Rabu, 20 Juli 2022

Bella Swan Bukan Mbakyu

Apa yang dihadirkan Bella Swan dalam Twilight?
Benar. Kekacauan, kekacauan, kekacauan, 
kekacauan, kekacauan, kekacauan, kekacauan...
@noffret


Tokoh-tokoh utama dalam kisah—novel, film, dan semacamnya—umumnya sosok mengesankan, hingga membuat kita terkesan, kagum, bersimpati, atau bahkan jatuh cinta. Ada banyak sekali tokoh semacam itu, dan dunia cerita tak pernah kehabisan tokoh baru yang menawan serta mengesankan. Tokoh-tokoh semacam itu bisa muncul dari cerita fantasi, drama, misteri, dan lain-lain.

Dari ranah fantasi modern, kita bisa menyebut Harry Potter, bocah yatim piatu yang tumbuh menjadi penyihir hebat—satu-satunya orang yang mampu mengakhiri riwayat Lord Voldemort. Membaca kisah Harry Potter, mau tak mau kita terkesan, atau bersimpati kepadanya. Kita melihat kisah hidupnya, kepribadiannya, keteguhannya, dan semua yang ia lakukan sungguh mengesankan.

Bahkan meski kita disuguhi tujuh novel dengan ketebalan luar biasa, kita tidak bosan menikmati cerita Harry Potter. Karena kisah sangat panjang itu ditulis dengan luar biasa. Juga karena kita terkesan dan bersimpati pada tokoh utama, serta tokoh-tokoh pendukungnya. 

Kalau kita tidak menyukai seorang tokoh, bagaimana kita akan tertarik mengetahui perjalanan hidupnya? Jelas, kita tertarik pada Harry Potter, sang tokoh, sehingga kita tertarik mengikuti kisahnya.

Selain Harry Potter, ada juga Katniss Everdeen, dalam kisah Hunger Games. Dia hidup di dunia yang dibangun dari sisa peradaban, yang dijalankan dengan sistem diktatorial. Sekali dalam setahun, pemerintah pusat meminta “tumbal” dari masing-masing distrik, untuk dipertarungkan dalam Hunger Games. 

Katniss Everdeen dikenali dari acara berdarah itu, saat ia maju menggantikan adiknya yang terpilih. Bahkan sejak awal kemunculannya, Katniss sudah mampu membuat kita terkesan. 

Selama perjalanan kisah Hunger Games, Katniss Everdeen menunjukkan kepribadian yang tidak goyah, bahwa penderitaan seberat apa pun tidak mampu membuat jiwanya tergadai. Bahkan ketika terjebak di antara dua pria yang sama-sama mencintainya, Katniss Everdeen tidak terperangkap dalam kisah konyol yang membuat kita ingin mencibir. 

Membaca seluruh cerita Hunger Games, atau menonton seri filmnya, mau tak mau kita mengakui bahwa Katniss Everdeen adalah mbakyu.

Kalau mau, kita bisa menginventarisir tokoh-tokoh lain, dari kisah-kisah lain, dari genre-genre lain, dan hampir bisa dipastikan kita akan selalu menemukan tokoh utama yang manusiawi tapi mengagumkan, atau yang membuat kita terkesan. Entah karena kepribadiannya, atau karena perjuangan dan perjalanan hidupnya. 

Tokoh utama adalah kunci! Kalau kita bisa menciptakan seorang tokoh yang mengesankan, kita bisa yakin orang-orang akan tertarik membaca kisah terkait sang tokoh.

Sayangnya, kenyataan semacam itu tidak saya temukan ketika membaca novel serial Twilight, yang ditulis Stephenie Meyer. Kita tahu, tokoh utama dalam serial Twilight adalah Isabella Swan, yang biasa disapa Bella Swan. Bahkan, melalui sang tokoh utama pula, Stephenie Meyer menggerakkan cerita yang ia tulis (karena serial itu menggunakan kata ganti orang pertama, dalam hal ini menggunakan sudut pandang Bella Swan.)

Twilight adalah serial yang sangat panjang, bahkan novel-novelnya pun suangat tebal—sungguh mengagumkan mendapati cerita yang ditulis dari sudut pandang orang pertama bisa setebal itu. Meski ceritanya sangat panjang, dan novel-novel serial itu sangat tebal, bisa dibilang intinya sepele. Yaitu hubungan segitiga antara Bella Swan, Edward Cullen, dan Jacob Black.

Bella Swan adalah putri seorang polisi bernama Charlie—lelaki yang baik, orang yang sederhana. Orang tua Bella bercerai, dan Bella hidup bersama sang ayah. Seiring perjalanan cerita, Bella Swan bertemu Edward Cullen, lelaki dengan kegantengan tak masuk akal, yang belakangan diketahui ternyata sesosok vampir. Bersamaan dengan itu, Bella juga menjalin hubungan dengan Jacob Black, lelaki lain yang belakangan diketahui ternyata manusia serigala.

Jadi, Bella Swan—sang tokoh utama—mewakili dunia manusia. Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga manusia, dan menjalani kehidupan sebagai manusia. Edward Cullen mewakili dunia vampir. Ia memiliki keluarga yang seluruhnya vampir, yang—menurut Stephenie Meyer—menjalani gaya hidup “vegetarian” alias tidak meminum darah manusia, dan hanya mengonsumsi darah hewan. Jacob Black mewakili dunia serigala. Ia tumbuh dalam komunitas yang sama-sama manusia serigala.

Jalan cerita selanjutnya bisa ditebak. Bella terjebak dalam cinta segitiga, meski dia mungkin tidak mau mengakui. Dalam kisah yang dituturkan dari sudut pandang Bella, kita tahu dia saling jatuh cinta dengan Edward Cullen, dan tetap melanjutkan hubungan dengan lelaki itu meski menyadari Edward ternyata vampir, bukan manusia seperti dirinya. Di sisi lain, Bella juga tampak memberi harapan pada Jacob Black, si bocah serigala, meski jelas-jelas telah menjalin cinta dengan Edward.

