Selasa, 10 Agustus 2021

Masalah Masyarakat

Kehidupan manusia akan jauh lebih mudah dan sederhana 
untuk dijalani, kalau saja setiap orang menghormati pilihan orang lain, 
dan masyarakat berhenti nyinyir.


Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada 3 Agustus 2011, seorang wanita tertangkap mencuri beras di sebuah warung. Peristiwa itu terjadi di Kediri, dan kisahnya tertumpuk di antara banyak berita lain yang terjadi hari itu.

Pagi hari, pukul 05.00, seorang pemilik warung membuka dagangan di depan rumahnya, seperti biasa. Sambil menunggu pembeli mulai datang, ia ke ruang tamu untuk nonton televisi. Tak lama kemudian, muncul seorang wanita yang mendatangi warungnya, lalu memasukkan dua kemasan beras yang dipajang di depan warung. Masing-masing kemasan itu berisi 5 kilogram beras, dan si wanita memasukkannya ke dalam karung.

Pemilik toko memergoki pencurian itu, dan dia menangkap si wanita yang mencuri berasnya. Setelah itu, ia melapor ke polisi. 

Dari pemeriksaan polisi, diketahui kalau wanita itu mencuri beras untuk memberi makan 5 anaknya yang kelaparan, karena sudah beberapa hari tidak makan. Usia si wanita 41, dan dia janda karena suaminya meninggal, enam bulan sebelum peristiwa pencurian tadi. Karena latar belakang itu pula, dan karena nilai barang yang dicuri relatif kecil, polisi melepaskan wanita itu, meski harus menjalani wajib lapor.

Saat membaca berita itu, saya tercenung. Kisah pencurian itu sederhana, tapi kompleksitas di dalamnya membuat saya berpikir lama.

Seorang wanita mencuri beras, pasti bukan karena kebetulan ia hobi atau mahir mencuri—nyatanya dia tertangkap. Dia pasti mencuri karena terpaksa—suatu kondisi yang memaksa dia harus melakukannya—karena mungkin tak ada pilihan lain. 

Suaminya meninggal, enam bulan sebelumnya. Ada lima anak yang kelaparan. Wanita itu harus memberi makan anak-anaknya, tapi dia jelas tidak punya uang untuk membeli makanan. Dia mungkin bersedia kerja apa saja, tapi mungkin pula tak ada pekerjaan yang bisa diperoleh. Mencuri beras di warung tentu pilihan terakhir... dan dia terpaksa melakukannya.

Ada banyak orang yang menghadapi kondisi semacam itu, di mana-mana, bahkan mungkin di sekitar kita. Bedanya, mungkin, mereka tidak masuk berita, karena tidak sampai melakukan tindakan semacam pencurian. Jadi kita tidak tahu, tak pernah tahu.

Kita mungkin tak pernah tahu, kalau ternyata tetangga kita diam-diam kelaparan, karena tak punya uang untuk beli makanan. Kita mungkin tak pernah tahu ada pria atau wanita yang kita kenal, yang sebenarnya tengah kebingungan memberi makan anak-anaknya. Mereka cukup punya harga diri untuk tidak mengatakannya, dan kita tidak pernah tahu.

Karena hal itu pula, banyak dari kita yang menganggap “semua baik-baik saja”. Kita menganggap semua tetangga, semua saudara, semua famili, semua orang yang kita kenal, dalam kondisi baik-baik saja. Mungkin bukan karena memang baik-baik saja, tapi karena mereka tidak pernah mengatakan bahwa mereka tidak baik-baik saja—apa pun alasannya.

Dan karena kita menganggap “semua baik-baik saja”, banyak dari kita yang jadi naif, khususnya terkait kehidupan orang lain. Sebegitu naif, sampai merasa “baik-baik saja” ketika menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah dan cepat punya anak, dengan segala alasan yang terdengar menyenangkan. Dari “menikah akan membuatmu bahagia dan tenteram”, sampai “punya anak akan melancarkan rezeki”. 

