Melanjutkan "ontran-ontran" tadi siang, biar klimaks sekalian.
Ngoceh soal relasi anak dan orang tua di tempat terbuka seperti Twitter memang berisiko. Karena kita, sebagai individu, sering terjebak untuk menggunakan background diri kita untuk menanggapi ocehan/cerita orang lain. Aku pun, sejujurnya, sering terjebak begitu.
Sejujurnya, aku sering gatal tiap nemu twit, entah sekadar ocehan atau cerita, terkait hubungan antara anak dan orang tua—lebih khusus yang relate denganku—hingga aku sering spontan menanggapi secara ngablak bahkan frontal. Karena urusan ini memang sangat lekat di pikiranku.
Ada banyak anak memuja orang tuanya—itu sah, tentu saja. Tapi tidak semua anak harus begitu. Karena kenyataannya tidak semua orang tua pasti baik. Yang menjadi masalah, kebanyakan orang berasumsi bahwa semua orang tua di dunia sebaik, bahkan sesempurna, orang tua mereka.
Jika orang tuamu baik bahkan mulia, hingga kau sangat bersyukur dan memuja mereka, itu privilese. Dan sebagaimana privilese dalam bentuk lain, tidak semua anak pasti memiliki orang tua semacam itu. Ada anak-anak yang tumbuh dengan menyimpan luka dan kebencian pada orang tuanya.
Apakah orang tua miskin adalah masalah bagi anak? Sebenarnya, tidak. Toh nyatanya ada banyak orang tua miskin yang baik dan benar-benar bertanggung jawab pada anak-anaknya, mendidik dan membesarkan dengan baik, hingga anak-anak mereka tumbuh dengan sama baik, meski hidup susah.
Apakah orang tua bodoh adalah masalah bagi anak? Sekali lagi, tidak. Sebodoh apa pun, orang tua [seharusnya] punya naluri alami dalam membesarkan anak-anaknya. Karenanya, mereka tetap bisa mendidik dan membesarkan anak-anak dengan baik, hingga anak-anak pun tumbuh dengan baik.
Jadi, orang tua macam apa yang bermasalah? Menurutku, orang tua bermasalah adalah orang tua yang miskin dan tak punya welas asih; bodoh tapi sok pintar; kejam tapi berdalih untuk mendidik anak; dan menganggap anak-anaknya sebagai sapi perah atau investasi, karena berpikir keliru.
Adakah orang tua bermasalah semacam itu? Sayangnya ada, bahkan banyak! Dan dari orang tua semacam itulah lalu tumbuh anak-anak “liar” atau “durhaka”, sebagaimana yang kemudian kita temukan di Twitter. Mereka adalah anak-anak terluka, yang menyuarakan luka dari kedalaman hatinya.
Dalam hal ini, aku sangat bisa memahami penderitaan batin mereka, karena aku merasa menjadi bagian dari mereka—anak-anak yang menjadi “korban” orang tuanya sendiri, yang tumbuh bersama luka di hati, yang bahkan kadang diam-diam mengutuk hidup dan berharap menjadi Thanos.
Sekadar cerita sebagai ilustrasi. Sejak kelas 2 SD, orang tuaku ngasih jatah uang ke aku, sekian rupiah per minggu (nominalnya cuma bisa dipakai untuk jajan di sekolah sekadarnya). Padahal, sebagai anak-anak, aku juga tentu ingin bisa jajan di luar sekolah, saat di rumah.
Jika jatah uangku habis sebelum waktunya, sementara aku masih butuh jajan sebagaimana anak-anak lain, aku tidak bisa minta uang lagi ke orang tua—harus nunggu sampai minggu depan. Jika aku maksa minta, pemberian orang tua akan dianggap utang, dan aku harus membayarnya.
Bagaimana cara membayar “utang” itu? Ya jatah jajanku minggu depan akan dipotong. Akibatnya, jatah uang jajan yang sudah amat sedikit jadi makin sedikit. Gara-gara inilah, aku kemudian sampai kenal dunia jalanan, dan mulai cari uang di jalanan sejak kelas 2 SD. Demi bisa jajan.