Sudah, intinya cuma itu.

Dan inti cerita yang bisa dibilang “biasa-biasa saja” itu diceritakan dalam kisah bertele-tele, hingga suangat panjang sekali, dalam novel-novel yang luar biasa tebal. 

Tolong maafkan saya, jika catatan ini mungkin terdengar sinis. Sebagai pembaca serial Twilight, terus terang, saya nyaris mati bosan selama membaca kisah tersebut. Saya sengaja baru menulisnya sekarang, setelah heboh Twilight sudah lama berlalu, agar catatan ini tidak terlalu frontal (khususnya bagi penggemar Twilight.) 

Bella Swan, yang menjadi tokoh utama, sekaligus penggerak serial Twilight, bisa dibilang bukan tokoh mengesankan, khususnya di mata saya. Sebegitu tidak mengesankan, hingga saya heran campur tidak paham, mendapati dua lelaki bisa cinta mati kepadanya, bahkan rela berperang—jika itu memang diharuskan—untuk mendapatkan Bella. 

Bella Swan, dalam pandangan saya, adalah perempuan biasa—seperti umumnya perempuan yang bisa kita temui di mana-mana; yang kadang berbicara melantur, terlalu dikuasai perasaan, dengan emosi naik-turun tidak jelas, cenderung egois dan tolol. Pendeknya, ya itu tadi, perempuan biasa. 

Jadi, sebagai pembaca, saya bertanya-tanya, bagaimana bisa perempuan biasa seperti itu sampai membuat dua lelaki—yang satu vampir, satunya lagi serigala—berperang untuk bisa mendapatkannya?

Setelah memikirkan kenyataan itu sangat lama, saya sampai pada kesimpulan, bahwa Stephenie Meyer memang sengaja menciptakan karakter Bella Swan sebiasa mungkin—seperti umumnya perempuan biasa—karena tujuan serial itu memang membuat khayalan para perempuan melambung tinggi; segmen pembaca yang ia sasar. Dan tujuannya tercapai, karena sebagian besar—untuk tidak menyebut semua—penggemar serial Twilight memang perempuan.

Stephenie Meyer tidak bermaksud mengenalkan tokoh hebat yang membuat kita kagum, atau pejuang pemberani yang membuat pembaca terkesan, atau pun wanita luar biasa yang membuat kita jatuh cinta kepadanya. Tidak, “visi” Stephenie Meyer jauh lebih sederhana dari itu. Dia hanya ingin menciptakan sosok perempuan biasa—sebiasa perempuan umumnya—tapi perempuan biasa itu diperebutkan dua lelaki yang rela melakukan apa pun demi bisa memilikinya!

Oh, well, benar-benar khas perempuan!

Karenanya, meski saya (sebagai pembaca lelaki) menganggap Bella Swan sangat tidak menarik, dan menilai kisah Twilight terlalu bertele-tele sekaligus membosankan, tapi jutaan perempuan di mana-mana menyukai Bella Swan, dan menikmati ceritanya. Karena, bagi kebanyakan perempuan, kisah Twilight—dan tentu saja sosok Bella Swan—mereprensetasikan diri mereka, bahkan merepresentasikan impian serta khayalan mereka.

Perempuan mana pun ingin seperti Bella Swan. Bahkan, umpama mereka diminta memilih; menjadi Bella Swan dalam Twilight atau menjadi Katniss Everdeen dalam Hunger Games, saya yakin mereka akan memilih menjadi Bella!

Padahal, perbandingan itu bisa dibilang sejajar. Katniss Everdeen, sebagaimana Bella Swan, juga dicintai dua lelaki yang sama-sama baik. Bedanya, Bella Swan memiliki kisah indah penuh bunga dan kemewahan, sementara Katniss Everdeen memiliki kisah penuh kepahitan dalam perjuangan. Jelas, jauh lebih banyak perempuan yang ingin menjadi Bella Swan, daripada menjadi Katniss Everdeen.

Dan siapa yang tidak ingin menjadi Bella? Dia perempuan biasa. Sekali lagi, sebiasa perempuan yang bisa kita temui di mana-mana. Teman perempuanmu di kampus, bisa jadi lebih hebat dari Bella Swan. Kakak atau adik perempuanmu di rumah, bisa jadi lebih istimewa dari Bella Swan. Perempuan-perempuan yang kita kenal di sekitar, bisa jadi lebih mengagumkan dari Bella Swan. 

Bella Swan, sekali lagi dalam pandangan saya, hanyalah perempuan biasa. Dan perempuan biasa itu diperebutkan dua lelaki yang bersedia melakukan apa saja, lalu Bella Swan memilih satu di antara mereka. 

Tentu saja dia memilih Edward Cullen yang lebih kaya, dengan keluarga lebih beradab. Setelah menjadi kekasih Edward, Bella Swan diperlakukan dengan penuh kemanjaan seolah dia satu-satunya perempuan di muka bumi. Perempuan mana yang tidak ingin seperti itu?

Bahkan sampai di situ pun, Stephenie Meyer belum puas mempermainkan khayalan para pembacanya. Meski Bella telah jelas memilih Edward—bahkan belakangan menikah—Jacob Black tidak dilepaskan begitu saja. Dalam banyak bagian kisah, kita tahu, Bella Swan seperti terus memberi harapan pada Jacob, hingga bocah serigala itu tampak seperti orang tolol yang tak bisa bersikap. Meski Bella telah menjadi istri Edward, Jacob seperti terus menguntit kehidupan mereka. Lucu—untuk tidak menyebut konyol.

