Senin, 26 Oktober 2015

Siomay yang Quo Vadis

Jajan siomay dulu, biar tidak stres.
@noffret


Nyokap saya menggemari siomay yang ada di samping swalayan langganannya. Karena tahu saya juga suka siomay, nyokap pun memberitahu mengenai warung siomay tersebut. “Siomay di sana sangat enak!” ujar nyokap penuh keyakinan.

Sejak pertama kali mendengar keberadaan siomay di samping swalayan itu, saya penasaran dan ingin mencoba. Kadang, seusai belanja di swalayan, saya datang ke sana. Tapi melihat antrean yang berdesak-desakan, saya jadi hilang selera. Mau makan siomay saja kok susah, pikir saya. Warung siomay itu relatif sempit, tapi pembeli yang datang sangat banyak, dan melebihi kapasitas yang ada.

Di lain waktu, saya mencoba datang secara khusus ke warung siomay itu, berharap kali ini sedang sepi atau antreannya tidak terlalu ramai. Tapi tampaknya memang siomay di sana sangat enak, hingga kapan pun selalu ramai orang berdatangan. Jadi, selama waktu-waktu itu, saya belum juga merasakan siomay di sana, karena malas berdesakan dalam antrean. Tak peduli seenak apa pun, saya malas makan sesuatu sambil berdesak-desakan dengan banyak orang.

Dalam menikmati makanan di suatu tempat, saya tidak hanya memperhatikan makanannya (enak atau tidak), tapi juga tempatnya (nyaman atau tidak). Tak peduli seenak apa pun, saya tidak tertarik jika tempatnya tidak nyaman. “Nyaman” dalam versi saya adalah tenang, bersih, dan tidak berdesakan, apalagi sampai antre. Tidak harus di kafe mahal, di kaki lima pun banyak tempat nyaman seperti itu. Dan saya lebih suka makan di angkringan yang nyaman, daripada di restoran mahal tapi harus antre dan berdesakan.

Sayangnya, warung siomay yang membuat penasaran itu masuk dalam golongan “tidak nyaman” versi saya. Jadi, meski sangat penasaran dan ingin mencoba, saya terus menerus mengurungkan niat akibat melihat antrean banyak orang yang berdesakan. Hal itu berlangsung sampai sangat lama. Selama waktu-waktu itu pula, saya hanya bisa memendam penasaran.

Hingga kemarin malam, saya belanja ke swalayan bersama seorang teman, bernama Rizki. Seusai belanja, Rizki bertanya, “Kamu pernah nyobain siomay di sana?” (Maksudnya siomay di samping swalayan yang pernah dibilang nyokap).

“Belum,” saya menjawab. “Sebenarnya, aku pengin nyoba, sih. Tapi ramai terus.”

“Aku juga penasaran. Kata teman-teman, siomay di sana enak banget.”

Lalu dia mengajak ke sana.

Seperti yang kami duga, warung siomay itu ramai seperti hari-hari lain. Orang-orang tampak berjubel memenuhi warung, bahkan ada yang makan di bangku-bangku yang disediakan di depan warung. Kalau saja sendirian, saya pasti akan langsung balik badan. Tapi Rizki sudah melenggang ke tempat penjualnya, dan memesan dua porsi untuk kami.

Setelah itu, dia mengambil dua bangku yang tak terpakai di depan warung, dan membawanya ke tempat saya berdiri menunggu. Dalam hal keluwesan di tengah-tengah orang banyak, tampaknya saya masih perlu banyak belajar!

Jadi, kami pun duduk di depan warung, menunggu pesanan diantarkan. Cukup lama kemudian, kami sudah mulai menyantap siomay sambil menyeruput teh. Karena sudah penasaran sejak lama, saya pun menikmati siomay perlahan-lahan, ingin menghayati kenikmatannya. Wujudnya sama seperti siomay lain—telur, tahu, kubis, siomay, dengan sambal kental dan kecap. Tapi karena siomay di tempat itu digemari banyak orang—termasuk nyokap—saya pun ingin menyantapnya dengan penuh penghayatan.

Sambil menyantap siomay, Rizki bertanya, “Gimana menurutmu? Enak?”

Saya menelan siomay dalam mulut, lalu menjawab, “Menurutku, ini siomay yang quo vadis.”

Dia ngikik. “Kamu tuh, selalu punya istilah aneh-aneh. Jadi, enak apa nggak?”

“Lha ya itu, quo vadis—nggak jelas. Dibilang enak ya nggak, dibilang nggak enak ya nggak.” Lalu saya balik bertanya, “Kalau menurutmu, enak nggak?”

“Kayaknya sama yang kamu bilang barusan. Dibilang enak ya nggak, dibilang nggak enak ya nggak.”

“Berarti ini memang siomay yang quo vadis.”

Dia kembali ngikik.

Sebagai penggemar siomay, hampir bisa dibilang saya makan siomay setiap hari—dari warung kaki lima sampai di food court. Di komplek tempat saya tinggal juga banyak penjual siomay keliling, dan saya sering menghentikan mereka di depan rumah. Jadi, dalam urusan siomay, saya cukup tahu seperti apa siomay yang enak, yang tidak enak, atau pun yang tidak jelas enak-tidaknya.

Nah, siomay yang ada di samping swalayan itu—yang digemari banyak orang, termasuk nyokap saya—tidak bisa dibilang enak, meski juga tidak bisa dibilang tidak enak. Di lidah saya, siomay di sana biasa-biasa saja. Kalau mau menggunakan skala kenikmatan, siomay keliling langganan saya bahkan jauh lebih enak (dan lebih murah) dibanding siomay di samping swalayan.

Menjelang maghrib, ada penjual siomay keliling yang telah menjadi langganan saya bertahun-tahun. Saat sampai di depan rumah saya, biasanya dia akan berhenti, dan menunggu saya keluar. Siomay-nya sangat enak, dengan sambal kacang yang kental dan nikmat. Harganya juga jauh lebih murah, khususnya jika dibandingkan siomay di samping swalayan. Tapi dalam urusan kenikmatan rasa, siomay keliling langganan saya jauh lebih unggul.

Jadi, ketika ditanya bagaimana rasa siomay di samping swalayan yang terkenal itu, saya pun berpikir bahwa siomay di sana quo vadis—tidak jelas mau ke mana. Dibilang enak ya tidak, dibilang tidak enak ya tidak. Biasa-biasa saja.

Yang tidak biasa-biasa saja adalah pembelinya yang luar biasa banyak—sampai antre dan berdesak-desakan, seolah itu satu-satunya warung siomay yang bisa ditemukan di planet Bumi. Jadi, saya pun heran, dan bertanya-tanya. Apakah sebenarnya siomay di sana memang enak, tapi lidah saya keliru? Ataukah lidah saya benar, dan para pembeli di sana yang keliru?

Yeah, ini mungkin hanya perbedaan selera. Sesuatu yang bagi saya biasa-biasa saja, bisa jadi sangat enak bagi lidah orang lain. Atau sebaliknya, sesuatu yang bagi saya sangat enak, tapi ternyata biasa saja bagi orang lain. Siomay, atau makanan lain, sering kali memang kembali pada selera penyantapnya. Bahkan, suatu makanan kadang sangat digemari sebagian orang, sementara orang lain malah tidak doyan. Dalam hal makanan, kenyataan semacam itu sangat biasa.

Seumur hidup, misalnya, saya tidak pernah makan pisang. Bukan apa-apa, tapi semata karena tidak doyan. Jangan tanya kenapa, karena saya sendiri tidak tahu. Yang jelas, saya tidak bisa makan pisang.

Saya pernah bertanya pada nyokap mengenai hal itu, dan nyokap menceritakan. Dulu, saat saya masih bayi dan mulai diajari makan makanan selain ASI, nyokap memberikan pisang yang dihaluskan, sebagaimana umumnya bayi lain. Tetapi, setiap kali saya diberi pisang, setiap kali pula saya muntah. Akhirnya, nyokap mencari alternatif. Karena menyadari saya tidak pernah mau makan pisang, nyokap mengganti dengan roti yang dihaluskan. Dan saya mau memakannya. Konon, kata nyokap, sejak itulah saya mulai menggemari roti, dan kegemaran itu bahkan masih berlangsung sampai dewasa kini.

Sampai dewasa kini, saya tetap tidak doyan pisang—segala macam pisang. Tak peduli dibuat dalam bentuk apa pun—misalnya kolak, keripik, atau pisang goreng—saya tetap tidak doyan. Dan saya sangat peka terhadap pisang. Jika menghadapi suatu makanan asing, dan terdapat pisang di dalamnya, saya akan menyadari, dan tidak akan menyentuh sama sekali.

Memang, kadang saya “tertipu”. Ketika makan roti, misal, kadang suatu roti menggunakan pisang sebagai salah satu bahan pembuatannya. Karena telah dihaluskan bersama bahan-bahan lain, wujud pisang pun tak tampak, dan saya tanpa sadar memakan sampai habis. Tetapi, ketika diberitahu bahwa roti tadi mengandung pisang, tubuh saya seketika memuntahkannya tanpa bisa dikendalikan.  

