanglah orang miskin untuk makan ke rumahmu. Mereka tidak bisa membalasmu, maka alam yang akan membalasmu. Dan bila alam membalasmu, maka tunggulah datangnya keajaiban.”

Kata-kata yang ditulis Gibran itu bukan definisi serendipity, tetapi kata-kata itulah yang menurut saya paling tepat untuk dijadikan sandaran bagi serendipity.

Jadi, sekali lagi, apa serendipity itu? Sekarang kita mulai memiliki suatu bayangan. Bahwa ketika kita mengulurkan tangan pada orang lain yang tak mampu membalas uluran tangan kita, maka kehidupan ini yang akan membalasnya, kehidupan akan mengulurkan tangannya kepada kita. Dan jika kehidupan ini mengulurkan tangannya kepada kita, persoalan apa yang tak dapat kita atasi?

Begitu pun sebaliknya. Ketika kita melakukan kejahatan terhadap orang lain yang tak mampu membalas kejahatan kita, maka kehidupan ini pun yang akan membalasnya, kehidupan akan membalaskan kejahatan yang setimpal. Dan jika kehidupan ini melancarkan pembalasan kepada kita, kemanakah dapat bersembunyi, dan siapa yang sanggup menolong?

Ketika kita semakin menyelami kehidupan, kita semakin tahu betapa menakjubkannya hidup ini, dan betapa ajaibnya cara kehidupan mengatur dan menjalankan aturan-aturannya.

Tanamkanlah biji mangga ke dalam bumi yang kita tinggali, maka biji mangga itu tidak akan menumbuhkan pohon durian—ia akan menumbuhkan pohon mangga, sesuai biji benihnya. Begitu pun, segala hal dan perbuatan yang kita tanamkan dalam hidup ini, tepat seperti itulah yang akan diberikan hidup untuk kita. Jika kita menanamkan kebaikan, maka hidup akan memberikan kebaikan. Jika kita menanamkan kejahatan, maka hidup pun akan memberikan hal yang sama.

Sebagaimana biji mangga tidak akan menumbuhkan pohon durian, tepat seperti itulah kehidupan yang kita jalani, ia hanya merefleksikan yang telah kita tanamkan kepadanya.

Selama bertahun-tahun saya menyaksikan, betapa hidup yang kita jalani ini tak pernah berubah menjalankan hukum-hukumnya yang abadi. Saya menyaksikan seorang kawan yang melakukan tabrak lari, dan sekian waktu kemudian ia pun menjadi korban tabrak lari.

Begitu pun, saya menyaksikan tangan-tangan pemurah, yang penuh ketulusan terulur kepada orang yang membutuhkan, dan saya membuktikan bahwa kehidupan pun selalu mengulurkan tangan kepadanya. Tangan yang mengulurkan bunga harum kepada orang lain akan ikut berbau harum, meskipun bunga itu telah berpindah tangan.

Ketika kita menyadari hakikat hidup yang semacam itu, kita pun tak akan lagi mengatakan bahwa hidup tidak adil. Hidup sudah berlaku dengan sedemikian adil—ia hanya menumbuhkan benih yang ditanam, ia hanya merefleksikan yang pernah kita berikan.

Apakah kalau kau menyakiti seseorang, kemudian orang itu pasti akan membalas menyakitimu? Belum tentu! Tetapi saya hampir bisa memastikan suatu saat akan ada orang lain yang akan datang dalam hidupmu, dan kemudian menyakitimu. Kau akan menerima sesuatu yang tepat sama seperti yang pernah kauberikan—tak peduli kau menyadarinya atau tidak.

Begitu pun, ketika kau membahagiakan hati seseorang, atau membantu kesulitan seseorang. Mungkin orang yang kautolong tidak mampu membalas kebaikanmu. Tetapi kau bisa membuktikan ketika kau sendiri membutuhkan pertolongan, selalu ada orang-orang yang akan datang menolongmu—tak peduli kau menyadarinya atau tidak.

Hidup ini tidak buta. Ia selalu melihat tangan mana yang mengulurkan bunga kepada orang lain, ia pun selalu menyaksikan tangan mana yang menancapkan duri kepada orang lain. Siapa yang mengulurkan bunga akan ikut mendapatkan wanginya, siapa yang menancapkan duri akan ikut berdarah.

Terkadang, cara kehidupan ini membalas perbuatan kita tidak persis sama dengan yang (pernah) kita lakukan, namun pembalasan itu ada—dan itulah yang disebut serendipity. Tidak ada benih yang sia-sia. Semua benih yang ditanamkan akan menghasilkan buah—tak peduli buah kebaikan ataupun buah kejahatan.

