Jumat, 20 Agustus 2021

Pelajaran tentang Orang Tua yang Tidak Diajarkan Orang Tuamu

Melanjutkan "ontran-ontran" tadi siang, biar klimaks sekalian.

Ngoceh soal relasi anak dan orang tua di tempat terbuka seperti Twitter memang berisiko. Karena kita, sebagai individu, sering terjebak untuk menggunakan background diri kita untuk menanggapi ocehan/cerita orang lain. Aku pun, sejujurnya, sering terjebak begitu.

Sejujurnya, aku sering gatal tiap nemu twit, entah sekadar ocehan atau cerita, terkait hubungan antara anak dan orang tua—lebih khusus yang relate denganku—hingga aku sering spontan menanggapi secara ngablak bahkan frontal. Karena urusan ini memang sangat lekat di pikiranku.

Ada banyak anak memuja orang tuanya—itu sah, tentu saja. Tapi tidak semua anak harus begitu. Karena kenyataannya tidak semua orang tua pasti baik. Yang menjadi masalah, kebanyakan orang berasumsi bahwa semua orang tua di dunia sebaik, bahkan sesempurna, orang tua mereka.

Jika orang tuamu baik bahkan mulia, hingga kau sangat bersyukur dan memuja mereka, itu privilese. Dan sebagaimana privilese dalam bentuk lain, tidak semua anak pasti memiliki orang tua semacam itu. Ada anak-anak yang tumbuh dengan menyimpan luka dan kebencian pada orang tuanya.

Apakah orang tua miskin adalah masalah bagi anak? Sebenarnya, tidak. Toh nyatanya ada banyak orang tua miskin yang baik dan benar-benar bertanggung jawab pada anak-anaknya, mendidik dan membesarkan dengan baik, hingga anak-anak mereka tumbuh dengan sama baik, meski hidup susah.

Apakah orang tua bodoh adalah masalah bagi anak? Sekali lagi, tidak. Sebodoh apa pun, orang tua [seharusnya] punya naluri alami dalam membesarkan anak-anaknya. Karenanya, mereka tetap bisa mendidik dan membesarkan anak-anak dengan baik, hingga anak-anak pun tumbuh dengan baik.

Jadi, orang tua macam apa yang bermasalah? Menurutku, orang tua bermasalah adalah orang tua yang miskin dan tak punya welas asih; bodoh tapi sok pintar; kejam tapi berdalih untuk mendidik anak; dan menganggap anak-anaknya sebagai sapi perah atau investasi, karena berpikir keliru.

Adakah orang tua bermasalah semacam itu? Sayangnya ada, bahkan banyak! Dan dari orang tua semacam itulah lalu tumbuh anak-anak “liar” atau “durhaka”, sebagaimana yang kemudian kita temukan di Twitter. Mereka adalah anak-anak terluka, yang menyuarakan luka dari kedalaman hatinya.

Dalam hal ini, aku sangat bisa memahami penderitaan batin mereka, karena aku merasa menjadi bagian dari mereka—anak-anak yang menjadi “korban” orang tuanya sendiri, yang tumbuh bersama luka di hati, yang bahkan kadang diam-diam mengutuk hidup dan berharap menjadi Thanos.

Sekadar cerita sebagai ilustrasi. Sejak kelas 2 SD, orang tuaku ngasih jatah uang ke aku, sekian rupiah per minggu (nominalnya cuma bisa dipakai untuk jajan di sekolah sekadarnya). Padahal, sebagai anak-anak, aku juga tentu ingin bisa jajan di luar sekolah, saat di rumah.

Jika jatah uangku habis sebelum waktunya, sementara aku masih butuh jajan sebagaimana anak-anak lain, aku tidak bisa minta uang lagi ke orang tua—harus nunggu sampai minggu depan. Jika aku maksa minta, pemberian orang tua akan dianggap utang, dan aku harus membayarnya.