Ada banyak hal yang menyebabkan orang tidak/belum menikah. Bisa karena memang belum menemukan [calon] pasangan yang tepat, bisa karena sedang mengejar sesuatu yang dianggap lebih penting (misal pendidikan), bisa karena sedang menghadapi banyak masalah hidup, bisa karena tahu diri bahwa dia belum mampu membangun keluarga, dan sederet alasan lainnya, yang tentu mereka lebih tahu.

Tapi banyak dari kita yang merasa lebih tahu tentang kehidupan mereka. Bukannya berempati dengan kondisi mereka yang memilih untuk tidak buru-buru menikah, kita justru memaksakan apa yang kita anggap ideal untuk mereka. Dan yang kita anggap ideal adalah segera menikah dan beranak pinak!

Entah bagaimana, banyak orang begitu yakin bahwa menikah akan menjamin orang bahagia, dan punya anak akan melancarkan rezeki. Ini sebenarnya pandangan yang naif. Ada banyak orang bercerai, dan ada banyak keluarga yang miskin dengan anak-anak telantar. Fakta ini sangat mudah kita ketahui, andai kita mau membuka mata, dan tidak terus membutakan diri dalam keyakinan semata. Karena keyakinan, betapa pun kuatnya, belum tentu sesuai realitas.

Kembali ke wanita yang mencuri beras di Kediri, dalam cerita tadi. Apakah para tetangganya tahu bahwa dia sampai terpaksa mencuri, karena butuh memberi makan anak-anaknya? Kemungkinan besar tidak! Karena jika tetangganya tahu bahwa si wanita butuh memberi makan anak-anaknya yang kelaparan, kemungkinan besar para tetangga akan membantu. 

Pernahkah kita berpikir bahwa salah satu—atau beberapa—tetangga kita juga menempati posisi wanita itu? 

Jangan-jangan, ada tetangga kita yang sebenarnya pusing tak karuan memikirkan hari esok, ada tetangga kita yang frustrasi menghadapi tumpukan beban hidup, ada tetangga kita yang kebingungan memberi makan keluarganya. Tapi kita tak pernah tahu. Dan jika kita tidak tahu, bukan berarti kita bisa mengklaim semua “baik-baik saja”—lalu mendoktrin orang-orang lain cepat kawin agar “bahagia dan tenteram seperti mereka”.

Wanita yang mencuri beras di warung tadi... kenapa dia tidak mencoba minta tolong tetangganya? Kenapa dia tidak terbuka pada orang-orang di sekelilingnya, bahwa dia kesusahan, bahwa dia butuh memberi makan anak-anaknya yang kelaparan?

Jawabannya ada di akhir catatan ini.

....
....

Masalah masyarakat kita adalah terlalu suka mencampuri urusan orang lain, pada hal-hal yang tidak tepat. Contoh yang spesifik adalah urusan pernikahan dan pilihan hidup. Banyak dari kita yang merasa punya hak untuk mencampuri urusan orang lain terkait pernikahan dan kepemilikan anak, tanpa menyadari bahwa itu urusan pribadi.

Ketika melihat orang yang masih lajang, masyarakat menyuruh-nyuruh cepat menikah, kadang dengan setumpuk iming-iming yang terdengar ndakik-ndakik. Setelah si lajang menikah, masyarakat masih merasa punya hak mencampuri kehidupan mereka, kali ini dengan menyuruh-nyuruh cepat punya anak. Alasan yang paling populer adalah, “Punya anak akan melancarkan rezeki.” Orang yang lain mengompori, “Banyak anak banyak rezeki.”

Pasangan itu pun akhirnya punya anak. Agar membungkam nyinyiran masyarakat, mereka tidak hanya punya satu anak, tapi tiga sampai lima sekaligus! Tapi kepemilikan anak menuntut tanggung jawab, dan mereka kemudian kerepotan. Ada banyak mulut yang harus diberi makan, tapi penghasilan pas-pasan. Dan ketika kenyataan itu terungkap, masyarakat dengan enteng mengatakan, “Sudah tahu miskin, punya banyak anak!” 

Lalu ke mana perginya doktrin-doktrin yang sebelumnya mereka nyanyikan? Katanya menikah akan membuat bahagia? Katanya punya anak akan melancarkan rezeki? Ketika realitasnya berbeda, kenapa mereka justru menyalahkan?

Jawabannya tersimpan di zaman jahiliyah.

 
;