Lebih dari dua ratus tahun yang lalu sebelum saya menulis catatan ini, filsuf Epictetus sudah menyatakan bahwa kita akan menuai apa yang kita tanam, dan bahwa nasib mengharuskan kita membayar kembali perbuatan jahat yang telah kita perbuat.

“Pada akhirnya nanti,” kata Epictetus, “setiap orang harus menebus hukuman atas perbuatan-perbuatannya yang salah. Jika orang selalu ingat hukum ini, ia pasti tidak akan marah kepada siapa pun, tidak akan dendam, tidak akan mencerca, tidak akan menyalahkan, tidak akan melukai hati, tidak akan benci, kepada siapa pun.”

Begitulah hukum kehidupan ini. Setiap orang akan menuai yang telah ditanamnya. Siapa yang memberi akan diberi, siapa yang merenggut akan direnggut. Siapa yang mengasihi akan dikasihi, siapa yang mencaci-maki akan dibalas caci-maki. Siapa yang setia akan dibalas cinta, siapa yang berkhianat akan dikhianati.

Siapa yang menyebar kebaikan akan menuai kebaikan, siapa yang menabur kejahatan akan menuai kejahatan. Siapa pun tak ada yang bisa lepas dari hukum kehidupan ini, karena siapa yang menabur... dialah yang akan menuai.

Berciuman Dengan Mata Terpejam

Kehidupan itu laksana air teh. Semakin rakus kita meminumnya,
semakin cepat pula kita sampai pada ampasnya.
James M. Barrie


Salah satu kekuatan terbesar di dunia ini adalah Cinta. Apa yang tak mampu dilakukan oleh Cinta ketika kekuatan yang lain tak sanggup melakukannya? Apa yang tak mampu dilakukan oleh Cinta ketika segala yang lain menyerah dan kalah? Cinta bukan hanya sekadar kekuatan, ia pun keajaiban—sebuah mukjizat.

Cinta menjadikan seorang perempuan lemah rela menanggung penderitaan kehamilan selama berbulan-bulan untuk kemudian merasakan sakitnya melahirkan, dan perjuangan selama berbulan-bulan lagi dalam merawat dan membesarkan bayinya. Cintalah yang menjadikannya tersenyum setelah merasakan kesakitan, cintalah yang membuatnya mampu terjaga sepanjang malam hanya untuk memastikan buah hatinya terlelap tanpa gangguan. Cintalah yang mampu menjadikannya sosok tegar yang rela meninggalkan kenikmatan tidur karena mendengar bayinya menangis di tengah malam.

Cinta pula yang menjadikan seorang lelaki yang terbiasa hidup bebas dan tak terikat menjadi sosok yang tak kenal lelah. Cintalah yang menjadikan seorang lelaki rela bekerja keras siang malam, mengucurkan keringat, air mata bahkan darah, demi bisa menyaksikan anak-istrinya bahagia.

Cintalah yang menjadikan seorang lelaki bahkan sampai melupakan dirinya sendiri demi bisa menyaksikan keluarganya tersenyum. Cinta pulalah yang mampu menjadikan seorang lelaki siap menerjang apa pun ketika telinganya mendengar suara kecil yang memanggilnya, “Ayah...”

Apa yang lebih kuat dan lebih menakjubkan dibanding Cinta...?

Di dalam buku Love, Medicine and Miracles, Dr. Bernie Siegel bahkan membuktikan salah satu penelitiannya menyangkut cinta yang unik berikut ini:

Di sebuah kota kecil di Eropa, sejumlah besar suami yang pergi bekerja dengan menggunakan mobil dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah para suami yang selalu dicium istrinya saat akan berangkat kerja, dan kelompok kedua adalah para suami yang tidak pernah dicium istrinya saat akan berangkat kerja.

Setelah beberapa tahun semenjak penelitian itu pertama kali dilakukan, terbukti sesuatu yang amat mencengangkan. Para suami yang selalu dicium istrinya saat akan berangkat kerja lebih kecil kemungkinannya mengalami kecelakaan di jalan, sementara para suami yang tidak pernah dicium istrinya saat berangkat kerja lebih sering mengalami kecelakaan di jalan!

Tentu saja kita boleh meragukan hasil penelitian ini. Namun, betapa pun juga, ciuman, pelukan, dan belaian—secara langsung maupun tak langsung—memberikan pengaruh terhadap kualitas hubungan manusia.

Nah, omong-omong soal ciuman, terkadang saya bertanya-tanya sendiri—mengapa sih kaum perempuan biasanya memejamkan mata ketika berciuman?