Bagaimana cara membayar “utang” itu? Ya jatah jajanku minggu depan akan dipotong. Akibatnya, jatah uang jajan yang sudah amat sedikit jadi makin sedikit. Gara-gara inilah, aku kemudian sampai kenal dunia jalanan, dan mulai cari uang di jalanan sejak kelas 2 SD. Demi bisa jajan.

Jadi, meski kami adalah anak dan orang tua, tapi hubungan kami—terkait apa yang kami berikan dan kami terima—semua pakai “hitung-hitungan”, mirip bisnis. 

Tapi itu belum semuanya. Orang tuaku juga sangat kejam. Aku sengaja menyebut “kejam”—bukan “galak”—karena itulah nyatanya.

Orang tua galak itu biasa, dan biasanya pula mereka hanya keras dalam ucapan—no problem, itu bagian dari mendidik dan mendisiplinkan anak. Tapi kejam lebih dari itu. Kejam adalah perilaku melukai, fisik maupun psikis, hingga si anak merasa terluka, terhina, dan teraniaya.

Bisa membayangkan bagaimana suramnya kehidupan masa kecilku? Aku tumbuh dengan perasaan tidak aman, karena orang tua tampak seperti ancaman. Aku terluka, teraniaya. Bagi orang tuaku, itu cara “mendidik anak”. 

Dan apa hasil didikan itu? Menjadikanku orang baik? Sayangnya tidak.

Ketika tumbuh dewasa dan pikiran semakin matang, aku menyadari bahwa “cara didikan” orang tuaku itu benar-benar berbahaya... karena diam-diam menciptakan sesosok monster. Aku tumbuh menjadi sosok yang dingin, egois, kejam, dan nyaris tanpa empati.

Bayangkan saja Hannibal Lecter.

Aku tidak mendapat pelajaran tentang ketulusan, karena semuanya pakai hitung-hitungan. Aku tak mendapat pelajaran tentang welas asih, tapi kekejaman. Aku tak mendapat pelajaran tentang empati, karena terlalu sibuk mengutuk dan mengasihani diri sendiri. Aku sampai merasa "rusak".

Kesadaran itulah yang lalu membuatku bertekad secepat mungkin keluar dari rumah, dan menjauh dari orang tuaku. 

Empat tahun setelah lulus SMA, aku benar-benar keluar dari rumah, dan hidup sendirian di rumah kontrakan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan kedamaian.

Selama hidup sendirian, aku berusaha me-restart diriku sendiri, agar kembali menjadi manusia yang utuh—meninggalkan keegoisan, kekerasan hati, dan mulai mengenal empati. Upayaku mungkin berhasil, dan tumbuh menjadi pribadi lebih baik. Tapi luka di dalam diriku tak pernah sembuh.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 6666. 

Intinya, gara-gara latar belakang semacam itulah, aku sangat sensitif setiap kali menemukan anak-anak lain yang kebetulan mengalami hal sama sepertiku, dan punya pikiran sama sepertiku.

Ini seperti kalau kau—maaf—menjadi korban perkosaan atau setidaknya korban bullying. Kau akan merasakan kemarahan, kemurkaan, yang bahkan nyaris tak terkendali, tiap kali menemukan peristiwa serupa—sesuatu yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang pernah menjadi korban.

Setiap kali mendapati orang-orang yang sama sepertiku, aku merasa menemukan teman sepenanggungan, dan itu membantuku untuk tidak merasa sendirian. Sebaliknya, aku merasa “tersakiti” setiap kali mendapati orang yang mengglorifikasi orang tua, karena orang tuaku tidak seperti itu.

Memuja-muja orang tuamu di depan anak lain yang punya orang tua buruk, itu seperti memamer-mamerkan makanan enak di depan orang lain yang perutnya keroncongan dan nyaris mati kelaparan. Selain tampak jahat, itu sangat menyakitkan, egois, dan tak berempati. Itu bukan hal baik.