Jadi, saya tidak pernah makan pisang. Jangankan sampai memakan, saya bahkan selalu berusaha untuk tidak mendekati. Meski begitu, saya tidak benci terhadap pisang. Saya tidak doyan pisang karena sebab yang tidak saya pahami, bukan karena benci atau antipati. Karenanya, kalau nyokap atau adik saya makan pisang—dan mereka juga menyukai—saya pun tidak masalah. Wong cuma soal pisang ini. Teman-teman saya juga banyak yang menggemari pisang, dan saya tidak pernah mempermasalahkan.

Dalam soal makanan—siomay atau pisang atau lainnya—kita bisa berbesar hati menerima dan mengakui perbedaan. Bahwa setiap orang memiliki latar belakang, atau bahkan selera, yang bisa berbeda. Yang enak bagi satu orang, belum tentu enak bagi yang lain. Yang luar biasa bagi kita, bisa jadi biasa-biasa saja bagi mereka. Kita tidak marah. Kita bisa menerima kenyataan dan perbedaan itu, tanpa merasa lebih benar atau menganggap orang lain salah.

Tetapi, kenapa kita tampaknya kesulitan melakukan hal yang sama ketika menghadapi perbedaan di luar makanan? Kenapa untuk beberapa perbedaan tertentu kita harus merasa lebih baik dan lebih benar, sambil menganggap orang lain salah?

Kini, setiap kali saya ingin menyalahkan orang lain yang berbeda, saya mengingat siomay di samping swalayan yang saya anggap quo vadis. Ada banyak orang yang setiap hari berdesak-desakan di sana untuk menyantap siomay yang—bagi saya—sangat biasa dan tidak istimewa. Tapi saya tidak punya hak untuk menyalahkan mereka, sebagaimana mereka juga tidak punya hak untuk menyalahkan saya.

Dalam hidup, perbedaan adalah hal yang sangat... sangat biasa—jauh lebih biasa dari siomay yang biasa-biasa saja. Karenanya, sungguh mengherankan jika kita menganggapnya luar biasa, kemudian meributkannya, bahkan merasa lebih baik atau lebih benar dari orang lain yang berbeda.

Atau jangan-jangan kita makhluk yang quo vadis.

Bocah yang Menyayangi Mbakyunya

Seorang bocah terisak sendirian, sambil berjongkok ngurek-ngurek tanah. Karena kasihan melihatnya, saya pun mendekat, lalu berjongkok di dekatnya, dan bertanya perlahan, “Kenapa kamu menangis?”

Sambil menahan isak, bocah itu menyahut, “Aku tuh sayang banget sama mbakyuku... tapi dia suka nyakitin akuuuh... fu... fu... fu...”

....
....

Saya ikut ngurek-ngurek tanah.

Noffret’s Note: Demokrasi

Satu-satunya tempat di mana para pembantu merasa lebih berkuasa,
bahkan bisa arogan dan menindas para majikannya, adalah sistem demokrasi.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Rakyat membayar pemerintah melalui aneka pajak, pungutan, dan aturan.
Dan apa yang dilakukan pemerintah? Mempersulit rakyat!
—Twitter, 7 Agustus 2015

Rakyat memilih sekelompok orang untuk jadi wakil di parlemen, dan mereka
dibayari rakyat. Dan apa yang dilakukan parlemen? Mengisap rakyat!
—Twitter, 7 Agustus 2015

Rakyat merelakan uang pajak mereka untuk digunakan mempersenjatai
para penjaga negara. Dan apa yang dilakukan sang penjaga? Menindas rakyat!
—Twitter, 7 Agustus 2015

Demokrasi adalah sistem yang membuat sekelompok orang
dibayar untuk menjadi babu, tapi bertingkah seolah raja.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Demokrasi adalah sistem yang membuatmu memilih sekelompok orang
untuk memudahkan urusanmu, tapi kemudian mereka mempersulit hidupmu.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Hanya di Indonesia, pemerintah disebut penguasa. Hanya di Indonesia,
demokrasi berubah menjadi oligarki, dan para hamba menjadi raja.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Demokrasi memungkinkan sekelompok orang untuk menjalankan sistem
pemerintahan. Tapi Indonesia mengubah “pemerintahan” menjadi “penguasaan”.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Ketika naik trem, Perdana Menteri Inggris rela berdiri saat semua
tempat duduk telah penuh. Di Indonesia, bahkan Satpol PP sudah sok kuasa.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Demokrasi konon menghormati beda pendapat. Tapi Socrates dihukum mati
karena menentang demokrasi. Tampaknya, demokrasi cacat sejak lahir.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Rakyat membelikan seragam untuk sekelompok orang dengan tujuan menjaga
negara. Lalu orang-orang berseragam menindas rakyat atas nama negara.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Hanya dalam demokrasi, orang-orang yang seharusnya menjadi babu bisa
menguasai jalan raya, dan menyingkirkan rakyat yang membayari mereka.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Hanya dalam demokrasi, orang-orang yang dibayar untuk bekerja
merasa bisa mempersulit urusan orang-orang yang membayar.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Hal penting yang perlu disadari rakyat Indonesia adalah menyadari
bahwa mereka jauh lebih penting daripada orang-orang yang disebut pejabat.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Jika pejabat dan tukang becak mengundangku, aku akan memprioritaskan
tukang becak. Bagiku, tukang becak lebih penting daripada pejabat.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Jika ada pejabat ingin bertemu denganku, dia yang harus datang menemuiku.
Sebagai rakyat, aku telah menggajinya untuk menjadi pejabat.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Di mataku, di pikiranku, di hatiku, orang paling tidak penting
adalah mereka yang menganggap dan merasa dirinya paling penting.
—Twitter, 7 Agustus 2015

Tidak ada yang lebih tidak penting di bawah langit,
selain orang-orang yang merasa dirinya sangat penting.
—Twitter, 7 Agustus 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Sobe

Katanya sobe.

Kamis, 22 Oktober 2015

Hati Seorang Bocah

Prestasi terhebatku, kau tahu, adalah menyapa orang lain terlebih dulu.
Hanya untuk melakukan itu saja, aku harus belajar bertahun-tahun.
@noffret


Kami duduk di salah satu ruang di kafe ini. Siang itu cukup mendung, dan suasana kafe terasa hening seperti biasa, hingga kami bisa menikmati percakapan yang menyenangkan. Dia membawa tablet, yang kini tergeletak di meja. Kami bercakap-cakap sambil mengisap rokok, setelah merasakan perut kenyang oleh sajian yang sangat lezat.

Setelah cukup lama bercakap-cakap, dia berkata, “Aku punya teman di Facebook, yang sangat ingin ketemu denganmu.”

Saya mengisap rokok, kemudian menyahut, “Kenapa aku harus terkejut?”

Dia menatap saya. “Yeah... kupikir, mungkin kau akan tertarik menemuinya.”

“Wanita?”

“Wanita,” dia menyahut. “Kau mau menemuinya?”

“Tidak.” Saya tersenyum, lalu melanjutkan, “Kalau aku tertarik menemui setiap orang yang berharap ketemu denganku, mungkin setiap hari jadwal hidupku cuma menemui mereka. Sangat disayangkan, aku punya tumpukan pekerjaan yang harus kuurusi, dan aku tak punya waktu menemui orang-orang tidak jelas di dunia maya. Well, sebenarnya, aku sudah kehilangan minat untuk ketemu siapa pun yang cuma sebatas kenal di dunia maya.”

“Tapi temanku di Facebook ini, yang ingin ketemu denganmu, benar-benar orang jelas. Maksudku, dia bukan ‘orang tidak jelas’ seperti yang kaumaksud. Sebenarnya, dia bahkan wanita terkenal yang mungkin juga kau kenal.”

Sesaat, saya mengisap rokok, mengembuskannya perlahan, kemudian berkata, “Kau mau mendengar ceritaku?”

Dia mengangguk sambil nyengir. “Aku selalu senang mendengarmu ngoceh apa saja.”

Saya tersenyum. “Aku pernah kenal seorang wanita di dunia maya. Dia orang jelas, yang bahkan menarik minatku. Kami berkenalan, saling berinteraksi, dan dia tipe wanita menyenangkan—dia tidak sok jaim, tidak sok jaim, dan tidak sok jaim. Dia tahu aku introver, dan dia benar-benar tahu cara menghadapiku. Dia hanya fokus kepadaku, dan tidak mengurusi orang lain. Karena mungkin aku pasif, dia yang sering punya inisiatif untuk memulai interaksi, dan dia terus menjaga komunikasi kami hingga pelan-pelan aku nyaman bersamanya. Proses itu berlangsung sampai berbulan-bulan, dan dia terus sabar menghadapiku. Secara keseluruhan, dia tipe wanita yang menyenangkan bagiku. Lalu kami aktif berkomunikasi, saling bercerita banyak hal, hingga aku bisa tertawa bersamanya. Itu faktor yang sangat... sangat penting. Jika seseorang bisa membuatku tertawa bersamanya, aku akan tertarik menemuinya. Kami bisa berinteraksi dengan santai, seperti layaknya teman.”

“Lalu kalian bertemu?”

“Lalu kami bertemu.” Saya mengisap rokok sesaat. “Jadi, suatu hari, aku datang ke tempat tinggalnya. Kami janjian untuk menghabiskan waktu bersama, dan aku membayangkan kami bisa bercakap-cakap secara langsung seperti yang selama ini kami nikmati di dunia maya. Tetapi, well... kenyataannya bisa dibilang pertemuan itu mengecewakan.”

“Kenapa?”