Jadi, meski kami adalah anak dan orang tua, tapi hubungan kami—terkait apa yang kami berikan dan kami terima—semua pakai “hitung-hitungan”, mirip bisnis.
Tapi itu belum semuanya. Orang tuaku juga sangat kejam. Aku sengaja menyebut “kejam”—bukan “galak”—karena itulah nyatanya.
Orang tua galak itu biasa, dan biasanya pula mereka hanya keras dalam ucapan—no problem, itu bagian dari mendidik dan mendisiplinkan anak. Tapi kejam lebih dari itu. Kejam adalah perilaku melukai, fisik maupun psikis, hingga si anak merasa terluka, terhina, dan teraniaya.
Bisa membayangkan bagaimana suramnya kehidupan masa kecilku? Aku tumbuh dengan perasaan tidak aman, karena orang tua tampak seperti ancaman. Aku terluka, teraniaya. Bagi orang tuaku, itu cara “mendidik anak”.
Dan apa hasil didikan itu? Menjadikanku orang baik? Sayangnya tidak.
Ketika tumbuh dewasa dan pikiran semakin matang, aku menyadari bahwa “cara didikan” orang tuaku itu benar-benar berbahaya... karena diam-diam menciptakan sesosok monster. Aku tumbuh menjadi sosok yang dingin, egois, kejam, dan nyaris tanpa empati.
Bayangkan saja Hannibal Lecter.
Aku tidak mendapat pelajaran tentang ketulusan, karena semuanya pakai hitung-hitungan. Aku tak mendapat pelajaran tentang welas asih, tapi kekejaman. Aku tak mendapat pelajaran tentang empati, karena terlalu sibuk mengutuk dan mengasihani diri sendiri. Aku sampai merasa "rusak".
Kesadaran itulah yang lalu membuatku bertekad secepat mungkin keluar dari rumah, dan menjauh dari orang tuaku.
Empat tahun setelah lulus SMA, aku benar-benar keluar dari rumah, dan hidup sendirian di rumah kontrakan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan kedamaian.
Selama hidup sendirian, aku berusaha me-restart diriku sendiri, agar kembali menjadi manusia yang utuh—meninggalkan keegoisan, kekerasan hati, dan mulai mengenal empati. Upayaku mungkin berhasil, dan tumbuh menjadi pribadi lebih baik. Tapi luka di dalam diriku tak pernah sembuh.
Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 6666.
Intinya, gara-gara latar belakang semacam itulah, aku sangat sensitif setiap kali menemukan anak-anak lain yang kebetulan mengalami hal sama sepertiku, dan punya pikiran sama sepertiku.
Ini seperti kalau kau—maaf—menjadi korban perkosaan atau setidaknya korban bullying. Kau akan merasakan kemarahan, kemurkaan, yang bahkan nyaris tak terkendali, tiap kali menemukan peristiwa serupa—sesuatu yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang pernah menjadi korban.
Setiap kali mendapati orang-orang yang sama sepertiku, aku merasa menemukan teman sepenanggungan, dan itu membantuku untuk tidak merasa sendirian. Sebaliknya, aku merasa “tersakiti” setiap kali mendapati orang yang mengglorifikasi orang tua, karena orang tuaku tidak seperti itu.
Memuja-muja orang tuamu di depan anak lain yang punya orang tua buruk, itu seperti memamer-mamerkan makanan enak di depan orang lain yang perutnya keroncongan dan nyaris mati kelaparan. Selain tampak jahat, itu sangat menyakitkan, egois, dan tak berempati. Itu bukan hal baik.
Akhirnya, orang tuamu bukan orang tuaku, sebagaimana orang tuaku bukan orang tuamu. Jika orang tuamu baik dan penuh kasih, kau layak bersyukur. Tapi tolong tidak usah berpikir semua orang tua pasti sebaik orang tuamu, lalu mendoktrin orang-orang lain dengan berdasar keyakinanmu.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Juli 2020.