Akhirnya, orang tuamu bukan orang tuaku, sebagaimana orang tuaku bukan orang tuamu. Jika orang tuamu baik dan penuh kasih, kau layak bersyukur. Tapi tolong tidak usah berpikir semua orang tua pasti sebaik orang tuamu, lalu mendoktrin orang-orang lain dengan berdasar keyakinanmu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Juli 2020.

Buah Jatuh Tidak Jauh

Meski mungkin menyedihkan, pemikiran seperti ini ada di kepala jutaan orang di luar sana. Sepasang orang gagal melahirkan anak-anak, dengan harapan anak-anak tidak gagal seperti orang tuanya. Yang jadi masalah, buah jatuh (sering kali) tidak jauh dari pohonnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Juli 2020.

Merindukan Senyumku

Kalau lihat akun IG seseorang, aku tidak iri pada kemewahan yang mereka pamerkan, atau tempat-tempat jauh yang mereka kunjungi, atau benda-benda mahal yang mereka tunjukkan. 

Aku hanya iri pada senyum yang mereka miliki. Tuhan tahu, aku merindukan senyum yang pernah kumiliki.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Juli 2020.

Menggambar Monster

Seorang bocah menggambar sesuatu di selembar kertas, tampak seperti gambar benang ruwet. Aku bertanya, dia sedang menggambar apa, dan dia menjawab, “Aku sedang menggambar monster.”

“Menggambar monster?”

“Ya,” dia menegaskan, “menggambar monster.”

Aku jadi tertarik. “Monster apa?”

“Monster boketoke.”

“Monster... apa?”

Dia memperjelas suaranya, “Monster boketoke.”

Aku manggut-manggut, dan berpikir betapa hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah menggambar monster boketoke.

Apa Pilihanku?

Apa kamu suka dengan dirimu sendiri?
—@VICE_ID

Sebenarnya tidak. Tapi, well... apa pilihanku?
—@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Juni 2020.

Selasa, 10 Agustus 2021

Masalah Masyarakat

Kehidupan manusia akan jauh lebih mudah dan sederhana 
untuk dijalani, kalau saja setiap orang menghormati pilihan orang lain, 
dan masyarakat berhenti nyinyir.


Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada 3 Agustus 2011, seorang wanita tertangkap mencuri beras di sebuah warung. Peristiwa itu terjadi di Kediri, dan kisahnya tertumpuk di antara banyak berita lain yang terjadi hari itu.

Pagi hari, pukul 05.00, seorang pemilik warung membuka dagangan di depan rumahnya, seperti biasa. Sambil menunggu pembeli mulai datang, ia ke ruang tamu untuk nonton televisi. Tak lama kemudian, muncul seorang wanita yang mendatangi warungnya, lalu memasukkan dua kemasan beras yang dipajang di depan warung. Masing-masing kemasan itu berisi 5 kilogram beras, dan si wanita memasukkannya ke dalam karung.

Pemilik toko memergoki pencurian itu, dan dia menangkap si wanita yang mencuri berasnya. Setelah itu, ia melapor ke polisi. 

Dari pemeriksaan polisi, diketahui kalau wanita itu mencuri beras untuk memberi makan 5 anaknya yang kelaparan, karena sudah beberapa hari tidak makan. Usia si wanita 41, dan dia janda karena suaminya meninggal, enam bulan sebelum peristiwa pencurian tadi. Karena latar belakang itu pula, dan karena nilai barang yang dicuri relatif kecil, polisi melepaskan wanita itu, meski harus menjalani wajib lapor.

Saat membaca berita itu, saya tercenung. Kisah pencurian itu sederhana, tapi kompleksitas di dalamnya membuat saya berpikir lama.

Seorang wanita mencuri beras, pasti bukan karena kebetulan ia hobi atau mahir mencuri—nyatanya dia tertangkap. Dia pasti mencuri karena terpaksa—suatu kondisi yang memaksa dia harus melakukannya—karena mungkin tak ada pilihan lain. 