“Mungkin karena kami punya ekspektasi berbeda,” saya menjawab. “Ketika akan menemuinya, aku membayangkan kami akan menghabiskan waktu dengan duduk-duduk tenang, bercakap, dan saling tertawa. Waktu itu aku sempat berpikir bahwa bertemu dengannya akan menjadi sarana refresing, meninggalkan kesibukanku sejenak, hingga aku merasa segar kembali. Tapi rupanya dia punya pikiran berbeda. Saat kami bertemu, dia mengajakku keluyuran ke mana-mana, pergi ke berbagai tempat, hingga aku sangat kelelahan. Bisa dibilang, selama bertemu, kami tidak punya waktu berkualitas untuk benar-benar bersama, karena waktu kami telah dihabiskan untuk jalan-jalan di mal, di bioskop, dan di tempat-tempat lain. Itu bukan jenis pertemuan yang kuharapkan.”

Saya mematikan puntung rokok di asbak. Kemudian melanjutkan, “Kita lihat. Sejak awal semuanya berjalan dengan baik—dia sangat komunikatif, dia sangat tahu cara menghadapiku, dia tidak sok jaim dan berhasil menarik minatku. Tetapi ketika kami benar-benar ketemu, hasilnya mengecewakan. Apa artinya itu? Artinya kami belum benar-benar saling memahami. Sekarang, mari pikirkan, jika yang telah intens berkomunikasi saja ternyata belum bisa saling memahami, apa lagi orang yang masih relatif asing? Karena itulah, aku jadi seperti trauma, dan kehilangan minat untuk bertemu siapa pun yang kukenal di dunia maya. Tak peduli digoda atau ditawari apa pun, aku sudah keburu malas, karena pengalaman telah memberiku pelajaran bahwa ekspektasi di dunia maya belum tentu sesuai realitas di dunia nyata.”

Dia menganguk-angguk. “Selain yang kauceritakan barusan, ada kasus lain?”

“Ada.” Saya mengambil sebatang rokok, dan menyulutnya. “Ada wanita lain... tapi sayangnya dia terlalu tolol menghadapiku.”

“Kedengarannya menarik.”

“Jadi,” saya memulai, “kami telah saling kenal di internet sangat lama, dan kami sama-sama tahu ingin bertemu. Kau tahu, aku sangat kebingungan saat harus memulai interaksi dengan seseorang, jika hanya sebatas kenal. Jadi, aku sering kebingungan saat ingin menyapanya. Kadang-kadang, saat ada moment tepat, atau ada sesuatu yang memungkinkanku menyapa, aku pun mencoba menyapanya. Dia merespons dengan baik, tapi kemudian komunikasi itu terputus. Dia menjawab, tapi tidak berusaha menjaga komunikasi terus berjalan. Akibatnya, kami hanya berkomunikasi selintas-selintas, dan tidak pernah intens. Kami ingin bertemu, tapi komunikasi kami hanya sebatas itu. Dan itu terus berlangsung, tanpa ada perubahan sedikit pun. Kupikir, sampai kiamat pun kami tidak akan pernah bertemu jika kadar komunikasi kami masih terus seperti itu.”

“Sampai sekarang kalian belum bertemu?”

“Seperti yang kubilang tadi, kami telah lama saling kenal di dunia maya, tapi dia terlalu tolol menghadapiku. Saat kusapa, dia menjawab sekadarnya. Lalu komunikasi kami terputus. Di lain waktu, aku kembali mencoba menyapa, dan lagi-lagi dia menjawab sekadarnya, lalu komunikasi kembali terputus. Dan begitu terus menerus. Kalau dia berharap aku mau menemuinya, bukan begitu caranya. Sejujurnya, aku bahkan sudah bosan dan lelah menghadapinya, karena melihat responsnya yang tak juga berubah, padahal dia sangat mengenalku. Oh, well, aku seorang bocah, dan dia tahu itu! Seharusnya dia tahu cara menghadapi seorang bocah!”

Dia tersenyum. “Jadi, bagaimana seharusnya menghadapi seorang bocah?”

Saya ikut tersenyum. “Menurutmu, bagaimana cara terbaik menghadapi seorang bocah?”

“Dengan bujukan?”

“Exactly!” Saya mengisap rokok kembali, kemudian berkata, “Seorang bocah hanya mau memenuhi keinginanmu jika dibujuk dengan tepat. Dan seorang bocah akan balik menantangmu jika kau mencoba menantangnya. Jadi, cara terbaik menghadapi seorang bocah adalah dengan langkah persuasif, bukan mencoba konfrontatif. Sebagai bocah, sejujurnya, aku mudah luluh dengan sikap yang manis dan ramah, senyuman, dan komunikasi yang menyenangkan. Sebaliknya, sebagai bocah, aku tidak suka ditantang. Jika seseorang mencoba menantangku, aku akan balik menantangnya, dan bilang persetan dengannya.”

Kami terdiam sesaat. Kemudian, dia mengambil tabletnya di meja, dan berkata, “Soal temanku di Facebook, yang sangat ingin ketemu denganmu... kau ingin tahu orangnya?”

“Sebenarnya tidak.”

Dia tersenyum. Lalu menyodorkan tabletnya ke arah saya. Di layar, tampak sebuah foto yang familier. Seorang wanita sedang tersenyum ke arah kamera. Saya tahu siapa wanita itu. Wajahnya tidak asing.

Dia kembali berkata, “Sekarang kau tahu, dia bukan orang tidak jelas. Sebaliknya, dia sangat jelas, karena aku yakin kau juga mengenalnya.”

“Ya.” Saya mengangguk. “Aku tahu siapa dia.”

“Jadi, kau mau ketemu dengannya?”

“Tidak.”

Dia tersenyum. “Oh, ayolah, kalau dia benar-benar ingin ketemu denganmu?”

“Seperti yang kubilang tadi, aku seorang bocah.”

“Jadi?”

“Jadi, kalau dia memang ingin ketemu denganku, dia harus tahu cara menghadapi seorang bocah.”

“Caranya?”

“Well, seharusnya dia tahu.”

Dosa Terbesar Sekolah

Bertahun lalu, seorang bijak menyatakan, “Yang paling brilian, yang paling
kesepian.” Bertahun kemudian, aku menyadari dalamnya ucapan itu. 
—Twitter, 12 Mei 2015

Hidup dan bernapas dalam sistem sosial yang tidak dapat memahamimu
adalah terkurung dalam keterpenjaraan kebingunganmu.
—Twitter, 12 Mei 2015

Prestasi terhebatku, kau tahu, adalah menyapa orang lain terlebih dulu.
Hanya untuk melakukan itu saja, aku harus belajar bertahun-tahun.
—Twitter, 12 Mei 2015

Dosa besar sekolah dan pendidikan adalah; mereka tidak pernah mengajariku keterampilan sosial, padahal itulah yang paling sangat kubutuhkan.
—Twitter, 12 Mei 2015

Aku tahu bagaimana membuatmu senang, tersenyum, tertawa, bersamaku.
Tetapi, demi Tuhan, aku tidak tahu bagaimana memulai menyapamu.
—Twitter, 12 Mei 2015

“Kamu pernah ngejar-ngejar cewek?” | “Tidak.” |
“Kenapa?” | “Sederhana. Aku tidak tahu caranya.”
—Twitter, 12 Mei 2015

Jangankan mengejar-ngejar orang yang membuat jatuh cinta,
bahkan mengajak orang lain untuk berteman pun aku sering kebingungan.
—Twitter, 12 Mei 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Pada Luka, Ma’am... Pada Luka

Oh, well.

Kecantikan Sejati

Temanku yang bijak berkata, “Kalau pacarmu berlidah tajam kepadamu,
sebaiknya cari pacar lain saja.” | Aku selalu mengingat nasihatnya.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Ucapan dan sikap yang ramah. Bagiku, itulah kecantikan sesungguhnya,
daya tarik terbesar, nilai yang paling dicari lelaki dari perempuan.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Satu-satunya alasan seseorang tertarik hingga mau bersamamu, karena
dia merasa nyaman bersamamu. Sebenarnya, resepnya sesederhana itu.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Kekaguman atau bahkan ketakjuban pada seseorang belum tentu berakhir
dengan cinta. Tetapi rasa nyaman dengan seseorang... sering kali ya.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Jika aku diminta memilih kecantikan atau keramahan, aku akan
memilih keramahan. Tentu saja aku akan tetap memilih cantik yang ramah.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Tuhan menciptakan perempuan untuk tersenyum.
Perempuan menciptakan senyum untuk menjadi cantik.
Keramahan dan senyuman adalah kecantikan.
—Twitter,  30 Desember 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kamis, 15 Oktober 2015

Antara Ada dan Tiada

Ada dan tiada. Seharusnya kita tak pernah tahu.
@noffret


Kita mengenal game-game simulasi kehidupan yang realistis semacam The Sims, The Movies, Virtual Families, Virtual Villagers, Spore, hingga Second Life. Di game-game itu, kita membangun sebuah kehidupan yang mirip dengan kehidupan yang kita jalani sebagai manusia. Ada lahan yang harus digarap, ada pekerjaan yang harus dikerjakan, ada peristiwa-peristiwa yang dijalani, dan—tentu saja—ada makhluk-makhluk yang bergerak dan beraktivitas menjalankan apa saja yang kita inginkan.