Tentu saja kaum lelaki juga terkadang memejamkan mata saat berciuman, namun perempuan lebih sering—dan hampir bisa dipastikan. Ada lebih banyak perempuan yang memejamkan mata saat berciuman dari pada yang tidak. Pertanyaannya, mengapa?

Saya sudah mencoba menanyakan hal itu pada banyak perempuan, dan jawaban dari mereka semua bisa disimpulkan dalam kalimat yang luar biasa ini, “Perempuan memejamkan mata ketika berciuman, karena sadar sedalam-dalamnya bahwa keindahan di dalam jauh lebih meneduhkan dan mendamaikan dibanding keindahan di luar.”

Jadi, dalam hal berciuman, perempuan lebih mampu menghayatinya dibandingkan lelaki.

Tetapi, sebenarnya itu pulalah yang terjadi dalam kehidupan kita ini—kalau saja kita juga mau menghayatinya—bahwa keindahan di dalam lebih meneduhkan dan lebih mendamaikan dibanding ‘sekadar’ keindahan di luar.

Dewasa ini, kita hidup dalam sebuah dunia yang sedemikian maju dan amat kompetitif. Sebegitu kompleksnya, sampai-sampai kebanyakan manusia yang hidup di zaman sekarang mengalami sebuah kebingungan dan kepanikan batin. Mereka sudah tak bisa lagi berjalan dengan tenang dan damai, tapi terus-menerus berpacu dengan semrawut. Dan kemudian, di atas segala-galanya, manusia yang hidup dalam peradaban sekarang telah menjadikan uang—materi—di atas segala-galanya.

Ada jutaan orang yang hidup hari ini berpacu dengan waktu hanya untuk mengejar hal yang satu itu—uang, materi, kekayaan. Mereka berpikir bahwa dengan uang, mereka akan mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian hidup. Tetapi kebanyakan mereka lupa bahwa kebahagiaan dan kedamaian dimulai dari dalam—dari hati, dari batin, dari jiwa. Tanpa kebahagiaan dan kedamaian di dalam, uang sebanyak apa pun dan kekayaan sebesar apa pun tak akan sanggup menghadirkan kebahagiaan dan kedamaian hidup.

Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa uang tidak penting. Yang ingin saya katakan adalah; bahwa sebanyak apa pun uang yang kita miliki, selamanya kita akan merasakan hidup yang kering tanpa kebahagiaan selama kita belum mampu menumbuhkan kebahagiaan di dalam hati terlebih dulu. Sebesar apa pun kekayaan yang kita miliki, selamanya kita akan hidup dalam kegersangan tanpa kedamaian selama belum mampu merasakan kedamaian di dalam batin.

Mengapa Marilyn Monroe lebih memilih mengakhiri hidupnya sendiri, bahkan ketika dia berada di puncak popularitasnya sebagai artis? Karena dia merasakan kekeringan batin di tengah-tengah gemerlapnya popularitas dan kekayaannya! Dia tidak kekurangan uang, tidak kekurangan pengagum dan pemuja, dia pun tidak kekurangan harta benda. Tetapi Marilyn Monroe lebih memilih bunuh diri, bahkan ketika dunia tengah berada dalam telapak tangannya.

Orang-orang yang lebih memfokuskan pandangannya keluar dan melupakan kesejatiannya di dalam, selamanya akan tetap merasakan kekeringan dan kegersangan meskipun dunia beserta isinya telah menjadi miliknya. Sebagaimana kita memejamkan mata saat berciuman, seharusnya begitu pulalah kita dalam menghayati kehidupan.

Jika kita bisa menghayati kebahagiaan saat tidak memiliki apa-apa, maka kebahagiaan itu akan tetap bersama kita ketika telah memiliki sesuatu. Tetapi jika kita menyangka kebahagiaan adalah jika telah memiliki sesuatu, maka selamanya kebahagiaan tak akan pernah menjadi milik kita.

Apabila kita mendasarkan kebahagiaan hidup pada hal-hal di luar diri kita, maka kebahagiaan hanya akan seperti bayang-bayang. Ia begitu tampak dalam pandangan mata, tetapi segera menjauh saat kita bergerak mendekatinya. Sebaliknya, jika kita mendasarkan kebahagiaan hidup di dalam batin kita, maka hidup pun akan seperti dasar samudera. Sebesar apa pun gejolak dan badai yang terjadi di permukaan, dasar samudera tetap hening dan selalu tenang.

Sebagaimana kita memejamkan mata saat berciuman, begitu pun seharusnya kita dalam memeluk kehidupan.

