Kehidupan itu laksana air teh. Semakin rakus kita meminumnya,
semakin cepat pula kita sampai pada ampasnya.
—James M. Barrie
semakin cepat pula kita sampai pada ampasnya.
—James M. Barrie
Salah satu kekuatan terbesar di dunia ini adalah Cinta. Apa yang tak mampu dilakukan oleh Cinta ketika kekuatan yang lain tak sanggup melakukannya? Apa yang tak mampu dilakukan oleh Cinta ketika segala yang lain menyerah dan kalah? Cinta bukan hanya sekadar kekuatan, ia pun keajaiban—sebuah mukjizat.
Cinta menjadikan seorang perempuan lemah rela menanggung penderitaan kehamilan selama berbulan-bulan untuk kemudian merasakan sakitnya melahirkan, dan perjuangan selama berbulan-bulan lagi dalam merawat dan membesarkan bayinya. Cintalah yang menjadikannya tersenyum setelah merasakan kesakitan, cintalah yang membuatnya mampu terjaga sepanjang malam hanya untuk memastikan buah hatinya terlelap tanpa gangguan. Cintalah yang mampu menjadikannya sosok tegar yang rela meninggalkan kenikmatan tidur karena mendengar bayinya menangis di tengah malam.
Cinta pula yang menjadikan seorang lelaki yang terbiasa hidup bebas dan tak terikat menjadi sosok yang tak kenal lelah. Cintalah yang menjadikan seorang lelaki rela bekerja keras siang malam, mengucurkan keringat, air mata bahkan darah, demi bisa menyaksikan anak-istrinya bahagia.
Cintalah yang menjadikan seorang lelaki bahkan sampai melupakan dirinya sendiri demi bisa menyaksikan keluarganya tersenyum. Cinta pulalah yang mampu menjadikan seorang lelaki siap menerjang apa pun ketika telinganya mendengar suara kecil yang memanggilnya, “Ayah...”
Apa yang lebih kuat dan lebih menakjubkan dibanding Cinta...?
Di dalam buku Love, Medicine and Miracles, Dr. Bernie Siegel bahkan membuktikan salah satu penelitiannya menyangkut cinta yang unik berikut ini:
Di sebuah kota kecil di Eropa, sejumlah besar suami yang pergi bekerja dengan menggunakan mobil dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah para suami yang selalu dicium istrinya saat akan berangkat kerja, dan kelompok kedua adalah para suami yang tidak pernah dicium istrinya saat akan berangkat kerja.
Setelah beberapa tahun semenjak penelitian itu pertama kali dilakukan, terbukti sesuatu yang amat mencengangkan. Para suami yang selalu dicium istrinya saat akan berangkat kerja lebih kecil kemungkinannya mengalami kecelakaan di jalan, sementara para suami yang tidak pernah dicium istrinya saat berangkat kerja lebih sering mengalami kecelakaan di jalan!
Tentu saja kita boleh meragukan hasil penelitian ini. Namun, betapa pun juga, ciuman, pelukan, dan belaian—secara langsung maupun tak langsung—memberikan pengaruh terhadap kualitas hubungan manusia.
Nah, omong-omong soal ciuman, terkadang saya bertanya-tanya sendiri—mengapa sih kaum perempuan biasanya memejamkan mata ketika berciuman?
Tentu saja kaum lelaki juga terkadang memejamkan mata saat berciuman, namun perempuan lebih sering—dan hampir bisa dipastikan. Ada lebih banyak perempuan yang memejamkan mata saat berciuman dari pada yang tidak. Pertanyaannya, mengapa?
Saya sudah mencoba menanyakan hal itu pada banyak perempuan, dan jawaban dari mereka semua bisa disimpulkan dalam kalimat yang luar biasa ini, “Perempuan memejamkan mata ketika berciuman, karena sadar sedalam-dalamnya bahwa keindahan di dalam jauh lebih meneduhkan dan mendamaikan dibanding keindahan di luar.”