Suaminya meninggal, enam bulan sebelumnya. Ada lima anak yang kelaparan. Wanita itu harus memberi makan anak-anaknya, tapi dia jelas tidak punya uang untuk membeli makanan. Dia mungkin bersedia kerja apa saja, tapi mungkin pula tak ada pekerjaan yang bisa diperoleh. Mencuri beras di warung tentu pilihan terakhir... dan dia terpaksa melakukannya.

Ada banyak orang yang menghadapi kondisi semacam itu, di mana-mana, bahkan mungkin di sekitar kita. Bedanya, mungkin, mereka tidak masuk berita, karena tidak sampai melakukan tindakan semacam pencurian. Jadi kita tidak tahu, tak pernah tahu.

Kita mungkin tak pernah tahu, kalau ternyata tetangga kita diam-diam kelaparan, karena tak punya uang untuk beli makanan. Kita mungkin tak pernah tahu ada pria atau wanita yang kita kenal, yang sebenarnya tengah kebingungan memberi makan anak-anaknya. Mereka cukup punya harga diri untuk tidak mengatakannya, dan kita tidak pernah tahu.

Karena hal itu pula, banyak dari kita yang menganggap “semua baik-baik saja”. Kita menganggap semua tetangga, semua saudara, semua famili, semua orang yang kita kenal, dalam kondisi baik-baik saja. Mungkin bukan karena memang baik-baik saja, tapi karena mereka tidak pernah mengatakan bahwa mereka tidak baik-baik saja—apa pun alasannya.

Dan karena kita menganggap “semua baik-baik saja”, banyak dari kita yang jadi naif, khususnya terkait kehidupan orang lain. Sebegitu naif, sampai merasa “baik-baik saja” ketika menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah dan cepat punya anak, dengan segala alasan yang terdengar menyenangkan. Dari “menikah akan membuatmu bahagia dan tenteram”, sampai “punya anak akan melancarkan rezeki”. 

Ada banyak hal yang menyebabkan orang tidak/belum menikah. Bisa karena memang belum menemukan [calon] pasangan yang tepat, bisa karena sedang mengejar sesuatu yang dianggap lebih penting (misal pendidikan), bisa karena sedang menghadapi banyak masalah hidup, bisa karena tahu diri bahwa dia belum mampu membangun keluarga, dan sederet alasan lainnya, yang tentu mereka lebih tahu.

Tapi banyak dari kita yang merasa lebih tahu tentang kehidupan mereka. Bukannya berempati dengan kondisi mereka yang memilih untuk tidak buru-buru menikah, kita justru memaksakan apa yang kita anggap ideal untuk mereka. Dan yang kita anggap ideal adalah segera menikah dan beranak pinak!

Entah bagaimana, banyak orang begitu yakin bahwa menikah akan menjamin orang bahagia, dan punya anak akan melancarkan rezeki. Ini sebenarnya pandangan yang naif. Ada banyak orang bercerai, dan ada banyak keluarga yang miskin dengan anak-anak telantar. Fakta ini sangat mudah kita ketahui, andai kita mau membuka mata, dan tidak terus membutakan diri dalam keyakinan semata. Karena keyakinan, betapa pun kuatnya, belum tentu sesuai realitas.

Kembali ke wanita yang mencuri beras di Kediri, dalam cerita tadi. Apakah para tetangganya tahu bahwa dia sampai terpaksa mencuri, karena butuh memberi makan anak-anaknya? Kemungkinan besar tidak! Karena jika tetangganya tahu bahwa si wanita butuh memberi makan anak-anaknya yang kelaparan, kemungkinan besar para tetangga akan membantu. 

Pernahkah kita berpikir bahwa salah satu—atau beberapa—tetangga kita juga menempati posisi wanita itu? 