Tetapi, kekonyolan seperti itulah yang diimpikan rata-rata perempuan. Mereka ingin seperti Bella. Mereka ingin diperebutkan. Mereka ingin diperlakukan seperti ratu. Mereka ingin ada lelaki tolol yang terus berharap memilikinya, meski dia telah menikah. Mereka ingin melakukan apa pun—sekonyol dan segila apa pun—tapi tetap dianggap indah, dan tetap membuat pemujanya tergila-gila. 

Oh, well, benar-benar khas perempuan!

Jadi, ketika serial Twilight digilai banyak perempuan di dunia, saya pun—akhirnya—memahami. Karena kisah seperti itulah yang diinginkan rata-rata perempuan. Yaitu kisah tentang perempuan biasa yang diperebutkan lelaki-lelaki luar biasa, yang bersedia melakukan apa saja untuknya, yang memperlakukan dia seolah satu-satunya perempuan di dunia, dan yang memiliki akhir kisah, “Mereka pun bahagia selama-lamanya.” 

Dan setelah nyaris mati bosan karena membaca serial panjang Twilight yang sangat bertele-tele itu, saya pun sampai pada kesimpulan penting yang saya pikir dunia harus tahu: Bella Swan bukan mbakyu.

Masyarakat Utopia

Mungkinkah kita membangun masyarakat “utopia”, tempat semua orang hidup damai dan sejahtera, tidak ada kemiskinan, tidak ada kejahatan, dan semua orang menjalani kehidupan dengan baik?

Jawabannya mungkin saja. Salah satu contohnya adalah masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul Aziz adalah Khalifah ke-8 Dinasti Umayyah, dan dia membangun sistem masyarakat yang luar biasa, hanya dalam waktu 2 tahun. Di bawah kepemimpinannya, semua orang hidup sejahtera, hingga waktu itu mereka sulit menemukan orang miskin yang mau menerima zakat.

Kekayaan negara (di Baitul Mal) waktu itu berlimpah-limpah, dan Khalifah kebingungan menggunakannya, karena semua orang sudah kaya! Dan kekayaan serta kesejahteraan itu merata, dari atas sampai bawah, hingga tidak ada orang yang merasa “terzalimi” atau tidak puas.

Bagaimana Umar bin Abdul Aziz bisa menciptakan “masyarakat utopia” semacam itu? Pertama, keadilan hukum benar-benar ditegakkan, termasuk pada dirinya sendiri. Kedua, negara benar-benar mendukung rakyat untuk tumbuh dan berkembang, dan pangkas pajak serendah-rendahnya! Cuma itu!

Dan Umar bin Abdul Aziz tampaknya benar-benar pemimpin yang mampu memikirkan semua hal dengan baik. Dia tidak hanya menciptakan kehidupan masyarakat yang kaya dan sejahtera, tapi juga mengubah tanah-tanah gersang menjadi hijau dan subur, serta keadilan menjadi pilar negara.

Well, aku teringat Umar bin Abdul Aziz, karena barusan makan batagor.

Lhah, apa hubungannya?

Hubungannya di sini: Surga Ada di Bawah Telapak Kaki Penjual Batagor » https://bit.ly/2EDtVct


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Mei 2019.

Today I Learned

Ada banyak istilah atau singkatan populer di media sosial, dan favoritku adalah TIL—Today I Learned.

Omong-omong soal TIL. Appeuuh...

Ada istilah Inggris yang sering digunakan di medsos, tapi keliru, dan kita mungkin tidak tahu atau tidak sadar kalau itu keliru. Agar kekeliruan ini tidak sampai terwariskan ke generasi setelahnya—hingga dianggap kebenaran—aku ingin berbagi soal ini. 

Sambil nunggu udud habis.

Yang paling populer, istilah “endorse”. Istilah itu berasal dari “endorsement”, yang artinya "dukungan". Istilah “endorse” sering digunakan secara keliru, dan bisa jadi akan mempermalukan diri sendiri—secara profesional—kalau kebetulan kita menggunakannya di forum/acara resmi.

Kalau misal kita mempromosikan suatu produk—sebut saja Produk X—artinya kita “meng-endorse Produk X”, bukan “di-endorse Produk X”. 

Kalau kita berbicara di forum resmi, “Saya di-endorse Produk X”, itu sama saja mempermalukan diri sendiri, dan akan membingungkan audiens.

Contoh paling gamblang terkait soal ini adalah endorsement pada produk buku. 

Ketika sebuah buku akan terbit, kadang pihak penulis/penerbit akan meminta endorsement dari beberapa orang (biasanya sesama penulis, atau tokoh perbukuan) yang dinilai tepat untuk memberi endorsement.

Ketika kita memberi endorsement untuk suatu buku (dalam bentuk kalimat apresiasi, mirip iklan ala-ala selebtwit atau selebgram), itu artinya kita “meng-endorse buku tersebut”, bukan “di-endorse buku tersebut”. 

Menyebut “saya di-endorse buku” benar-benar terdengar konyol.

Istilah endorse ini mencapai puncak kekacauan ketika Jerinx SID menuduh “beberapa artis di-endorse Covid-19”. 

Mohon maaf, Bli Jerinx, istilah yang tepat adalah “mereka meng-endorse Covid-19”—bukan “mereka di-endorse Covid-19”—itu pun kalau memang benar begitu kenyataannya.

Selain endorse, istilah lain yang sebenarnya keliru—tapi mungkin sudah dianggap benar—adalah “boring”. 

Kita tahu, istilah Inggris itu sebenarnya berarti “membosankan”. Sementara “bosan” adalah “bored”. Kalau kita bilang, “Aku boring banget”, artinya “Aku membosankan sekali.”

Asal usul istilah boring ini pada mulanya benar—itu dimulai menjelang era 2000-an, ketika [masih] digunakan secara tepat, sesuai konteksnya. 