Jadi, dalam hal berciuman, perempuan lebih mampu menghayatinya dibandingkan lelaki.
Tetapi, sebenarnya itu pulalah yang terjadi dalam kehidupan kita ini—kalau saja kita juga mau menghayatinya—bahwa keindahan di dalam lebih meneduhkan dan lebih mendamaikan dibanding ‘sekadar’ keindahan di luar.
Dewasa ini, kita hidup dalam sebuah dunia yang sedemikian maju dan amat kompetitif. Sebegitu kompleksnya, sampai-sampai kebanyakan manusia yang hidup di zaman sekarang mengalami sebuah kebingungan dan kepanikan batin. Mereka sudah tak bisa lagi berjalan dengan tenang dan damai, tapi terus-menerus berpacu dengan semrawut. Dan kemudian, di atas segala-galanya, manusia yang hidup dalam peradaban sekarang telah menjadikan uang—materi—di atas segala-galanya.
Ada jutaan orang yang hidup hari ini berpacu dengan waktu hanya untuk mengejar hal yang satu itu—uang, materi, kekayaan. Mereka berpikir bahwa dengan uang, mereka akan mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian hidup. Tetapi kebanyakan mereka lupa bahwa kebahagiaan dan kedamaian dimulai dari dalam—dari hati, dari batin, dari jiwa. Tanpa kebahagiaan dan kedamaian di dalam, uang sebanyak apa pun dan kekayaan sebesar apa pun tak akan sanggup menghadirkan kebahagiaan dan kedamaian hidup.
Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa uang tidak penting. Yang ingin saya katakan adalah; bahwa sebanyak apa pun uang yang kita miliki, selamanya kita akan merasakan hidup yang kering tanpa kebahagiaan selama kita belum mampu menumbuhkan kebahagiaan di dalam hati terlebih dulu. Sebesar apa pun kekayaan yang kita miliki, selamanya kita akan hidup dalam kegersangan tanpa kedamaian selama belum mampu merasakan kedamaian di dalam batin.
Mengapa Marilyn Monroe lebih memilih mengakhiri hidupnya sendiri, bahkan ketika dia berada di puncak popularitasnya sebagai artis? Karena dia merasakan kekeringan batin di tengah-tengah gemerlapnya popularitas dan kekayaannya! Dia tidak kekurangan uang, tidak kekurangan pengagum dan pemuja, dia pun tidak kekurangan harta benda. Tetapi Marilyn Monroe lebih memilih bunuh diri, bahkan ketika dunia tengah berada dalam telapak tangannya.
Orang-orang yang lebih memfokuskan pandangannya keluar dan melupakan kesejatiannya di dalam, selamanya akan tetap merasakan kekeringan dan kegersangan meskipun dunia beserta isinya telah menjadi miliknya. Sebagaimana kita memejamkan mata saat berciuman, seharusnya begitu pulalah kita dalam menghayati kehidupan.
Jika kita bisa menghayati kebahagiaan saat tidak memiliki apa-apa, maka kebahagiaan itu akan tetap bersama kita ketika telah memiliki sesuatu. Tetapi jika kita menyangka kebahagiaan adalah jika telah memiliki sesuatu, maka selamanya kebahagiaan tak akan pernah menjadi milik kita.
Apabila kita mendasarkan kebahagiaan hidup pada hal-hal di luar diri kita, maka kebahagiaan hanya akan seperti bayang-bayang. Ia begitu tampak dalam pandangan mata, tetapi segera menjauh saat kita bergerak mendekatinya. Sebaliknya, jika kita mendasarkan kebahagiaan hidup di dalam batin kita, maka hidup pun akan seperti dasar samudera. Sebesar apa pun gejolak dan badai yang terjadi di permukaan, dasar samudera tetap hening dan selalu tenang.
Sebagaimana kita memejamkan mata saat berciuman, begitu pun seharusnya kita dalam memeluk kehidupan.