Jangan-jangan, ada tetangga kita yang sebenarnya pusing tak karuan memikirkan hari esok, ada tetangga kita yang frustrasi menghadapi tumpukan beban hidup, ada tetangga kita yang kebingungan memberi makan keluarganya. Tapi kita tak pernah tahu. Dan jika kita tidak tahu, bukan berarti kita bisa mengklaim semua “baik-baik saja”—lalu mendoktrin orang-orang lain cepat kawin agar “bahagia dan tenteram seperti mereka”.

Wanita yang mencuri beras di warung tadi... kenapa dia tidak mencoba minta tolong tetangganya? Kenapa dia tidak terbuka pada orang-orang di sekelilingnya, bahwa dia kesusahan, bahwa dia butuh memberi makan anak-anaknya yang kelaparan?

Jawabannya ada di akhir catatan ini.

....
....

Masalah masyarakat kita adalah terlalu suka mencampuri urusan orang lain, pada hal-hal yang tidak tepat. Contoh yang spesifik adalah urusan pernikahan dan pilihan hidup. Banyak dari kita yang merasa punya hak untuk mencampuri urusan orang lain terkait pernikahan dan kepemilikan anak, tanpa menyadari bahwa itu urusan pribadi.

Ketika melihat orang yang masih lajang, masyarakat menyuruh-nyuruh cepat menikah, kadang dengan setumpuk iming-iming yang terdengar ndakik-ndakik. Setelah si lajang menikah, masyarakat masih merasa punya hak mencampuri kehidupan mereka, kali ini dengan menyuruh-nyuruh cepat punya anak. Alasan yang paling populer adalah, “Punya anak akan melancarkan rezeki.” Orang yang lain mengompori, “Banyak anak banyak rezeki.”

Pasangan itu pun akhirnya punya anak. Agar membungkam nyinyiran masyarakat, mereka tidak hanya punya satu anak, tapi tiga sampai lima sekaligus! Tapi kepemilikan anak menuntut tanggung jawab, dan mereka kemudian kerepotan. Ada banyak mulut yang harus diberi makan, tapi penghasilan pas-pasan. Dan ketika kenyataan itu terungkap, masyarakat dengan enteng mengatakan, “Sudah tahu miskin, punya banyak anak!” 

Lalu ke mana perginya doktrin-doktrin yang sebelumnya mereka nyanyikan? Katanya menikah akan membuat bahagia? Katanya punya anak akan melancarkan rezeki? Ketika realitasnya berbeda, kenapa mereka justru menyalahkan?

Jawabannya tersimpan di zaman jahiliyah.

Cerai

"Setelah kurang lebih lima bulan menjalani persidangan, aku pun resmi bercerai... Aku pun semakin sadar bahwa pernikahan memang tidak seindah yang digembar-gemborkan banyak orang." —kutipan artikel di bawah ini.

Menikah Itu Tidak Indah https://buff.ly/31qAmIw #cerai

Pernikahan menjamin bahagia? Tolong katakan kepadanya!

“Perceraian dengan teman yang sudah aku kenal cukup lama semakin menyadarkanku bahwa pernikahan tidak seindah buaian komik, novel dan drama.”


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Desember 2019.

Noffret’s Note: Glorifikasi

Seks, dan perkawinan, sebenarnya biasa saja. 
Cuma glorifikasinya yang luar biasa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Oktober 2020.

Sco Pa Tu Manaa

Kalau-kalau ada yang masih bingung dengan "sco pa tu manaa" (sebagian orang menulisnya "sco pu tu manaa"), yang saat ini sedang melanda Twitter, itu bahasa Ghana, artinya, "Nyatakan pendapatmu soal ini." Cara pengucapannya, "skoh-pah-too-mah-nah".

Pancen Twitter iki ono-ono wae.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Juli 2019.

Perasaan Kita

Hal-hal yang menyentuh perasaan kita mungkin tidak berubah. Tapi perasaan kita bisa berubah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Desember 2019.