Misal, dalam acara kumpul bersama teman-teman, seseorang berkata, “Boring banget, ya.” Penggunaan istilah “boring” di situ tepat.

Ketika seseorang berkata pada teman-temannya, “Boring banget, ya,” yang ia maksudkan adalah suasana kumpul-kumpul tersebut (yang terasa boring/membosankan), dan biasanya ucapan itu dilanjutkan dengan ide untuk menjadikan acara mereka lebih menarik—agar tidak boring/membosankan.

Lama-lama, istilah “boring” mirip “endorse”, digunakan secara keliru/salah kaprah. Dan sekarang kedengarannya baik-baik saja kalau kita mendengar orang mengatakan, “Aku lagi boring!” (Artinya, “Aku sedang membosankan.”) Padahal yang ia maksud, “Aku lagi bosan!” (I’m bored!)

Yang ingin kuocehkan sebenarnya masih panjang, karena ada banyak istilah lain yang juga digunakan secara keliru, dan ocehan ini mungkin baru selesai tahun 2345. Tapi ududku habis. 

Omong-omong, WiFi itu bacanya “wayfay”, bukan “wayfi”.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Jul 2021.

Manusia dan Masalah

Saat menghadapi masalah, manusia terbagi ke dalam 2 golongan. Golongan pertama menganggap masalah sebagai masalah, dan mereka serius memikirkan solusi/pemecahannya. Golongan kedua menganggap masalah sebagai bukan masalah, dan mereka cenderung menggampangkan atau menyepelekannya.

Kita tentu sudah biasa mendengar atau bahkan mengalami sendiri; ada orang berutang, tapi ndableg tidak juga mengembalikan. Ketika ditagih, ada saja alasannya, atau bahkan sampai marah pada orang yang uangnya ia pinjam. Itu contoh orang yang menggampangkan/menyepelekan masalah.

Jika orang menganggap masalah sebagai masalah, ia akan punya kesadaran dan bertanggung jawab atas utang yang harus dibayar, dan bukan malah menggampangkan apalagi bertingkah seolah tak punya utang. Fakta banyak orang seperti itu, menunjukkan kalau kehidupan kita bermasalah.

Kehidupan kita bermasalah, jika orang-orang di sekeliling kita adalah orang yang menganggap masalah sebagai bukan masalah. Karena, langsung atau tak langsung, kita pasti akan terkena dampaknya. Dalam contoh mudah adalah utang yang tak juga dibayar, dan malah ngamuk saat ditagih.

Kapan pun ada orang menganggap masalah sebagai bukan masalah—yang menjadikannya cenderung menggampangkan dan menyepelekan masalah—orang-orang di sekelilingnya akan terkena dampaknya. Semakin tinggi posisi orang itu dalam kehidupan sosial, semakin luas dampak yang ditimbulkan.

Jika seorang suami atau seorang istri punya kecenderungan menggampangkan masalah, pasangan dan anak-anaknya (keluarganya) akan terkena dampak. Jika seorang Ketua RT/RW punya kecenderungan menggampangkan masalah, orang se-RT atau se-RW akan terdampak. Dan begitu seterusnya.

Saat ini, kita bahkan sedang mengalami hal semacam itu. Pemerintah kita terkesan menggampangkan masalah terkait wabah corona yang menyerang banyak negara, meski telah diingatkan sejak awal. Akibat pemerintah kita menggampangkan masalah, rakyat satu negara terkena dampaknya.

Sekarang negara kita panik dan kelabakan, ketika corona benar-benar masuk, dan kita menyaksikan sendiri yang terjadi. Semuanya panik, karena tak ada persiapan, tak ada antisipasi yang matang. Bukan hanya pemerintah yang panik, tapi juga kita; rakyat yang mengikuti pemerintah.

Andai sejak awal pemerintah mau melihat masalah sebagai masalah, dan bukan malah menggampangkannya, cerita yang terjadi mungkin akan berbeda. Dibanding negara-negara lain, Indonesia termasuk belakangan yang kena corona. Kita sebenarnya punya banyak waktu untuk persiapan.

Sayangnya, seperti yang disebut tadi, pemerintah terkesan menggampangkan, bahkan terlalu percaya diri. Tentu kita semua berharap Indonesia tidak sampai kemasukan corona. Tapi harapan membutuhkan kesiapan yang realistis. Karena doa yang paling khusyuk pun membutuhkan usaha.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Maret 2020.

Dan Itu Menakjubkan

Sambil nunggu udud habis, aku ingat sesuatu.

Sebuah masjid di Hyderabad, India, diubah menjadi tempat untuk menampung pasien covid-19 yang terus bertambah. Sementara dua sekolah yang terhubung dengan masjid tersebut dimanfaatkan untuk tempat isolasi pasien covid, lengkap dengan tempat tidur, oksigen, peralatan medis, dll.

Yang menarik dari fenomena itu adalah lenyapnya kasta ketika seseorang (di)masuk(kan) ke sana. Di India, ada sistem kasta yang menempatkan seseorang lebih tinggi atau lebih rendah. Ketika pasien covid-19 masuk ke masjid tadi, semua sistem kasta lenyap. Semua orang setara.

Dan itu menakjubkan, menurutku.

Sementara itu, mulai sekarang, seluruh masjid di Arab Saudi dilarang menggunakan pengeras suara (toa), selain untuk azan dan iqamat. Suara imam salat hanya boleh terdengar oleh jemaah salat. Begitu pula acara-acara pengajian di masjid, tidak boleh menggunakan pengeras suara.

Alasan larangan penggunaan toa masjid, karena suara-suara keras itu bisa mengganggu masyarakat. Itu di Arab Saudi lho, ya—negara yang menjalankan syariat Islam, tempat keberadaan dua kota suci umat Islam (Mekah dan Madinah), bahkan tempat Kakbah yang jadi kiblat muslim sedunia.

