Saat menghadapi masalah, manusia terbagi ke dalam 2 golongan. Golongan pertama menganggap masalah sebagai masalah, dan mereka serius memikirkan solusi/pemecahannya. Golongan kedua menganggap masalah sebagai bukan masalah, dan mereka cenderung menggampangkan atau menyepelekannya.
Kita tentu sudah biasa mendengar atau bahkan mengalami sendiri; ada orang berutang, tapi ndableg tidak juga mengembalikan. Ketika ditagih, ada saja alasannya, atau bahkan sampai marah pada orang yang uangnya ia pinjam. Itu contoh orang yang menggampangkan/menyepelekan masalah.
Jika orang menganggap masalah sebagai masalah, ia akan punya kesadaran dan bertanggung jawab atas utang yang harus dibayar, dan bukan malah menggampangkan apalagi bertingkah seolah tak punya utang. Fakta banyak orang seperti itu, menunjukkan kalau kehidupan kita bermasalah.
Kehidupan kita bermasalah, jika orang-orang di sekeliling kita adalah orang yang menganggap masalah sebagai bukan masalah. Karena, langsung atau tak langsung, kita pasti akan terkena dampaknya. Dalam contoh mudah adalah utang yang tak juga dibayar, dan malah ngamuk saat ditagih.
Kapan pun ada orang menganggap masalah sebagai bukan masalah—yang menjadikannya cenderung menggampangkan dan menyepelekan masalah—orang-orang di sekelilingnya akan terkena dampaknya. Semakin tinggi posisi orang itu dalam kehidupan sosial, semakin luas dampak yang ditimbulkan.
Jika seorang suami atau seorang istri punya kecenderungan menggampangkan masalah, pasangan dan anak-anaknya (keluarganya) akan terkena dampak. Jika seorang Ketua RT/RW punya kecenderungan menggampangkan masalah, orang se-RT atau se-RW akan terdampak. Dan begitu seterusnya.
Saat ini, kita bahkan sedang mengalami hal semacam itu. Pemerintah kita terkesan menggampangkan masalah terkait wabah corona yang menyerang banyak negara, meski telah diingatkan sejak awal. Akibat pemerintah kita menggampangkan masalah, rakyat satu negara terkena dampaknya.
Sekarang negara kita panik dan kelabakan, ketika corona benar-benar masuk, dan kita menyaksikan sendiri yang terjadi. Semuanya panik, karena tak ada persiapan, tak ada antisipasi yang matang. Bukan hanya pemerintah yang panik, tapi juga kita; rakyat yang mengikuti pemerintah.
Andai sejak awal pemerintah mau melihat masalah sebagai masalah, dan bukan malah menggampangkannya, cerita yang terjadi mungkin akan berbeda. Dibanding negara-negara lain, Indonesia termasuk belakangan yang kena corona. Kita sebenarnya punya banyak waktu untuk persiapan.
Sayangnya, seperti yang disebut tadi, pemerintah terkesan menggampangkan, bahkan terlalu percaya diri. Tentu kita semua berharap Indonesia tidak sampai kemasukan corona. Tapi harapan membutuhkan kesiapan yang realistis. Karena doa yang paling khusyuk pun membutuhkan usaha.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Maret 2020.