Minggu, 01 Agustus 2021

Loading Lemot Bikin Pusing

Kalau kamu masuk Oasis Cafe dan melihat seorang bocah lagi sendirian, tampak menunggu seseorang, itu aku.

Karena orang yang kutunggu belum juga datang—barusan dia nilpon dan ngasih tahu lagi kejebak macet karena ada pawai—aku mau ngoceh saja. Semoga tidak ada yang terganggu.

....
....

Nyambung ocehan tadi, soal Tribun, aku sering bertanya-tanya; apakah situs-situs raksasa—khususnya Kompas, Detik, dan Tempo—tidak bisa membayar server yang lebih baik? Mereka tergolong situs-situs besar dengan penghasilan sama besar, tapi loading situsnya sangat memprihatinkan.

Ada temanku yang pernah bilang, "Tiap kali aku membuka Kompas atau Detik, laptopku akan hang." Itu ilustrasi mudah yang menggambarkan betapa lemotnya loading situs mereka. Selain kebanyakan script iklan, loading yang lemot jelas dipengaruhi server yang buruk. Memangnya apa lagi?

Karenanya aku heran dan bertanya-tanya, apakah mereka sebegitu pelit hingga tidak mau menggunakan server yang [lebih] baik, agar loading situs tidak terlalu lemot? Agak aneh, mengingat mereka menghasilkan miliaran per bulan, tapi menggunakan server yang baik saja keberatan.

Terkait Kompas, Detik, dan Tempo, aku sering mengalami dilema. Aku perlu membaca berita-berita tertentu (yang sialnya hanya ada di situs mereka), tapi membuka situs-situs itu membuatku sangat enggan karena loading-nya yang lemot dan menjengkelkan. Hasilnya cuma bikin emosi!

Mungkin ada yang ingin ngemeng, "Bukannya situs-situs besar selalu lemot loading-nya? Memangnya ada situs besar yang loading-nya cepat?"

Sebenarnya ada, bahkan relatif banyak. Kita bisa menyebut Beritagar, Tirto, dan Kumparan, di tempat teratas. Load situs mereka sangat ringan.

Kumparan bisa menjadi pembanding yang seimbang untuk Kompas, Detik, dan Tempo. Sebagai situs yang sama-sama raksasa, Kumparan dihiasi iklan bejibun, dari atas sampai bawah. Tapi loading-nya sangat ringan, hingga pembaca tidak keberatan dengan keberadaan iklan-iklan yang ada.

Kumparan adalah contoh nyata bahwa sebesar apa pun sebuah situs, dan sebanyak apa pun iklan yang terpasang, loading situs bisa dibuat ringan, dan memudahkan pembaca untuk membuka-buka isinya. Omong-omong, yang membuat orang jengkel sebenarnya bukan iklan, tapi loading yang lemot!

Hari gini, sebagian besar pengguna internet sudah sadar bahwa iklan dibutuhkan sebagai upaya situs untuk menunjang biaya operasional. Karenanya, mereka tidak keberatan dengan adanya iklan, bahkan umpama sangat banyak, asal loading halaman sangat ringan! Mosok ngene wae ora paham?

Untuk keperluan riset, aku pernah mengamati situs-situs penyedia film di internet (kalian tahu situs apa saja), untuk melihat bagaimana respons para penggunanya dalam menghadapi banyaknya iklan di sana. Kita tahu, situs-situs film itu dijejali iklan judi yang sangat banyak.

Aku membaca dan mempelajari komentar-komentar yang bertumpuk di situs-situs itu, dan menganalisis komentar-komentar yang terkait iklan (baik iklan dalam bentuk banner maupun iklan yang disisipkan lewat video; mirip di YouTube). Hasilnya mencengangkan—setidaknya menurutku.