Dan itu, sekali lagi, menakjubkan—menurutku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Juni 2021.

Minggu, 10 Juli 2022

Orang-Orang di Internet

Rupanya, era internet mengubah jam kerja 
yang semula 7 jam di siang hari menjadi 24 jam. 
Tadi dapat e-mail dari media di Indonesia, pukul 23.00. 
Setengah jam kemudian e-mail kubalas, 
dan barusan mereka kembali membalas. 
Benar-benar cara kerja zaman now. I like this!
@noffret


Bertahun lalu, Eric Schmidt dan Jared Cohen menulis buku berjudul “The New Digital Age”. Dalam buku itu, mereka menyatakan bahwa kelak “the world’s breaking news” akan datang dari platform seperti Twitter, bukan lagi dari media mainstream. “Kelak” itu sekarang terjadi.

Selain Twitter, media sosial lain yang sangat berpengaruh saat ini adalah Facebook, dan miliaran orang nongkrong di sana. Sekian juta orang menulis di Facebook, panjang lebar, penuh detail—padahal tidak dibayar. Tapi mereka senang melakukannya, dan terus melakukan.

Kenyataan itu pernah memberi ide pada beberapa bocah di Jepang. Mereka menciptakan platform citizen journalism bernama OhMyNews!, dan membayar siapa pun yang mau menulis di platform tersebut. Bayarannya 300 yen per tulisan.

Bocah-bocah Jepang itu berpikir, “Jutaan orang menulis di Facebook, dan mereka melakukan itu padahal tidak dibayar. Jika kita tawari bayaran untuk menulis di OhMyNews!, mereka pasti akan senang hati melakukannya.” 

Dengan modal besar, ide itu pun diluncurkan.

Platform OhMyNews! dirancang semirip mungkin dengan Facebook, dan siapa pun boleh menulis di sana. Dengan bayaran, tentu saja. Iklannya gencar di Facebook, waktu itu, mengundang siapa pun yang suka menulis di media sosial tersebut, agar pindah ke OhMyNews!. 

Platform OhMyNews! tidak memasang syarat macam-macam. Cukup mendaftar sebagai anggota, lalu menulislah sesukamu! Per tulisan, akan dibayar 300 yen. Sudah, hanya itu. (Di Indonesia, platform itu mungkin mirip Kompasiana atau Kaskus—semacam itu).

Dan apakah jutaan orang di Facebook lalu hijrah ke OhMyNews!, sebagaimana yang mereka bayangkan? Sayangnya, tidak! Memang ada segelintir orang dari Facebook yang lalu masuk ke OhMyNews!, dan menulis di sana, dan mendapat bayaran. Tapi jumlahnya sangat sedikit.

OhMyNews! bahkan kemudian ditutup karena dinilai tidak menjanjikan. Sementara Facebook, yang sama sekali tidak membayar siapa pun yang menulis di sana, justru terus mendapat tambahan pengguna yang juga aktif menulis. Bagaimana “keanehan” semacam itu bisa terjadi?

Belakangan, saya merasa déjà vu, ketika kumparan [dotcom] lahir di Indonesia, dan mengusung konsep serupa OhMyNews!. Bedanya, kumparan menggaji para jurnalis tetap, dan tidak hanya mengandalkan pengguna, hingga mereka mampu eksis sampai sekarang, bahkan terus membesar.

Kompasiana, sebagai contoh, tidak membayar orang yang menulis di sana, bahkan—menurut saya—menulis di Kompasiana tergolong ribet, karena ada setumpuk syarat, dan tulisanmu bisa di-take down secara sepihak, dengan alasan apa pun. Tapi banyak orang terus menulis di sana.

Kira-kira, apa motivasi orang menulis di Kompasiana? Tentu saja bukan uang! Bisa jadi untuk eksistensi, mengerjakan tugas kuliah (ada dosen yang menugaskan mahasiswa untuk menulis di blog, termasuk di Kompasiana), dan lain-lain. Tapi yang jelas bukan bertujuan uang.

Orang-orang yang menulis di Kompasiana mungkin sebelas dua belas dengan orang-orang yang menulis di Facebook. Cenderung untuk kesenangan, menjalin komunikasi dan hubungan dengan orang lain, plus sedikit motivasi terkait eksistensi. Itu jenis motivasi yang jauh dari uang.

Karenanya, ketika bocah-bocah Jepang mendirikan OhMyNews! dengan maksud “memindahkan” orang-orang dari Facebook ke platform mereka, konsep itu sudah cacat sejak awal. Orang yang melakukan sesuatu untuk bersenang-senang tidak bisa dirayu dengan uang—kecuali sangat banyak!

Dalam perspektif saya, ada tiga jenis orang yang eksis di internet. Yang pertama, semata karena ingin eksis (biasanya aktif di berbagai media sosial). Yang kedua, karena uang (mereka menjadikan internet sebagai sumber uang). Yang ketiga, perpaduan dari keduanya. (Mungkin ada pula jenis keempat, yang menggunakan internet untuk mendokumentasikan pikiran dan sekadar bersenang-senang—setidaknya, itulah yang saya lakukan.)

Orang jenis pertama, yang semata ingin eksis, tidak bisa ditarik agar pindah ke platform kita, kecuali kita punya platform sebesar dan sepopuler Facebook. Mereka bahkan tidak bisa dirayu dengan iming-iming uang. Kasus tutupnya OhMyNews! bisa menjadi bukti nyata. 

Sebaliknya, ada orang-orang yang aktif di internet untuk mendapatkan uang. Mereka biasanya tidak peduli eksistensi (dalam arti mereka tidak peduli popularitas), karena yang mereka cari di internet memang bukan hal-hal semacam itu, melainkan murni mencari uang.