Dalam game The Sims, misalnya, kita bisa menciptakan sosok karakter mirip manusia, mengembangkan karirnya, sambil tetap memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (makan, tidur, bersosialisasi, dan lain-lain). Bahkan, karakter yang kita ciptakan dalam game juga bisa kita lengkapi dengan aktivitas “manusiawi” semacam kuliah di kampus, memelihara hewan, hingga menemui berbagai peristiwa semacam melihat hantu atau ketemu vampir.

Kemudian, dalam game The Movies, kita bisa menjalankan permainan sebagai seorang produser di Hollywood. Melalui game The Movies, kita bisa memiliki studio film, memproduksi film, membangun set (tempat syuting) dan mengelola staf (aktor, sutradara, penulis, dan banyak pekerjaan lain). Setelah film selesai dibuat, kita pun merilisnya ke pasar, mempromosikan agar film ditonton banyak orang—pendeknya persis seperti yang terjadi di dunia nyata. Sementara itu, para pemain film (aktor dan aktris) dalam game yang kita mainkan juga punya “kewajiban” mengembangkan karir agar sukses dalam bidang entertainment.

Sekilas, game-game simulasi kehidupan semacam itu bisa dibilang tak jauh beda dengan kehidupan kita sebagai manusia. Tokoh-tokoh dalam game punya kewajiban dan kebutuhan hidup sebagaimana kita—bekerja, menjalankan sesuatu, menjauhi godaan, mengalami peristiwa demi peristiwa, sampai menikah, punya anak-anak, dan berkembang biak.

Saat memainkan game-game tersebut, kita mengendalikan mereka—makhluk-makhluk dalam simulasi. Kita tahu yang kita lakukan, kita menyadari bahwa kita mengendalikan mereka, bahkan kita pun bisa menentukan akhir kisah mereka. Tapi apakah mereka juga tahu kenyataan itu? Apakah sosok-sosok dalam video game juga menyadari bahwa mereka hanyalah tokoh-tokoh yang sengaja diciptakan untuk suatu simulasi game?

Dalam game The Movies, misalnya, kita bisa menciptakan sesosok aktor yang merintis karir di dunia film Hollywood. Sebagai pencipta sosok tersebut, kita pun memastikan dia benar-benar menjalani kehidupan dengan baik, rajin berlatih, menjauhi narkoba, dan lain-lain. Pendeknya, kita menentukan takdir sosok yang kita ciptakan dalam game tersebut. Kita tahu kenyataan itu. Tapi apakah tokoh yang kita ciptakan juga tahu kenyataan itu?

Dalam game yang kita mainkan, tokoh ciptaan kita menjalani hari demi hari, waktu demi waktu, serta berbagai peristiwa yang menyertai. Pernahkah dia menyadari bahwa sebenarnya dia tidak punya kehendak bebas, karena seluruh tindakan dan gerak hidupnya dikendalikan oleh kita melalui konsol game? Atau jangan-jangan tokoh dalam game menyadari bahwa dia hanyalah sosok virtual dalam sebuah video game yang diciptakan demi kesenangan kita?

Dalam game simulasi kehidupan, kita seolah-olah menciptakan sebuah kehidupan, lengkap dengan isinya, termasuk sosok manusia di dalamnya. Kita tahu bahwa kehidupan yang kita ciptakan dalam game hanyalah kehidupan virtual—antara ada dan tiada. Sebagai pencipta, kita menyadari bahwa kehidupan dalam game sebenarnya tidak ada, karena kita hanya menciptakannya seolah-olah ada, dan mengendalikan serta menjalankannya melalui peranti yang kita gunakan.

Tetapi, bisa jadi, sosok-sosok yang kita ciptakan dalam game menganggap kehidupannya benar-benar nyata, karena mereka benar-benar menjalani. Mereka tercipta di sana, hidup di sana, makan dan minum di sana, bekerja di sana, membangun karir di sana, bersosialisasi di sana, mencapai kesuksesan di sana, bahkan juga mati di sana. Terlepas mereka menyadari bahwa mereka hanyalah ciptaan kita atau tidak, kemungkinan besar mereka meyakini bahwa kehidupan dalam video game benar-benar ada, karena mereka mengalaminya secara nyata.

Pertanyaannya, sekarang... bagaimana kalau kita di dunia ini sebenarnya juga sama dengan sosok-sosok virtual yang kita ciptakan di video game? Jangan-jangan, kita semua sebenarnya hanyalah makhluk-makhluk yang sengaja diciptakan untuk menjalani suatu simulasi kehidupan, dan seluruh gerak hidup kita dikendalikan oleh sosok-entah-apa melalui peranti-peranti mereka.

Jika memang begitu, jangan-jangan kehidupan yang kita jalani sebenarnya juga antara ada dan tiada—tak jauh beda dengan kehidupan dalam game yang kita ciptakan. Bagi kita, kehidupan ini benar-benar ada, karena kita lahir di sini, tumbuh besar di sini, beraktivitas dan bekerja di sini, bersosialisasi di sini, dan mati di sini. Tetapi, bagi pencipta kita, kehidupan yang kita jalani sebenarnya tidak ada, karena ini hanyalah kehidupan yang sengaja diciptakannya.

Jangan-jangan, sementara kita menjalani kehidupan dengan begitu serius, sosok pencipta kita malah tersenyum, dan diam-diam mencibir, “Serius amat, lo!”

Well, siapa tahu?

Robert Lawrence Kuhn, seorang pemikir Amerika, pernah menyatakan pemikiran serupa, bahwa dunia yang selama ini menjadi tempat tinggal manusia sebenarnya tidak pernah ada. Dalam teori Robert Kuhn, jagat raya yang kita diami adalah sebuah ilusi yang diciptakan “robot Tuhan”—tak jauh beda kalau kita memainkan game dengan tokoh-tokoh atau karakter di dalamnya.

Meski teori itu mungkin terdengar kontroversial, tetapi banyak ilmuwan dari universitas-universitas terkemuka yang mendukung teori Robert Kuhn. Nick Bostrom dari Oxford University, misalnya, mendukung teori itu dengan menyatakan, “Hidup manusia sebenarnya mirip film sains fiktif Matrix. Bedanya, manusia tidak butuh alat bantuan yang ditancapkan ke otak untuk bisa masuk dalam dunia ilusi Matrix, karena seluruh tubuh manusia sejak awal sudah masuk dalam ilusi tersebut.”

Untuk melahirkan ilusi tersebut, lanjut Nick Bostrom, dibutuhkan sebuah komputer raksasa untuk melakukannya, dan komputer itu bisa mengontrol semua hal, dari otak sampai saraf terkecil di tubuh manusia.

Silas Beane dari Bonn University adalah ilmuwan lain yang juga mendukung teori Robert Kuhn. Ia setuju bahwa manusia—kita semua—sebenarnya hidup dalam sebuah dunia ilusi. Untuk mendukung tesis tersebut, Silas Beane mengajukan argumentasi bahwa setiap benda terbuat dari susunan atom sangat kecil. Jika dicermati, hal itu mirip dengan program simulasi komputer yang setiap bagiannya juga terdiri atas data-data kecil.

Dalam perbandingan sederhana, lanjut Silas Beane, tiap bagian pada software komputer terdiri atas data-data kecil yang membentuk suatu tampilan. Dalam wujud tak jauh beda, tiap bagian pada jagat raya juga terdiri dari atom-atom kecil yang membentuk suatu zat atau benda.

Teori itu tentu saja masih kontroversial, dan setiap kita tentu bisa mengajukan persetujuan atau sanggahan. Sanggahan paling mudah untuk digunakan dalam konteks ini tentu kehendak bebas. Kita bisa menyatakan bahwa, sebagai manusia, kita memiliki kehendak bebas untuk menentukan apa yang akan kita lakukan atau yang tidak akan kita lakukan. Dengan kata lain, dunia yang kita jalani benar-benar ada, berada dalam kuasa kita, dengan bukti bahwa kita memiliki kehendak bebas.

Dengan adanya kehendak bebas, kita bisa melakukan banyak hal yang tidak mungkin dilakukan tokoh-tokoh dalam video game yang kita ciptakan. Kenyataan itu juga sekaligus membuktikan bahwa dunia kita berbeda dengan dunia dalam video game yang kita mainkan. Dunia kita benar-benar ada, sementara dunia dalam video game sebenarnya tidak ada. Kita memiliki kehendak bebas, sementara tokoh-tokoh dalam video game tidak memiliki kehendak bebas.

Tetapi, benarkah kita memiliki kehendak bebas...?

Kita tidak bisa memilih dari rahim siapa kita dilahirkan. Artinya, kita tidak memiliki kehendak bebas untuk menentukan siapa orangtua kita. Padahal, siapa orangtua kita akan menentukan sebagian besar hidup kita. Orangtua kita mewariskan gen, sifat, karakter, kebiasaan, kapasitas otak, bahkan latar belakang sosial mereka. Dengan kata lain, yang kita sebut “kehendak bebas” sebenarnya bukan kehendak bebas, karena sedari awal telah ditentukan—melalui gen orangtua yang diwariskan kepada diri kita.

Bahkan, kita juga tidak bisa memilih untuk lahir sebagai pria atau wanita, karena hal itu telah ditentukan oleh hormon yang mendominasi tubuh kita—testosteron membentuk pria, dan progesteron membentuk wanita. Jika untuk sesuatu yang bersifat dasariah saja kita tidak punya kekuasaan untuk memilih, bagaimana kita bisa mengklaim memiliki kehendak bebas?