Dalam ratusan komentar yang kubaca, sering ada orang-orang yang mengeluhkan iklan-iklan tersebut. "Ajaib"nya, selalu ada orang-orang lain yang akan "mengedukasi" bahwa keberadaan iklan-iklan itu dibutuhkan, "agar kita bisa tetap nonton film secara gratis dan mudah". Mereka tahu!

Dan mereka juga tidak keberatan dengan banyaknya iklan di sana, karena loading situs-situs film itu sangat ringan! Jadi, mereka hanya terganggu oleh iklan yang disisipkan dalam video/film, dan untuk itu pun mereka bisa "saling mengedukasi" bahwa "keberadaan iklan itu penting".

Bisa melihat sesuatu di sini? Orang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan iklan, selama iklan-iklan itu tidak mengganggu! Terkait situs berita, para pengguna/pembaca tidak mempersoalkan iklan-iklan yang terpasang, asal loading halaman sangat ringan, dan mereka tetap nyaman.

Iklan-iklan di situs Kumparan, misalnya, sama banyak—atau bahkan mungkin lebih banyak—dibanding iklan di Kompas, Detik, dan Tempo. Tapi para pembaca (dan aku termasuk di sini) tidak terganggu oleh iklan-iklan itu, karena loading halaman sangat ringan, dan kami tetap nyaman.

Karena loading halaman sangat ringan, pembaca juga bisa asyik membuka-buka banyak halaman dengan nyaman. Hasilnya, pageview meningkat, sekaligus meningkatkan penghasilan iklan. Ending-nya, biaya server yang mahal akan terlihat murah, karena penghasilan dari iklan lebih besar.

Sebaliknya, "menghemat" biaya server akan berdampak pada loading yang lemot, dan pembaca tidak nyaman. Mereka akan malas membuka-buka halaman, karena cuma bikin emosi. Hasilnya, pageview rendah, dan biaya server yang murah jadi terlihat mahal, karena pemasukan dari iklan minim.

Sekarang kita paham kenapa ada situs-situs tertentu yang hobi "memecah" satu artikel pendek dalam banyak halaman. Tujuannya untuk meningkatkan pageview. Ini sebenarnya konyol, karena cara paling ampuh untuk meningkatkan pageview adalah loading yang ringan! Bahkan iblis pun tahu!

Ada cara mudah untuk membuktikan hal ini. Kalau kau bekerja di sebuah situs yang suka memecah satu berita dalam banyak halaman—dan kau punya akses untuk memeriksa statistik—perhatikan apa yang terjadi di sana. Terlihat "njomplang"? Jelas! Dan aku berani bertaruh dalam hal ini.

Jika kita memecah satu artikel menjadi 5 halaman, misalnya, kita akan melihat bahwa halaman 1 akan memiliki pageview sangat tinggi, sementara halaman-halaman selanjutnya akan "njomplang", karena selisih jumlah pageview-nya akan sangat besar. Orang tidak suka dimanipulasi!

Sori, orang yang kutunggu sudah datang. Ocehan ini sebenarnya masih sangat panjang, tapi terpaksa cukup sampai di sini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 November 2019.

Okezone dan Ramalan Terbukti

Nyambung ocehan tempo hari yang terputus, soal beberapa situs raksasa yang loading halamannya sangat lemot. Omong-omong, Kompas dan Detik sekarang loading-nya lebih ringan.☺

Saat ini, Okezone menempati peringkat teratas sebagai situs nomor satu yang paling banyak dibaca di Indonesia. Ini seperti ramalan yang terbukti, meski pada awalnya ditertawakan karena dianggap mustahil. Pemenang, kenyataannya, memang tertawa belakangan.

Sekian tahun lalu, ketika Detik masih sangat perkasa dan menempati peringkat teratas di Indonesia, aku pernah ngomong pada sekelompok orang—sebagian mereka ada di sini—bahwa cepat atau lambat, Detik akan “terjungkal”. Waktu itu belum ada Tirto atau Kumparan.