Orang-orang yang saya kenal, yang menghasilkan uang dari internet, rata-rata tidak peduli eksistensi atau popularitas—karena mereka sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya. Mereka tidak peduli terkenal atau tidak, yang penting uang terus mengalir ke rekening!

Sementara saya aktif di internet untuk sekadar mendokumentasikan pikiran, yang tak bisa saya lakukan di dunia nyata. Saya tidak bisa diiming-imingi popularitas, karena tidak butuh. Saya juga tidak bisa dirayu dengan uang... kecuali sangat banyak!

Cara Paling Efektif agar Orang Tergerak Melakukan yang Kita Inginkan

Baru selesai nonton podcast Deddy Corbuzier
yang menantang Ivan Gunawan menurunkan berat badan,
20 kg dalam 3 bulan. Hadiahnya Rp500 juta.

Apakah Ivan Gunawan akan berhasil?
Kemungkinan besar dia akan berhasil. Karena
taruhannya Rp500 juta. Uang besar adalah motivasi besar.
@noffret


Dulu, saya pernah membaca buku karya Tung Desem Waringin, “Financial Revolution”, dan ada satu bagian yang selalu saya ingat, tentang alasan orang tergerak melakukan sesuatu. Tung Desem menggunakan contoh sederhana: Bisakah kita menurunkan berat badan 10 kg dalam sehari?

Rata-rata orang mungkin akan berpikir, “Tidak bisa!” Boro-boro menurunkan berat badan 10 kg dalam sehari, dalam sebulan saja belum tentu bisa! 

Tapi bagaimana kalau kita ditawari uang Rp1 miliar, jika bisa menurunkan berat badan 10 kg dalam sehari?

Seketika, pikiran kita berubah! Karena ada tawaran uang Rp1 miliar jika bisa menurunkan berat badan 10 kg dalam sehari, kita mulai berpikir bagaimana cara agar bisa melakukannya. Kita tergerak melakukan sesuatu, karena ada alasan/motivasi yang kuat.

Ini sama dengan yang terjadi pada Ivan Gunawan. Dia ditantang Deddy Corbuzier untuk menurunkan berat badan 20 kg dalam 3 bulan. Hadiahnya Rp500 juta (setengah miliar). Apakah Ivan Gunawan berhasil melakukannya? Jelas!

Bisa melihat pelajaran penting di sini? Ivan Gunawan tidak butuh uang—dia sudah kaya-raya! Tapi dia tetap tergerak ketika disodori uang. Apa artinya itu? Bagi saya sangat jelas; sesuatu yang mampu menggerakkan dan memotivasi orang dengan sangat kuat adalah uang. Maksud saya, uang yang banyak!

Sering kali, orang baru tergerak melakukan sesuatu jika ada alasan/motivasi yang kuat. Ivan Gunawan, atau kita semua—sama. Kita tidak bisa memaksa, memanipulasi, atau merisak orang lain untuk melakukan sesuatu. Orang hanya mau tergerak jika ada alasan kuat!

Umpama seseorang to the point menawari saya, “Kalau kamu bersedia melakukan ini, aku beri lima ratus juta.” Kemungkinan besar saya akan tergerak, karena taruhannya besar, dan itu memberi alasan kuat. Tapi kalau tawarannya cuma “lima ratus ribu perak”, mending saya tidur saja. Sudah receh, banyak drama!

Dulu, ketika pandemi masih menggila, saya benar-benar tidak ingin keluar rumah. Boro-boro ke tempat jauh, ke warung makan saja malas! Tapi lalu ada tawaran menarik, dan tiba-tiba saya berpikir, “Persetan dengan pandemi!” Saya tergerak, berangkat. Karena cek yang saya terima bernilai besar.

Tempo hari, saya terikat kontrak eksklusif dengan suatu platform media, dan kontrak itu melarang saya menulis [secara komersial] di tempat lain, bahkan di situs saya sendiri (Belajar Sampai Mati)—sampai masa kontrak selesai (12 Juni 2022). Kenapa saya mau? Oh, sederhana saja. Bayarannya sangat besar! 

Karenanya, kadang saya berpikir. Jangankan melakukan hal-hal biasa—yang bisa dilakukan kebanyakan orang—kita bahkan bisa melakukan hal-hal yang “hampir mustahil”, jika ada alasan atau motivasi kuat yang melatari. Kita tergerak jika ada alasan kuat! 

Jadi, jika kita ingin orang lain melakukan sesuatu yang kita inginkan, pikirkan pertanyaan ini, “Tawaran apa yang bisa membuatnya tergerak?” Jika kita tidak bisa menjawab pertanyaan itu secara objektif, tidak usah heran kalau dia tidak tertarik melakukan yang kita inginkan.

Hanya ada satu—dan satu-satunya—cara yang efektif agar orang mau melakukan sesuatu yang kita inginkan: Beri dia sesuatu yang menarik, yang membuatnya tergerak... dan dia akan melakukannya! Kamu bisa mencoba cara lain, kalau mau, dan kamu bisa mencobanya sampai mati.

Bersiap untuk Pulang

Bersiap-siap untuk pulang.

Waktu yang dijalani bersama kadang mengikat orang dengan orang lain begitu erat, dan kita merasa berat saat akhirnya harus berpisah dengannya. 

Aku bukan orang yang mudah akrab dengan orang lain. Tapi setelah keakraban dan kedekatan terjadi, perpisahan terasa sakit.

Sebulan sudah aku meninggalkan rumah, dan “petualangan” ini dimulai suatu hari, sekitar dua bulan yang lalu, saat seseorang menelepon. Dia berkata, “Aku di kotamu sekarang. Sedang makan di Foodpedia.” Dia lalu menyebut nama dua orang yang juga kukenal. “Datanglah ke sini.”

Foodpedia adalah nama kafe dengan tempat parkir luas—sebenarnya ada di Batang, tetangga kotaku, dan jaraknya cukup jauh dari rumahku. Tapi aku langsung menuju ke sana, dan kami—empat orang—kemudian bercakap-cakap menyenangkan, sampai lama, sebagaimana para bocah.

