Minggu, 15 November 2009

Karena Hidup adalah Soal Pilihan

Kita berusaha menghindari membuat pilihan-pilihan dengan
tidak melakukan apa pun, tapi itu pun sesungguhnya suatu pilihan.
Gary Collins


Kita pasti sudah sering mendengar seseorang mengatakan, “Hidupku ini mengalir, seperti air,” atau yang semacam itu. Intinya, orang-orang yang mengatakan hidupnya mengalir seperti air itu secara tak langsung ingin menyatakan bahwa mereka bukanlah orang yang ngoyo dalam menjalani hidup, bahwa mereka adalah orang yang hanya mengikuti apa maunya hidup; mengalir seperti air.

Tentu saja orang berhak untuk memegang atau menjalani atau mempercayai filosofi hidupnya masing-masing. Begitu pula dengan orang-orang yang menjadikan air mengalir sebagai filosofi hidupnya. Saya sendiri terkadang membayangkan hidup ini memang mengalir seperti air—ia tak pernah berhenti bergerak, ia terus mengalir dan mengalir. Sebagaimana air, laju atau perjalanan hidup tak bisa dibendung, karena jika dibendung maka ia akan mencari celah lain untuk terus mengalir.

Sampai kemudian saya melihat, atau lebih tepat lagi memahami, bahwa hidup seorang manusia memiliki perbedaan yang sangat esensial dengan air. Meskipun hidup dan kehidupan manusia mengalir, tetapi cara mengalirnya amat berbeda dengan cara mengalirnya air. Hidup tidak sekadar mengalir, dan manusia memiliki pilihan untuk mengalirkan dirinya, untuk mengalirkan kehidupannya. Air tidak memiliki pilihan, sementara manusia selalu memiliki pilihan, serta diberi kekuatan untuk memilih.

Ketika air mengalir, ia mengalir kemana saja, ke celah mana pun selama memungkinkan, tak peduli mengalir ke sungai yang bersih ataupun mengalir ke comberan yang kotor. Air tidak memiliki pilihan, ia hanya mengalir—sebatas mengalir.

Tetapi berbeda dengan manusia, atau lebih tepatnya dengan hidup manusia. Manusia memiliki pilihan untuk mengalirkan kehidupannya, dan ia selalu memiliki hak untuk memilih di dalamnya. Ketika hidup mengalir ke tempat yang tidak diinginkannya, manusia (selalu) bisa mengubah haluannya.

Saya pun menggunakan kekuatan pilihan saya ketika menulis di blog ini. Sebagai manusia, khususnya sebagai penulis, sebenarnya saya telah memiliki ‘celah-celah’ yang disediakan oleh kehidupan ini untuk mengalirkan p(em)ikiran-p(em)ikiran saya. Celah-celah itu bisa berupa penerbit buku, penerbit surat kabar, majalah, ataupun media-media lain yang memungkinkan serta memberikan kesempatan pada siapa saja yang ingin menyumbangkan karya tulisnya.

Tetapi ada kalanya ‘celah-celah’ tersebut tidak memungkinkan saya untuk mengalirkan sesuatu yang tengah bergejolak dalam pikiran saya. Ada kalanya yang ingin saya sampaikan tidak sejalan dengan yang mereka inginkan, ada kalanya sesuatu yang ingin saya alirkan bertabrakan dengan kepentingan mereka. Hal-hal semacam itu tentu bukan sesuatu yang aneh, karena perbedaan sudah menjadi hukum alam kehidupan, bahwa apa yang dipikirkan seseorang belum tentu dapat diterima oleh pikiran lainnya.

Karenanya, saya pun menulis di blog ini, sebagai salah satu bentuk pilihan dalam mengalirkan yang ingin saya alirkan dalam kehidupan saya. Karena, seperti halnya air, ketika ia merasa terbendung oleh sesuatu maka ia pun akan mencari celah lain yang dapat digunakannya untuk terus mengalir. Dan sebagaimana air yang mengalir, ada kalanya air itu dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya, namun ada kalanya pula menjadi sarana pencemaran lingkungan. Untuk hal itu, saya berharap tidak menjadi si pencemar.

Blog ini adalah salah satu tempat saya mengalirkan apa saja yang ingin saya alirkan dari pikiran, dan saya berharap aliran pikiran di blog ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Tetapi, sebagaimana air yang tak terhitung banyaknya di dunia, blog ini pun bukan apa-apa; hanya satu di antara sekian juta blog lain, dan sungguh bukan blog yang istimewa. Blog ini hanya ditulis oleh orang yang biasa-biasa saja. Atau, lebih tepat lagi, oleh orang biasa-biasa saja yang memilih untuk menggunakan pilihannya….

 
;