Lalu waktu berlalu. Detik masih sangat perkasa. Seiring dengan itu, Tribunnews meniru taktik Detik. Padahal, waktu itu, Detik sudah mulai merosot—tepat seperti yang kuperkirakan. Karenanya, setahun yang lalu, aku menulis twit ini.

Sebenarnya, teknik yang saat ini digunakan Tribunnews juga pernah dilakukan Detik. Karenanya, sekian waktu sebelumnya, Detik menduduki peringkat teratas di antara media di Indonesia. Tapi Detik lalu "terjungkal", hingga membuat mereka sadar. Tribunnews akan mengalami hal serupa. —24 Januari 2018

Twit itu seperti ramalan yang kini terbukti. Posisi Detik merosot dari peringkat atas. Lalu Tribunnews naik, menempati peringkat satu yang semula ditempati Detik. Dan apa yang kemudian terjadi? Tepat seperti yang kukatakan; sekarang posisi Tribunnews terjungkal!

Sekian tahun lalu, ketika aku mengatakan Detik akan runtuh—sementara posisinya waktu itu masih sangat perkasa—orang-orang menantangku. “Kalau Detik memang akan turun,” kata mereka, “siapa yang kira-kira akan menggantikan?” Mereka memperkirakan Kompas.

Waktu itu, aku lebih percaya Okezone. Saat kukatakan hal itu, mereka tertawa. Maklum, waktu itu posisi/ranking Okezone memang relatif rendah dan kurang populer, khususnya jika dibandingkan Detik/Kompas. Tetapi, menurutku, Okezone paling baik dalam hal “menyenangkan pembaca”.

Bahkan waktu itu, dalam pikiranku, Okezone sudah memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk menang. Pertama, mereka super-produktif. Kedua, tulisan mereka rapi, tidak asal-asalan, dan memenuhi standar keterbacaan. Ketiga, tampilan halaman/situs mereka bersih, hingga nyaman di mata.

Apakah tiga hal itu pernah dikatakan "pakar SEO"? Mungkin tidak—padahal itulah SEO yang sesungguhnya! Orang-orang mengelola website sambil menyembah SEO, dan membakar dupa untuk Google. Tapi mereka lupa, bahwa website mereka dibuat untuk [otak dan mata, bahkan hati] manusia!

Meski aku harus menunggu lama untuk melihat perkiraanku terbukti, akhirnya kini benar-benar terbukti. Okezone kini menempati peringkat teratas, nomor 1 di Indonesia—mengalahkan Kompas, Detik, Tribunnews, Tempo, bahkan mengalahkan Google, YouTube, dan Facebook!

Sekarang aku ingin mengucapkan selamat untuk Okezone, dan—tentu saja—aku ingin bersulang untuk diriku sendiri. Sementara untuk bocah-bocah yang dulu menertawakanku... well, lain kali sebaiknya kalian mendengarkan, jika aku bicara. ☺


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Desember 2019.

Noffret’s Note: Environmental

Global investors raise environmental concerns over Indonesia jobs bill #jakpost https://bit.ly/33vBRt0@jakpost

Aku selalu senang membaca apa pun yang di dalamnya terdapat kata "environmental". —@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Oktober 2020.

Young Lex yang Umbrus

Tempo hari aku nonton obrolan (podcast) Awkarin dengan Young Lex. Mereka ngobrol sambil udud. Aku nontonnya sambil udud. Rasanya kayak lagi nyangkruk di pos ronda.

Dan aku baru tahu kalau Young Lex jarang mandi (setidaknya aku merasa menemukan teman). 

Young Lex tuh kelihatannya umbrus, tapi—berdasarkan kesan yang kutangkap dari percakapannya dengan Awkarin—pikirannya terstruktur, dan pola pikirnya terarah, ditambah pekerja keras. Itu saja sudah cukup untuk mengubah seorang manusia.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Juni 2020.

Mari Kita Coba

Mari kita coba ndasmu.

 
;