Dua minggu setelah itu, aku meninggalkan rumah, dan pergi ke tempat yang ditentukan. Agak riskan, sebenarnya, karena sedang pandemi. Tapi kadang ada hal-hal yang tak bisa dikerjakan di rumah, dan aku harus benar-benar keluar, meninggalkan sarangku yang nyaman, untuk bepergian.

Kini, urusanku di sini sudah selesai. Aku sudah bisa pulang... dan melanjutkan hidupku yang sunyi, seperti biasa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Agustus 2021.

Pikiran Capek

Kalau badan capek, pikiran belum tentu ikut capek. Tapi kalau pikiran capek, biasanya badan ikut capek. Setidaknya, aku begitu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Mei 2022.

Bandung Sekali Lagi

Bdg skl lg.

Jumat, 01 Juli 2022

Tidak Berbakat Jadi Orang Terkenal

Kalian gak suka buah apa?
@VICE_ID

Buah bibir.
@noffret


"Buah bibir", kita tahu, adalah ungkapan untuk "bahan/topik pembicaraan". Omong-omong soal buah bibir...

Sambil nunggu udud habis.

Pernah aku baca Quora, karena tak sengaja nemu artikel tentang “apa pendapatmu tentang artis anu”. Dari situ, muncul pendapat dari banyak Quoran (pengguna Quora), dari satu artis ke artis lain, dan begitu seterusnya, dan ada banyak hal yang mungkin kurang enak, yang lalu terkuak.

Beberapa Quoran menceritakan pengalaman bertemu langsung dengan artis-artis/selebritas tertentu, dan mereka mendapat kesan negatif. Rata-rata menceritakan, “Ternyata artis anu cuma kelihatan ramah di televisi/media sosial. Waktu ketemu langsung, ternyata sombong!” Dan semacamnya.

Waktu membaca pengalaman-pengalaman itu, aku positive thinking saja. Bisa jadi, artis yang dituduh judes/sombong itu kebetulan sedang stres atau banyak pikiran, sehingga sulit beramah-tamah. Atau sedang terburu-buru. Atau sedang bad mood. Bisa jadi dia aslinya baik dan ramah.

Terlepas apakah artis/selebritas/orang terkenal yang dibahas di Quora memang ramah atau tidak, pendapat-pendapat itu jadi salah satu latar belakang kenapa aku memilih menjadi “orang tak dikenal”. Karena, setidaknya menurutku, jadi orang terkenal itu berat—aku tidak akan mampu.

Orang yang terkenal—sebenarnya, istilah yang lebih tepat adalah “orang yang dikenal”—harus selalu siap memasang wajah ramah, murah senyum, kapan pun, di mana pun, saat berhadapan dengan siapa pun. Terlepas apakah kau artis, penulis, selebgram, YouTuber, kau harus begitu!

Karena kalau kau tidak tersenyum, orang-orang yang mengenalmu akan kecewa. Kalau kau tidak menunjukkan sikap ramah, mereka bisa sakit hati. 

Pengalaman-pengalaman yang kubaca di Quora menunjukkan hal itu. Hanya karena artis anu tidak tersenyum, ada yang kecewa dan terluka.

Dalam hal itu, aku menyadari, aku tidak mampu menjadi orang terkenal (dikenal). Aku tidak mampu jika harus selalu memasang wajah ramah, murah senyum, pandai berbasa-basi dengan siapa pun—aku tidak punya kemampuan semacam itu! Atau mungkin punya, tapi kemampuan itu sudah hilang.

Saat ini, misalnya, aku sedang khusyuk mengerjakan sesuatu yang sangat menguras pikiran, dan aku terus menerus stres. Ketika stres, wajahku seperti orang marah (murung). Kalau aku ketemu seseorang, dia pasti akan mengira aku marah kepadanya—padahal aku sedang stres karena kerja.

Hanya karena itu, aku sampai memilih tidak keluar jika kebetulan sedang ada tetangga di depan rumah. Karena, kalau aku keluar, aku tentu harus menyapanya. Jika aku menyapa dalam kondisi stres—dan mukaku seperti orang marah—dia bisa salah sangka, dan mengira aku marah kepadanya.

Dulu ada tetangga yang datang ke rumah untuk suatu keperluan. Dia mengetuk pintu, dan aku pun ke depan untuk membukakan. Kebetulan, waktu itu, aku sedang stres, jadi mukaku kayak orang marah. Si tetangga ini kelihatan tidak enak, karena mungkin mengira aku marah kepadanya.

Dengan latar semacam itu—sering stres hingga wajah seperti orang marah—aku jelas tidak berbakat jadi orang terkenal! Kalau sedang stres, aku benar-benar kesulitan untuk memasang wajah ramah, apalagi tersenyum, apalagi basa-basi dengan orang lain. Untunglah, aku bukan siapa-siapa.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 8445. Tapi admin Vice—yang bikin pertanyaan tadi—pasti sudah mokat. Jadi percuma juga kulanjutkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 September 2021.

Awkarin Ngobrol dengan Raditya Dika

Omong-omong soal pertemanan...

Sambil nunggu udud habis.

Secara pribadi, aku lebih tertarik dan lebih nyaman berteman dengan orang yang biasa-biasa saja. Karena aku menilai diri sendiri sebagai orang yang biasa-biasa saja. Dan burung berkumpul dengan yang berbulu sama. Orang biasa-biasa saja berkumpul dengan orang biasa-biasa saja.

Kenyamanan berinteraksi hingga kenyamanan berteman dengan seseorang itu timbul, biasanya, karena kita merasa “sama”. Tidak ada upaya membuat terkesan satu sama lain—ya karena sama. Karena merasa “sama”, kita pun nyaman berkomunikasi, berteman, tanpa khawatir "gak nyambung".