Yang lebih mengerikan, hal-hal yang kita pilih atau kita lakukan dalam kehidupan ini sebenarnya juga ditentukan—atau setidaknya dipengaruhi—oleh gen-gen yang kita miliki. Orang dengan gen tertentu akan melakukan sesuatu yang bisa jadi jauh berbeda dengan orang lain yang memiliki gen berbeda. Kenyataan itu sempat disinggung oleh Robin Baker, dalam bukunya yang menggelisahkan, berjudul Fragile Science: The Reality Behind the Headlines.

Dalam buku tersebut, Robin Baker secara tak langsung menyatakan bahwa bisa jadi beberapa kejahatan tertentu dilakukan orang-orang tertentu, karena gen-gen tertentu yang ada dalam tubuh mereka. Tidakkah itu mengerikan?

Jadi, orang-orang itu melakukan suatu tindakan tertentu, kemudian masyarakat atau bahkan pengadilan memvonis mereka bersalah dan dijatuhi hukuman, padahal perbuatan yang mereka lakukan didasari oleh gen-gen tertentu dalam tubuh mereka. Dengan kata lain, mereka sebenarnya tidak menyadari saat melakukan tindakan itu, karena dipengaruhi oleh gen-gen yang ada di tubuhnya. Sekali lagi, tidakkah itu mengerikan?

Lalu kita kembali pada pertanyaan inti. Kalau memang begitu kenyataannya, di mana kehendak bebas? Benarkah manusia memiliki kehendak bebas sebagaimana yang kita percaya dan yakini? Benarkah kita semua hidup dalam dunia nyata yang benar-benar ada, sehingga kita memiliki kuasa penuh untuk menjalani dan mengendalikan? Kalau kita tidak memiliki kehendak bebas, maka artinya dunia yang kita kenal dan jalani sebenarnya tidak ada—tak jauh beda dengan kehidupan maya yang kita ciptakan di video game.

Atau jangan-jangan kehidupan kita memang hanya video game, sebagaimana yang dinyatakan Robert Kuhn?

Entahlah. Yang jelas, sekian ribu tahun lalu, Plato juga pernah memikirkan hal ini, sampai dia memperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya manusia hidup dalam ilusi—atau simulasi. Karena itu, menurut Plato, hanya dengan matematika dan geometri saja manusia bisa memahami alam semesta. Implikasinya, menurut Plato, manusia tidak akan benar-benar bisa menentukan apa yang benar dan salah di dunia ini. Karena semua telah dikendalikan... bahkan sejak awal. Persis seperti tokoh-tokoh dalam video game.

Akhir kata, saya pusing!

Andaikan Saya Seorang Pembohong

Sungguh menggelikan melihat orang bisa asyik
berbohong sambil membawa-bawa nama Tuhan,
seolah Tuhan akan melindungi kebohongan.
@noffret


Andaikan saya seorang penjahat. Sebagai penjahat, saya sering mengirimkan e-mail berisi virus/trojan ke alamat-alamat e-mail yang saya bidik, untuk memata-matai aktivitas mereka di dunia maya.

Sampai kemudian, saya terjebak pada kejahatan saya sendiri.

Suatu hari, saya mengirim virus/trojan ke alamat e-mail-mu. Seketika, kau pun tahu kiriman virus itu berasal dari saya, karena satu-satunya orang yang tahu alamat e-mail-mu cuma saya. Tidak ada orang lain yang tahu alamat e-mail-mu selain saya. Jadi, ketika kau mendapati e-mail-mu memperoleh kiriman virus terus menerus, kau pun tahu bahwa pengirimnya adalah saya.

Lalu kau bertanya pada saya, kenapa saya mengirim virus ke e-mail-mu terus menerus. Saya mengelak dan menolak tuduhanmu, memberikan jawaban yang terdengar logis tapi bohong, dan kau tahu saya telah berbohong.

Kau pun jengkel, dan menuduh saya pembohong. Kenyataannya memang saya berbohong, dan kita berdua tahu kalau saya memang berbohong.

Kau berkata, “Di dunia ini, cuma kau satu-satunya yang tahu alamat e-mail-ku. Aku tidak pernah menggunakan alamat e-mail itu untuk apa pun, selain berkomunikasi denganmu, itu pun cuma sekali. Tidak mungkin orang lain bisa mengirim apa pun ke alamat e-mail-ku, karena mereka memang tidak tahu alamat e-mail-ku!”

Tetapi, seperti umumnya penjahat sekaligus pembohong, saya mencoba menjelaskan dengan berdalih, “Aku tidak bohong, demi Tuhan! Meski bukti-bukti menunjukkan aku berbohong, tapi aku tidak berbohong! Terkutuklah aku kalau berbohong! Kalau kau tidak percaya, mari kita ketemu, biar kuperlihatkan laptopku!”

Apakah kau tertarik untuk melihat laptop saya? Tentu saja tidak! Jangankan tertarik untuk bertemu—bahkan meneruskan komunikasi saja, kau sudah tak berminat.

Kenapa? Karena saya sudah jelas berbohong. Jika seseorang sudah berbohong, tidak ada jaminan dia tidak akan berbohong lagi. Peduli setan dengan melihat laptop. Kalau dasarnya sudah bohong, apa saja bisa diutak-atik menjadi kebohongan. Bahkan, seorang pembohong bisa bersumpah atas nama Tuhan atau atas nama apa pun, demi menutupi kebohongannya.

Kebohongan, kau tahu, perbuatan yang tampak ringan tapi menjadi akar segala macam keburukan, kerusakan, dan kejahatan.

Di atas altar kebohongan, bahkan Tuhan pun disembelih.

Saatnya

Saatnya selalu tiba. Untuk apa pun.

Bocah Bernama Lemann

Jorge Paulo Lemann adalah bocah yang tinggal di Rio de Janeiro, Brasil. Dia mungkin termasuk bocah aneh. Dulu, bersama teman-temannya, dia sering diajak masuk Burger King, untuk menyantap sandwich. Tapi Jorge Paulo Lemann tidak pernah mau makan sandwich di sana.

Lama-lama teman-temannya heran, dan penasaran, dan bertanya, “Kenapa kau tidak pernah mau makan sandwich di sini, Lemann?”

Lemann menjawab, “Aku baru mau makan sandwich Burger King, bila perusahaan itu telah menjadi milikku.”

Teman-temannya tertawa.

....
....

Bertahun-tahun kemudian, Jorge Paulo Lemann membeli perusahaan Burger King melalui sebuah akuisisi. Sejak itu, dia mau makan sandwich Burger King. Mungkin, sambil menikmati sandwich, Lemann menertawakan teman-temannya yang dulu pernah menertawakannya.

Kamis, 08 Oktober 2015

Disorientasi Mbakyu

Topik obrolan beberapa bocah malam ini, “Kenapa istri Raffi Ahmad tidak secantik mantan-mantannya?” | Bakal jadi posting blog nih.
—Twitter, 24 Oktober 2014

Hidup memang mudah berubah, dan kadang penuh misteri. Begitu pun hati seorang lelaki. Kalau tak percaya, silakan tanya Raffi.
—Twitter, 24 Oktober 2014

Mengapa Raffi Ahmad meninggalkan Yuni Shara untuk menikahi Nagita Slavina? | Salah satu misteri paling membingungkan di dunia.
—Twitter, 24 Oktober 2014

Seorang bocah menyimpulkan, “Raffi Ahmad tampaknya mengalami disorientasi mbakyu.” | Bagi telingaku, kesimpulan itu terdengar ilmiah.
—Twitter, 24 Oktober 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Dunia Ini Kecil

Sangat.

Kif Jalan di Depan

Tanganku kasar, itu yang dikatakan Kif ketika memperlihatkan telapak tangannya, suatu waktu ketika Banjir Nuh baru saja mereda. Orang-orang menyentuh telapak tangannya, dan setuju bahwa telapaknya kasar. Lalu terdengar leluhurnya mencari sesuatu untuk menghaluskan telapak tangan Kif. Berhasil atau tidak, entahlah. Tapi yang jelas, kemudian, berabad-abad setelah itu, Kif berjalan di depan. Seperti orang lain. Yang telapaknya tidak kasar.

Ketika melihatnya berjalan di depan, aku tahu dunia tak berubah. Semuanya mendapat tempat, dan semua ingin menempatinya. Seperti Kif. Dia berjalan di depan.

Senin, 05 Oktober 2015

Introver dari Zara

Keindahan tak perlu berteriak atau unjuk diri.
Tersembunyi di mana pun, dunia akan mengakui.
@noffret


Ada yang tahu produk fashion Zara? Kemungkinan besar kita tahu, khususnya para penggemar fashion. Saat ini, Zara menjadi salah satu merek fashion paling terkenal di dunia, yang produknya digilai jutaan orang, dari para selebritas sampai kaum sosialita. Zara tidak hanya menjadi merek—ia bahkan telah menjadi semacam identitas pemakainya. Kate Middleton adalah salah satu orang terkenal yang sangat menggilai produk Zara.

Nah, sekarang, ada yang tahu siapa pemilik perusahaan Zara? Hmm... tidak? Well, mari saya kenalkan. Namanya Amancio Ortega.

....
....