Minggu, 15 November 2009

Karena Hidup adalah Soal Pilihan

Kita berusaha menghindari membuat pilihan-pilihan dengan
tidak melakukan apa pun, tapi itu pun sesungguhnya suatu pilihan.
Gary Collins


Kita pasti sudah sering mendengar seseorang mengatakan, “Hidupku ini mengalir, seperti air,” atau yang semacam itu. Intinya, orang-orang yang mengatakan hidupnya mengalir seperti air itu secara tak langsung ingin menyatakan bahwa mereka bukanlah orang yang ngoyo dalam menjalani hidup, bahwa mereka adalah orang yang hanya mengikuti apa maunya hidup; mengalir seperti air.

Tentu saja orang berhak untuk memegang atau menjalani atau mempercayai filosofi hidupnya masing-masing. Begitu pula dengan orang-orang yang menjadikan air mengalir sebagai filosofi hidupnya. Saya sendiri terkadang membayangkan hidup ini memang mengalir seperti air—ia tak pernah berhenti bergerak, ia terus mengalir dan mengalir. Sebagaimana air, laju atau perjalanan hidup tak bisa dibendung, karena jika dibendung maka ia akan mencari celah lain untuk terus mengalir.

Sampai kemudian saya melihat, atau lebih tepat lagi memahami, bahwa hidup seorang manusia memiliki perbedaan yang sangat esensial dengan air. Meskipun hidup dan kehidupan manusia mengalir, tetapi cara mengalirnya amat berbeda dengan cara mengalirnya air. Hidup tidak sekadar mengalir, dan manusia memiliki pilihan untuk mengalirkan dirinya, untuk mengalirkan kehidupannya. Air tidak memiliki pilihan, sementara manusia selalu memiliki pilihan, serta diberi kekuatan untuk memilih.

Ketika air mengalir, ia mengalir kemana saja, ke celah mana pun selama memungkinkan, tak peduli mengalir ke sungai yang bersih ataupun mengalir ke comberan yang kotor. Air tidak memiliki pilihan, ia hanya mengalir—sebatas mengalir.

Tetapi berbeda dengan manusia, atau lebih tepatnya dengan hidup manusia. Manusia memiliki pilihan untuk mengalirkan kehidupannya, dan ia selalu memiliki hak untuk memilih di dalamnya. Ketika hidup mengalir ke tempat yang tidak diinginkannya, manusia (selalu) bisa mengubah haluannya.

Saya pun menggunakan kekuatan pilihan saya ketika menulis di blog ini. Sebagai manusia, khususnya sebagai penulis, sebenarnya saya telah memiliki ‘celah-celah’ yang disediakan oleh kehidupan ini untuk mengalirkan p(em)ikiran-p(em)ikiran saya. Celah-celah itu bisa berupa penerbit buku, penerbit surat kabar, majalah, ataupun media-media lain yang memungkinkan serta memberikan kesempatan pada siapa saja yang ingin menyumbangkan karya tulisnya.

Tetapi ada kalanya ‘celah-celah’ tersebut tidak memungkinkan saya untuk mengalirkan sesuatu yang tengah bergejolak dalam pikiran saya. Ada kalanya yang ingin saya sampaikan tidak sejalan dengan yang mereka inginkan, ada kalanya sesuatu yang ingin saya alirkan bertabrakan dengan kepentingan mereka. Hal-hal semacam itu tentu bukan sesuatu yang aneh, karena perbedaan sudah menjadi hukum alam kehidupan, bahwa apa yang dipikirkan seseorang belum tentu dapat diterima oleh pikiran lainnya.

Karenanya, saya pun menulis di blog ini, sebagai salah satu bentuk pilihan dalam mengalirkan yang ingin saya alirkan dalam kehidupan saya. Karena, seperti halnya air, ketika ia merasa terbendung oleh sesuatu maka ia pun akan mencari celah lain yang dapat digunakannya untuk terus mengalir. Dan sebagaimana air yang mengalir, ada kalanya air itu dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya, namun ada kalanya pula menjadi sarana pencemaran lingkungan. Untuk hal itu, saya berharap tidak menjadi si pencemar.

Blog ini adalah salah satu tempat saya mengalirkan apa saja yang ingin saya alirkan dari pikiran, dan saya berharap aliran pikiran di blog ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Tetapi, sebagaimana air yang tak terhitung banyaknya di dunia, blog ini pun bukan apa-apa; hanya satu di antara sekian juta blog lain, dan sungguh bukan blog yang istimewa. Blog ini hanya ditulis oleh orang yang biasa-biasa saja. Atau, lebih tepat lagi, oleh orang biasa-biasa saja yang memilih untuk menggunakan pilihannya….

 
;