Karenanya, misal—sekali lagi, misal lho ini—aku berteman dengan artis, kemungkinan kami gak cocok. Karena dia orang terkenal, sementara aku orang biasa. Dia terbiasa disorot kamera, sementara aku bukan siapa-siapa. Gaya hidup kami jelas berbeda, bahkan mungkin bertolak belakang.

Ngemeng soal ini, aku teringat percakapan Awkarin dengan Raditya Dika. Mereka sama-sama orang terkenal, kan? Meski begitu, Radit ngomong ke Karin, “Gua ngerasa kita nggak cocok banget, menurut gua. ... Nah, pikiran gua kayaknya nggak cocok juga nih kalau nongkrong bareng lu. ...

“Nih misalnya, kemarin gua ngelihat lu pergi rame-rame. Naik perahu tuh, gua ngelihatin di IG Story lu, kan. Wah, terjun, lah. Nyebur, lah. Terus di pantai... Terus gua mikir, ‘Itu kalau gua di sana, gua ngapain, ya?’ Paling gua di pojok, diem gitu, karena rame banget gitu, lho.”

Yang dikatakan Raditya Dika itu persis sama seperti yang akan kukatakan, jika aku ngobrol dengan Awkarin, atau selebritas lain. Padahal Raditya Dika orang terkenal, kan? Dan jika Radit yang terkenal saja “sadar diri” kalau dia tidak akan cocok, apalagi aku yang bukan siapa-siapa?

Burung berkumpul dengan yang berbulu sama. Ada burung yang berkumpul dengan banyak kawanan, ada pula burung yang hanya berkumpul dengan satu dua burung lain. Sedikit ataupun banyak kawan mereka, biasanya memiliki bulu yang sama. Karena pertemanan butuh kenyamanan.

Jadi, kalau sewaktu-waktu kamu menemukan orang yang tampaknya tidak bisa diajak berteman, jangan buru-buru berprasangka buruk. Bisa jadi, dia menilaimu sosok istimewa yang lebih tinggi darinya, dan dia lebih nyaman berteman dengan orang yang biasa-biasa saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Desember 2022.

Fuller, Buckminster Fuller

Omong-omong soal journaling, aku teringat pada Buckminster Fuller, salah satu orang paling mengagumkan yang pernah hidup di planet ini.

Sambil nunggu udud habis.

Richard Buckminster Fuller adalah arsitek, penulis, desainer, pencipta, teoretikus, dan—di atas semuanya—visioner. Dia juga pemimpin Mensa (organisasi khusus orang-orang dengan IQ tertinggi di dunia), sejak 1974 hingga 1983. Sama seperti kebanyakan genius lain, dia juga "gila".

Salah satu kegilaannya yang terkenal, dia suka memakai tiga jam tangan sekaligus. Alasannya agar selalu menghargai waktu, di mana pun dia berada. Kedisiplinannya pada waktu, ditunjang otaknya yang memang luar biasa, memungkinkan Fuller melahirkan karya-karya berskala raksasa.

Nyatanya, Buckminster Fuller melahirkan banyak karya mengagumkan, di berbagai bidang keahliannya. Dari rancangan mobil canggih yang melampaui zaman, peta yang sangat rumit namun detail, sampai Kubah Geodesik yang memukau. Dia semacam Leonardo DaVinci era 1900-an.

“Kegilaan” Fuller yang sangat inspiratif—bahkan mungkin tidak ada yang mengalahkannya—adalah journaling. Dari tahun 1920 sampai akhir hayatnya pada 1983, Fuller menulis pemikiran dan jurnal hidupnya dengan sangat detail, yang terus diperbarui setiap 15 menit!

Selama enam puluh tiga tahun rutin menulis jurnal setiap 15 menit, hasilnya adalah tumpukan catatan setinggi 82 meter. Kalau tidak salah ingat, tumpukan catatan yang luar biasa itu tersimpan di Stanford University, AS. Itu warisan Fuller yang tiada duanya di dunia.

Bagaimana bisa seseorang rutin menulis jurnal puluhan tahun, dan seiring dengan itu menciptakan berbagai karya yang mengagumkan? Dia menghargai waktu! 

Selama bertahun-tahun, Fuller hanya tidur 2 jam setiap hari. Hasilnya, dia punya banyak waktu untuk belajar dan bekerja.

Ah, ya, tumpukan catatan Fuller tadi, yang tingginya mencapai 82 meter, dinamai Dymaxion Chronofiles. 

Melalui tumpukan catatan itulah, dunia mengenal sosoknya, pemikirannya, visinya, bahkan hal-hal terdalam di hatinya (kalian bisa googling jika ingin tahu lebih lanjut).

Salah satu kutipan Fuller yang terkenal, “Setiap anak terlahir genius, tapi orang tua merusaknya.”

Sementara kutipan Fuller favoritku, “You never change things by fighting the existing reality. To change something, build a new model that makes the existing model obsolete.”


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Maret 2022.

Jiwa Bocah

Jiwa bocahku bergetar merindukan mbakyu.

Saat Tony Stark di ujung ajal, kata-kata terakhir yang ia dengar adalah suara mbakyunya, “Sekarang kau bisa beristirahat.”

Dan setiap kali menyaksikan adegan itu, berulang kali, aku merasa melihat kematianku sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 April 2022.

Jawabannya Tidak

Masyarakat keadilan sosial bukan saja meminta distribusi yang adil, tetapi juga adanya produksi yang secukupnya. —Soekarno

Bagi yang mungkin tidak sabar menunggu update blog tanggal 1 nanti, catatan ini bisa menjadi semacam "paracetamol". Soul-nya sama dengan catatan di blog pribadi. » Apakah Hidup Ini Adil?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Mei 2020.

 
;