Amancio Ortega lahir di sebuah dusun bernama Busdongo de Arbás, sebuah wilayah pelosok di Spanyol. Ia anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya seorang pekerja rel kereta api, sedangkan ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tak perlu dikatakan, keluarga Ortega sangat kekurangan. Rumah mereka tak lebih dari sepetak tanah yang berbatasan dengan rel kereta api. Untuk keperluan sehari-hari, ibu Ortega kadang terpaksa berutang, karena tidak ada uang.

Mungkin, Amancio Ortega akan mengikuti jejak ayahnya, menjadi pekerja rel kereta api, kalau saja sesuatu tidak mengubah pikirannya...

Ortega masih ingat, waktu itu ia berusia 13 tahun, dan masih duduk di bangku SMP. Saat berjalan pulang dari sekolah, dia mendapati ibunya sedang berdiri di depan sebuah warung. Ortega pun mendekati ibunya, dengan harapan dibelikan jajan. Di luar dugaan, ibunya sedang berusaha berutang pada warung tersebut. Kelak, bertahun-tahun kemudian, Ortega bahkan masih ingat suara parau ibunya siang itu, ketika memohon agar bisa berutang, karena benar-benar tidak punya uang.

Pemilik warung tidak bisa memenuhi permintaan ibu Ortega. Saat itu, Ortega mendengar si pemilik warung berkata, “Maafkan saya, Señora, saya tidak bisa memberikan ini kepada Anda. Anda harus membayarnya.”

Sebagai bocah, Ortega tidak tahu apa yang dirasakannya waktu itu, ketika mendapati kejadian tersebut. Yang jelas, ia marah, dan merasa terhina. Dan, sejak hari itu, Ortega memutuskan untuk berhenti sekolah. Tiba-tiba dia menyadari orangtuanya sangat miskin—sebegitu miskin hingga harus memohon bisa berutang di warung. Jadi, Ortega pun memutuskan tidak akan bersekolah lagi, demi tidak makin membebani orangtuanya.

Setelah putus sekolah, Amancio Ortega berusaha mencari kerja, demi bisa membantu keluarganya. Dia diterima berkerja sebagai pesuruh dan pengantar di tempat pembuatan pakaian. Seiring berjalannya waktu, ia kemudian dipercaya, dan diangkat menjadi asisten penjahit di sana. Di tempat itu pula, Ortega mulai belajar menjahit, dan tahu cara membuat pakaian yang baik. Seiring dengan itu, Ortega juga memahami proses produksi hingga distribusi pakaian.

Bertahun-tahun kemudian, karir Ortega semakin berkembang, hingga menjadi manajer toko pakaian. Pada waktu itulah, dia mulai menyadari betapa sedikit orang yang mampu membeli pakaian berkualitas karena harga yang mahal. Kenyataan itu memunculkan ide di benak Ortega, untuk membuat pakaian yang berkualitas, namun dengan harga terjangkau.

Ide itu ditindaklanjuti dengan membuat pakaian sendiri di rumah. Jadi, setelah selesai bekerja di toko, Ortega menghabiskan waktunya untuk membuat desain pakaian, lalu menjahit di ruang tamu rumahnya. Berdasarkan pengalaman, Ortega tahu bahwa salah satu hal yang menjadikan mahalnya harga pakaian adalah keberadaan distributor. Karenanya, ketika mulai menjual pakaian buatannya, Ortega pun langsung menjual kepada konsumen, tanpa distributor, sehingga harga bisa ditekan.

Pelan namun pasti, usaha Ortega semakin berkembang. Pakaian-pakaian buatannya mulai dikenal dan digemari banyak orang—karena berkualitas, dan harganya terjangkau. Seiring makin berkembangnya usaha, Ortega mulai merekrut orang lain untuk membantu memproduksi pakaian. Usaha itu terus maju dan berkembang pesat, sampai Ortega akhirnya memutuskan membuat toko khusus untuk menjual pakaian-pakaian buatannya.

Dengan modal yang telah berhasil dikumpulkan, Amancio Ortega membangun sebuah toko di salah satu tempat perbelanjaan di Spanyol, yang ia beri nama “Zara”. Itulah toko Zara pertama di dunia... dan selanjutnya adalah sejarah.

Bisnis pakaian Ortega maju sangat pesat, karena kualitasnya yang mewah, namun harganya terjangkau. Produk-produknya digilai banyak orang—dari kalangan biasa, kaum sosialita, sampai orang-orang terkenal. Dan semua itu dicapai tanpa iklan! Amancio Ortega menjalankan bisnisnya sesuai kepribadiannya yang introver—tidak ingin tampak menonjol, tapi orang-orang mengenal produknya, dan menyukainya.

Hanya berselang sepuluh tahun sejak berdirinya toko Zara yang pertama, Ortega telah membangun 100 toko Zara lain di berbagai wilayah Spanyol. Dan jangan lupa, itu adalah bisnis raksasa yang dimulai di sebuah ruang tamu sederhana.

Sebagai introver yang terbiasa berpikir mendalam, Ortega bahkan memikirkan bagaimana bisnisnya dapat membantu orang-orang miskin seperti ibunya dulu. Karenanya, dia pun membangun pusat bisnisnya di Galicia. Di Spanyol, Galicia adalah wilayah pesisir, tempat ribuan laki-laki pergi melaut untuk mencari nafkah. Selama para lelaki itu melaut, istri mereka berdiam di rumah, dan kadang kehabisan uang.

Kepada para wanita yang ditinggal suaminya melaut, Ortega memberi pekerjaan menjahit pakaian-pakaian untuk tokonya. Dalam waktu singkat, ribuan wanita di Galicia pun menjadi pekerja untuk Amancio Ortega. Itu adalah bisnis yang didasari langkah mulia—menolong orang, dan alam semesta mengembalikan pertolongan yang diberikan dalam jumlah lebih besar.

Seiring makin membesarnya bisnis yang dibangunnya, Amancio Ortega memutuskan untuk mendirikan perusahaan induk, yang dinamai Inditex (Industrias de Diseño Textil Sociedad Anónima). Di bawah Inditex, Ortega memiliki berbagai merek lain selain Zara, di antaranya Massimo Dutti, Zara Home, Stradivarius, dan Bershka. Ortega membangun kerajaan bisnis dengan aturan dasar sederhana: Berikan yang diinginkan pelanggan, dan berikan lebih cepat daripada orang lain. Prinsip itu terbukti menjadi kunci sukses Inditex.

Di toko baju Zara, misalnya, terdapat layanan yang bisa dibilang jarang kita temukan di toko baju lain. Di Zara, konsumen boleh mencoba baju lebih dari lima potong. Dengan kata lain, setiap konsumen yang datang ke Zara boleh membawa lima baju sekaligus ke kamar pas. Bandingkan itu dengan toko baju lain yang rata-rata hanya memperbolehkan konsumen membawa dua baju untuk dicoba. Dengan layanan semacam itulah, ditunjang produk yang berkualitas, Zara mendapatkan banyak pelanggan yang loyal.

Terbukti, pada saat ini, Ortega telah memiliki lebih dari 2.000 toko Zara di 86 negara, yang tersebar di enam benua. Ada 46 toko Zara di Amerika Serikat, 347 di Cina, 1.938 di Spanyol, dan sisanya tersebar di berbagai negara. Dengan segala kesuksesan itu, Amancio Ortega menjadi miliuner!

Kehidupan Amancio Ortega memang telah berubah. Tetapi, Tuhan tahu, diri pribadi lelaki itu tak pernah berubah. Dia masih seperti dulu, ketika masih bocah—pendiam, tertutup, dan introver.

Bahkan setelah bisnisnya berskala internasional, dan produksinya digilai jutaan orang, dan dia menjadi orang paling kaya di Spanyol, Ortega selalu berusaha menjauhi publisitas. Selama bertahun-tahun, pers Spanyol selalu kesulitan menemui Ortega. Bahkan, selama bertahun-tahun, hanya ada satu foto Ortega yang sempat muncul di koran. Itu pun foto yang kebetulan diambil dari laporan tahunan perusahaan. Hanya belakangan ini Ortega bersedia difoto, dan mengizinkan foto-fotonya dimuat media.

Suatu waktu, Ortega membangun toko Zara baru di kawasan Manhattan, New York. Diam-diam, dia terbang dari Spanyol ke New York, karena ingin melihat pembukaan tokonya di Manhattan. Karena sosoknya tidak dikenal, dia pun bisa melenggang santai ke mana-mana tanpa dikenali. Di tokonya yang baru, di Manhattan, Ortega menyaksikan para pembeli yang tumpah ruah memenuhi toko barunya—orang-orang itu telah lama menunggu ada toko Zara di Manhattan, orang-orang itu sudah tak sabar ingin memiliki pakaian produk Zara.

Menyaksikan hal itu, Ortega sangat terharu, dan dia berlari ke kamar kecil, mengurung diri di sana, lalu menangis sendirian. Waktu itu, sambil terisak, dia membayangkan kalau saja orangtuanya masih ada.

Ayah ibu Ortega telah meninggal cukup lama sebelum sempat menyaksikan kesuksesan putra mereka. Betapa bocah miskin yang lahir di dusun terbelakang, yang terpaksa putus sekolah pada usia 13 tahun, yang mengawali karirnya sebagai pesuruh, telah berubah menjadi orang paling kaya di Spanyol, yang produk dan perusahaannya dikenal di seluruh dunia.

Tetapi, seperti yang dibilang tadi, sesuatu di dalam diri Amancio Ortega tak pernah berubah. Terlepas dari hiruk-pikuk media yang memberitakan perusahaannya, Ortega menutup rapat-rapat kehidupan pribadinya dari publisitas. Setiap hari, saat pulang kerja, Ortega biasa minum kopi di kedai sederhana yang telah menjadi langganannya bertahun-tahun lalu. Mungkin, pemilik kedai tidak pernah tahu bahwa lelaki yang biasa minum kopi di tempatnya adalah bocah paling kaya di negaranya.

Penampilan Ortega pun selalu sederhana, jauh dari kesan seorang pengusaha yang memiliki perusahaan beromset miliaran dollar. Dia tidak pernah memakai dasi sebagaimana umumnya eksekutif. Setiap hari, dia selalu memakai blazer biru, kemeja putih, dan celana abu-abu. Uniknya, semua pakaiannya bukan produk Zara. Di kantor, saat makan siang, dia biasa makan bersama para karyawannya di kantin.

Orang-orang yang bekerja untuk Ortega mengenal lelaki itu sebagai orang baik, bos yang ramah, pribadi yang bersahaja. Saat bersama di kantin, ketika makan siang, Ortega sering menyapa dan mendekati para pekerjanya, menanyakan kabar mereka, dan dia selalu memperhatikan hal-hal kecil di kantornya.

Namun, di luar itu, Ortega sangat tertutup. Dia menghindari tampil di hadapan umum, dan menolak semua permintaan wawancara media. Dia jarang—bahkan nyaris tidak pernah—menghadiri acara-acara sosial yang mengharuskannya bertemu banyak orang. Bahkan, ketika Pangeran Spanyol, Felipe, datang berkunjung ke perusahaan Ortega, dia tidak menemui. Tamu kerajaan yang terhormat itu justru hanya disambut salah satu wakil Ortega.

Pada 2001, perusahaan Ortega, Inditex, mulai menjual saham ke publik. Umumnya, perusahaan yang go public membuat perayaan besar untuk peristiwa penting semacam itu. Tapi tidak dengan Ortega. Dia masuk kerja seperti biasa, seolah tak ada kejadian apa-apa. Atas penjualan saham tersebut, perusahaan Ortega mendapatkan pemasukan sebesar 6 miliar dollar, dan berita itu disiarkan di semua stasiun televisi Spanyol.

Ortega sedang makan siang, ketika televisi di kantin menyiarkan berita tersebut. Dia sempat menengok ke layar televisi beberapa saat, menyaksikan dirinya diberitakan, lalu kembali ke mejanya dan melanjutkan makan—seolah tak terjadi apa-apa. Setelah makan, dia kembali bekerja seperti hari-hari sebelumnya—seolah tak terjadi apa-apa. Oh, well, Amancio Ortega adalah bocah!

Sebagai bocah, Amancio Ortega memiliki kekayaan senilai 70,7 miliar dollar, dan majalah Forbes memasukkan namanya sebagai salah satu orang paling kaya di dunia.

Sebagai bocah pula, Amancio Ortega memiliki The Epic Residences & Hotel di Miami, Florida, yang merupakan salah satu hotel terbaik di Amerika Serikat. Di Spanyol, dia membeli gedung pencakar langit tertinggi di Spanyol, Torre Picasso, yang berdiri megah di Madrid. Bangunan setinggi 515 kaki itu dibelinya seharga 536 juta dollar. Kendaraan pribadinya adalah sedan mewah Audi A8 yang lebih dari sekadar nyaman. Dia juga punya pesawat jet pribadi seharga 45 juta dollar, yang dirancang khusus oleh Bombardier, salah satu manufaktur pesawat jet mewah paling unggul di dunia.

Selain memiliki rumah yang sangat mewah di Spanyol, Ortega juga memiliki lapangan golf pribadi, lapangan berkuda, dan lain-lain. Tetapi, setiap hari, Amancio Ortega biasa makan siang bersama karyawannya di kantin, minum kopi di kedai langganannya saat pulang kerja, dan berpenampilan sederhana seperti orang-orang biasa. Di luar semua itu, dia selalu senang menghabiskan waktunya untuk bekerja.
 

Nasihat Kesuksesan Sepanjang Masa

Hal tersulit di dunia ini adalah tetap menjadi dirimu sendiri,
sementara seluruh dunia berusaha mengubahmu menjadi orang lain.
@noffret


Seorang bocah bertanya kepada seorang miliuner, tentang resep dan rahasia suksesnya. “Bisakah saya sesukses dan sekaya Anda?” tanya si bocah.

Sang miliuner menjawab, “Tentu saja kau bisa, Nak.”

Ketika si bocah meminta nasihat tentang apa yang harus dilakukan, inilah nasihat yang diberikan sang miliuner...

“Pertama-tama, pilih dan tentukan yang ingin kaulakukan dalam hidupmu. Perhatikan dengan cermat, agar sesuatu yang kaupilih dapat kaulakukan sepenuh hati, sepenuh pikiran, sepenuh cinta.

“Kau harus mencintai sesuatu yang kaupilih—sebegitu cinta, hingga kau mampu terus melakukannya bahkan umpama tidak dibayar. Kau harus mencintai yang kaulakukan, agar kau bisa melakukannya tidak hanya dengan tenaga dan pikiran, tapi juga dengan hati.

“Setelah itu, mulailah lakukan sesuatu yang kaupilih—lakukan dengan serius, penuh kesungguhan, dan libatkan seluruh energi, pikiran, hati, dan cintamu. Lakukan hal itu, dan jangan pernah tergoda untuk melakukan hal lain apa pun, tak peduli hal lain itu sedang nge-trend atau sedang populer, atau sedang dilakukan banyak orang. Begitu kau telah memilih sesuatu, kau harus tetap konsisten dengan pilihanmu, dan jangan pernah melenceng dari jalanmu.

“Lakukan dan terus lakukan—tak peduli selama apa pun, tak peduli seberat apa pun, tak peduli berapa banyak tahun yang harus kauhabiskan. Semakin sering dan semakin banyak kau melakukannya, hasil yang kaukerjakan semakin baik dan terus semakin baik.

“Terus lakukan dan jangan pernah berhenti, hingga kau bisa melakukan hal itu dengan baik, lebih baik lagi, dan lebih baik lagi. Jangan pernah berhenti, jangan pernah berhenti, dan jangan pernah berhenti—apa pun yang terjadi. Perbaiki dan sempurnakan terus yang kaulakukan, hingga hasilnya benar-benar baik. Sebegitu baik, hingga tidak ada orang lain yang bisa membuatnya lebih baik lagi.

“Setelah itu terjadi, kau bisa hidup di tempat paling pelosok mana pun di dunia ini, dan orang-orang akan mengenalmu, dunia akan mengakuimu, kehidupan akan menjadi milikmu.

“Tak ada nasihat keberhasilan yang lebih baik, yang bisa kukatakan selain itu.”

Penutup

Jadi, Bapak-bapak, Ibu-ibu, lain kali kalau mau sombong dan sok-sokan, lihat-lihat dulu siapa yang akan disombongi, biar tidak malu di kemudian hari.

Kamis, 01 Oktober 2015

Takdir Esok Hari

Seseorang berkata, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.”
Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.
@noffret


Sehari sebelum Idul Adha, dua ekor kambing milik tetangga ditambatkan di halaman samping rumah saya. Kambing-kambing itu disiapkan untuk disembelih pada hari raya kurban. Bersama kedatangan dua kambing itu, segerobak pakan berupa daun dan rerumputan juga didatangkan untuk memenuhi kebutuhan makan kambing. Belakangan, saya tahu, kambing-kambing itu juga baru keluar dari salon setelah menjalani perawatan.

Bagi yang mungkin belum tahu, saat ini telah ada salon kambing. Yaitu salon yang khusus ditujukan untuk merawat keindahan tubuh kambing. Saat ini, salon-salon kambing telah banyak bermunculan di Jawa Tengah, khususnya di Banyumas, Purworejo, dan Semarang. Di salon-salon itu, kambing menjalani perawatan dan pembersihan, termasuk creambath hingga pedikur. Ini serius!

Menjelang Idul Adha, salon-salon kambing biasanya penuh—banyak kambing yang didatangkan untuk mendapat perawatan. Di salon-salon itu, masing-masing kambing mula-mula dimandikan, lengkap dengan sabun dan shampo, hingga bulu-bulu mereka halus, lembut, dan tidak bau. Kemudian, tanduk dan kuku-kukunya juga dibersihkan, hingga mengilap. Tujuannya, tentu saja, agar kambing-kambing itu bisa terjual lebih mahal untuk keperluan kurban.

Begitu pula dua kambing yang ditambatkan di samping rumah saya. Tampangnya kelihatan cakep—setidaknya lebih cakep dibanding kambing-kambing lain yang tidak masuk salon. Bulu-bulu di tubuh mereka tampak bersih, begitu pula tanduk dan kuku-kukunya. Anak-anak kecil tetangga saya pun berkumpul menonton mereka. Bisa dibilang, dua kambing itu menjadi semacam “raja sehari”—mendapat perawatan salon, memperoleh makanan berlimpah, bahkan menjadi pusat perhatian—untuk kemudian disembelih.

Sore menjelang maghrib, saat anak-anak kecil telah pulang ke rumah masing-masing, saya duduk sendirian sambil merokok, memandangi kambing-kambing itu. Hewan-hewan itu tampak asyik melahap makanan yang disediakan di dekat mereka—sesekali mengembik, sesekali menatap ke arah saya, kemudian asyik makan lagi.

Saya bertanya-tanya dalam hati, tahukah kambing-kambing itu bahwa ajalnya telah sangat dekat? Sadarkah mereka, bahwa perawatan salon dan makanan berlimpah yang sekarang mereka nikmati akan menjadi kenikmatan terakhir di muka bumi? Mengertikah mereka, bahwa besok akan menjadi hari terakhir mereka di dunia?

Mungkin tidak. Kambing-kambing itu mungkin tidak tahu, tidak sadar, dan tidak mengerti, bahwa usianya akan selesai tidak lama lagi. Bagaimana pun, mereka masih sehat, bahkan sangat sehat. Mereka masih cakep, apalagi setelah mendapat perawatan salon. Sementara makanan juga tampak berlimpah tanpa mereka harus repot-repot bekerja mencarinya. Bagi kambing, mungkin, semua itu bahkan semacam jaminan bahwa hidup mereka masih lama.

Tapi kita tahu, mereka keliru. Semua karunia yang mereka dapatkan bukan jaminan bahwa hidup masih lama. Semua kenikmatan yang disuguhkan ke depan muka mereka bahkan menjadi gerbang menuju ajal. Kalau saja kambing-kambing itu tidak akan disembelih, kemungkinan besar mereka masih berada di kandang yang kotor dan bau, tidak mendapat perawatan salon, dan makanan mereka pun tidak akan seberlimpah sekarang. Mereka tidak tahu. Tapi kita tahu.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana jika hal serupa terjadi kepada kita?

Andaikan saja saat ini kita masih muda, sehat, dan cakep. Kita punya pekerjaan dan tabungan yang memungkinkan hidup mapan, hingga tidak perlu mengkhawatirkan apalagi merisaukan masa depan. Dengan segala yang kita miliki—kemudaan, kesehatan, dan jaminan masa depan—kemungkinan besar kita tidak akan terpikir bahwa besok kita akan mati. Tapi bagaimana jika ternyata besok kita mati?

Kematian, kita tahu, tidak pernah peduli apakah kita masih muda atau sudah tua, tak peduli apakah kita segar bugar atau sakit dan sekarat, bahkan tak peduli apakah kita sedang kere atau banyak uang. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa besok kita masih bernapas untuk nge-tweet dan update status.

Seperti kambing-kambing di samping rumah saya. Kemungkinan besar mereka tidak tahu besok adalah hari raya kurban, dan mereka akan menghadapi ajal. Mungkin, sambil makan rumput dan dedaunan, dua kambing itu bercakap-cakap, “Alangkah nikmatnya jika setiap hari kita seperti ini. Makanan berlimpah, tampang kita cakep, dan orang-orang menonton kita dengan senang. Hidup ini sungguh indah.”

Oh, well, hidup ini sungguh indah. Berapa banyak orang yang pernah mengatakan kalimat seperti itu, dan besoknya sudah terbujur kaku? Teman kita yang kemarin asyik selfie, dan mengunggahnya ke media sosial, tiba-tiba hari ini dikabarkan meninggal dengan berbagai sebab. Padahal dia masih muda, sedang cakep-cakepnya, bahkan populer sebagai seleb di Twitter. Tetapi kematian, kita tahu, tak peduli apakah kau seleb atau bukan.

Marilyn Monroe mati, saat di puncak popularitas. Begitu pula Kurt Cobain, Janis Joplin, Jimi Hendrix, Ryan Hidayat, Poppy Mercury, Nike Ardilla... sebut lainnya. Popularitas, atau bahkan kemudaan, tidak menghentikan maut yang akan datang. Begitu pula kesehatan, kekayaan, atau bahkan kekuasaan—sama-sama tak berdaya di hadapan takdir ajal.

Betapa rapuhnya hidup, kalau dipikir-pikir. Kita menjalani kehidupan dengan harapan demi harapan, keinginan demi keinginan, impian demi impian, sambil tanpa sadar melupakan bahwa kematian bisa datang kapan saja. Kita menjalani hari dengan berbagai kesibukan, keasyikan, bahkan kerakusan, tanpa menyadari bahwa ajal bisa datang tanpa disangka-sangka.

Harapan, bagi sebagian orang, adalah energi untuk memperpanjang kekuatan dan kemampuan bertahan hidup. Sementara bagi sebagian lain, harapan adalah siksa yang memperpanjang luka dan penderitaan. Harapan melahirkan keinginan, dan keinginan sering kali menjadi sumber kegelisahan. Di antara kegelisahan demi kegelisahan, kita sering lupa ada takdir bernama ajal, hingga kita terus menjalani kehidupan tanpa sempat mengingat kematian.

Bahkan yang sudah tua pun sering lupa mati, apalagi yang masih muda. Bahkan yang sakit dan sekarat pun kadang yakin akan terus hidup, apalagi yang sehat dan bugar. Bahkan yang hidup menderita pun sering tak ingat ajal, apalagi yang kaya dan berkelimpahan. Padahal, kenyataannya hidup ini begitu rapuh—jarak kita dengan ajal bisa saja sehelai rambut, dan hanya takdir yang bisa menentukan apakah besok kita masih hidup.

Menyadari semua itu, saya menatap kambing-kambing di depan saya dengan perasaan galau—antara kasihan karena tahu mereka besok akan mati, dan bersyukur karena keberadaan mereka mengingatkan saya betapa rapuhnya hidup ini. Seperti kambing-kambing yang asyik melahap makanan berlimpah di depannya, dan mungkin berpikir akan hidup selamanya, saya tak pernah tahu kapan ajal akan tiba.

Hanya Satu yang Kupunya

“Kau punya akun Facebook?” tanya seorang bocah.

“Tidak,” jawab bocah temannya.

Twitter?”

“Juga tidak.”

“Path?”

“Tidak.”

“Instagram?”

“Tidak.”

“Google+? Pinterest?”

“Tidak.”

“Ask.fm?”

“Tidak.”

“Line? BBM? WA?”

“Tidak, aku tidak punya semua itu.”

“Jadi, apa yang kau punya?”

“Hanya satu. Kehidupan.”

Noffret’s Note: Kearifan

“Seseorang yang pintar bicara mengajakku bertemu,” dia berkata.
“Aku ragu, karena kami pasti akan berbicara... sedang aku tak bisa bicara.”
—Twitter, 7 Juli 2015

Ada jenis pengetahuan dan pengalaman yang sebaiknya disembunyikan.
Karena jika diperlihatkan apalagi diumbar, bisa membuat orang menghindar.
—Twitter, 7 Juli 2015

Di dunia ini, ada hal-hal yang tidak bisa dikatakan terang-terangan,
tetapi butuh kearifan. Begitu pun beberapa pengetahuan atau pengalaman.
—Twitter, 7 Juli 2015

“Aku jatuh cinta kepadanya,” kata temanku. “Dia sempurna. Satu-satunya
kekurangannya... dia terlalu pintar dalam urusan yang aku tak paham!”
—Twitter, 7 Juli 2015

Aku heran pada orang-orang yang terus melakukan kesalahan yang sama,
meski telah ditegur, disindir, dan diberitahu berulang-ulang.
—Twitter, 7 Juli 2015

Dalam hubungan yang ideal memang ada saatnya mengajari dan diajari.
Tetapi ada satu hal yang seharusnya dipelajari bersama-sama.
—Twitter, 7 Juli 2015

Mengetahui dan mengalami adalah dua hal yang berbeda.
Sayangnya, kebanyakan orang mengira keduanya sama.
—Twitter, 7 Juli 2015

Pengetahuan dan pengalaman adalah dua hal yang berbeda.
Pengetahuan soal cinta dan pengalaman bercinta jelas tidak sama.
—Twitter, 7 Juli 2015

Kebanyakan orang mungkin memang terlalu tinggi menilai diri sendiri,
hingga sering tidak sadar ketika sedang mempermalukan diri sendiri.
—Twitter, 7 Juli 2015

Orang-orang yang merasa dirinya sempurna mungkin perlu bertanya
pada diri sendiri, “Kenapa orang-orang tidak menganggapku sempurna?”
—Twitter, 7 Juli 2015

Ada wanita-wanita hebat yang sulit mendapat pasangan. Masalahnya,
seringkali, karena mereka “terlalu hebat” untuk hal-hal yang tidak tepat.
—Twitter, 7 Juli 2015

Farah Quinn identik dengan masak. Enny Arrow identik dengan seks.
Memacari salah satu dari mereka akan membuatmu diidentikkan dengan mereka.
—Twitter, 7 Juli 2015

Sama sekali bukan masalah sulit bagi Farah Quinn untuk mendapat pacar
atau pasangan. Tapi bagi Enny Arrow, itu masalah terbesar.
—Twitter, 7 Juli 2015

Kalau kau membutuhkan identifikasi, carilah identitas yang tidak akan
membuat orang lain menjauhimu. Dalam hidup, aturannya sesederhana itu.
—Twitter, 7 Juli 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

Pacar ke-37

Ada yang mau menjadi pacar ke-37?

Aku tidak!

....
....

Membayangkannya pun sudah membuatku ingin muntah.

 
;